Hakulyakin di Babak Kedua

PANDEMI Covid-19 membuat sejumlah agenda Rendra Zairuddin Idris beralih ke forum-forum virtual. Termasuk ketika Kepala Departemen Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK) itu kudu berembuk dengan perwakilan kementerian dan lembaga lain mengenai pengembangan sistem keuangan berkelanjutan. “Beberapa kali kami berkoordinasi via Zoom, terutama dengan beberapa pengampu utama, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Kementerian Keuangan,” ujar Rendra, Rabu, 16 September lalu.

Tahun ini memang menjadi masa krusial untuk kelanjutan mimpi OJK mendorong peran industri jasa keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi yang selaras dengan aspek sosial dan lingkungan. Peta jalan keuangan berkelanjutan tahap I yang bergulir pada 5 Desember 2014 telah habis masa berlakunya pada akhir tahun lalu, dan semestinya disusul road map tahap II untuk rencana kerja 2020-2024.

Menurut Rendra, draf peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II kini telah disetorkan ke meja pimpinan OJK. Pada fase kedua ini, kata dia, OJK akan berfokus membentuk ekosistem keuangan berkelanjutan secara menyeluruh agar bisa lebih cepat mendorong penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam setiap aktivitas keuangan.

Rendra belum bisa memaparkan detailnya. Namun dia menjamin pengaturan, produk, hingga koordinasi antar-pemangku kepentingan dalam keuangan berkelanjutan bakal terangkai utuh pada fase II. “Tugas kami memastikan lembaga jasa keuangan siap menerapkan ESG. Itu alurnya,” ucapnya.

Itu sebabnya, di tengah penantian persetujuan Dewan Komisioner OJK terhadap draf peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II, koordinasi terus dilakukan dengan kementerian dan lembaga lain. Bappenas, misalnya, selama ini menjadi Sekretariat Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Lewat forum koordinasi itu, Rendra berharap kesamaan visi terbentuk. Dengan begitu, peta jalan keuangan berkelanjutan bisa menjadi petunjuk yang jelas bagi lembaga keuangan untuk menerapkan sistem keuangan hijau.

Amalia Adininggar Widyasanti. Foto: bappenas.go.id

Kepala Sekretariat Nasional Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan pemerintah terus berkomitmen menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan pencapaian SDGs dan aksi Adaptasi Pasifik untuk Perubahan Iklim (PACC). Menurut dia, komitmen tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019.

Bappenas, kata Amalia yang juga menjabat Staf Ahli Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, mendapat mandat mendorong dukungan terhadap SDGs dari semua pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non-pemerintah. “Setiap perusahaan yang listed di Bursa Efek Indonesia wajib menyampaikan sustainable reportuntuk bagian tanggung jawab dan komitmen terhadap SDGs,” Amalia mencontohkan.

Peta jalan keuangan berkelanjutan tahap I mengusung sasaran yang sama. Dari road map ini, misalnya, lahir Peraturan OJK Nomor 51 Tahun 2017 yang mewajibkan bank di Indonesia menyusun rencana aksi keuangan berkelanjutan. Bank juga harus menerbitkan laporan keberlanjutan tahunan untuk menunjukkan bagaimana perseroan mengelola risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola. Aturan yang sama mengatur bahwa penerapan keuangan berkelanjutan pada bank umum kelompok usaha 2 dan 3, lembaga pembiayaan, serta anggota bursa akan dimulai tahun ini.

•••

DI tengah masih kaburnya isi peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II, kritik justru kian kencang. Road map 2015-2019 dianggap tak ampuh mengerem laju pembiayaan dari lembaga keuangan kepada perusahaan-perusahaan yang berisiko merusak lingkungan.

Dalam laporannya, koalisi yang dibangun Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, Rainforest Action Network, Jikalahari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Profundo mengidentifikasi keterlibatan puluhan perusahaan kehutanan dan perkebunan sawit dalam kebakaran hutan dan lahan 2019. Perusahaan-perusahaan ini terafiliasi dengan 17 grup yang merupakan emiten Bursa Efek Indonesia, Kuala Lumpur, dan Singapura.

Raksasa-raksasa industri kehutanan dan perkebunan sawit ditengarai menerima pembiayaan US$ 19,1 miliar atau senilai Rp 262 triliun sepanjang 2015-2019. Di antara daftar kreditornya, terdapat sejumlah bank first mover keuangan berkelanjutan di Indonesia. Disebut first mover lantaran mereka tergabung dalam daftar delapan bank yang berinisiatif membentuk Industri Keuangan Berkelanjutan Indonesia pada Mei 2018. “Reformasi dibutuhkan untuk memaksa bank menerapkan kriteria pinjaman yang lebih ketat,” ujar Direktur Eksekutif TUK Indonesia Edi Sutrisno, 4 September lalu.

Edi berharap peta jalan keuangan berkelanjutan tahap II yang tengah disiapkan OJK menjawab kelemahan road map sebelumnya yang berfokus pada penguatan kapasitas dan pemahaman para bankir terhadap isu keuangan berkelanjutan.

Menurut Rendra Zairuddin Idris, keuangan berkelanjutan merupakan kebijakan baru di sektor keuangan Indonesia sehingga tak mudah untuk langsung diterapkan. “Bicara keuangan berkelanjutan belakangan ini nuansanya makin kuat, tanpa kita sadari pressure masyarakat sudah makin tinggi,” ujarnya.

Rendra Zairuddin Idris. Foto: Dok.AIC

Rendra mengingatkan, pada masa peta jalan keuangan berkelanjutan tahap I, lembaganya menerbitkan Peraturan OJK Nomor 60 tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan. Perusahaan yang hendak menerbitkan green bond mesti teridentifikasi sebagai kegiatan usaha berwawasan lingkungan. Penentuannya bukan oleh OJK, melainkan penilaian para ahli lingkungan. Dana hasil penerbitan bond hanya bisa disalurkan untuk kegiatan yang memperhatikan kelestarian lingkungan, seperti pengembangan energi terbarukan, efisiensi energi, atau pencegahan dan pengendalian polusi. “Nanti semua kegiatan harus menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan. Semuanya, tak hanya di industri keuangan,” tutur Rendra.

International Finance Corporation (IFC), lengan Bank Dunia untuk pembiayaan sektor swasta di negara-negara berkembang, menilai sejumlah langkah Indonesia untuk mewujudkan keuangan berkelanjutan telah menunjukkan kemajuan signifikan. Selama ini IFC juga terlibat dalam penyusunan peta jalan keuangan berkelanjutan sejak 2014. “Pengembangan kerangka keuangan berkelanjutan di Indonesia merupakan proses multitahun, dan kami mendukung penuh tekad pemerintah untuk terus menempuh jalur ini,” kata Karlis Salna, Communications Officer untuk IFC Indonesia, Timor Leste, dan Kepulauan Pasifik, Jumat, 11 September lalu.

Menurut Salna, IFC juga mendukung rencana OJK memberikan insentif pembelian dan penyaluran kredit kendaraan listrik. “Setiap kebijakan yang mengarusutamakan praktik keuangan berkelanjutan akhirnya akan menghasilkan manfaat bagi lingkungan dan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

artikel ini telah terbit di tempo https://majalah.tempo.co/read/ekonomi-dan-bisnis/161475/ojk-menyiapkan-peta-jalan-keuangan-berkelanjutan-tahap-ii

PETA BUTA BANK HIJAU

Sejumlah bank disorot karena mengucurkan dana kepada grup usaha yang mengancam kelestarian lingkungan. Sejumlah organisasi non-pemerintah menyorot lima bank besar.

Aisha Shaidra
Edisi : 12 September 2020

FORUM Koordinasi Keuangan Berkelanjutan semestinya diagendakan tiap tahun. Baru dua kali diselenggarakan, forum itu tak ada lagi sejak November 2017.

Wadah ini disediakan sebagai forum resmi lembaga pemerintahan, lembaga jasa keuangan, juga organisasi non-pemerintah yang berkecimpung di bidang lingkungan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. “Forum itu dibangun agar kebijakan terkoordinasi,” kata Edi Setijawan, Direktur Bidang Keuangan Berkelanjutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamis, 10 September lalu.

Di antara peserta forum, ada delapan bank nasional yang menguasai 46 persen aset perbankan Indonesia. Kedelapan bank tersebut adalah Bank Artha Graha Internasional, Bank Rakyat Indonesia, Bank Rakyat Indonesia Syariah, Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Muamalat Indonesia, Bank Negara Indonesia, serta Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten. Mereka tergabung dalam kelompok “The First Movers on Sustainable Banking”. Seiring dengan berjalannya waktu, First Movers bertransformasi menjadi Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang kini beranggotakan 13 bank.

Menurut Edi, pada 2018 sempat ada pertemuan untuk bertukar informasi tentang kebijakan serta kondisi di lapangan. Pertemuan tersebut melibatkan pemerintah, OJK, industri jasa keuangan, asosiasi, dan akademikus. Tapi pertemuan tak sampai berlanjut pada penyelenggaraan Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan (FKKB) lagi.

Edi tak tahu mengapa forum itu terhenti. Padahal forum seperti FKKB diperlukan karena tahap awal dalam peta jalan keuangan berkelanjutan telah selesai tahun lalu. Sejak akhir 2019 hingga pertengahan 2020, sejumlah bank sebenarnya mulai mengumpulkan laporan rencana kerja serta laporan berkelanjutan kepada OJK dan publik.

Seiring dengan masuknya laporan perbankan ke OJK tersebut, lima organisasi non-pemerintah menerbitkan laporan yang menyoroti peran sektor keuangan terhadap kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Laporan yang disusun Rainforest Action Network, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Jikalahari, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, dan Profundo itu mengevaluasi lima tahun peta jalan keuangan berkelanjutan yang dirilis OJK pada 2014 dan berakhir pada 2019.

Laporan memuat lima kasus pembiayaan bank bagi nasabah yang beroperasi di industri kehutanan dan perkebunan pada 2015-2019. Total sebanyak US$ 12 miliar—Rp 178,4 triliun dalam kurs saat ini—dikucurkan ke sejumlah grup usaha. Angka tersebut didasari evaluasi laporan keberlanjutan bank dan standar operasi nasabah, juga profil hubungan mereka dengan klien. Lima kasus yang ditinjau meliputi BNI dengan Grup Korindo, BCA dengan Grup Salim, BRI dengan Grup Sinar Mas, Bank Mandiri dengan Astra Agro Lestari, dan Maybank dengan Triputra.

Hasil studi menyebut BRI, Maybank, dan BNI sebagai tiga bank penyuntik dana individual terbesar. BRI mengguyurkan US$ 1,72 juta ke Provident Agro Group, Rajawali Group, Sampoerna Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group. Sedangkan BNI mengucurkan US$ 1,057 juta ke Rajawali Group, Sinar Mas Group, dan Sungai Budi Group. BNI juga menjadi sumber pembiayaan Korindo dengan kredit sebesar US$ 190 juta pada 2017.

Selain itu, temuan pada 2016-April 2020 menunjukkan keterkaitan kuat sejumlah bank dengan korporasi yang terlibat dalam pembakaran hutan. Tiga di antaranya adalah BRI, BNI, dan Mandiri, yang merupakan pionir keuangan berkelanjutan. “Korporasi tidak akan bekerja kalau tidak ada pendanaan,” ujar Direktur Eksekutif TuK Indonesia Edi Sutrisno dalam diskusi “Bank Negara Pendana Karhutla Indonesia” pada Rabu, 2 September lalu.

Dalam wawancara pada Jumat, 11 September lalu, Edi mengatakan lembaga jasa keuangan sebenarnya memiliki peran besar dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan lewat pembiayaan berkelanjutan. Menurut dia, perusakan dan pembakaran hutan yang dilakukan korporasi dalam beberapa tahun terakhir bertolak belakang dengan prinsip keuangan berkelanjutan.

Situs Forestandfinance.org mengungkap aliran dana ke sektor-sektor komoditas yang memicu deforestasi dan degradasi lahan di Asia Tenggara, Afrika Tengah, Afrika Barat, serta Brasil. Menurut situs tersebut, BRI, BNI, serta raksasa keuangan asal Jepang, Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group, mendanai industri yang “berisiko terhadap hutan”. Sebuah grup usaha di Indonesia yang bergerak dalam bisnis pulp dan sawit tercatat sebagai penerima pinjaman senilai US$ 19 miliar dalam lima tahun terakhir.

Tempo menghubungi sejumlah kreditor untuk mengkonfirmasi penggunaan dana tersebut. Sekretaris Perusahaan BRI Aestika Oryza Gunarto sempat membalas pesan Tempo. “Minta waktu jawabnya, ya,” ucap Aestika pada Selasa, 8 September lalu. Setelah itu, panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirim tak lagi direspons. Demikian halnya dengan pesan dan panggilan telepon kepada Bank Mandiri.

Adapun Sekretaris Perusahaan BNI Meiliana menyebutkan pihaknya memberikan pembiayaan kepada debitor dengan menganut prinsip kehati-hatian dan harus sesuai dengan aturan eksternal serta kebijakan internal bank, seperti kepatuhan terhadap prinsip-prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola. “Apabila ditemukan pelanggaran, BNI akan melakukan verifikasi untuk meminimalkan pemberian kredit yang tidak patuh pada peraturan yang berlaku,” katanya.

Edi Setijawan dari OJK yakin pelan-pelan perbankan bisa mengetatkan aturan mengenai pendanaan bank terhadap korporasi yang berpotensi merusak lingkungan. “Harus dilihat kasus per kasus. Perlahan mereka sudah melakukan perbaikan. Ada kemungkinan mereka mulai mengerem untuk meninjau kembali. Bank-bank enggak mau ambil risiko,” tuturnya.

Menurut guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Hariadi Kartodihardjo, bank harus menjamin pembiayaan yang dikucurkan tak digunakan perusahaan untuk usaha yang bisa merusak lingkungan dan tatanan sosial. Meski bank telah melaporkan pembiayaan berkelanjutannya kepada OJK, sanksi bagi mereka yang kedapatan mengucurkan kredit ke perusahaan bermasalah masih lemah. “Hanya sanksi teguran dan administrasi,” ujar Hariadi.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

OJK sebenarnya sedang menyusun peta jalan keuangan berkelanjutan tahap kedua. Juru bicara OJK, Sekar Putih Djarot, mengatakan peta jalan lanjutan ini menggunakan pendekatan yang melibatkan pemangku kepentingan terkait. “Harapannya, inisiatif keuangan berkelanjutan menjadi arus utama dalam setiap aktivitas pelaksanaan sektor jasa keuangan.” Tapi Forum Koordinasi Keuangan Berkelanjutan tetap belum jelas kelanjutannya.

 

sumber: majalah.tempo.co/read/laporan-utama/161412/apa-itu-pembiayaan-berkelanjutan-dan-mengapa-bank-harus-peduli

Apakah uang Anda Merusak Hutan atau Melanggar Hak?

Melindungi hutan tropis dunia di Asia Tenggara, Amazon dan Basin Kongo adalah hal yang mendesak untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan menjaga planet tetap layak huni, namun hutan tersebut terus mengalami kerusakan dengan laju yang sangat cepat. Hutan tropis mengatur pola curah hujan global; menyerap dan menyimpan karbon; menyediakan kebutuhan dasar pangan, air, papan dan bahan obat-obatan bagi lebih dari 1 miliar penduduk; dan menjaga sebagian besar keanekaragaman hayati yang tersisa di daratan planet ini. Studi menunjukkan bahwa fragmentasi ekosistem hutan juga berkontribusi pada peningkatan penyakit zoonosis seperti Covid19 dan Ebola. Oleh karena itu, perlindungan hutan sangat penting bagi kesehatan masyarakat global.

Akan tetapi, hilangnya tutupan hutan tropis meningkat hampir dua kali lipat selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2017 saja, 11.9 juta hektar hutan tropis lenyap. Penyebab utamanya adalah pembukaan lahan untuk pertanian yang sering kali dilakukan secara ilegal. Di Asia Tenggara, perkebunan sawit, bubur kertas dan kertas, serta ekspansi industri perkebunan karet dan operasi pembalakan adalah pendorong utama terjadinya deforestasi dan degradasi lahan.

Di Brasil, ekspansi padang rumput untuk produksi daging sapi, eksploitasi kayu, dan ekspansi komoditas lain seperti kedelai, bubur kayu, dan kertas menjadi pendorong utama deforestasi dan degradasi lahan. Di Kongo, eksploitasi kayu dan produksi karet adalah beberapa sektor utama yang mendorong deforestasi.

IPCC memperkirakan bahwa 11% emisi gas rumah kaca (GRK) global berasal dari deforestasi dan degradasi dan menjadikannya sebagai penyebab utama perubahan iklim. Melindungi penyerap karbon penting ini berpotensi mengurangi emisi GRK hampir sepertiganya, menjadikannya salah satu langkah mitigasi yang paling efektif. Sektor yang merisikokan hutan juga dikaitkan dengan pelanggaran HAM yang serius sebagai akibat dari konflik lahan dengan masyarakat adat dan lokal dan praktik perburuhan yang eksploitatif, dan memiliki hubungan yang kuat dengan korupsi, penggelapan pajak dan kejahatan terorganisir. Badan kepolisian internasional INTERPOL memperkirakan bahwa pemasukan dari kayu ilegal saja bisa mencapai USD 100 miliar per tahun, “dicuci” melalui sistem keuangan internasional.

Situs web forestsandfinance.org mengungkap dana yang mengalir ke sektor-sektor komoditas yang memicu deforestasi dan degradasi lahan di Asia Tenggara, Afrika Tengah dan Afrika Barat serta Brasil.

Situs ini menampilkan:

» database yang dapat mendeteksi kesepakatan antara penyandang dana dan kliennya sejak tahun 2013.
» lembar penilaian kebijakan bank yang relevan untuk sektor kehutanan atas risiko lingkungan, sosial dan tata kelola (LST).
» studi kasus atas klien yang tersangkut deforestasi dan pelanggaran HAM.

 

Klik link di bawah ini untuk unduh dokumen selengkapnya:
Apakah uang Anda Merusak Hutan atau Melanggar Hak (pdf)

 

Korporasi dan Bank Negara Mendorong Karhutla di Indonesia

“Data terbaru mengungkap BRI dan BNI sebagai penyandang dana perusahaan yang membakar hutan dan lahan di Indonesia, menghambat pencapaian komitmen Indonesia untuk perubahan iklim”

Jakarta — Sektor perbankan berperan besar dalam memicu kebakaran hutan lahan (karhutla) dan bencana asap di Indonesia, Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan bank raksasa Jepang Mizuho Financial Group serta Mitsubishi UFJ Financial Group telah mendanai industri yang “berisiko terhadap hutan” sejak penandatanganan Perjanjian Iklim Paris. Menurut data yang dirilis forestandfinance.org[1] bank-bank tersebut mendukung perusahaan yang gagal mengakhiri krisis karhutla di perkebunan kelapa sawit dan pulp di Indonesia. Hal ini tampak sangat nyata dalam pembiayaan Sinar Mas Grup (SMG)[2] yang menjadi penerima manfaat terbesar dari pembiayaan bank di mana SMG menerima pinjaman senilai 19 milyar Dolar AS dalam lima tahun terakhir (2015-2020), dengan rincian 14.3 milyar Dolar AS untuk operasi pulp dan kertas, dan 4,5 milyar Dolar AS untuk operasi sawitnya.

“BRI dan BNI yang tidak memiliki kebijakan publik untuk melarang pembukaan lahan gambut atau penggunaan api oleh klien mereka menjadi pemodal SMG, bank besar Jepang seperti Mizuho Financial Group dan Mitsubishi UFJ Financial Group (MUFG) juga menjadi pemodal yang signifikan selama beberapa tahun terakhir, meskipun mereka telah mengadopsi kebijakan lingkungan dan sosial untuk pembiayaan sejak 2018,” ungkap Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK (Transformasi untuk Keadilan) INDONESIA.

Alih-alih memulihkan lahan gambut yang berisiko kebakaran, anak perusahaan dan mitra pemasok APP terus menebangi dan mengeringkan area baru lahan gambut, dengan total luas 3.500 hektar sejak 2018, termasuk kawasan dalam zona perlindungan dan restorasi prioritas yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia, investigasi Jikalahari melaporkan tindak pidana PT. Arara Abadi (AA) anak perusahaan APP yang melakukan pembukaan lahan disertai dengan pembakaran yang disengaja pada Juli 2020 kepada kepolisian. Jikalahari menemukan lahan gambut yang masih membara disiapkan untuk penanaman melalui rekaman pesawat tanpa awak yang diambil pada 3 Juli 2020, seminggu setelah kebakaran terjadi di dalam area konsesi, padahal citra satelit memastikan bahwa daerah tersebut masih berupa hutan pada bulan Januari 2020, data titik api menunjukkan kebakaran terjadi pada 28 Juni 2020.

“Pembakaran yang disengaja di areal PT. AA tidak hanya melanggar peraturan di Indonesia tetapi juga melanggar komitmen dan kebijakan publik APP. PT. AA berulang kali melanggar dengan membiarkan kebakaran di konsesinya terjadi setiap tahun sejak 2015, diperkirakan total areal yang terbakar lebih dari 12.000 ha,” ungkap Koordinator Jikalahari, Made Ali.

Selain kebakaran, anak perusahaan dan mitra pemasok APP memiliki rekam jejak panjang terkait konflik dengan masyarakat dan pelanggaran hak atas tanah, dengan lebih dari 100 konflik aktif[1] dengan masyarakat. PT AA, perusahaan yang diduga sengaja membakar perkebunannya, memiliki sejarah pelanggaran hak masyarakat adat dan melakukan kriminalisasi[2] terhadap anggota masyarakat yang terlibat dalam konflik.

“Keterbukaan dalam pendanaan merupakan salah satu hal penting untuk diketahui publik agar publik yang menyimpan uang di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) mengetahui kemana uang mereka diinvestasikan dan dipinjamkan. Apakah uang mereka diinvestasikan ke pelaku bisnis yang menerapkan prinsip berkelanjutan atau malah sebaliknya, diinvestasikan kepada pelaku-pelaku yang melakukan pengrusakan hutan dan melakukan penyerobotan lahan warga sehingga mengakibatkan konflik”, pungkas Rudiansyah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi.

***

Narahubung:

 

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA ([email protected]/ 087711246094)
Made Ali, Koordinator JIKALAHARI Riau ([email protected]/ 081275311009)
Rudiansyah, Direktur Eksekutif WALHI Jambi ([email protected]/ 081366699091)

 

Catatan redaksi:

[1] Forestandfinance.org merupakan situs yang menyoroti peranan keuangan dalam menyokong terjadinya deforestasi di kawasan tropis. Data dalam situs ini terbuka untuk diakses oleh publik, merupakan hasil dari penelitian dan investigasi berskala luas yang dilakukan oleh koalisi organisasi kampanye dan penelitian, termasuk di antaranya Rainforest Action Network, TuK INDONESIA and Profundo. Dengan dukungan dari para mitranya, organisasi-organisasi ini menyasar pada perbaikan kebijakan dan sistem sektor keuangan yang mencegah lembaga keuangan agar tidak memberi dukungan kepada pelanggaran lingkungan dan sosial yang terlampau lazim dilakukan dalam operasi-operasi yang dijalankan klien mereka di sektor kehutanan yang berisiko.

[2] Sinar Mas Grup (SMG) merupakan produsen pulp, kertas dan minyak sawit terbesar di Indonesia membawahi dua unit bisnis Asia Pulp and Paper (APP) dan Golden Agri Resources (GAR), kedua perusahaan ini telah menerbitkan kebijakan keberlanjutan Nol Deforestasi, Nol Pembangunan di Lahan Gambut, dan Nol Eksploitasi (No Deforestation, No Peatland and No Exploitation/NDPE) lebih dari lima tahun lalu, namun operasi bisnis grup ini masih terkait dengan risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola yang mengakar dalam operasinya. Sinar Mas Group (SMG) dikendalikan oleh keluarga almarhum taipan Eka Widjaja, bisnis pulp dan kertasnya yang dikenal sebagai Asia Pulp and Paper (APP) dan bisnis minyak sawitnya terdaftar di Singapura sebagai Golden Agri Resources (GAR).

 

 

[1]New Study Reveals APP Involved in hundreds of Conflicts with Local Communities as Haze Crisis in Indonesia Intensifies, Environmentalpaper.org, 2019

[2]Mau Tanam Ubi di Lahan Sengketa dengan Perusahaan Orang Sakai Terjerat Hukum Merusak Hutan, Mongabay.co.id, 2020