Siaran Pers: MENGGUGAT RSPO ATAS LAMBANNYA PENYELESAIAN KONFLIK MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KERUNANG DAN ENTAPANG DENGAN PERUSAHAAN MALAYSIA

Sektor kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas strategis yang menopang perekonomian Indonesia. Namun, dengan kontribusinya yang besar pada perekonomian bukan berarti industri ini tanpa masalah. Ekspansi besar-besaran dalam industri perkebunan kelapa sawit justru banyak mengakibatkan konflik lahan yang berkepanjangan, penyebab rusaknya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Berbagai masalah tersebut memunculkan seruan global terhadap pelaku industri untuk lebih bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan dibentuknya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Asosiasi yang dibentuk pada 2004 ini diharapkan mampu memberikan solusi dari berbagai konflik yang terjadi antara perusahaan anggotanya dengan masyarakat dan permasalahan lingkungan yang muncul.

Setiap anggota RSPO dalam menjalankan bisnisnya harus mentaati prinsip-prinsip RSPO, diantaranya komitmen terhadap hukum yang berlaku, perlindungan terhadap lingkungan, menghormati masyarakat lokal terdampak, dan lainnya. Sayangnya, kebanyakan dari perusahaan anggota RSPO justru melanggar prinsip-prinsip tersebut, salah satunya perusahaan sawit asal Malaysia, Sime Darby. Sime Darby melalui anak perusahaannya, PT. Mitra Austral Sejahtera (PT. MAS) sampai saat ini masih terlibat konflik lahan dengan masyarakat adat Dayak di Dusun Entapang dan Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pada tahun 1995/1996, PT. MAS masuk ke kampung untuk mensosialisasikan pembangunan perkebunan kelapa sawit. PT. MAS menjanjikan kepada masyarakat untuk membangun kebun plasma, membangun sarana dan prasarana dan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat di Dusun Kerunang dan Entapang. Setelah mempertimbangkan janji-janji tersebut, Masyarakat Kerunang dan Entapang setuju untuk meminjamkan tanah adat untuk ditanam kelapa sawit. “Namun yang kemudian terjadi, PT. MAS justru melanggar janjinya dengan mengubah status tanah masyarakat menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Padahal masyarakat tidak pernah menyerahkan tanahnya untuk dimiliki atau dijadikan HGU oleh perusahaan, yang ada sebelumnya hanya perjanjian pinjam pakai.” Ujar Redatus Musa, perwakilan dari masyarakat Kerunang dan Entapang.
Hal tersebutlah yang memicu konflik antara masyarakat Kerunang dan Entapang dengan PT. MAS (khususnya PT. MAS II), anak Perusahaan Sime Darby. Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan tanahnya kembali, salah satunya dengan meminta keterlibatan RSPO dalam penyelesaian konflik yang terjadi sejak 2007. Tidak adanya upaya dari Sime Darby untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pada 2012, Masyarakat Kerunang dan Entapang resmi mengajukan komplain kepada RSPO atas perampasan lahan yang dilakukan oleh Sime Darby. Namun hingga saat ini konflik tersebut masih belum terselesaikan.
“Padahal dalam setiap Pertemuan Tahunan RSPO, masyarakat selalu mengingatkan dan menyampaikan komplainnya agar RSPO serius menyelesaikan konflik yang terjadi di Kerunang dan Entapang yang melibatkan perusahaan anggotanya, Sime Darby. Terkahir, pada Pertemuan Tahunan RSPO ke-14 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, saya hadir mewakili masyarakat meminta RSPO untuk serius menyelesaikan konflik yang terjadi di kampung kami. Dalam waktu satu tahun sudah harus ada upaya yang lebih konkrit menuju penyelesaian konfliknya,” tambah Musa dengan tegas.
Tepat satu tahun sejak Pertemuan Tahunan di Bangkok, tepatnya pada 27-30 November 2017, RSPO mengadakan Pertemuan Tahunan kembali di Bali, Indonesia. Masyarakat tentu akan menagih tuntutan yang disampaikan ke RSPO. “Masyarakat akan melakukan upaya yang lebih tegas kepada RSPO. Jika RSPO tidak merespon dengan upaya penyelesaian yang lebih konkrit, masyarakat berencana akan menggugat RSPO melalui mekanisme OECD. Draft dan berkas-berkas yang dibutuhkan sudah kami persiapkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengajukan gugatannya.” Ujar Norman Jiwan, salah satu pendamping masyarakat
Sebagai salah satu organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan terbesar di dunia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki Panduan tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional sebagai standard internasional tata kelola korporasi dari negara-negara anggota OECD. Perusahaan dari negara-negara OECD terikat kewajiban terhadap dampak kegiatan bisnis dan rantai pasok mereka. Tuntutan masyarakat atas hak tanah dan wilayah adat adalah bagian dari hak asasi manusia atas kepastian dan keadilan hukum (rule of law) sebagaimana tercantum dalam Panduan yang diwajibkan oleh OECD. Jika terjadi pelanggaran hak masyarakat dan berdampak serius, maka harus ada proses upaya-upaya memastikan mekanisme pemulihan (remedy).
Tidak hanya RSPO saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban atas belum terselesaikannya konflik yang terjadi di Dusun Kerunang dan Entapang, lembaga pemberi modal juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika asal memberikan modalnya tanpa melakukan due diligent terhadap kliennya. Sime Darby adalah klien terbesar kedua Maybank, dan harus dicatat bahwa Permodalan Nasional Berhad (PNB) yang memegang hampir 50% dari saham Maybank juga memegang sekitar 50% dari saham Sime Darby.
“Dalam Periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3,9 miliar dalam bentuk pinjaman dan underwriting untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit, setara dengan 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Jika Maybank tidak memiliki kebijakan penilaian risiko untuk pendanaan kelapa sawit, maka maybank juga membawa tanggung jawab yang kuat atas dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kliennya.” Ujar Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.
 
Kontak:
Abdul Wahid (081381464445)
Rini Kusnadi (082260152595)

SIARAN PERS: BANK JUGA HARUS BERTANGGUNG JAWAB ATAS KERUSAKAN LINGKUNGAN DAN KONFLIK LAHAN YANG TERJADI

 
Jakarta, 12 November 2017-Pencegahan terjadinya kerusakan lingkungan hidup, konflik agraria dan konflik sosial, dan pelanggaran HAM menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak terkecuali Lembaga Jasa Keuangan (LJK) seperti bank. Bank turut bertanggungjawab atas pembiayaan terhadap bisnis yang menimbulkan penghancuran lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat adat/masyarakat lokal.
Keharusan perbankan dalam upaya perlindungan terhadap lingkungan dinyatakan dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam penjelasan umumnya terdapat kalimat sebagai berikut: “Prinsip kehati-hatian harus dipegang teguh sedangkan ketentuan mengenai kegiatan usaha bank perlu disempurnakan terutama yang berkaitan dengan penyaluran dana termasuk di dalamnya peranan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan berskala besar atau beresiko tinggi.” Selanjutnya dalam penjelasan umum angka 5 pada Pasal 8 Ayat (1) dikatakan: Di samping itu bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Sebagai salah satu pemilik modal, lembaga perbankan memiliki peran yang vital dalam mencegah laju kerusakan lingkungan dan konflik sosial. Pencegahan bisa dilakukan oleh perbankan dengan melakukan due diligent atau uji tuntas terlebih dulu sebelum memberikan kredit atau modalnya kepada perusahaan.
Menurut Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI; “Perbankan harus menerapkan prinsip “know your costumer” sebelum mendaratkan investasinya. Dan yang pasti bank juga harus menerapkan prinsip kehati-hatian dini supaya investasi yang diberikan kepada perusahaan tidak menimbulkan ketidakberlangsungan lingkungan dan risiko gagal bayar. Jika bank tidak melakukan hal itu semua, maka bank harus turut bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan yang dibiayainya”. Yang patut diingat, bahwa sektor Perbank-an merupakan instutusi yang terhubung dengan rantai pasok bisnis industri ekstraktive, seperti perkebunan kelapa sawit yang harus hormat pada prinsip hak asasi manusia, tegas Khalisah.
Sejalan dengan itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Desember 2014 mengeluarkan kebijakan Keuangan Berkelanjutan. Keuangan Berkelanjutan merupakan dukungan menyeluruh dari industri jasa keuangan untuk pertumbuhan berkelanjutan yang dihasilkan dari keselarasan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Menurut Abdul Wahid, dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia, “Prinsip-prinsip keuangan berkelanjutan mengaharuskan lembaga jasa keuangan untuk melakukan investasi yang bertanggung jawab, strategi dan praktik bisnis berkelanjutan, serta pengelolaan risiko sosial dan lingkungan. Hal itu sebagaimana tercantum dalam Peraturan OJK No. 51 Tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan”.
Berbagai konflik sosial (lahan) dan kerusakan lingkungan banyak terjadi dengan investasi perkebunan besar kelapa sawit di berbagai daerah . Diantaranya konflik yang terjadi antara masyarakat di Jambi, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Papua. Di Jambi, Konflik terjadi antara masyarakat di Desa Seponjen, Dusun Pulau Tigo, Desa Sogo dan Kelurahan Tanjung dengan PT Bukit Bintang Sawit (BBS) perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kemudian di Maluku Utara, antara Masyrakat di Teluk Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, dengan PT. Gelora Mandiri Membangun (GMM) anak perusahaan dari Korindo. Di Sultra, antara perusahaan perkebunan sawit PT. Merbau Indah Raya Group dengan masyarakat di Konawe Selatan. Di Papua, tepatnya di Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom dengan PT Tandan Sawita Papua (Rajawali Group). Dan di Sulawesi Utara, antara masyarakat di Tiberias, Kecamatan Poigar, Kabupaten Bolaang Mongondow dengan perusahaan sawit, PT. Malisya Sejahtera. Fakta-fakta kasus ini disampaikan oleh WALHI Jambi, WALHI Malut, WALHI Sultra, WALHI Sulut dan WALHI Papua.
Berdasarkan uraian fakta kasus-kasus di atas, terlihat bahwa bank juga mempunyai peran dan tanggung jawab, bank perlu melakukan antisipasi terhadap potensi kerusakan lingkungan dan dalam kegiatan usaha calon nasabah debitur. Jadi bank sebelum memberikan kredit pembiayaan harus melakukan screening atau due diligent terhadap calon nasabahnya terutama untuk skala industri besar. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah perusahaan calon nasabah sudah memenuhi syarat-syarat yang wajib dipenuhi dalam operasinya menurut undang-undang seperti sudah memiliki AMDAL, Kajian KLHS, sudah Memliki Sertifikat HGU, dan lainnya.
Risiko atas terjadinya pengerusakan lingkungan hidup, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat lokal yang dilakukan oleh korporasi yang dibiayainya. Bank harusnya menyadari bahwa mereka akan terpapa risiko akibat praktek bisnis yang tidak menghormati hak asasi manusia dan lingkungan hidup.
Kontak:
Abdul Wahid (TuK INDONESIA) : 0813-8146-4445
Khalisah Khalid (Walhi Eksekutif Nasional) : 0812-90400147