90% Kreditor Negara G20 Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggaran HAM

90% Kreditor Negara G20 Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggaran HAM

Jakarta, 18 Oktober 2022. Temuan terbaru koalisi Forests and Finance mengungkapkan sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyalurkan dana 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan. Sebesar 90% diantaranya bank-bank berasal dari Negara G20.

 

Brazil, Uni Eropa, Indonesia, Cina, Amerika adalah kreditor teratas dari Negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah. Daging sapi, pulp & paper, dan kedelai merupakan komoditas terbesar di Amerika Latin yang mendapatkan aliran dana tersebut. Sementara di Asia Tenggara, dana banyak mengalir untuk komoditas kelapa sawit dan pulp & paper.

 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menegaskan, negara-negara G20 berperan besar dalam perusakan hutan dan pelanggaran HAM yang dapat dilihat dari fasilitas pembiayaan kepada perusahaan sawit milik Grup Astra Agro Lestari (AALI). Grup AALI memiliki 41 anak perusahaan sawit yang tersebar di delapan Provinsi. Sepanjang lima tahun terakhir, WALHI fokus memonitoring PT Lestari Tani Teladan, PT Agro Nusa Abadi, dan PT Mamuang, anak perusahaan sawit AALI di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dalam catatan WALHI, perusahaan ini telah mengkriminalisasi warga, melakukan penanaman di luar HGU, beroperasi di dalam hutan lindung dan hutan produksi terbatas, melakukan deforestasi, mengambil Wilayah Kelola Rakyat dan ruang hidup rakyat, serta beroperasi secara illegal sebab terdapat anak perusahaan tidak memiliki HGU dan IUP.

 

“Fakta bagaimana negara-negara maju yang menjadi bagian dari G20 berinvestasi kotor dan jahat dengan merampas Wilayah Kelola Rakyat dan mengubah bentang hutan kita menjadi kebun kayu, sawit dan industri ekstraktif lainnya. Bukan hanya itu, bisnis yang eksploitatif ini membawa dunia pada situasi darurat iklim. Pemerintah Indonesia harusnya mendesak negara-negara maju ini bertanggungjawab dengan mengoreksi konsumsi, mengubah corak bisnis yang eksploitatif dan keuangan yang berkelanjutan,” ungkap Uli.

 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Made Ali, koordinator JIKALAHARI. Menurut Made, temuan Forests and Finance terkait fasilitas pembiayaan oleh negara-negara G20 menunjukkan kian melanggengnya kejahatan korporasi HTI di Riau, merusak hutan alam, dan merampok tanah masyarakat adat. Hasil investigasi JIKALAHARI dan koalisi Eyes on the Forest pada Januari 2022 menemukan anak perusahaan APP Sinarmas yaitu PT Arara Abadi dan PT Sekato Pratama Makmur melakukan penebangan vegetasi alam dan perluasan HTI di dalam cagar biosfir UNESCO Giam Siak Kecil. “Sepatutnya negara-negara G20 bertanggungjawab mutlak atas kejahatan korporasi yang terjadi di Riau,” tegas Made.

 

Pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. Tuan rumah untuk pertemuan negara-negara G20 dalam membicarakan bagaimana memitigasi iklim dan pembangunan hijau. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA mengungkapkan ketidakselarasan pembicaraan G20 terkait keberlanjutan, padahal fasilitas pembiayaan oleh negara-negara G20 banyak mengalir kepada perusahaan yang terlibat dalam deforestasi dan pelanggaran HAM di Indonesia. “Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 saat ini seharusnya menjadi momentum untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan secara mandatoris,” pungkas Edi.

 

***

Narahubung:

  1. Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected])
  2. Koordinator JIKALAHARI, Made Ali ([email protected]@gmail.com)
  3. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian ([email protected])

 

*Tersedia bahan tayang TuK INDONESIA dan JIKALAHARI

#jikalahari

 

Laporan: Kebijakan Bank Global Tidak Memadai dalam Mencegah Pembiayaan Atas Deforestasi, Perubahan Iklim, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Laporan: Kebijakan Bank Global Tidak Memadai dalam Mencegah Pembiayaan Atas Deforestasi, Perubahan Iklim, dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

 

Seiring dengan meningkatnya krisis iklim dan keanekaragaman hayati, kredit kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan juga meningkat hingga 160% antara tahun 2020 dan 2021. 

 

Laporan terbaru, yang dirilis hari ini oleh Koalisi Forests & Finance (Rainforest Action Network, Profundo, TuK INDONESIA, Bank Track, Amazon Watch, Reporter Brasil, Sahabat Alam Malaysia, dan Friends of the Earth AS) menemukan bahwa tak satupun bank dan investor terbesar yang membiayai sektor berisiko tinggi Pertanian, Kehutanan dan Pemanfaatan Lahan Lainnya (AFOLU) memiliki kebijakan Lingkungan, Sosial atau Tata Kelola (LST) yang memadai. Forests & Finance menyediakan satu-satunya platform transparansi  yang mengungkapkan aliran dana pada perusahaan terbesar dengan komoditas yang merisikokan hutan, yang beroperasi di kawasan hutan tropis. Himpunan data yang ekstensif dan dapat ditelusuri telah diperbarui dengan menyertakan kredit, kepemilikan obligasi dan saham per September 2022.

Temuan mengungkap aliran dana kepada perusahaan dengan komoditas yang merisikokan hutan terus mengalir secara tidak terkendali. Sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyuntikkan dana sebesar 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan, dan memegang obligasi dan saham atas komoditas yang merisikokan hutan senilai 40 miliar dolar AS.

 

“Saat ini, semakin jelas terlihat dunia menghadapi krisis kembar: perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang menimbulkan ancaman terhadap lintas generasi dan keberlanjutan bumi. Meski demikian, lembaga keuangan dunia justru nyata-nyata terus meningkatkan pembiayaannya kepada industri yang telah mengantarkan umat manusia ke ambang k ehancuran,” ujar Tom Picken, Direktur Kampanye Forests and Finance RAN; sekaligus pendiri Forests & Finance Coalition. “Penilaian terbaru ini menunjukkan ketidakmampuan bank dan investor institusional melihat urgensi atas keadaan saat ini. Kebijakan sektor keuangan masih sangat tidak memadai. Dengan sektor AFOLU yang menyumbangkan 23% emisi karbon global, sudah jelas kita harus merombak regulasi dan pengambilan keputusan bank dan investor jika hendak serius menghadapi kondisi darurat iklim global, hilangnya keanekaragaman hayati, dan pemenuhan hak.”

 

Penilaian terbaru yang dilakukan terhadap 200 bank dan investor terbesar dalam komoditas global yang merisikokan hutan di kawasan hutan tropis menimbulkan kekhawatiran serius. Secara keseluruhan, skor rata-rata hanya 1,6  dalam skala 1-10 dan 59% lembaga keuangan hanya mendapat skor di bawah 1 yang menunjukkan kegagalan besar dalam mengelola dan mengurangi risiko LST. Hanya 3 lembaga keuangan yang mendapatkan skor 7 atau lebih tinggi yang masih dapat lebih ditingkatkan dan belum mencerminkan urgensi yang harus dihadapi dunia untuk mengatasi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

 

Laporan singkat ini menyoroti peran lembaga keuangan bagi dua sektor yang secara khusus merusak hutan, yakni sektor bubur kertas dan kertas di Asia Tenggara dan sektor daging sapi di Amazon. Industri bubur kertas Asia Tenggara dapat dikaitkan dengan deforestasi lahan seluas lebih dari 170.000 ha dalam beberapa tahun terakhir. Meski demikian, sejak Perjanjian Paris, sektor ini mengantongi kredit sebesar 23,6 juta dolar AS. Lima bank terbesar yang memberikan pembiayaan kepada divisi bubur kertas Royal Golden Eagle dan Sinar Mas di Asia Tenggara antara tahun 2016 dan September 2022 adalah Bank Rakyat Indonesia (4,3 miliar dolar AS), Bank Mandiri (2,7 miliar dolar AS), Bank Central Asia (2,5 miliar dolar AS), Bank Negara Indonesia (1,4 miliar dolar AS), dan British Barclays (2 miliar dolar AS). Skor rata-rata kebijakan bank yang menyediakan dana bagi sektor bubur kertas dan kertas ini hanya 1,3 dalam skala 1-10.

 

Sektor daging sapi merupakan pendorong deforestasi terbesar di Amazon. Meski kenyataannya tidak ada rumah potong yang dapat menjamin produknya bebas deforestasi, bank tetap menyuntikkan dananya untuk sektor ini. Bank terbesar di Brasil yang memberikan pembiayaan kepada perusahaan raksasa daging sapi JBS, Marfrig, dan Minerva antara 2016 dan September 2022 adalah Bradesco (1 miliar dolar AS), Santander (774 juta dolar AS), HSBC (746 juta dolar AS), Banco do Brasil (723 juta dolar AS), dan BTG Pactual (648 juta dolar AS). Grup perusahaan daging sapi ini juga menerima investasi dari BNDES (566 juta dolar AS), Vanguard (60 juta dolar AS), Algemeen Burgerlijk Pensioenfonds/ABP (55 juta dolar AS), dan BlackRock (46 juta dolar AS). Skor rata-rata kebijakan lembaga keuangan ini terkait sektor daging sapi hanya 1 dari 10.

 

Penilaian Forests & Finance tahun 2022 terhadap bank dan investor terbesar menunjukkan bahwa sebagian besar bank dan investor tidak memiliki kebijakan untuk mencegah deforestasi, degradasi gambut, kebakaran hutan dan lahan, atau menegakkan HAM, termasuk hak Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal dan Tanpa Paksaan (FPIC) bagi masyarakat adat dan masyarakat setempat, atau mencegah praktik kerja paksa atau pekerja anak. Kebijakan yang ada sangat minim dan jauh di bawah standar bagi upaya perlindungan. Pembuat kebijakan harus sadar dan berhenti bergantung pada lembaga jasa keuangan untuk menyediakan solusi atas krisis iklim dan alam melalui tindakan sukarela yang terbatas. Laju dan skala transisi ekonomi yang bergerak cepat  membutuhkan antisipasi lembaga publik yang lebih sigap.

 

Pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. Momentum ini harusnya dipergunakan oleh Indonesia untuk mendorong penerapan keuangan berkelanjutan. Hal ini dilatarbelakangi dari dua fakta mendasar:

  1. Negara-negara G20 mewakili pembiyaan yang cukup dominan pada sektor-sektor yang merisikokan hutan:
    1. Pada 3 region (Afrika Tengah dan Barat, Amerika Latin, dan Asia Tenggara), 90% kreditor berasal dari negara G20
    2. Pada 3 region (Afrika Tengah dan Barat, Amerika Lating, dan Asia Tenggara), 54% investor berasal dari negara G20.
    3. Pada region Asia Tenggara, 71% kreditor berasal dari negara G20.
    4. Pada region Asia Tenggara, 40% investor berasal dari negara G20
  2. Pada riset-riset TuK INDONESIA, termasuk diantaranya pembiayaan Bank Mandiri terhadap Astra Agro Lestari, ditemukan kecenderungan kepatuhan administrasi tidak selalu berbanding lurus dengan indikator Lingkungan, Sosial, dan Tata-Kelola (LST).

Melihat fakta di atas, Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menegaskan, “Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 saat ini harusnya menjadi momentum untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan secara mandatoris.”

**Laporan tersedia dalam bahasa Inggris, Portugis, dan Indonesia

**Tersedia bahan tayang, TuK Indonesia & Jikalahari

Seminar Tata Kelola Keuangan Berkelanjutan untuk Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan yang Berkeadilan

TuK INDONESIA bersama Social Research Centre (SOREC) Fisipol UGM dan PRAKARSA hendak menyelenggarakan Seminar Nasional bertajuk “Tata Kelola Keuangan Berkelanjutan untuk Penguatan Ekonomi Rakyat dan Lingkungan yang Berkeadilan”. Seminar ini dalam rangka memformulasikan nalar dan narasi keuangan yang berkelanjutan ke depan khususnya dalam kerangka penguatan gerakan ekonomi akar rumput. Seminar akan dilaksanakan pada:

Senin, 10 Oktober 2022 | 08.30–16.00 WIB | Bulaksumur Ballroom, University Club Hotel, UGM, Yogyakarta

Menghadirkan:

  1. Bapak Teten Masduki, Menteri Koperasi & UKM
  2. Bapak Arie Sujito, Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Kepada Masyarakat, dan Alumni UGM
  3. Bapak Fahmy Radhi, Dosen Sekolah Vokasi UGM
  4. Bapak Rimawan Pradiptyo, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM
  5. Bapak Mahendra Siregar, Ketua Komisioner OJK*
  6. Bapak John Sarjono, Regional CEO BRI RO Yogyakarta
  7. Bapak Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  8. Bapak Bustar Maitar, Founder Kobumi
  9. Bapak Gede Suardita, Petani Muda Keren Gobleg
  10. Bapak Wahyudi Anggoro, Lurah Desa Panggungharjo
  11. Ibu Retno Winarti, Hijrah Creative
  12. Bapak Andreas Budi Widyanta, Kepala SOREC Fisipol UGM
  13. Ibu Herni Ramdlaningrum, Program Manager The Prakarsa

Acara ini terbuka untuk umum bagi 100 pendaftar pertama. Pastikan telah registrasi secara luring pada tautan: bit.ly/SeminarSOREC. Peserta dapat juga hadir secara online di bit.ly/SeminarUGM22.

 

Sampai Jumpa di UGM-Yogyakarta! 🙂

 

*) dalam konformasi