Pos

[Siaran Pers Bersama] TOLAK RUU PERTANAHAN: 13 BAHAYA RUU PERTANAHAN JIKA DISAHKAN

Rancangan Undang-Undang Pertanahan (RUU Pertanahan) awalnya diharapkan dapat menjawab berbagai persoalan dan konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Selain menjawab persoalan konflik Agraria, RUU ini juga diharapkan dapat mengatur pengelolaan tanah dengan mempertimbangkan sosial, budaya dan lingkungan hidup. Pemerintah beranggapan bahwa RUU ini akan melengkapi UU Pokok Agraria yang dinilai belum dapat menjawab permasalahan aktual pertanahan. Namun sayangnya, draft terakhir RUU Pertanahan per tanggal 22 Juni 2019 belum dapat menjawab ekspektasi masyarakat dan tujuan Undang-Undang Pokok Agraria. Alih-alih menyelesaikan konflik agraria, masih terdapat banyak permasalahan substansi dalam RUU Pertanahan ini yang dapat kontra-produktif dengan semangat reforma agraria dan pengelolaan lingkungan hidup serta sumber daya alam yang baik.

Oleh karenanya, kami MENOLAK PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RUU PERTANAHAN dengan alasan-alasan antara lain:

  1. Pembahasan RUU Pertanahan belum melibatkan berbagai pemangku kepentingan, khususnya masyarakat sipil. Pembahasan RUU ini telah berlangsung lama, namun tidak banyak organisasi masyarakat yang dilibatkan secara memadai. Upaya organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum justru tidak diberikan. Selain itu, mengingat RUU ini banyak kaitannya dengan isu sektor lain seperti Hak Asasi Manusia, Lingkungan Hidup, Ekonomi, Transparansi dsb semestinya DPR RI dan pemerintah melakukan proses konsultasi publik secara luas.
  2. RUU Pertanahan tidak merespon ketimpangan struktural penguasaan tanah. Selain tidak ada pengaturan atas perombakan penguasaan tanah yang selama ini telah terjadi. RUU ini juga memperluas peluang monopoli dengan tidak diberlakukannya pembatasan penguasaan tanah. RUU Pertanahan juga hendak menegaskan kembali domein verklaring melalui Status Tanah Negara, yang dahulu digunakan Pemerintah Kolonial untuk merampas tanah-tanah masyarakat.
  3. RUU Pertanahan memicu terjadinya korporatisasi dan komodifikasi tanah. Pengaturan hak pengelolaan telah memberikan kewenangan yang sangat luas dan kuat bagi pihak-pihak tertentu (Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN/D, Bank Tanah) untuk tidak sekedar menguasai tanah dalam arti mengatur, namun juga mempekerjasamakan dengan pihak ketiga/sektor privat. Keberadaan Bank Tanah sebaiknya diantisipasi agar lembaga ini tidak menjadi alat untuk komodifikasi dan pasar tanah. Apalagi jika Bank Tanah ini diberikan kewenangan seperti hal nya pemerintah dalam dalam perencanaan, perolehan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah, serta pengelolaan keuangan dan aset lainnya, yang ditambahkan dengan fungsi mencari keuntungan. Oleh karena itu, Bank Tanah akan meningkatkan angka konflik agraria..
  4. RUU Pertanahan belum belum memperhatikan perlindungan ekosistem. Tidak dapat dipungkiri bahwa tanah merupakan bagian dari ekosistem yang memiliki fungsi tertentu. Pengelolaan tanah yang hanya memandang tanah sebagai sebidang lahan yang dapat menjadi komoditas akan mengakibatkan tidak selarasnya kebijakan pertanahan dengan kebijakan perlindungan lingkungan hidup. RUU tanah belum berbicara mengenai inventarisasi tanah berdasarkan kondisi atau fungsi tanah yang akan berpengaruh pada pengelolaannya. Contohnya, tanah bergambut yang pemanfaatannya terbatas oleh fungsi lindungnya.
  5. RUU Pertanahan berpotensi menyebabkan terjadinya perampasan hak atas tanah atas nama perubahan tata ruang dan kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum merupakan alasan yang sering digunakan untuk merampas hak atas tanah masyarakat. RUU Pertanahan ini juga tidak memberikan kriteria jelas mengenai apa itu kepentingan umum. RUU ini malah memberikan peluang dalam keadaan memaksa dapat dilakukan pencabutan hak atas tanah jika tanah masyarakat tidak sesuai dengan tata ruang. Sekali lagi, keadaan memaksa ini pun tidak mempunyai kriteria yang jelas.
  6. RUU Pertanahan mengabaikan persoalan dan pengakuan hak-hak Masyarakat Hukum Adat yang selama ini terjadi. Beberapa permasalahan terkait pengaturan hak ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam RUU Pertanahan, antara lain: a) inventarisasi hak ulayat yang bersifat pasif, hanya masyarakat hukum adat yang dituntut proaktif dalam mendaftarkan tanah adatnya, sementara secara konstitusi harusnya negara lah yang proaktif mendata dan memberikan pengakuan tersebut; b) RUU Pertanahan mengatur bahwa pengakuan masyarakat hukum adat dilakukan oleh Menteri berdasarkan rekomendasi pemerintah daerah. Hal ini akan lebih menyulitkan dibandingkan praktek saat ini yang mendelegasikan pengakuan masyarakat hukum adat kepada pemerintah daerah; dan c). Ketentuan mengenai pemberian hak lain di atas wilayah adat serta status tanah ketika hak tersebut berakhir.
  7. RUU Pertanahan belum mengatur secara komprehensif mengenai penyelesaian konflik agraria. penyelesaian konflik bukanlah tahapan yang terpisah dari pelaksanaan reforma agraria. RUU Pertanahan masih memakai pendekatan legal formal melalui pengadilan untuk konflik agraria yang terjadi. Penyelesaian konflik agraria butuh mekanisme dari hulu ke hilir dari mulai inventarisasi penguasaan tanah secara de facto dan de jure, siapa menguasai berapa luas dan dimana. hal tersebut penting guna mengetahui kondisi penguasaan tanah Indonesia yang sesungguhnya. Serta akan membantu pemerintah dalam proses identifikasi subjek-objek prioritas redistribusi tanah. Dengan menggunakan pengadilan beserta hukum acara pembuktian akan bias dengan kebenaran lapangan..
  8. RUU ini belum menjawab persoalan dualisme kewenangan pengelolaan administrasi pertanahan. RUU ini mengatur mengenai kewenangan Kementerian ATR mengatur urusan pertanahan lintas sektoral. Namun perlu diklarifikasi bagaimana hubungan kewenangan Kementerian ATR/BPN dengan kementerian sektoral lainnya. Single land administration yang didengungkan dalam RUU Pertanahan perlu diletakkan tidak sebagai ansich pengadministrasian, namun perbaikan tata kelola tanah nasional. pemerintah harus mempertimbangkan bagaimana dampak dari mereduksi kewenangan suatu kementerian/lembaga di masa yang akan datang.
  9. RUU Pertanahan tidak mengatur secara komprehensif mengenai pelanggaran hukum yang terjadi. Isu pencabutan hak atas tanah sekedar isu pelanggaran prosedural izin, bukan termasuk pelanggaran substansi penggunaan objek tanah atau fungsinya. Misalnya atas pelanggaran-pelanggaran penggunaan tanah yang tidak sesuai peruntukan termasuk pembukaan lahan tanpa bakar. Hal lainnya tidak ada konsekuensi hukum bagi pelanggaran fungsi terhadap hak atas tanah.
  10. RUU Pertanahan akan melegalkan/impunitas berbagai perampasan tanah dan pelanggaran RTRW maupun Kawasan H Pemberian izin usaha selama ini banyak yang telah masuk ke Kawasan hutan. Melalui RUU Pertanahan hal ini akan dilegalkan dengan pemberian HGU jika ditemukan penguasaan tanah/menguasai fisik tanah melebihi HGU yang dberikan pemerintah bahkan jika HGU dalam kawasan hutan.
  11. RUU Pertanahan tidak ingin menyelaraskan regulasi pertanahan yang saling tumpang tindih. Sebagai mana mandat TAP MPR No. XI Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumbe Daya Alam, pemerintah harus melakukan kajian dan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai pertanahan agar tidak saling tumpang tindih. namun tidak ada satu pasal pun yang mengatur hal demikian.
  12. RUU Pertanahan tidak mengatur jaminan keterbukaan informasi. Ketertutupan data dan informasi pertanahan telah berlangsung lama. Ketertutupan di sektor pertanahan telah mengakibatkan banyak persoalan tumpang tindih pertanahan. Selain itu tidak transparansinya informasi pertanahan melemahkan kontrol publik atas pengaturan dan peruntukan tanah. Seharusnya, RUU Pertanahan memandatkan publikasi secara proaktif mengenai data/informasi pertanahan yang perlu diketahui oleh masyarakat.
  13. RUU Pertanahan tidak memperhatikan kepentingan keagamaan. Beberapa catatan yang potensial berbenturan dengan keagamaan karena tidak diaturnya jaminan perlindungan dan kepastian hak waris dan wakaf. Pengaturan-pengaturan tentang wakaf dapat dijajaki sebagai salah satu skema alternatif dalam redistribusi tanah. Sayangnya, RUU Pertanahan belum mengatur hal ini meskipun salah satu tujuannya untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.

Demikian pendapat dan analisa pokok-pokok masalah RUU Pertanahan kami sampaikan kepada publik, dan untuk menjadi perhatikan dan pertimbangan pemerintah.

Jakarta, 17 Juli 2019.

[Investor Daily] Keberhasilan Pembiayaan Sawit Perlu Diterapkan untuk Komoditas Pangan

Sabtu, 14 Februari 2015 | 21:23
JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menginginkan keberhasilan skema pembiayaan seperti yang selama ini diberlakukan pada pengembangan komoditas kelapa sawit perlu ditiru dalam pengembangan komoditas pangan lainnnya.
“Keberhasilan pola pembiayaan pada sawit diharapkan dapat direplikasikan pada komoditas lainnya seperti beras dan sapi potong dengan melibatkan dukungan instrumen perbankan berupa kredit dan asuransi dengan bunga yang wajar,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Agribisnis dan Pangan Franky Widjaja dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (14/2).
Dengan kata lain, menurut dia, komoditas pangan strategis Indonesia diharapkan dapat meraih keberhasilan seperti yang didapat oleh salah satu komoditas unggulan Indonesia yakni kelapa sawit.
Ia mengingatkan bahwa perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat sejak tahun 1980-an setelah Bank Dunia memberikan kredit bantuan yang dikenal dengan istilah Perkebunan Inti Rakyat.
Sejak tahun 1990-an, lanjutnya, pemerintah senantiasa memberikan peluang dan iklim usaha kelapa sawit yang semakin baik kepada pihak swasta dan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
“Banyak perusahaan tumbuh dan berkembang pesat dengan tetap mempertahankan pola kemitraan Inti-Plasma. Hal ini menjadikan Indonesia menjadi produsen utama sawit sejak tahun 2006,” ujar Franky.
Sebagaimana diberitakan, kalangan industri nasional memproyeksikan ekspor produk sawit dan turunannya pada 2015 berada pada kisaran 23,7 juta ton.
Direktur Ekskutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni) Sahat Sinaga di Jakarta, Selasa (10/2) menyatakan, volume ekspor tersebut terdiri minyak sawit mentah (CPO) dan lainnya sebesar 9,9 juta ton (42 persen dan produk minyak sawit olahan (PPO) 13,8 juta ton (58 persen).
Sedangkan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengatakan pengembangan petani swadaya dapat mendorong perkembangan industri sawit dan mengatasi masalah lingkungan, sosial dan ekonomi.
“Tantangan industri sawit saat ini adalah yield yang rendah, sehingga mendorong untuk ekspansi lahan. Untuk menghindarinya, Kami menyerukan ajakan kepada perusahaan-perusahaan lainnya untuk turut serta menggandeng para petani swadaya sebagai mitra bisnis mereka,” kata Gamal Nasir di Jakarta, Selasa (10/2).
Gamal mengatakan ada beberapa perusahaan yang bergerak pada bidang sawit termasuk Asian Agri yang telah memberikan kontribusi dalam program petani swadaya, karena selain mendorong kapasitas petani, juga berpotensi mengembangkan perekonomian daerah.
Sementara itu, Direktur Program Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, mengatakan penguasaan dan pemilikan skala besar oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit dapat menyebabkan konflik lahan dan sumber daya agraria yang ada di dalam masyarakat.
“Hal tersebut bisa menimbulkan benturan serta sengketa yang mengorbankan harta benda bahkan nyawa,” kata Rahmawati di Jakarta, Jumat (13/2).
Ia menjelaskan, pada referensi Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), selama 2013 terjadi 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1,2juta hektare dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga (KK). (ID/ant/ths)
Link:
http://id.beritasatu.com/agribusiness/keberhasilan-pembiayaan-sawit-perlu-diterapkan-untuk-komoditas-pangan/108166

Kriminalisasi, Intimidasi, dan Kekerasan Dalam Penanganan Konflik Agraria dan SDA Meningkat Menjelang PILPRES 2014

Jakarta, 30 Juni 2014. Kriminialsisi, intimidasi, dan tindakan represif (kekerasan)terhadap masyarakat semakin meningkat di masa akhir pemerintahan SBY dan menjelang Pemilihan Presiden RI tahun 2014. Kurniawan Sabar, Manager Kampanye Eknas WALHI mengungkapkan, “Konflik agraria dan SDA yang tidak terselesaikan hingga saat ini justru dijawab dengan pengerahan pasukan (aparat Kepolisian dan TNI) yang berlebihan, intimidasi, dan penangkapan. Ironisnya, kondisi yang sangat tidak demokratis ini justru terjadi menjelang perhelatan demokrasi bagi seluruh masyarakat Indonesia yakni Pemilihan Presiden RI 2014-2019. Namun, sampai saat ini, belum ada tanggapan Presiden RI (SBY) ataupun seluruh pasangan Capres dan Cawapres RI sebagai calon pemimpin Indonesia yang tentunya juga akan bertanggung jawab atas masalah yang akan terus berlanjut di masa pemerintahan yang baru.”
Dalam pantauan WALHI, KPA, KONTRAS, AGRA, PIL-NET, SPKS, dan IHCS dalam bulan Juni saja ada beberapa kasus dimana warga mendapat tindakan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap masyarakat, diantaranya; penggusuran paksa, penangkapan terhadap 8 orang dan kekerasan terhadap warga karawang yang bersengketa dengan PT. Agung Podomoro Land mengakibatkan 11 warga terluka (Jawa Barat); kriminalisasi 6 orang masyarakat adat tungkal ulu kab. Musi Banyu Asin di taman suaka marga satwa Danku (Sumatera Selatan); Kriminalisasi dan penembakan yang mengakibatkan 1 orang meninggal buntut berlarutnya kasus sengketa tanah antara warga dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak tahun 2003 (Kalimantan Tengah); 5 orang warga Kelurahan Sukodadi, Kecamatan Sukarami mengalami luka tembak saat terjadi bentrok dengan pasukan TNI AU karena sengketa tanah antara warga dengan TNI AU. Penembakan dilakukan dengan modus latihan rutin; penangkapan terhadap lima warga desa Batu Daya yang berkonflik dengan perusahaan sawit PT. Swadaya Mukti Prakarsa di Kalimantan Barat; kekerasan dalam menghadapi aksi unjuk rasa rencana pembangunan pabrik semen (PT. Semen Indonesia) di Rembang (Jawa Tengah); pembabatan lahan masyarakat oleh PT.PN II Malang Sari, Jember; dan terkini (26 Juni 2014), warga Kec. Keera Kab. Wajo, Sulawesi Selatan menghadapi initimidasi dari aparat Brimob yang dikerahkan secara besar-besaran ke lokasi PT.PN XIV (HGU telah berakhir di tahun 2003).
Munir (Kontras) menegaskan bahwa “dengan melihat beberapa kasus yang terjadi saat ini, patut diduga adanya pelanggaran Hak sipil politik berupa penangkapan sewenang-wenang. Ini berkaitan dengan pasal 18 ayat 1 KUHAP, pasal 9 ayat 1 dan 2 dan UU No.12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan pasal 34 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Tindakan Penganiayaan berkaitan dengan pasal 351 KUHP, pasal 33 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 7 UU No 12 tahun 2005 tentang Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dan Perbuatan Merendahkan Martabat Manusia (pasal 12 Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Dan Merendahkan Martabat Manusia.
Selain itu, “patut juga diduga terjadi pelanggaran hak ekonomi, sosial, budaya. Padahal mereka berhak atas pemenuhan hak atas lahan, mendapatkan kehidupan yang layak, kesempatan mencari nafkah melalui pekerjaan sebagaimana yang diatur dalam pasal 25 (1) Deklasarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 36 UU no 39 tahun 1999 tentang HAM, pasal 6 (1) dan pasal 11 (1) Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” tambahnya.
Sampai saat ini, konsentrasi aparat dalam jumlah besar masih terjadi di beberapa daerah sepert, Karawang dan Kab. Wajo. DD Shineba (KPA) menerangkan,“Pengerahan aparat dalam jumlah besar, penangkapan, dan intimidasi merupakan tindakan berlebihan dalam penanganan konflik agraria. Pasti akan merugikan rakyat dan bisa saja akan jatuh korban jiwa. Hal ini menciptakan situasi yang sangat tidak kondusif menjelang Pilpres 2014 dimana seluruh masyarakat semestinya dengan kegembiraan bisa berpartisipasi dalam pesta demokrasi di Indoenseia. SBY masih tetap bertanggung jawab atas dan mesti segera menghentikan penangkapan dan intimidasi, serta yang paling penting yakni memerintahkan penarikan pasukan (Polisi dan TNI) yang masih terkonsentrasi di lokasi-lokasi konflik untuk segera berfokus untuk mengawal jalannya pesta demokrasi yang lebih kondusif. Jangan sampai situasi ini justru dimanfaatkan oleh korporasi dan pihak tertentu karena menganggap negara dalam masa transisi”.
Kondisi ini semestinya menjadi pelajaran penting bagi negara Indonesia, khususnya bagi Capres dan Cawapres Indonesia dalam masa pemerintahan baru nantinya. “Tidak bisa ditawar lagi bahwa negara harus serius menjalankan reforma agraria, membentuk Undang-undang yang menjadi payung hukum bagi pengelolaan SDA yang adil dan berkelanjutan, serta membetuk suatu Badan Khusus Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia,” tegas Kurniawan Sabar.
Secara khusus terkait kasus di beberapa daerah, WALHI, KPA, KONTRAS, AGRA, PIL-NET, SPKS dan IHCS menyatakan tuntuan dan sikap;

  1. Kapolri untuk segera melakukan pengawasan terhadap kebijakan dalam tindakan kepolisian dalam penanganan konflik di Sumber Daya Alam dan penegakan hukum kepada semua anggotanya yang melakukan tindakan kekerasan terhadap petani dan warga
  2. Komnas HAM segera melakukan penyelidikan Pelanggaran HAM Berat terhadap aparat Kepolisian Polda Jawa Barat dan Polres Karawang terkait adanya tindakan pelanggaran HAM Berat.
  3. Komnas HAM segera melakukan penyelidikan terhadap tewasnya 1 orang petani di Kalimantan tengah dalam kasus sengketa tanah antara warga dengan PT Agro Bukit (Agro Indomas Group) sejak tahun 2003
  4. Pemerintah harus memberikan pemulihan akibat trauma yang dialamai warga karena tindakan pengabaiannya saat terjadi aksi penolakan eksekusi lahan dilapangan.
  5. Polda Sumatera elatan agar segera membebaskan petani yang masih ditahan oleh BKSDA Sumatera Selatan.
  6. Kapolri dan Kapolda Sulselbar agar segera menghentikan intimidasi dan pengerahan pasukan ke lokasi PT. PN XIV yang telah menciptakan situasi yang tidak kondusif dalam rangka penyelsaian konflik di Kab. Wajo, Sulawesi Selatan. Dan harus ada penegakan hukum terhadap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. PN XIV Kab. Wajo karena tetap melakukan penguasaan lahan meskipun HGU telah berakhir di tahun 2003.

RILIS PERS BERSAMA
WALHI, KPA, KONTRAS, PIL-NET, AGRA, SPKS, IHCS, TUK Indonesia
Tautan:
http://www.walhi.or.id/kriminalisasi-intimidasi-dan-kekerasan-dalam-penanganan-konflik-agraria-dan-sda-meningkat-menjelang-pilpres-2014.html