Melihat Sawit Indonesia dan Resolusi Uni Eropa dengan Positif

Dua bulan yang lampau, tepatnya tanggal 17 Maret 2017 Kateřina Konečná dari Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, Parlemen Uni Eropa, menerbitkan sebuah laporan setebal 39 halaman.  Laporan itu, Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan tersebut sebetulnya hanya bersifat rekomendatif, namun kemudian menjadi kuat ketika didukung oleh majoritas anggota Parlemen. Pemungutan suara melalui voting yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017, menghasilkan 640 anggota menyatakan persetujuan, 18 menolak, dan 28 menyatakan abstain.  Hal itu berarti persetujuan lebih dari 39% anggota Parlemen.
Laporan itu, dan terutama resolusinya, kemudian menghasilkan serangkaian ekspresi kekecewaan dan kemarahan di Indonesia.  Sejumlah kementerian dan perwakilan industri menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat diskriminatif dan sesungguhnya hanya wujud dari proteksionisme dalam perang dagang yang dibungkus dalam jargon-jargon keberlanjutan.  Kementerian Luar Negeri menyatakan: “[The resolution] only validates our suspicion that the seemingly endless attacks on palm oil by green NGOs and consumer organisations since the late 1990s have partly been prompted by strong lobbying by the EU vegetable oil industry to weaken the competitiveness of Indonesian palm oil.”
Tuduhan bahwa LSM lingkungan—dan secara lebih terbatas LSM konsumen—melakukan kampanye hitam untuk merugikan kepentingan ekonomi Indonesia memang sudah lama digembar-gemborkan.  Namun apa yang dinyatakan oleh LSM-LSM terkait dengan dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit itu sesungguhnya selalu didukung oleh ilmu pengetahuan.  Sebaliknya, tuduhan terhadap LSM kerap hanya bersifat fitnah belaka.
Ambil contoh soal hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi.  Para peneliti yang menggunakan hutan dalam pengertian ekologis memang menemukan bahwa perkebunan sawit di seluruh dunia—bukan hanya di Indonesia—sebagiannya memang berasal dari hutan yang dikonversi.  Hal ini sejalan dengan metaanalisis yang dilakukan oleh  Busch dan Ferretti-Gallon (2017) yang menemukan bahwa deforestasi di seluruh dunia memang paling kuat terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit.  Khusus di Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 54% deforestasi di Indonesia antara 1989-2013 (Vijay, et al., 2016), sementara penelitian sebelumnya menyatakan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu setidaknya 56% (Koh dan Wilcove, 2008).
Memang ada upaya untuk membantahnya.  Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017).  Mereka berupaya untuk ‘membuktikan’ bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah penyebab deforestasi, melainkan penyelamat Indonesia dari deforestasi.  Namun, secara sepintas dapat dikatakan metodologi yang dipergunakan tidak akan bisa mendukung kesimpulan itu.  Ada tiga hal dalam metodologinya yang bisa dinyatakan sebagai kelemahan. Pertama, definisi deforestasi yang bersifat administratif belaka, tidak sesuai dengan pengertian ekologis; kedua, menggunakan data yang berasal dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau saja, dan bukan di seluruh wilayah Indonesia; dan, ketiga, melihat hanya perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha saja, dan bukan kondisi aktual perkebunan kelapa sawit baik yang legal maupun ilegal.  Apa yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017) sesungguhnya bisa dinyatakan hanya bersifat apologetik, kalau bukan malahan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran.
Padahal, daripada melakukan tindakan apologetik maupun sekadar mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan, ada cukup banyak perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bisa ditunjukkan kepada dunia, sebagai bukti bahwa Indonesia memang memerhatikan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, termasuk dalam perkebunan kelapa sawit.  Memfasilitasi tindakan perbaikan menuju keberlanjutan serta komunikasinya yang tepat adalah hal yang sudah lama menjadi sikap sejumlah besar LSM lingkungan yang bekerja di Indonesia.  Alih-alih melakukan kampanye hitam sebagaimana yang dituduhkan, LSM lingkungan sesungguhnya telah, sedang, dan akan terus melakukan kampanye hijau untuk mendukung Indonesia yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam menyikapi resolusi yang dibuat oleh Uni Eropa tersebut, LSM lingkungan lebih melihatnya sebagai peluang dan ajakan kerjasama dari Uni Eropa untuk memerbaiki kondisi perkelapasawitan di Indonesia—yang oleh banyak peneliti dalam negeri sendiri dinyatakan perlu banyak tindakan korektif.  Dari mood yang ditunjukkan oleh dokumen Uni Eropa itu di awalnya, jelas yang disampaikan adalah otokritik bahwa negara-negara Uni Eropa, sebagai konsumen, sesungguhnya turut berkontribusi pada berbagai dampak negatif yang masih ada di industri kelapa sawit, khususnya di perkebunannya.  Dari otokritik itu kemudian diajukanlah serangkaian rekomendasi tindakan.
Namun, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa dokumen tersebut juga bukanlah dokumen yang sempurna, melainkan memang masih mengandung sejumlah hal yang perlu diperbaiki.  Uni Eropa jelas memiliki kepentingan untuk membuat dokumen yang lebih ringkas lagi, sebaiknya maksimal 5 halaman, dan sedapat mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih banyak pemangku kepentingan yang bisa mengakses isinya secara langsung, bukan sekadar membaca secara sepotong-potong dan/atau mendengar dari pihak lain.  Sebagaimana yang ditengarai oleh beberapa peneliti, kemungkinan kekecewaan dan kemarahan sebagian pihak di Indonesia itu disebabkan oleh karena belum membacanya secara lengkap.  Namun, membaca 39 halaman dalam bahasa asing adalah tugas yang masih terlampau berat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari prasangka buruk, tentu saja Uni Eropa perlu juga untuk menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan memang ditunjukkan untuk seluruh produk yang mereka produksi dan konsumsi.  Itu juga berarti termasuk seluruh miyak nabati, bukan cuma minyak sawit.  Di Indonesia, berkembang pemikiran bahwa minyak nabati lainnya sama sekali tidak diproduksi dengan memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan.  Apalagi, kebutuhan lahan untuk memroduksi minyak nabati lain dalam volume yang sama sangatlah besar, berkali lipat dibandingkan minyak sawit.  Jadi, minyak nabati lainnya dipandang sebagai produk kompetitor yang lebih inferior.
Di dalam dokumen yang kemudian menjadi dasar resolusi, hal tersebut sedikit disinggung.  Namun kemudian, yang mengherankan untuk kebanyakan orang di Indonesia adalah bahwa salah satu rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Uni Eropa sendiri, terutama untuk biodiesel.  Dalam hal ini, Uni Eropa penting untuk menjelaskan alasannya dengan membuktikan bahwa memang pertimbangan keberlanjutanlah yang dipergunakan dalam mengambil rekomendasi itu.  Lantaran tak mungkin minyak nabati lain lebih tinggi produktivitasnya per satuan luas lahan dibandingkan sawit, maka satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah karena kedekatannya, sehingga mungkin menjadi lebih kecil jejak karbonnya.  Namun, sekali lagi, hal itu perlu dibuktikan secara ilmiah.
Uni Eropa, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam dokumen tersebut, bersedia untuk membantu negara-negara penghasil sawit, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keberlanjutan pada industri sawit.  Ini sangat penting untuk benar-benar diwujudkan, lewat beragam cara yang mungkin, termasuk dengan memberikan bantuan teknis kepada petani kelapa sawit skala kecil—yang lebih rentan dibandingkan dengan perkebunan besar—dan kesediaan membayar harga yang lebih baik untuk sawit yang dikelola secara lestari.  Melihat berbagai peluang perbaikan sepanjang value chain sangat perlu dilakukan, lalu mengeksekusi tindakan-tindakan perbaikan yang mungkin.
Di Indonesia juga ada berbagai pernyataan bahwa data yang dicantukan di dalam dokumen tersebut tidak seluruhnya mutakhir.  Ada baiknya, segera dilakukan dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia untuk mengetahui perkembangan-perkembangan terbaru di lapangan.  Hal ini sangat penting dilakukan sehingga Uni Eropa bisa mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Indonesia.  Kalau dalam dokumen itu Uni Eropa mengapresiasi Badan Restorasi Gambut, maka pencapaian lain yang belakangan muncul, termasuk beragam inisiatif yang masih dalam pipeline seperti Satu Peta dan regulasi tentang Ekonomi Lingkungan juga sangat perlu diapresiasi sebagai kemajuan menuju keberlanjutan.  Lebih jauh, Uni Eropa mungkin dapat memertimbangkan kerjasama dalam inisiatif-inisiatif baru tersebut.
Tentu, yang lebih baik lagi adalah apabila dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia bisa menghasilkan pengetahuan terbaru mengenai kinerja keberlanjutan, bukan sekadar proses mencapainya.  Lalu, keduanya bisa mencapai kesepakatan tentang apa saja kesenjangan yang masih ada dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menutup kesenjangan itu.  Dengan demikian, maka kerjasama menuju keberlanjutan—sebagaimana yang misalnya dinyatakan oleh SDGs dalam Tujuan ketujuhbelasnya—bisa benar-benar diwujudkan.  Kerjasama ini, dan bukannya saling melempar tuduhan dan kecaman, adalah jalan menuju keberlanjutan yang hakiki.  Kalau disepakati, Uni Eropa juga semestinya menjadi bagian dari kampanye hijau untuk perbaikan Indonesia.
Namun pekerjaan rumah Indonesia sendiri perlu untuk disadari.  Koordinasi antar-kementerian dan lembaga sendiri bukan hal yang sudah rampung.  Sebagaimana yang kita saksikan beberapa hari belakangan, regulasi tentang pengelolaan ekosistem gambut malah ditentang oleh Kementerian Perindustrian.  Ini menunjukkan perlawanan terhadap kepentingan konservasi dan rehabilitasi gambut yang sudah diamanatkan Presiden RI dan merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk mengupayakan turunnya peluang dan dampak kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Kalau dipikirkan lebih dalam, sesungguhnya tindakan Kementerian Perindustrian itulah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam terhadap negeri sendiri di mata internasional.  Arah yang benar dalam pengelolaan gambut malah hendak digagalkan.  Upaya menyabotase Indonesia dari tujuan keberlanjutan ini haruslah dihentikan.  Sementara upaya untuk membangun keberlanjutan Indonesia—oleh pemangku kepentingan internal maupun bersama-sama dengan pemangku kepentingan eksternal seperti Uni Eropa—perlu dilakukan dengan serius.
Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
 

Kampanye Hitam atau Kampanye Hijau? Melihat Sawit Indonesia dan Resolusi Uni Eropa dengan Positif

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
 
Dua bulan yang lampau, tepatnya tanggal 17 Maret 2017 Kateřina Konečná dari Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, Parlemen Uni Eropa, menerbitkan sebuah laporan setebal 39 halaman.  Laporan itu, Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan tersebut sebetulnya hanya bersifat rekomendatif, namun kemudian menjadi kuat ketika didukung oleh majoritas anggota Parlemen. Pemungutan suara melalui voting yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017, menghasilkan 640 anggota menyatakan persetujuan, 18 menolak, dan 28 menyatakan abstain.  Hal itu berarti persetujuan lebih dari 39% anggota Parlemen.
Laporan itu, dan terutama resolusinya, kemudian menghasilkan serangkaian ekspresi kekecewaan dan kemarahan di Indonesia.  Sejumlah kementerian dan perwakilan industri menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat diskriminatif dan sesungguhnya hanya wujud dari proteksionisme dalam perang dagang yang dibungkus dalam jargon-jargon keberlanjutan.  Kementerian Luar Negeri menyatakan: “[The resolution] only validates our suspicion that the seemingly endless attacks on palm oil by green NGOs and consumer organisations since the late 1990s have partly been prompted by strong lobbying by the EU vegetable oil industry to weaken the competitiveness of Indonesian palm oil.”
Tuduhan bahwa LSM lingkungan—dan secara lebih terbatas LSM konsumen—melakukan kampanye hitam untuk merugikan kepentingan ekonomi Indonesia memang sudah lama digembar-gemborkan.  Namun apa yang dinyatakan oleh LSM-LSM terkait dengan dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit itu sesungguhnya selalu didukung oleh ilmu pengetahuan.  Sebaliknya, tuduhan terhadap LSM kerap hanya bersifat fitnah belaka.
Ambil contoh soal hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi.  Para peneliti yang menggunakan hutan dalam pengertian ekologis memang menemukan bahwa perkebunan sawit di seluruh dunia—bukan hanya di Indonesia—sebagiannya memang berasal dari hutan yang dikonversi.  Hal ini sejalan dengan metaanalisis yang dilakukan oleh  Busch dan Ferretti-Gallon (2017) yang menemukan bahwa deforestasi di seluruh dunia memang paling kuat terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit.  Khusus di Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 54% deforestasi di Indonesia antara 1989-2013 (Vijay, et al., 2016), sementara penelitian sebelumnya menyatakan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu setidaknya 56% (Koh dan Wilcove, 2008).
Memang ada upaya untuk membantahnya.  Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017).  Mereka berupaya untuk ‘membuktikan’ bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah penyebab deforestasi, melainkan penyelamat Indonesia dari deforestasi.  Namun, secara sepintas dapat dikatakan metodologi yang dipergunakan tidak akan bisa mendukung kesimpulan itu.  Ada tiga hal dalam metodologinya yang bisa dinyatakan sebagai kelemahan. Pertama, definisi deforestasi yang bersifat administratif belaka, tidak sesuai dengan pengertian ekologis; kedua, menggunakan data yang berasal dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau saja, dan bukan di seluruh wilayah Indonesia; dan, ketiga, melihat hanya perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha saja, dan bukan kondisi aktual perkebunan kelapa sawit baik yang legal maupun ilegal.  Apa yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017) sesungguhnya bisa dinyatakan hanya bersifat apologetik, kalau bukan malahan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran.
Padahal, daripada melakukan tindakan apologetik maupun sekadar mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan, ada cukup banyak perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bisa ditunjukkan kepada dunia, sebagai bukti bahwa Indonesia memang memerhatikan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, termasuk dalam perkebunan kelapa sawit.  Memfasilitasi tindakan perbaikan menuju keberlanjutan serta komunikasinya yang tepat adalah hal yang sudah lama menjadi sikap sejumlah besar LSM lingkungan yang bekerja di Indonesia.  Alih-alih melakukan kampanye hitam sebagaimana yang dituduhkan, LSM lingkungan sesungguhnya telah, sedang, dan akan terus melakukan kampanye hijau untuk mendukung Indonesia yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam menyikapi resolusi yang dibuat oleh Uni Eropa tersebut, LSM lingkungan lebih melihatnya sebagai peluang dan ajakan kerjasama dari Uni Eropa untuk memerbaiki kondisi perkelapasawitan di Indonesia—yang oleh banyak peneliti dalam negeri sendiri dinyatakan perlu banyak tindakan korektif.  Dari mood yang ditunjukkan oleh dokumen Uni Eropa itu di awalnya, jelas yang disampaikan adalah otokritik bahwa negara-negara Uni Eropa, sebagai konsumen, sesungguhnya turut berkontribusi pada berbagai dampak negatif yang masih ada di industri kelapa sawit, khususnya di perkebunannya.  Dari otokritik itu kemudian diajukanlah serangkaian rekomendasi tindakan.
Namun, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa dokumen tersebut juga bukanlah dokumen yang sempurna, melainkan memang masih mengandung sejumlah hal yang perlu diperbaiki.  Uni Eropa jelas memiliki kepentingan untuk membuat dokumen yang lebih ringkas lagi, sebaiknya maksimal 5 halaman, dan sedapat mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih banyak pemangku kepentingan yang bisa mengakses isinya secara langsung, bukan sekadar membaca secara sepotong-potong dan/atau mendengar dari pihak lain.  Sebagaimana yang ditengarai oleh beberapa peneliti, kemungkinan kekecewaan dan kemarahan sebagian pihak di Indonesia itu disebabkan oleh karena belum membacanya secara lengkap.  Namun, membaca 39 halaman dalam bahasa asing adalah tugas yang masih terlampau berat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari prasangka buruk, tentu saja Uni Eropa perlu juga untuk menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan memang ditunjukkan untuk seluruh produk yang mereka produksi dan konsumsi.  Itu juga berarti termasuk seluruh miyak nabati, bukan cuma minyak sawit.  Di Indonesia, berkembang pemikiran bahwa minyak nabati lainnya sama sekali tidak diproduksi dengan memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan.  Apalagi, kebutuhan lahan untuk memroduksi minyak nabati lain dalam volume yang sama sangatlah besar, berkali lipat dibandingkan minyak sawit.  Jadi, minyak nabati lainnya dipandang sebagai produk kompetitor yang lebih inferior.
Di dalam dokumen yang kemudian menjadi dasar resolusi, hal tersebut sedikit disinggung.  Namun kemudian, yang mengherankan untuk kebanyakan orang di Indonesia adalah bahwa salah satu rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Uni Eropa sendiri, terutama untuk biodiesel.  Dalam hal ini, Uni Eropa penting untuk menjelaskan alasannya dengan membuktikan bahwa memang pertimbangan keberlanjutanlah yang dipergunakan dalam mengambil rekomendasi itu.  Lantaran tak mungkin minyak nabati lain lebih tinggi produktivitasnya per satuan luas lahan dibandingkan sawit, maka satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah karena kedekatannya, sehingga mungkin menjadi lebih kecil jejak karbonnya.  Namun, sekali lagi, hal itu perlu dibuktikan secara ilmiah.
Uni Eropa, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam dokumen tersebut, bersedia untuk membantu negara-negara penghasil sawit, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keberlanjutan pada industri sawit.  Ini sangat penting untuk benar-benar diwujudkan, lewat beragam cara yang mungkin, termasuk dengan memberikan bantuan teknis kepada petani kelapa sawit skala kecil—yang lebih rentan dibandingkan dengan perkebunan besar—dan kesediaan membayar harga yang lebih baik untuk sawit yang dikelola secara lestari.  Melihat berbagai peluang perbaikan sepanjang value chain sangat perlu dilakukan, lalu mengeksekusi tindakan-tindakan perbaikan yang mungkin.
Di Indonesia juga ada berbagai pernyataan bahwa data yang dicantukan di dalam dokumen tersebut tidak seluruhnya mutakhir.  Ada baiknya, segera dilakukan dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia untuk mengetahui perkembangan-perkembangan terbaru di lapangan.  Hal ini sangat penting dilakukan sehingga Uni Eropa bisa mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Indonesia.  Kalau dalam dokumen itu Uni Eropa mengapresiasi Badan Restorasi Gambut, maka pencapaian lain yang belakangan muncul, termasuk beragam inisiatif yang masih dalam pipeline seperti Satu Peta dan regulasi tentang Ekonomi Lingkungan juga sangat perlu diapresiasi sebagai kemajuan menuju keberlanjutan.  Lebih jauh, Uni Eropa mungkin dapat memertimbangkan kerjasama dalam inisiatif-inisiatif baru tersebut.
Tentu, yang lebih baik lagi adalah apabila dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia bisa menghasilkan pengetahuan terbaru mengenai kinerja keberlanjutan, bukan sekadar proses mencapainya.  Lalu, keduanya bisa mencapai kesepakatan tentang apa saja kesenjangan yang masih ada dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menutup kesenjangan itu.  Dengan demikian, maka kerjasama menuju keberlanjutan—sebagaimana yang misalnya dinyatakan oleh SDGs dalam Tujuan ketujuhbelasnya—bisa benar-benar diwujudkan.  Kerjasama ini, dan bukannya saling melempar tuduhan dan kecaman, adalah jalan menuju keberlanjutan yang hakiki.  Kalau disepakati, Uni Eropa juga semestinya menjadi bagian dari kampanye hijau untuk perbaikan Indonesia.
Namun pekerjaan rumah Indonesia sendiri perlu untuk disadari.  Koordinasi antar-kementerian dan lembaga sendiri bukan hal yang sudah rampung.  Sebagaimana yang kita saksikan beberapa hari belakangan, regulasi tentang pengelolaan ekosistem gambut malah ditentang oleh Kementerian Perindustrian.  Ini menunjukkan perlawanan terhadap kepentingan konservasi dan rehabilitasi gambut yang sudah diamanatkan Presiden RI dan merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk mengupayakan turunnya peluang dan dampak kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Kalau dipikirkan lebih dalam, sesungguhnya tindakan Kementerian Perindustrian itulah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam terhadap negeri sendiri di mata internasional.  Arah yang benar dalam pengelolaan gambut malah hendak digagalkan.  Upaya menyabotase Indonesia dari tujuan keberlanjutan ini haruslah dihentikan.  Sementara upaya untuk membangun keberlanjutan Indonesia—oleh pemangku kepentingan internal maupun bersama-sama dengan pemangku kepentingan eksternal seperti Uni Eropa—perlu dilakukan dengan serius.
 

Siaran Pers: Menagih Janji Jokowi untuk Mengeluarkan Kebijakan Moratorium Sawit

Jakarta, 8 Mei 2017 – Komitmen Presiden Joko Widodo yang akan memberlakukan moratorium sawit perlu didukung. Namun setahun setelah komitmen diucapkan belum juga ditindaklanjuti dengan kebijakan dan aksi yang nyata. Padahal moratorium sawit diharapkan dapat melengkapi kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut yang terlebih dahulu telah dikeluarkan oleh Presiden Jokowi melalui Inpres (Instruksi Presiden) 8/2015. Inpres tersebut adalah perpanjangan dari Inpres 10/2011 dan Inpres 6/2013.
Berdasarkan hasil evaluasi Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia, antara lain WALHI, Sawit Watch, TuK Indonesia, Auriga dan Kemitraan, selama enam tahun pelaksanaan moratorium hutan dan lahan gambut, luas areal hutan alam primer dan lahan gambut yang dimoratorium cenderung mengalami penurunan dari 69,14 juta hektar pada Juni 2011 menjadi 66,44 juta hektar di November 2016. Meski diakui dalam dua tahun terakhir luas areal moratorium mengalami peningkatan sebesar 2,42 juta hektar.
“Kebijakan moratorium hutan dan lahan gambut belum mampu memperbaiki tata kelola hutan Indonesia, karena pada saat yang bersamaan terus saja terjadi pelepasan kawasan hutan, baik melalui revisi tata ruang maupun pelepasan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan kelapa sawit,” ungkap Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Perubahan peruntukan kawasan hutan melalaui mekanisme revisi tata ruang cenderung mengalami peningkatan selama masa moratorium. Tahun 2011 terjadi pelepasan kawasan hutan seluas 159.300 hektar, dan pada tahun 2012 mengalami peningkatan lebih dari 10 kali lipat yakni seluas 1,8 juta hektar. Tahun 2013 kembali dilepaskan kawasan hutan seluas 2,4 juta hektar, dan puncaknya tahun 2014, dimana terjadi pelepasan kawasan hutan hingga 3,2 juta hektar.
Selama masa moratorium, Pemerintah telah melepaskan kawasan hutan secara parsial untuk perkebunan seluas 1.677.217 hektar, dengan rincian 944.071 hektar pada masa moratorium 2011-2013, seluas 645.005 hektar pada masa moratorium 2013-2015, dan terus terjadi pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan pada masa moratorium 2015-2017 meski angkanya lebih kecil yakni 88.140 hektar.
Merujuk pada data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian luas areal perkebunan kelapa sawit tahun 2016 seluas 11,7 juta hektar, yang menghasilkan 33,5 juta ton minyak sawit (crude palm oil/CPO). Dari total luas areal perkebunan kelapa sawit tersebut, perusahaan milik negara menguasai 0,75 juta hektar, perusahaan besar milik swasta menguasai 6,15 juta hektar, dan perkebunan rakyat seluas 4,76 juta hektar.
“Sayangnya produktivitas kebun sawit Indonesia masih rendah, hanya sekitar 2,79 ton CPO per hektar per tahun. Padahal pemerintah telah mencanangkan produktivitas kebun sawit Indonesia bisa mencapai 9 ton CPO per hektar per tahun. Dari pada terus menambah luas areal, lebih baik pemerintah berkonsentrasi para peningkatan produktivitas kebun sawit,” ujar Achmad Surambo, Deputi Direktur Sawit Watch.
Selain masalah produktivitas, realisasi penanaman kebun sawit juga terbilang masih rendah. Hasil analisis Auriga terhadap data luas areal perkebunan kelapa sawit di empat provinsi, yakni Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, menunjukkan bahwa dari 11,26 juta izin usaha perkebunan di empat provinsi tersebut, realisasi penanaman baru mencapai 3,67 juta hektar atau sekitar 32,59 persen dari total luas izin yang diberikan.
Sementara analisis TuK Indonesia terhadap penguasaan kebun sawit oleh 25 grup perusahaan yang dimiliki oleh para taipan menunjukkan bahwa dari 5,07 juta hektar kebun yang mereka kuasai, realisasi penanaman baru sekitar 3,07 juta hektar atau sekitar 60,33 persen. Penguasaan kebun oleh 25 grup perusahaan ini hampir setengah dari luas areal pekerbunan kelapa sawit Indonesia saat ini.
“Areal perkebunan kelapa sawit ternyata masih banyak yang tumpang tindih dengan kawasan hutan. Ini merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius. Kami berharap Pemerintah segera memberlakukan moratorium sawit sembari memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia,” pinta Monica Tanuhandaru, Direktur Eksekutif Kemitraan.
Mencermati berbagai persoalan tersebut, Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia mendesak Pemerintah untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Mengimpleentasikan kebijakan moratorium sawit dengan secepatnya mengeluarkan kebijakan penundaan pemberian izin baru perkebunan kelapa sawit dalam bentuk Peraturan Presiden.
  2. Melakukan perbaikan tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia disertai dengan rencana aksi dan indikator capaian yang jelas dan terukur, mencakup: (a) Membentuk Tim Independen yang melibatkan KPK untuk melakukan audit kepatuhan dan merekomendasikan pencabutan atau penciutan izin-izin perkebunan yang melanggar hukum, (b) Penguatan kerangka regulasi perkebunan kelapa sawit dan sinkronisasi dengan regulasi sektor lainnya (kehutanan, pertambangan, penataan ruang, dan lain- lain), serta (c) Melakukan upaya-upaya intensifikasi perkebunan kelapa sawit yang sudah ada khususnya pekebun skala kecil, inventarisasi kebun sawit non skema, penataan hilirisasi industri sawit, dan pajak & cukai, (d) Mempercepat upaya-upaya dukungan dalam replanting (penanaman kembali) bagi pekebun skala kecil.
  3. Memperkuat perlindungan hutan alam dan lahan gambut melalui audit kepatuhan seluruh industri/usaha berbasis lahan dan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran peraturan perundang- undangan, dan dilakukan secara independen bekerja sama dengan lembaga masyarakat sipil (CSO).
  4. Mempercepat pelaksanaan Kebijakan Pemerataan Ekonomi, melalui pelaksanaan reforma agraria dan perhutanan sosial untuk mengurangi kesenjangan penguasaan tanah antara usaha skala besar dengan rakyat dan petani miskin, dilakukan secara transparan dan memastikan tata kelola pemerintahan yang baik.

Narahubung:
Zenzi Suhadi (WALHI): 0812-89850005
Achmad Surambo (Sawit Watch): 0812-8748726 Edi Sutrisno (TuK Indonesia): 0877-11246094 Syahrul Fitra (Auriga); 0811-6611340
Hasbi Berliani (Kemitraan); 0812-3752077
Koalisi Masyarakat Sipil: WALHI, Sawit Watch, TuK – Indonesia, Auriga, dan Kemitraan.
Urgensi Moratorium Sawit final_070517.compressed
SIARAN PERS – Moratorium Sawit_Konferensi Pers 080517_Final