Siaran Pers Bersama Koalisi Organisasi Masyarakat Adat dan Masyarakat Sipil menyampaikan laporan kepada Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial, Perserikatan Bangsa-Bangsa menolak segala ancaman terhadap hak masyarakat adat di Kalimantan

15 Juli 2020

Pada tanggal 9 Juli 2020, empat belas (14) organisasi Masyarakat Adat dan HAM di Indonesia bersama Forest Peoples Programme menyampaikan laporan kepada Komite PBB tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial (UN-CERD) yang meminta agar Komite tersebut mempertimbangkan situasi masyarakat adat Dayak dan masyarakat adat lainnya di Kalimantan, Indonesia, di bawah prosedur peringatan dini dan tindakan segera Komite CERD.

Laporan ini menyoroti kerugian-kerugian besar yang menimpa masyarakat adat untuk pembangunan jalan dan, perkebunan dan pertambangan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia, yang semuanya membawa ancaman kerusakan segera, besar dan tidak dapat diperbaiki terhadap orang Dayak dan masyarakat adat lainnya di wilayah tersebut. Daerah ini kebetulan juga adalah wilayah leluhur dari 1-1,4 juta masyarakat adat Dayak. Beberapa komunitas telah dipindahkan secara paksa dan diperkirakan 300.000 warga adat lainnya terancam penggusuran.

Foto udara perkebunan kelapa sawit pertama masuk perbatasan Kabupaten Mahakam Hulu, Kalimantan Timur (Angus MacInnes, 2017)

Laporan ini dibangun di atas laporan sebelumnya yang diajukan oleh sekelompok masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil ke Komite CERD PBB pada tahun 2007. Menanggapi bukti yang disajikan, Komite CERD PBB mencatat: “dengan keprihatinan pada rencana untuk membangun perkebunan kelapa sawit di sepanjang lebih dari 850 km perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan sebagai bagian dari [Mega Projek KBOP], dan ancaman yang ditimbulkannya terhadap hak-hak masyarakat adat untuk memiliki tanah mereka dan menikmati budaya mereka.”

Namun, Indonesia tidak hanya bersikeras dengan rencana ini, yang oleh karenanya terus-menerus mengabaikan hak-hak masyarakat adat dalam prosesnya, namun juga baru-baru ini dan secara dramatis meningkatkan ruang lingkup dan intensitasnya dan telah memulai pembangunan jaringan jalan yang luas untuk memfasilitasi perluasan ini.

Huvat Biseh memeriksa kerusakan oleh perusahaan pembalakan kayu, PT Kemakmurah Berkah Timber (Roda Mas Group). (Angus MacInnes, 2017)

Belum terlihat ada perubahan dalam kebijakan atau praktik yang terkait dengan operasi perkebunan kelapa sawit atau penebangun mana pun di wilayah tersebut, dan (pembangunan) infrastuktur terkait. Kegawatan situasi ini semakin diperburuk oleh kerangka hukum Indonesia yang memiliki banyak kekurangan karena menyangkut masyarakat adat dan pengabaiannya yang terus-menerus dan mencolok terhadap berbagai keprihatinan dan rekomendasi jangka panjang dari banyak mekanisme pengawasan internasional dan dalam negeri (misalnya, Komnas HAM dan Mahkamah Konstitusi), termasuk Komite CERD PBB. Ini, sekali lagi, mendorong masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil untuk menantang perumusan kembali Mega-Proyek KBOP.

Koalisi masyarakat sipil – yang semuanya berkerja dengan masyarakat adat di seluruh perbatasan Kalimantan – menemukan pemerintah Indonesia telah gagal untuk mengambil tindakan perbaikan, sejak laporan tahun 2007, dan situasi kian memburuk. Namun, Indonesia mengizinkan situasi ini berjalan terus dan kini mengesahkan dan mendukung pengambilalihan segera atas besar-besaran wilayah adat untuk perkebunan dan konsesi perusahaan lainnya di sepanjang perbatasan Kalimantan beserta kerusakan yang tidak dapat diperbaiki yang akan ditimbulkannya.

Mega Projek KBOP awalnya dirancang untuk membuka 18 perkebunan kelapa sawit terpisah, masing-masing dengan luasan rata-rata 100.000 hektar, di sepanjang perbatasan internasional Indonesia-Malaysia. Mega-projek KBOP tidak disetujui atau digagas secara resmi, antara lain, berdasarkan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa diperlukan penelitian-penelitian lebih lanjut. Beberapa penelitian ini menemukan bahwa projek itu akan secara besar-besaran menggusur dan membahayakan masyarakat adat Dayak di daerah perbatasan. Kementerian Pertanian kemudian mengakui bahwa lebih dari 90% wilayah di sekitar perbatasan memang tidak cocok untuk perkebunan kelapa sawit. Meskipun demikian, beberapa tahun kemudian, beberapa perusahaan perkebunan pertama memasuki wilayah perbatasan atas persetujuan Pemerintah Kabupaten dan didukung oleh polisi dan militer.

Perusahaan menggarap wilayah adat leluhur masyarakat Long Isun tanpa persetujuan masyarakat, menghancurkan jalan nenek moyang dan tempat berburu masyarakat. (Angus MacInnes, 2017)

Di Kalimantan Timur, sebagai contoh, antara tahun 2012 dan 2016, luas lahan yang diperuntukkan untuk perkebunan kelapa sawit meningkat sebanyak 36% dan kabupaten-kabupaten penghasil kelapa sawit terbesar berada di wilayah perbatasan. Sementara itu jumlah konflik tanah yang tercatat meningkat sangat besar. Laporan ini menyoroti sejumlah studi kasus dari masyarakat yang terkena dampak di seluruh wilayah perbatasan Kalimantan untuk mengarisbawahi hal ini.

Salah satu contohnya adalah konflik yang sedang berlangsung antara perusahaan kelapa sawit, PT Ledo Lestari, dan masyarakat Dayak Iban Semunying di Kabupaten Bengkayang di mana puluhan keluarga telah dipindahkan, ditempatkan di ‘kamp perusahaan’, hutan dan tanah adat mereka diambil alih perusahaan.

Bapak Abulipah, Sekretaris Desa dan juga anggota Dewan Adat Dayak Kecamatan, wakil Masyarakat Adat Dayak Iban Pareh Semunying Jaya menyatakan:

Kami sangat menderita dari konflik-konflik berkepanjangan dengan PT Ledo Lestari sejak tahun 2004. Sekitar 8000 hektar tanah yang didalamnya termasuk 1420 ha hutan adat, 30 ha lokasi sawah dan 117 ha kebun warga dari 10,418.63 ha seluruh wilayah adat kami telah digusur dan ditanami perkebunan kelapa sawit oleh PT Ledo Lestari. Kami menuntut semua dan segera pemulihan hak-hak wilayah adat dan hutan adat kami yang telah diambil, digarap dan dikuasai PT Ledo Lestari tanpa konsultasi maupun persetujuan sebagaimana diakui dan disimpulkan oleh Negara melalui laporan Inkuiri Nasional Komnas HAM tahun 2016.

Laporan situasi di Kalimantan Timur sama buruknya. Dalam 16 tahun terakhir, perkebunan kelapa sawit telah meluas dari 117.000 hektar menjadi 1,2 juta hektar. Selain itu, saat ini, 71% hutan di Kalimantan Timur telah berada di tangan perusahaan kehutanan, yaitu sekitar 5,9 juta hektar, dan area ini mencakup 642 desa adat. Ini adalah situasi yang lazim terjadi di wilayah perbatasan dan, mengutip Komite CERD PBB, disebabkan oleh hukum dan praktik Indonesia yang diskriminatif yang “menolak hak [masyarakat adat] atas tanah mereka demi hak kepemilikan yang dimiliki Negara” di perusahaan-perusahaan swasta.

Perusahaan pembalakan bekerja diperbatasan antar-kabupaten. Camp perusahaan PT Kemakmuran Berkah Timber (Roda Mas Group). (Angus MacInnes, 2017)

Di Kabupaten Mahakam Ulu, sebagai contoh, ada dua puluh konsesi penebangan yang tersebar di Mahakam Ulu, termasuk satu konsesi yang mencakup sekitar 13.000 hektar tanah leluhur masyarakat adat Dayak Bahau Busaang dari Long Isun. Warga di Long Isun tidak diberitahu sama sekali mengenai masalah ini sampai kegiatan kehutanan dimulai di salah satu area tanah mereka pada tahun 2014. Ketika warga mengeluh, mereka dihadapkan dengan intimidasi dan kriminalisasi. Perwakilan desa ditangkap dan seorang aktivis terkemuka masyarakat dipenjara selama lebih dari tiga bulan. Meskipun berbagai instansi pemerintah mengetahui situasi ini, perusahaan terus beroperasi tanpa hukuman.

Sementara pengembangan infrastruktur lebih lanjut akan menguntungkan perusahaan-perusahaan ini, hal itu diwujudkan dengan mengorbankan masyarakat adat, yang tanahnya juga akan disediakan untuk ekspansi kelapa sawit. Di Long Isun, misalnya, jalan yang direncanakan akan menembus wilayah leluhur mereka. Jika berjalan terus sebelum hak-hak tanah mereka diamankan, hal ini bisa membawa konsekuensi menghancurkan yang sangat besar bagi masyarakat.

Kepala Adat Long Isun, Lusang Aran, saat ini mencatat pengajuan berikut ini:

“Long Isun sedang berjuang untuk pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat melalui Peraturan Daerah Kabupaten Mahakam Ulu; masyarakat Secara tegas menolak hadirnya Investasi yang akan masuk kedalam wilayah Long Isun baik perkebunan seklala besar Perusahaan sawit dan Penebangan Kayu;dan melarang seluruh aktivitas eksploitasi Sumber Daya Alam yang ada dalam wilayah Kampung Long Isun baik secara perorangan maupun Badan Usaha (Perusahaan Besar Swasta), Jenis Sumber Daya Alam Mineral Logam dan Batuan adalah Emas, Perak, Intan, Logam, Bauksit, Timah, Tembaga, Biji Besi dan Nikel. Kemudian Mineral bukan Logam berupa Batu Kapur, Marmer, Belerang, Fosfat, Batu Bara.”

Kayu yang diolah dikirim menuju perusahaan-perusahaan pengolah kayu yang berada di Samarinda, Kalimantan Timur (Angus MacInnes, 2018)

Proses yang sama sekarang terjadi di Provinsi Kalimantan Utara yang baru dimekarkan. Perkebunan kelapa sawit dan konsesi lainnya sudah menjadi fitur yang menonjol dan mengikuti jaringan jalan daerah perbatasan yang terus berkembang. Bahkan penelitian akademis yang diterbitkan tahun 2019 menyoroti bahwa “jalan raya dan jalur kereta api yang direncanakan ini akan merusak apa yang merupakan blok hutan terbesar yang tersisa,” termasuk wilayah adat yang belum diatur secara hukum yang menjadi bagian luas dari wilayah ini. Karena alasan inilah koalisi masyarakat adat dan masyarakat sipil telah mengirimkan laporan kepada Komite CERD PBB.

Foto: Christina Lawing Yeq, tokoh spiritual Long Isun (Angus, 2018)

Pengabaian negara Indonesia terhadap kewajiban internasionalnya dalam hal ini tidak dapat dibiarkan terus dan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan yang telah terjadi dan yang akan terus meluas dan meningkat mengundang dan memaksa adanya pengawasan dan tindakan internasional. Terutama setelah krisis COVID-19 yang sedang berlangsung, yang sedang digunakan untuk pembahasan Omnibus Law yang menerapkan proses deregulasi menyeluruh, yang mencakup lebih dari 1.200 amandemen terhadap setidaknya 80 undang-undang yang ada. Yang paling utama dari usulan perubahan ini termasuk penghapusan penilaian dampak lingkungan dan sosial sebagai prasyarat untuk penerbitan izin usaha berbagai macam proyek, dari proyek infrastruktur hingga pengembangan pertanian.

Dengan demikian, para oraganisasi penandatangan yang mengajukan laporan kepada Komite CERD PBB untuk mendesak Indonesia:

  1. segera menangguhkan Mega Projek KBOP yang diperluas, operasi perkebunan kelapa sawit atau penebangan hutan mana pun di wilayah tersebut, dan pembangunan infrastruktur terkait sampai pemerintah telah mengamankan hak kepunyaan dan kepemilikan masyarakat adat atas tanah yang dicakup oleh sistem penguasaan adat mereka dan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC) masyarakat adat;
  2. mempercepat pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, setelah menjamin partisipasi dan persetujuan masyarakat adat yang mereka putuskan dengan matang, dan mengamandemen atau memberlakukan undang-undang terkait lainnya, termasuk yang berkaitan dengan peradilan yang non-diskriminatif dan efektif serta solusi-solusi lain yang memperhitungkan karakteristik adat (misalnya, mencerminkan hak-hak yang timbul dari sistem penguasaan adat)

Pada tahun 2007, Komite CERD PBB mendapati bahwa undang-undang Indonesia telah gagal untuk memberikan perlindungan yang efektif kepada masyarakat adat, sebuah kesimpulan yang sejak itu telah disuarakan oleh berbagai badan perjanjian PBB lainnya, Prosedur Khusus PBB serta Mahkamah Konstitusi dan Komnas HAM. Komite CERD PBB secara khusus membahas Mega Projek KBOP yang asli, menyarankan agar Negara “mengamankan hak kepunyaan dan kepemilikan masyarakat setempat sebelum melanjutkan Rencana ini.” Komite CERD PBB menyatakan bahwa “perkebunan kelapa sawit terus dikembangkan di tanah masyarakat adat di wilayah perbatasan Kalimantan tanpa ada upaya nyata dari Negara Indonesia untuk mematuhi rekomendasi Komite CERD PBB atau untuk mengamankan dan melindungi hak-hak masyarakat adat.”

Sudah saatnya bagi Komite CERD PBB untuk mengambil keputusan resmi dan merekomendasikan agar Indonesia segera mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan penghormatan dan melindungi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.

Contact person:
Monica Kristiani Ndoen (+62 857-7535-3307)
Nikodemus Ale (+62 812-5686-5454)
Norman Jiwan, Indonesia (+6281315613536)
Angus MacInnes (+44(0)7526819460)

Daftar organisasi yang menyampaikan laporan:

  1. AliansiMasyarakat Adat Nusantara (PB AMAN)
  2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Wilayah Kalimantan Barat, Pontianak, Kalimantan Barat
  3. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Pengurus Daerah Bengkayang, Singkawang dan Sambas, Bengkayang, Kalimantan Barat
  4. Institut Dayakologi (ID), Pontianak, Kalimantan Barat
  5. Lembaga Bela Banua Talino (LBBT), Pontianak, Kalimantan Barat
  6. LembagaBentang Alam Hijau (LemBAH), Pontianak, Kalimantan Barat
  7. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat/ELSAM, DKI Jakarta
  8. Perkumpulan Nurani Perempuan (PNP), Samarinda, Kalimantan Timur
  9. Perkumpulan Sawit Watch, Bogor, Jawa Barat
  10. Perkumpulan Untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis/HuMA, DKI Jakarta
  11. Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), DKI Jakarta
  12. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, WALHI Eksekutif Nasional, DKI Jakarta
  13. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Kalimantan Barat (WALHI Kalbar), Pontianak, Kalimantan Barat
  14. Yayasan Padi Indonesia, Kalimantan Timur
  15. Forest Peoples Programme, Inggris dan Belanda

Surat Dukungan Pejuang Hak atas Tanah dan HAM yang terdampak oleh Korindo Group dan POSCO

Kepada Yth:

 Korindo Group POSCO International

Kantor Staf Presiden

Kapolri, Kepolisian Negara Republik Indonesia

Kantor Inspektorat Jenderal Kepolisian Nasional

Komisi Pemberantasan Korupsi

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

Kedutaan Besar Republik Korea Selatan, Jakarta

Dewan Hak Asasi Manusia PBB

Kelompok Kerja PBB tentang Bisnis dan HAM

Pelapor Khusus tentang Hak Masyarakat Adat

Pelapor Khusus tentang Eksekusi Ekstra-yudisial, Ringkas-cepat, atau Sewenang-wenang

Program Pembangunan PBB

Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi

Forest Stewardship Council  pemberi label FSC kepada Korindo)

Sumitomo Forestry (pembeli kayu Korindo)

Oji Group (mitra usaha patungan pulpwood Korindo)

Bank Negara Indonesia (pemberi pinjaman Korindo)

Siemens Gamesa (pembeli turbin angin Korindo)

Citigroup (pemberi pinjaman POSCO)

Mirae Asset Financial Group (pemberi pinjaman POSCO)

Credit Agricole (pemberi pinjaman POSCO)

The Korean National Pension Fund (investor POSCO)

BlackRock (investor POSCO)

 

Jumat, 3 Juli 2020

Perihal: Keprihatinan mendesak bagi keamanan pembela lahan dan HAM yang terdampak oleh Korindo Group dan POSCO International, Indonesia.

Kepada semua pihak yang berkepentingan

Kami menulis dengan permintaan mendesak untuk perhatian dan ijtihat segera Anda dalam mencegah semakin parahnya pelanggaran HAM terkait semua kegiatan Korindo Group dan POSCO International. Menyusul penayangan sebuah film dokumenter dari Al Jazeera pada tanggal 25 Juni 2020, yang menampilkan kesaksian dan berbagai bukti meresahkan lainnya serta dugaan-dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Korindo dan POSCO, kami sangat khawatir atas keselamatan masyarakat dan individu yang telah terdampak dari kegiatan Korindo dan POSCO.

Kematian petani Papua Marius Betera (MB) pada tanggal 16 Mei tahun ini menyoroti pola kekerasan dan intimidasi yang dihadapi oleh masyarakat dan individu yang menyuarakan keluhan mereka menolak kegiatan perusahaan atau menuntut hak-hak mereka yang dijamin didalam Undang- Undang Dasar 1945. Menurut pernyataan masyarakat sipil, Marius meninggal beberapa jam setelah dipukuli seorang polisi di luar kantor lapangan PT Tunas Sawa Erma (Korindo Group), dimana dia datang untuk menyampaikan keberatan terhadap Korindo atas perusakan kebun pisangnya. Korindo juga telah mengeluarkan pernyataan terkait kematian tersebut. Semenjak kematian Marius, salah satu anggota masyarakat bernama Petrus Kinggo (PK), yang telah berusaha mencari jawaban atas kematian MB, melaporkan telah diancam oleh orang- orang yang datang dari camp perusahaan Korindo. PK juga menemukan foto dirinya yang dilingkari warna merah telah disebar melalui Whatsapp tanpa diketahui sumber dan motifnya.

Kami juga mencatat dan mendukung surat dari masyarakat sipil Indonesia kepada sejumlah Pelapor Khusus PBB dan Pemerintah Indonesia yang mendesak pengusutan tuntas dan transparan terkait kematian Marius, keadilan dan pemulihan untuk keluarga Marius, dan menuntut aparat keamanan menjunjung hak-hak masyarakat alih-alih bertindak sebagai lembaga penegakan untuk kepentingan korporasi swasta.

Ancaman Korindo untuk mengambil tindakan hukum terhadap Organisasi Masyarakat Sipil dan pihak media yang menginvestigasi kegiatan usahanya menambahkan catatan bahwa perusahaan tersebut terus berusaha untuk menghindari pengawasan melalui intimidasi hukum.

 

Kepada Korindo Group dan POSCO International:

kami menuntut penghormatan terhadap hak asasi manusia dari semua masyarakat yang terdampak dari kegiatan- kegiatan usaha Anda, memastikan keamanan dari semua pemangku kepentingan termasuk anggota masyarakat, pekerja dan Organisasi Masyarakat Sipil, bersedia untuk melakukan pemulihan yang menyeluruh terhadap pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan melalui proses yang transparan dan melibatkan semua pemangku kepentingan terdampak, serta bersedia kerjasama untuk penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak atas tanah dan HAM yang terkait dengan perusahaan Anda.

 

Kepada semua badan pengawasan publik atau organisasi yang memiliki tanggung jawab penegakkan terhadap perlindungan HAM:

secara proaktif mengintervensi situasi tersebut dengan memperingatkan Korindo, POSCO dan aparat keamanan setempat bahwa mereka harus menahan diri dan setiap pelanggaran hak atau tindakan pembalasan lainnya terhadap masyarakat atau aktivis tidak akan dibiarkan, serta melakukan penyelidikan penuh terkait semua dugaan pelanggaran HAM atau hak atas tanah.

 

Kepada semua organisasi dan perusahaan yang melanggengkan atau mendapat keuntungan dari kegiatan Korindo dan POSCO:

segera mengumumkan komitmen terhadap tidak ada toleransi bagi pelanggaran hak apa pun dalam rantai pasok atau hubungan investasi, melakukan uji tuntas yang mendalam dan pemantauan terhadap operasi Korindo dan POSCO, turut serta dalam penyelidikan atau proses pemulihan apapun yang berkaitan dengan hubungan bisnis, dan menangguhkan hubungan bisnis jika standar operasinya tidak dengan cepat dipastikan.

 

Dari : 

1 Advocates for Public Interest Law and Korean Transnational Corporations (APIL)
2 Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)
3 AMAN Nusa Bunga
4 AMAN Sorong Raya
5 Amazon Watch
6 APVVU
7 Asia Justice and Rights (AJAR)
8 awasMIFEE
9 BABEOSER BIKAR
10 Bina Rakyat Sejahtera
11 Biofuelwatch
12 Bruno Manser Fund
13 Cambodian Center for Study and Development in Agriculture (CEDAC)
14 Dewan Adat Papua
15 Earthsight
16 EcoNexus
17 EJF Indonesia
18 ELPAGAR Kalbar
19 ELSAM
20 Environmental Investigation Agency
21 Environmental Paper Network
22 Etnika Semesta Katulistiwa
23 Fern
24 FIAN Indonesia
25 Forest Peoples Programme
26 Forest Watch Indonesia
27 Forum Independen Mahasiswa West Papua
28 Forum Ökologie & Papier
29 Friends of the Earth US
30 GARDA Papua
31 Genesis Bengkulu
32 Gita Pertiwi
33 Global Forest Coalition (GFC)
34 Global Justice Ecology Project
35 GRAIN
36 Greenpeace
37 Human Rights Working Group (HRWG)
38 ICEL
39 Imparsial
40 International Work Group for Indigenous Affairs (IWGIA)
41 Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif
42 Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua
43 JIKALAHARI
44 Kaoem Telapak
45 Kelompok Kerja Sistem HUtan Kerakyatan (POKKER SHK)
46 Kemitraan
47 Komunitas Peduli Lingkungan Timika (Lepemawi)
48 Konfederasi Serikat Nasional
49 KontraS
50 Korea Federation for Environmental Movements / Friends of the Earth Korea
51 KPA Sulsel
52 KPA Sultra
53 KRuHA
54 LBH Banda Aceh
55 LBH Papua
56 LBH Pers
57 Lembaga Advokasi Perempuan Papua (eLAdPPer)
58 Lembaga Bentang Alam Hiau (LemBAH), Bengkayang, Kalimantan Barat
59 Lembaga Studi dan Advokasi HAM (ELSHAM) Papua
60 Lingkar Gerakan Rakyat
61 LPESM Riau
62 Mighty Earth
63 MTÜ Eesti Metsa Abiks (Estonian Forest Aid)
64 National Fisheries Solidarity Movement
65 National Union of Transport Equipment & Allied Industries Workers
66 North South Initiative
67 NTFP-EP
68 Oceanic Preservation Society
69 Orang Utan Republik Foundation, Inc.
70 Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK)
71 PADI Indonesia
72 PAHAM Papua
73 PAKATIVA Malut
74 PapuaItuKita
75 Papuana Conservation
76 Paritas Institute
77 PBHR Sulteng
78 Perkumpulan Bantuan Hukum Keadilan dan Perdamaian (PBHKP) Sorong
79 Perkumpulan Belantara Papua
80 Perkumpulan Panah Papua
81 Pesticide Action Network Asia Pacific (PANAP)
82 PIVOT POINT
83 Pro REGENWALD
84 Profundo
85 PUSAKA
86 Rainforest Action Network (RAN)
87 Rainforest Foundation UK
88 ResEARCH CENTER FOR RurAL DEVELOPMENT
89 Sarawak Dayak Iban Association (SADIA)
90 Save Our Borneo
91 Sawit Watch
92 Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke (SKP KAMe)
93 Solidaritas Perempuan
94 Sulteng Bergerak
95 TAPOL
96 Tiki Jaringan HAM Perempuan Papua
97 Trade Union Rights Centre
98 Transformasi untuk Keadilan INDONESIA
99 Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) Network
100 Verité Southeast Asia (VSEA)
101 Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah
102 WALHI Eknas
103 WALHI Jabar
104 WALHI Jakarta
105 WALHI Jambi
106 WALHI Jateng
107 WALHI Kalbar
108 WALHI Kaltim
109 WALHI Maluku Utara
110 WALHI NTB
111 WALHI Papua
112 WALHI Sulawesi Utara
113 WALHI Sulsel
114 WALHI Sulteng
115 WALHI Sumsel
116 WALHI Yogyakarta
117 Water Justice and Gender
118 World Rainforest Movement
119 Yayasan Anak Dusun Papua
120 Yayasan Earthqualizer
121 Yayasan Genesis Bengkulu
122 Yayasan HAkA
123 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
124 Yayasan Pelestari Lingkungan Hijau Kalimantan Utara
125 Yayasan Perlindungan Insani
126 Yayasan Pusaka Bentala Rakyat (PUSAKA)
127 Yayasan Satu Keadilan

 

 

Korindo Membawa Virus Deforestasi dan Pelanggaran HAM di Papua

Masyarakat sipil menuntut KPK mengusut dugaan korupsi oleh Korindo dan meminta BNI menghentikan pendanaan kepada Korindo

 

Jakarta, Rabu 1 Juli 2020 – Sejumlah masyarakat sipil melakukan aksi di depan gedung BNI, KPK dan OJK menuntut lembaga pembuat kebijakan dan penegakkan hukum untuk mengusut perusahaan sawit, karet dan kayu milik Korindo Group, konglomerat Korea Selatan yang beroperasi di Papua dan Maluku. Aksi ini merupakan tindak lanjut atas temuan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Korindo melalui pembayaran ‘konsultan’ yang mengambil lahan dari masyarakat adat di Merauke, Papua setelah hasil liputan investigasi Al Jazeera dan laporan
Gecko Project dirilis pada Kamis, 25 Juni 2020 lalu.

Direktur WALHI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi selaku koordinator aksi menyatakan bahwa aksi ini merupakan wujud dari solidaritas terhadap masyarakat Papua yang lahannya dirampas oleh Korindo. “Kami harus ikut berjuang bersama masyarakat Papua yang hutannya dirusak, karena keputusan politik, kebijakan dan penegakkan hukum harus dimulai dari sini di Jakarta. Kami sebagai masyarakat urban yang menghirup oksigen yang dihasilkan oleh hutan Papua juga merasa ini bagian dari keberlangsungan hidup kami yang harus diperjuangkan”, ungkap Bagus.

 

Aksi ini dilakukan untuk menekan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai pemberi kredit terbesar grup Korindo dan menjadikan perusahaan bermasalah ini sebagai klien terbesar ke-6 BNI untuk sektor pertanian dengan jumlah pinjaman 2,8 triliun rupiah pada triwulan 2017. Bahkan jumlah pinjaman ini meningkat dari tahun ke tahun dengan kenaikan lebih dari 19% tiap tahunnya. “Kami minta BNI untuk berhenti mendanai Korindo dan segera melakukan evaluasi pembiayaan bila tidak ada perbaikan tata kelola dan keberlanjutan sesuai batas waktu yang disepakati”, ungkap Edi Sutrisno, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA. Aksi yang juga dilakukan di depan kantor OJK ini bermaksud mendorong lembaga pembuat kebijakan jasa keuangan seperti OJK di Indonesia untuk lebih serius memastikan uji kelayakan dari bank-bank di Indonesia agar bisa memenuhi kebijakan Tata Kelola Lingkungan dan Sosial (Environmental Social Governance/ESG) yang lebih baik sehingga praktek-praktek perusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan korupsi bisa dicegah.

 

Edi juga menekankan perlunya proses sinergi penegakkan hukum di Indonesia dengan penegakkan hukum di Singapura dan Amerika dalam menelusuri kejahatan korporasi dan melakukan tindakan berdasarkan Undang-undang (UU) Anti Penyuapan, UU pencucian uang dan anti pencucian uang dan sanksi berdasarkan UU Magnitsky Act. “KPK harus segera turun tangan dan serius melakukan hal tersebut, melakukan investigasi dan berkoordinasi serta bekerjasama dengan jaringan penegak hukum di negara lain”, pungkas Edi.

 

***

Kontak media:

Linda Rosalina, TuK INDONESIA

Email: [email protected] / +62 812-1942-7257