2016: Tahun Keuangan Berkelanjutan

Simon Zadek, pakar keberlanjutan yang telah lama malang melintang sejak 3 dekade lalu, mencanangkan bahwa 2016 adalah tahun keuangan berkelanjutan.  Beberapa tahun terakhir, ia memang menjadi seorang pemuka dalam bidang ini. Dengan jabatan sebagai co-chair dari UNEP Inquiry, tentu pendiriannya itu bukannya tak berdasar.
Setidaknya ada tiga laporan penting yang diluncurkan tahun lalu.  Semuanya di penghujung tahun.  Pertama, The Financial System We Need: Momentum to Transformation, yang diluncurkan pada pertemuan tahunan IMF di awal Oktober.  Kedua, Financing Sustainable Development: Moving from Momentum to Transformation in a Time of Turmoil yang diluncurkan awal Desember. Terakhir, Fintech and Sustainable Development, yang diluncurkan pertengahan Desember.  Ketiga laporan itu benar-benar memerkaya pemahaman kita terhadap keuangan berkelanjutan.  Juga semakin menunjukkan bahwa keuangan berkelanjutan artinya adalah sistem keuangan yang ditujukan untuk mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Seabreg kegiatan bertemakan keuangan berkelanjutan juga memenuhi kalender sepanjang 2016. Ada peluncuran Green Digital Finance Alliance di Davos, bulan Januari. Pertemuan G20 di Jerman juga mengusung tema Greeninvest Initiative, yang tahun 2017 ini akan disambung dengan pertemuan G7 yang salah satu fokusnya Green Finance for SMEs.
Di Asia Pasifik sendiri kita juga menyaksikan berbagai pertemuan.  Pada penghujung Februari ada acara Responsible Investor Asia di Tokyo, yang mengusung tema Investing for Resilience.  Kemudian ada acara UN Principles for Responsible Investment, PRI in Person, awal September, di Singapura.  Kemudian, yang paling penting, acara Sustainable Banking Network di awal Desember, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali.
Semua itu menunjukkan gairah yang luar biasa terhadap keuangan berkelanjutan.  Namun, gairah tersebut dinyatakan belum memadai.  Kalau kita ingin membuat penyatuan pada level yang fundamental antara sistem keuangan dengan pembangunan berkelanjutan, pekerjaan rumah masih menunggu.  Karena itu, kita semua harus memastikan gairah keuangan berkelanjutan semakin menyala di tahun 2017, dan itu ditunjukkan melalui tindakan-tindakan nyata oleh seluruh pihak.
Oleh: Jalal.

Mencari Dana Restorasi Gambut

Oleh:

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif

Jalal – Spesialis Keberlanjutan

Transformasi untuk Keadilan Indonesia

 
Pada penghujung Oktober 2015, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) merilis luas lahan terbakar 1 Juli-20 Oktober 2015.  Dalam perhitungan mereka, luasnya mencapai 2.089.911 hektare, terdiri dari 618.574 hektare lahan gambut dan 1.471.337 hektare non gambut.  Setengah tahun kemudian, Badan Restorasi Gambut (BRG) menyatakan bahwa BRG memiliki mandat untuk melakukan restorasi lahan gambut seluas 2,26 juta hektare lahan gambut dalam waktu 5 tahun dengan berfokus di 7 provinsi utama.  Ini karena lahan gambut yang terdegradasi bukan hanya yang terbakar pada tahun 2015 itu.

Berapa biaya yang diperlukan untuk restorasi per hektare lahan gambut? Bank Dunia dan CIFOR memerkirakan bahwa biayanya berkisar antara Rp6-36 juta per hektare, dengan rerata Rp12 juta.  Ini berarti, untuk mandat yang diperoleh BRG itu, dana yang dibutuhkan akan mencapai Rp27,12 triliun. Kalau dibagi rata, maka jumlah uang yang perlu disediakan per tahunnya mencapai Rp5,42 triliun per tahunnya. Jumlah yang sangat besar, sekaligus menjadi pengingat betapa sektor-sektor yang membawa risiko kelestarian hutan sesungguhnya memang dapat membawa kerugian sangat besar bila tidak dikelola secara berkelanjutan.

BRG sendiri mulai dengan angka yang sangat rendah, yaitu untuk 400 ribu hektare yang ditargetkan direstorasi pada tahun 2017, anggaran yang dipergunakan adalah Rp1,44 triliun.  Negara sendiri hanya menyediakan Rp912 miliar, sehingga masih ada kekurangan Rp528 miliar untuk di tahun 2017 saja.  Lantaran memulai dengan jumlah yang rendah, maka tumpukan kebutuhan dananya tentu akan membesar di tahun-tahun mendatang.  Maka, pertanyaan dari mana pembiayaannya tentu menjadi valid, bila memang negara ini serius mengembalikan ekosistem gambut ke kondisi semula—yang merupakan pengertian restorasi.

Ada data yang cukup menyenangkan.  Menurut Kepala BRG, Nazir Foead, pemerintah sebetulnya bisa memeroleh ‘dana segar’ senilai Rp500 triliun setiap tahun dari penjualan karbon gambut. Syaratnya, Indonesia mampu menjaga lahan gambut dari kerusakan, dan berkomitmen mendorong pemanfaatan lahan gambut tidur menjadi area produktif pertanian berkelanjutan.  Dia mengatakan bahwa Rp500 triliun tersebut merupakan perhitungan harga yang setara dengan 1 giga ton karbon. Angka tersebut, menurut dia, bisa didapat jika Indonesia mampu melindungi 6,2 juta lahan gambut yang masih utuh atau tidak terbakar dari total luas 14,9 juta lahan gambut di tujuh provinsi yang memiliki gambut.

Apakah benar 1 giga ton atau 1 miliar ton CO2 bisa setara dengan jumlah luar biasa tersebut? Apabila kutipan tersebut bena, berarti Kepala BRG mengasumsikan harga karbon Rp500.000/ton. Dengan kurs sekarang, berarti Kepala BRG menggunakan tingkat harga USD37,6/ton.  Harga tersebut tampaknya dekat dengan temuan EPA di tahun 2015 yang menyatakan bahwa biaya lingkungan dan sosial yang harus ditanggung dunia akibat emisi 1 ton CO2 adalah setara USD37.  Harga itu sendiri membumbung sangat tinggi ketika dihitung oleh 2 peneliti Universitas Stanford, Frances Moore dan Delavane Diaz.  Artikel mereka, Temperature Impacts in Economic Growth Warrant Stringent Mitigation Policy yang diterbitkan Nature Climate Change No. 5 2015, menyatakan bahwa nilai ekonomi dari seluruh kerugian yang timbul dari 1 ton karbon dioksida sesungguhnya mencapai USD220.

Tetapi apakah harga tersebut benar-benar dibayarkan?  Sayangnya tidak.  Atau belum.  Ramalan terbaik mungkin datang dari Patrick Luckow dkk dari Synapse Energy Economics, Inc. Karya mereka di tahun 2015, bertajuk 2015 Carbon Dioxide Price Forecast, menyatakan bahwa per tahun 2020, harga karbon akan mencapai USD15/ton, kemudian meningkat menjadi USD25/ton di tahun 2030, lalu menjadi USD45/ton di tahun 2050.  Secara rerata, harga karbon antara periode 2020-2050 adalah USD26.

Tentu, kalau Indonesia bisa mendapatkan harga USD26, bukan USD37 sebagaimana yang dinyatakan Kepada BRG, saja untuk seluruh cadangan karbon yang disimpan, maka jumlahnya akan laur biasa signifikan bagi ekonomi Indonesia.  Namun, seperti yang dinyatakan oleh pakar pasar karbon dari Universitas Exeter, Steffen Bohm, lobi perusahaan penghasil emisi besar adalah faktor paling kuat yang menghalangi pembentukan harga karbon itu.  Itulah mengapa mendekati tahun 2020 pun kita belum menyaksikan harga yang mendekati USD15/ton.  Hanya apabila dunia bisa menyepakati regulasi global untuk phase out dari energi fosil saja kita akan melihat harga karbon yang tinggi.

Satu lagi yang perlu dipastikan bila negara seperti Indonesia ingin mendapatkan pembayaran atas jasa lingkungan penyerapan karbon, yaitu disepakatinya skema perdagangan karbon antar-negara.  Bila misalnya yang dibuat adalah skema pajak karbon, atau perdagangan karbon dalam negeri seperti yang terjadi di Tiongkok, maka harga karbon berapapun tingginya tidak akan dibayarkan perusahaan dan/atau negara lain kepada Indonesia.  Pajak karbon akan dipungut pemerintah negara asal karbon, sehingga akan bermanfaat buat negara itu saja, demikian juga skema perdagangan karbon dalam-negeri.

Jadi, jelas bahwa ada banyak prasyarat untuk mendapatkan dana ratusan triliun dari cadangan karbon kita yang tak dilepas ke atmosfer.  Kemampuan sekuestrasi karbon hutan-hutan kita memang luar biasa, namun selain harus dipastikan pemeliharaannya terlebih dahulu—karena hampir seluruh mekanisme itu adalah didasarkan pada kinerja—beragam persyaratan lain juga perlu terjadi dan dipenuhi.

Apabila demikian, yang perlu dilakukan sekarang adalah mencari sumber-sumber yang lain terlebih dahulu.  Bila memang kelak perdagangan karbon antar-negara dengan harga yang baik itu bisa terwujud, Indonesia yang telah merestorasi gambutnya, juga melakukan konservasi atas ekosistem gambut yang masih baik, akan mendapatkan bonus.  Pertanyaannya kemudian, dari mana saja dana tersebut, di luar APBN, bisa diperoleh.

Pertama, pembayaran oleh perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam kebakaran hutan.  Mereka bisa saja korban perilaku pihak lain, atau memang merupakan pelaku.  Bagi pelaku, hukuman yang keras perlu diberikan ketika memang sudah terbukti.  Penghitungan biaya pemulihan harus dilakukan dengan instrumen yang canggih dan benar-benar bisa memulihkan ekosistem yang dirusak.  Dengan perhitungan biaya antara Rp6-36 juta dan rerata Rp12 juta/hektare yang telah dihitung bisa juga menjadi dasarnya.

Buat perusahaan yang menjadi korban, mereka sebaiknya membayar sebagian, tergantung dari kemampuan mereka.  Mengapa mereka tetap membayar?  Karena mereka memiliki kepentingan untuk memerbaiki kondisi lahannya, dan mereka memiliki kemungkinan untuk mendapatkan uang pengganti dari asuransi mereka mengasuransikan lahannya.  Perusahaan-perusahaan yang baik biasanya membayar premi asuransi sebagai bagian dari manajemen risiko mereka.

Kedua, dari perusahaan yang menjalankan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap lahan mereka sendiri, lahan masyarakat yang menjadi mitra produksi mereka, lahan masyarakat yang lain, serta lahan negara yang terbakar.  Ada banyak perusahaan yang bersedia melakukan rehabilitas/restorasi lahan yang ada di sekitar mereka lantaran itu juga berfungsi sebagai daerah penyanggah bagi lahan mereka.  Hutan dan lahan yang bagus kondisinya akan sulit terbakar, sehingga menjadi pelindung bagi perusahaan yang melaksanakan CSR-nya.

Catatan penting untuk CSR perusahaan adalah tidak boleh dipergunakan untuk melakukan greenwashing atau sebagai alat tawar-menawar hukum.  Perusahaan yang benar-benar mengelola kebun, hutan, atau pertambangannya dengan baik adalah yang diutamakan.  Kinerja yang dibuktikan dengan perolehan sertifikat perkebunan berkelanjutan, pengelolaan hutan berkelanjutan, peringkat PROPER minimal biru, serta pertanda yang serupa sangat diperlukan.  Sebaiknya menghindari kerjasama dengan perusahaan yang pernah melakukan kejahatan lingkungan di level perusahaan itu sendiri maupun grupnya, setidaknya dalam waktu lima tahun.  Ini untuk memastikan bahwa perusahaan dan grupnya telah melakukan perubahan yang serius.

Ketiga, secara khusus dari dana PKBL BUMN.  Setiap tahun BUMN-BUMN yang memiliki keuntungan telah menyisihkan persentase tertentu dari labanya, biasanya hingga 4%, yang terdiri dari 2% untuk Program Kemitraan (dana bergulir dengan bunga rendah) serta 2% lainnya untuk Bina Lingkungan (hibah program sosial dan lingkungan), selain ada pula sumber dana lainnya yang dianggarkan.  Dana ini, karena ada komponen lingkungannya, juga pengembangan masyarakat bisa dimanfaatkan untuk restorasi gambut.  Ini terutama bila ditujukan untuk area gambut serta kelompok masyarakat yang berada dekat dengan operasi perusahaan.

Jadi, selain BUMN-BUMN perkebunan, kehutanan, tambang, dan minyak yang wilayah operasinya tersebar di atau dekat dengan wilayah gambut, yang juga bisa menjadi mitra adalah BUMN perbankan yang juga hadir di mana-mana.  Selain itu, pendekatan yang juga bermanfaat adalah kepada Kementerian BUMN yang memiliki kekuasaan untuk mengalokasikan sebagian—biasanya sepertiga dari total anggaran PKBL BUMN—untuk program ‘BUMN hadir’.  Bila BRG bisa bekerja sama dengan Kementerian BUMN, maka penyaluran sebagian PKBL itu bisa dilakukan.

Keempat, penugasan pembiayaan oleh OJK kepada bank-bank.  Bila memang mungkin secara komersial, misalnya dengan membuktikan bahwa akan ada ekonomi yang tumbuh setelah restorasi dilakukan, maka restorasi gambut sebenarnya bisa masuk ke dalam skema green lending yang sedang dipikirkan oleh OJK. Hanya saja, pelaksanaannya juga membutuhkan Peraturan OJK mengenai keuangan berkelanjutan yang masih ditunggu diresmikan pada tahun 2017.  BRG bisa memulai dengan memetakan terlebih dahulu kasus-kasus di mana aktivitas komersial pasca-restorasi bisa dilakukan, termasuk kebun-kebun sawit, dan mengembangkan model-model bisnisnya.  Bila kelak POJK Keuangan Berkelanjutan telah terbit, maka OJK bisa menugaskan perbankan untuk membiayainya.

Kelima, pembiayaan melalui skema Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang terus disediakan dananya dan diturunkan suku bunganya.  Skema ini perlu dipastikan benar-benar bisa diakses oleh para petani sawit yang lahannya terbakar, dan masih bisa mengembalikan lahannya menjadi kebun-kebun sawit yang dikelola secara berkelanjutan.  Ini mungkin membutuhkan sumber pendanaan tambahan untuk memerbaiki ekosistem di luar kebun-kebun rakyat, terutama di wilayah yang menjadi sumber air dari kebun-kebun itu.

Keenam, pembiayaan lewat skema yang dikembangkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).  BPDPKS mencanangkan “dari sawit untuk sawit”, dengan mengumpulkan dana dari perkebunan-perkebunan kelapa sawit sebagai proporsi dari produksi mereka yang dijual, lalu menggunakannya untuk peremajaan kebun kelapa sawit, termasuk milik masyarakat.  Masyarakat bisa mendapatkan hibah untuk peremajaan kembali lahan sawit mereka sebesar Rp25 juta/hektare, sepanjang mereka bisa menunjukkan memiliki dana Rp35 juta/hektare sebagai sumberdaya sendiri, serta mau mengelolala kebun mereka menuju setidaknya sertifikasi ISPO, dan beberapa persyaratan lainnya.  Tentu, bila ada kebun masyarakat yang terbakar, lalu bisa ditunjukkan rencana penanaman kembali yang mengarah pada pencapaian kebun sawit berkelanjutan, maka dana dari BPDPKS bisa menjadi salah satu sumber.

Ketujuh, pembiayaan oleh impact investor, terutama yang ingin melakukan investasi di bidang hutan restorasi.  Projek-projek seperti hutan restorasi sudah dihitung kemungkinan komersialisasinya, dan memang bisa mencapai kondisi itu apabila diberikan peluang pengelolaan untuk jangka panjang.  Ini berarti yang harus dilakukan oleh BRG adalah menemukan wilayah kelola yang bisa dijadikan hutan restorasi, menemukan organisasi yang memiliki kemampuan untuk melakukan restorasi, lalu kelak menjual jasa lingkungan yang timbul dari hutan yang sudah diperbaiki—baik itu air, penyimpanan karbon, maupun wisata.  Restorasi kebun kelapa sawit rakyat juga menarik perhatian para impact investor, karena mereka melihat hal tersebut sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan para petani sawit.

Terakhir, pembiayaan dari donor negara, multilateral maupun filantropi individu/keluarga/korporasi. Indonesia sudah pernah mendapatkan sokongan Norwegia untuk REDD+ sebesar USD1 miliar di tahun 2010.  Hingga sekarang perjanjian itu masih berlaku, termasuk komitmen pembiayaan untuk BRG sebanyak USD50 juta.  Periode berikutnya akan ada pembiayaan sebesar USD140 juta.  Baru, sejumlah USD800 juga akan dibayarkan sesuai dengan kinerja yang ditunjukkan.  Peluang tersebut bisa dioptimalkan dengan menunjukkan kemajuan pekerjaan yang sesuai dengan target, dan kelak juga dengan menunjukkan kinerja yang sesuai dengan ekspektasi.  Apabila memang kemajuan dan kinerja bisa ditunjukkan, tentu pencarian sumber pendanaan dari negara lain, organisasi multilateral maupun filantropi individu/keluarga/korporasi bisa diintensifkan.

Demikian beragam kemungkinan pembiayaan untuk restorasi gambut yang mungkin.  Jelas, dengan kebutuhan sekitar Rp5,4 triliun/tahun, kombinasi sumber pendanaan adalah keniscayaan.  Program yang baik dengan ukuran-ukuran kemajuan yang jelas tampaknya adalah kunci bagi BRG untuk bisa menarik pembiayaan dari manapun. Selain itu, untuk menarik perhatian pembiayaan perbankan komersial dan impact investor, tentu model bisnis yang menunjukkan kelayakan finansial adalah kuncinya.

HSBC menerbitkan kebijakan ‘Tidak Deforestasi’

HSBC menerbitkan kebijakan ‘Tidak Deforestasi’

HSBC menerbitkan kebijakan 'Tidak Deforestasi'

Bank-bank global perlu ikut menyelamatkan hutan hujan Indonesia
HSBC menerbitkan kebijakan tidak deforestasi, tanpa gambut, tdak eksploitasi, mencakup pembiayaan perusahaan-perusahaan minyak sawit. Langkah oleh HSBC – bank terbesar Eropa dan penyandang dana terbesar perusahaan-perusahaan minyak sawit – mengikuti sebuah investigasi oleh Greenpeace yang menghubungkan HSBC terhadap perusahaan-perusahaan yang merusak hutan hujan Indonesia. Menurut website ForestsandFinance.org, HSBC investasi hampir USD 1.4 miliar dalam bentuk hutang dan penjaminan dalam perusahaan-perusahaan minyak sawit yang beroperasi di Asia Tenggara, antara tahun 2010 dan 2016.

Dalam kebijakannya yang baru, HSBC telah membuat komitmen yang lebih kuat untuk menolak pembiayaan bagi perusahaan-perusahaan yang membuka hutan dan lahan gambut. Jika diadopsi seluruh sektor perbankan, kebijakan tersebut akan memainkan bagian dalam mengakhiri peran bank-bank dalam membiayai perusahaan-perusahaan sawit yang merusak.
Kebijakan baru tersebut akan mewajibkan pelanggan-pelanggan HSBC untuk:

  • Berjanji melindungi hutan alam dan gambut setelah 30 Juni 2017.
  • Identifikasi dan melindungi hutan dan gambut dalam perkebunan baru sebelum memulai pembangunan kebun baru.
  • Menyediakan verifikasi independen janji-janji Tidak Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tidak Eksloitasi sampai 31 Desember 2018.

HSBC sedang mengambil peran terdepan dengan inisiatif ini, tetapi bank-bank perlu untuk ikut serta menyelamatkan hutan hutan Indonesia.

#TuKIndonesia

PT. Wira Mas Permai di Bualemo, “Dari Perampasan Tanah sampai Buruh Murah”

buruh dilokasi pembibitan

Oleh: Budi Siluet*

 

Pendahuluan

Industri Sawit sampai saat ini masih menjadi andalan Ekonomi Nasional. Seperti dilansir sawitindonesia.com pada 2015 ekspor minyak sawit menyumbang surplus perdagangan nasional sebesar US$ 7,5 Miliar. Lebih lanjut pada KOMPAS.com edisi 23 Februari 2016 menjelaskan bahwa komoditas kelapa sawit menurut catatan laman ditjenbun.pertanian.go.id dan laman kemenperin.go.id masih menjadi andalan ekspor Indonesia. Menempati posisi pertama penghasil minyak kelapa sawit dunia, Indonesia mencatatkan ekspor lebih dari 21,7 juta ton. Sementara, setiap tahunnya, devisa dari kelapa sawit dan turunannya mencapai lebih dari Rp 250 triliun.

Namun sumbangan atas pertumbuhan industri sawit tersebut tidak berbanding lurus dengan kesejateraan masyarakat, baik petani maupun buruh kebun. Telah menjadi fakta umum bahwa kehadiran perusahaan perkebunan selalu membawa konflik ditingkatan masyarakat baik didalam maupun sekitar perkebunan yang faktanya lebih dahulu mendiami tempat yang menjadi lokasi perkebunan tersebut. Fakta–fakta perampasan tanah petani, eksploitasi buruh dan perusakan lingkungan adalah wajah lain dari industri Sawit ini.

Tulisan singkat ini mencoba mendeskripsikan fakta-fakta dari wajah suram industri sawit tersebut diatas khususnya yang terjadi di kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah, lokasi dimana perusahaan bernama PT.Wiramas Permai berada dan menjalankan praktek usahanya.

Sekilas Tentang Masyarakat Bualemo

Kecamatan bualemo adalah hasil dari pemekaran kecamatan Pagimana. Sebelumnya penduduk kecamatan bualemo sebagian besar adalah suku gorontalo dan saluan (kemudian disebut sebagai masyarakat lokal). Orang gorontalo masuk ke kecamatan bualemo kabupaten banggai diperkirakan pada saat akhir abad ke 19. Sandaran utama kehidupan masyarakat adalah bertani dan memancing. Selain menanam tanaman pangan seperti padi ladang dan ubi-ubian dengan cara berladang masyarakat bualemo juga menanam kelapa dalam sebagai tanaman komoditi utama. Adalah pada tahun 1986 ketika pertama kali masyarakat transmigrasi dari pulau jawa dan lombok datang. Kedatangan masyarakat transmigran sedikit banyak mengubah cara bertani masyarakat, saat itu sawah mulai diperkenalkan dan beberapa tanaman palawija yang sebelumnya jarang ditanam oleh masyarakat petani lokal seperti kacang ijo,wijen dan lain-lain juga mulai dikenal. Dan pada 1990 sampai 1991 bualemo kedatangan gelombang kedua transmigrasi dari pulau jawa, bali dan flores, situasi ini kemudian makin menjadikan terjadinya akulturasi di bualemo.

Sebelum masuknya perkebunan sawit konsentrasi pemilikan tanah (diferensiasi kelas) kepada sekelompok orang petani kaya ternyata sudah mulai terjadi, proses diferensiasi ini terjadi melalui jual beli lahan pertanian dengan berbagai macam alasan diantaranya akibat terjerat utang, biaya berobat buat keluarga yang sakit, biaya anak sekolah sampai biaya perkawinan atau lahan warisan yang sempit dan tanaman kelapa yang sudah tua dan tidak produktif maka lahan tersebut dijual. Situasi ini juga dipengaruhi oleh jatuhnya harga kopra pada medio 1990-an awal. Masyarakat yang telah kehilangan tanah kemudian mencoba membuka lahan baru dengan menanam tanaman palawija dan tanam komoditi perkebunan seperti jambu mete, mengambil hasil hutan berupa kayu,damar dan madu, namun ada juga sebagian yang tetap menjadi nelayan tradisonal.

Pada masyarakat transmigran juga demikian karena tidak semuanya masyarakat yang menjadi peserta transmigran merasa betah dengan daerah baru. Bagi yang tidak betah dan bermaskud meninggalkan lokasi transmigran maka mereka akan menjual jatah tanah dan pekarangan mereka kepada teman yang tetap menetap sebagai warga transmigrasi. Namun berbeda degan masyarakat lokal lahan-lahan masyarakat transmigrasi semuanya telah tersertifikasi. Sebagai konsekwensinya banyak lahan kering milik masyarakat transmigrasi yang belum sempat mereka olah secara serius, karena hanya bermodalkan tenaga maka lahan-lahan tersebut hanya ditanami pada saat menjelang musim penghujan sebagai lahan untuk tanaman palawija dan pada saat musim kemarau sebagai lahan pengembalaan ternak. Dalam beberapa wawancara lahan-lahan tersebut diharapkan menjadi lahan pengembangan buat anak-anak mereka.

Kehadiran perusahaan sawit (PT.WMP) yang melakukan akumulasi tanah melalui perampasan makin membuat terciptanya kelas-kelas sosial di bualemo. Bagaimana tidak perampasan lahan-lahan milik masyarakat lokal yang ditanami tanaman jambu mete dan tanaman palawija yang kemudian beralih fungsi menjadi perkebunan sawit dimana lahan–lahan tersebut kini masuk dalam wilayah HGU milik PT.WMP. Demikian halnya lahan-lahan bersertifikat milik masyarakat transmigrasi yang dirampas oleh pihak PT.WMP semuanya kini menjadi perkebunan sawit. Lebih lanjut terkait praktek perampasan yang dilakukan oleh PT.WMP akan saya diceritakan dibawah. Secara singkat inilah latar belakang situasi agraria saat ini di Bualemo.

Sekilas tentang PT. Wiramas Permai

Wiramas Permai atau biasa disingkat PT.WMP adalah anak perusahaan dari Kencana Agri Limited (Kencana Agri Group). Kencana Agri Limited adalah produsen dalam produksi minyak sawit mentah (CPO) dan inti minyak sawit mentah (CPKO) dengan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi strategis di daerah Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi. Perusahaan ini dipimpin oleh Mr Henry Maknawi.

Sejak dimulai pada tahun 1996, seperti yang dilaporkan dalam website resmi mereka luas tanaman Kencana Agri Grup telah berkembang menjadi sekitar 67.927 ha pada tahun 2015 termasuk didalamnya adalah tanaman plasma. Kencana Agri Grup saat ini memiliki lima pabrik pengolahan kelapa sawit dengan total kapasitas pengolahan 275 ton per jam dan dua pabrik pengolahan inti sawit dengan kapasitas 435 ton per hari. Kencana Agri Group juga memiliki Land Bank (Bank Tanah) yang saat ini dari seluruh luasan hanya 35% ditanami dan 23.000 ha land bank berada di Sulawesi. Sejak tanggal 25 Juli 2008 Kencana Agri Limited telah menjadi perusahaan yang go public dengan mencatatkan sahamnya di papan utama Bursa Efek Singapura. Pada tahun 2010 Wilmar Group menjadi pemegang saham strategis 20% di Kencana Agri Group.

Sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil ( RSPO) Kencana Agri Group juga berkomitmen membangun perkebunan yang berbasis pada tanggung jawab sosial dan lingkungan. Mereka juga berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal melalui plasma dan rekruitmen tenaga kerja dengan jaminan upah yang sesuai dengan standar Hak Asasi Manusia (www.kencanaagri.com).

Di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah sendiri PT.WMP beroperasi sejak 2009 ketika mereka mengantongi Surat Keputusan Bupati Banggai Nomor 525.26/15/Disbun tetang Izin Lokasi seluas 17.500 Ha. Dalam perjalananya pada 2011 perusahaan ini kemudian mendapatkan Izin Usaha Perkebunan (IUP) dengan Nomor 525.26/1922/Disbun dan pada tahun itu juga perusahaan ini mengantongi sertifikat HGU dengan Nomor 82/HGU/BPNRI/2011 dengan luasan 8.773,38 Ha.

Perampasan Tanah Petani

Perampasan tanah petani yang dilakukan oleh PT. Wiramas Permai (PT.WMP) terjadi secara masif dan terstruktur. Perusahaan ini “sengaja” didatangkan oleh Ma’mun Amir, Bupati banggai saat itu, memang dimaksudkan sebagai perusahaan yang dapat menjadi pesaing perusahaan sawit yang lebih dahulu ada yaitu PT.Kurnia Luwuk Sejati (PT.KLS) milik Murad Husen. Kelurga Murad Husen adalah lawan politik Ma’mun Amir sampai saat ini.

Karena mendapatkan dukungan dari pemerintah daerah saat itu maka dari camat sampai kepala desa sejak awal aktif membantu mensosialisasikan tentang rencana dan sistem perkebunan yang akan dibangun oleh PT. WMP. Beberapa wawancara yang kami lakukan dapat kami simpulkan bahwa telah terjadi praktek suap yang dilakuan oleh PT. Wiramas Permai kepada oknum Kepala desa dan oknum Kapolsek diwilayah kecamatan Bualemo sampai tahun 2015. Suap ini berupah intensif kisaran Rp.500.000 sampai Rp. 1000.000 yang disetor setiap bulanya kepada oknum kepala-kepala desa dan oknum kapolsek untuk memuluskan perusahaan dalam beraktifitas. Dan entah disengaja atau tidak, Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT. WMP dikeluarkan oleh Ma’mun Amir bupati saat itu bertepatan dilangsungkanya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) banggai 2011.

Modus perampasan tanah petani sangat beragam, pertama apabila lahan-lahan milik masyarakat yang tidak memiliki surat maka lahan tersebut diganti rugi dengan istilah Ganti Rugi Tanaman Tumbuh (GRTT) dengan harga Rp.500.000 sampai Rp.1000.000. Pemilik lahan mengira bahwa lahan tersebut akan menjadi lahan plasma milik mereka, karena sebelumnya memang perusahaan menjanjikan bahwa lahan-lahan tersebut memang akan dijadikan kebun plasma dan perusahaan hanya membayar tanaman mereka yang digusur namun pada faktanya dalam perjanjian dengan istilah GRTT tersebut ternyata adalah penyerahan hak atas tanah. Dalam catatan wawancara yang kami lakukan hampir semua desa dikecamatan bulaemo saat ini tidak lagi memiliki lahan pengembangan pertanian karena seluruh wilayah Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi wilayah Hak Guna Usaha (HGU) PT.WMP.

Perampasan tanah ini bukan tanpa perlawanan dari masyarakat, sedari awal ketika perusahaan ini mulai beraktifitas tanpa dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sudah mendapatkan protes dari masyarakat, mulai dari aksi memblokir jalan desa sampai melakukan demo ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

surat keterangan grtt

Surat Keterangan GRTT

Masyarakat penerima GRTT

Masyarakat Penerima GRTT difoto oleh perusahaan

Kedua Penyerobotan langsung lahan bersertifikat milik masayarakat transmigrasi. Sampai saat ini total luasan tanah petani bersertifikat yang dirampas oleh PT. Wiramas Permai mencapai 996 Hektare. Sebagai contoh fakta yang terjadi di desa Malik Makmur, sekitar tahun 2010 lahan petani bersertifikat dengan luasan kurang lebih 120 Ha digusur secara sepihak oleh PT.Wiramas Permai, setelah petani mempertanyakan tindakan penggusuran sepihak tersebut barulah perusahaan yang diwakili oleh Lutfi Wibisono selaku manejer saat itu melakukan sosialisasi dan mengatakan bahwa lahan tersebut adalah untuk plasma. Namun sampai kebun mulai bisa dipanen oleh perusahaan status kebun plasma tanpa kejelasan, soal perjanjian yang harusnya dilaksanakan antara perusahaan dan petani sebagaimana diatur peraturan perundangan tentang perikatan tidak pernah ada. Bahkan beberapa buruh perkebunan menjelaskan bahwa perusahaan memasukan lahan milik rakyat tersebut sebagai kebun inti mereka, dan ini dikuatkan dengan pemasangan papan plang yang bertuliskan bahwa lokasi tersebut adalah bagian dari Hak Guna Usaha (HGU) milik PT.WMP.

Demikian halnya di desa Sampaka dusun III Benteng, setelah melakukan sosialisasi terkait pembangunan kebun plasma perusahaan langsung mengusur lahan warga yang bersertifikat dan langsung menanami lahan masyarakat tanpa lebih dahulu melakukan kontrak perjanjian terkait pembangunan kebun milik warga tersebut, setelah tanaman berbuah PT. Wiramas Permai mengklaim bahwa lahan bersertifikat milik masyarakat dengan luasan kurang lebih 130 Ha tersebut sebagai bagian dari kebun yang masuk HGU mereka. Namun akibat protes warga dengan mencabut papan plang milik perusahaan, maka perusahaan berjanji akan memproses perjanjian kebun plasma tersebut, namun janji hanya tinggal janji samapai hari ini kebun yang berdiri ditanah milik petani belum medapatkan kejelasan apapun dari pihak perusahaan. Demikian pula yang terjadi dengan lahan bersertifikat milik masyarakat desa Lembah Tomptika dusun Panjit, lahan masyarakat bersertifikat milik masyarakat desa Nipa Kalimoan dan lahan bersertifikat milik masyarakat desa Bima Karya.

Perampasan tanah ini juga menuai perlawanan dari masyarakat pemilik lahan aksi-aksi protes ditingkatan kecamatan sampai ke kabupaten terus dilakukan sampai petani kemudian menduduki kembali lahan merka yang dirampas. Banyak petani setelah menduduki kembali lahan mereka kemudian menganti tanaman sawit menjadi tanaman palawija seperti jangung,wijen dan cabai.

Sertifikat hak milik

Sertifiakat Hak Milik

lahan tanaman jagung

Petani menanami lagi lahan mereka dengan tanaman jagung

Tidak Membangun kebun masyarakat

Diatas disebutkan bahwa Kencana Agri adalah anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sebagai anggota RSPO Kencana Agri tentu saja dalam setiap kesempatan mengatakan komitmen mereka tentang tanggung jawab sosial dan ligkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat lokal melalui pembangunan kebun plasma. Komitmen ini tentu saja sesuai dengan Undang-undang No 18 Tahun 2014 tentang perkebunan yang kemudian diubah menjadi Undang.Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Perkebunan yang dengan tegas mengatakan bahwa Perusahaan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% (dua puluh per seratus) dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh Perusahaan perkebunan atau yang banyak dikenal dengan pola Inti Plasma.

Namun di kecamatan Bulaemo yang terjadi justru sebaliknya, setelah enam tahun berselang sejak keberadaan PT. WMP di kecamatan Bualemo kebun masyarakat tidak pernah ada kejelasan dalam pembangunannya, dilapangan kita tidak akan menemukan yang namanya petani plasma karena seluruh kebun adalah kebun inti milik perusahaan. Fakta ini kemudian dikuatkan oleh pihak Dinas Perkebunan (Disbun) Kabupaten Banggai pada pertemuan tanggal 19 Maret 2015 dikantor Bupati Banggai yang juga dihadiri oleh Pihak PT.Wira Mas Permai dengan tegas dikatakan bahwa benar pihak PT. Wira mas Permai sampai saat ini tidak pernah membangun kebun masyarakat seperti yang diwajibkan oleh Undang- undang.

Penghisapan Buruh

Seperti disemua tempat dilokasi perkebunan sawit cerita tentang buruh adalah cerita tentang ketertindasan bahkan dalam situasi tertentu kondisi buruh tadak ada bedanya dengan kisah-kisah perbudakan dijaman lampau demikian pula yang dilakukan oleh PT.WMP di kecamatan bualemo kabupaten banggai sulawesi tengah.

Persis sebagaimana dijelaskan Arianto Sangadji bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit, pada umumnya, membagi pengelolaan perkebunannya ke dalam afdeling (divisi) dengan luas areal dan jumlah tenaga kerja tertentu. Setiap afdeeling juga dibagi lagi ke dalam beberapa blok, dengan demikian pengorganisiran buruh dalam pekerjaan menjadi mudah. Dari sana bisa juga dihitung jumlah tenaga kerja di perusahaan perkebunan itu (Arianto Sangadji 2009). PT.WMP mempunyai delapan afdeling yakni,afdeling hotel,afdeling fanta, afdeling echo, afdeling delta, afdeling alfa, afdeling papa, afdeling nursery I dan afdeling Nursery II. Setiap afdeling dipimpin oleh seorang asisten kebun dan tujuh orang mandor.

Dilokasi pembibitan atau yang sering disebut sebagai afdeling nursery buruh dikonsentrasikan untuk melakukan pembibitan. Dalam tahap ini karena bibit tanaman membutuhkan perlakukan khusus maka buruh harus tinggal dalam lokasi tersebut dengan cara membuat gubuk – gubuk yang dijadikan kamp- kamp saat kerja pembibitan. Mulai dari pengembangbiakan kecambah kelapa sawit (pre-nursery), kemudian tahap pembibitan (Main –nursery) sampai dengan penanaman. Semua buruh yang bekerja di upah harian sebesar Rp.35.000 perharinya pada tahun 2009 sampai 2010.

Karena upahnya dalam bentuk harian maka buruh setiap harinya harus masuk, demikian halnya dengan buruh perempuan yang pekerjaanya mulai dari meyiram,memupuk dan menyemprot obat-obatan kimia, tidak ada yang namanya cuti haid atau cuti melahirkan. Perempuan-perempuan hamil tetap terus bekerja sampai melahirkan bahkan seorang buruh perempuan bernama Nurtin Waminu harus dua kali melahirkan dilokasi pembibitan tanpa bantuan medis yang berarti.

 kamp buruh saat pembibitan

Kamp Buruh saat Pembibitan

Kejadian seperti ini terus terjadi sampai tanaman sawit mulai berbuah dan bisa dipanen. Kondisi buruh tetap tidak berubah dan terus menjadi buruh harian lepas. Fakta ini jelas melanggar Undang-undang No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan padahal undang-undang ini kita ketahui bersama masih sangat jauh dari prinsip perlindungan buruh yang sejati.

buruh dilokasi pembibitan

Buruh Kebun dilokasi Pembibitan

Selain asisten kebun dan mandor tidak ada buruh tetap dalam pengelolaan kebun di PT.WMP. Jangankan jaminan kesehatan dan jaminan kecelakaan kerja,cuti haid dan hamil bagi buruh perempuan, bahkan upah yang diterima buruh saja tidak sesuai dengan Upah Minimum Propinsi (UMP), padahal jelas dalam Undang-undang Ketenagakerjan pasal 90 perusahaan dilarang mengupah buruh dibawah upah minimim propinsi/kabupaten, karena lebih lanjut dijelaskan pada pasal 185 bahwa tindakan tersebut adalah pidana kejahatan. Kondisi ini semakin diperparah dengan situasi buruh yang sewaktu-waktu terancam PHK tanpa pesangon. Dan yang lebih mengerikan lagi adalah sikap anti serikat buruh yang dipraktekan olah PT. Wiramas Permai, jelas ini adalah praktek kejahatan yang sangat nyata, dimana sebanyak 170 orang buruh di PHK secara sepihak hanya karena mendirikan Serikat Buruh, padahal jelas dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh:

Pasal 28 ditegaskan “Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:

  1. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
  2. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
  3. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun ;
  4. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.

Lebih lanjut disebutkan Pasal 43 :

  1. Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
  2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.

Demikian pula yang terjadi pada 278 orang buruh yang dipecat kemudian, semuanya tidak menerima pesangon sama sekali meskipun telah bekerja selama tujuh tahun semua buruh hanya menerima uang pisah sebesar Rp.1000.000 sampai Rp.2000.000. Jelas ini adalah pelanggaran yang nyata terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan pastinya adalah pembangkangan terhadap negara namun karena tidak adanya pengawasan dan tindakan yang serius dari pihak pemerintah maka informalisasi buruh perkebunan terus berjalan mulus.

Penutup

Sebagai catatan penutup tulisan ini saya mencoba menggaris bawahi beberapa persoalan yang saya kira pantas untuk didiskusikan lebih lanjut. Yang pertama terkait kepemilikan atas tanah sebagai alat produksi utama petani. Diatas telah diceritakan bagaimana banyak lahan-lahan milik petani telah berpindah kepada sekelompok petani kaya atau dirampas oleh PT.WMP. Dalam struktur agraria di bualemo mayoritas petani adalah petani berlahan kering dengan luasan 1 Hektare – 5 Hektare. Situasi seperti ini adalah situasi yang sangat rawan karena dengan bertambahnya keluarga baru dalam tiga tahun kedepan diperkirakan akan banyak terdapat tunakisma di bualemo.

Dengan hancurnya pertanian rakyat akibat ekslusi yang masif oleh negara dan perusahaan swasta kepada petani maka persoalan kedua muncul sebagai konsekwensinya yakni banyaknya barisan tenaga kerja cadangan. Dengan banyaknya tenaga kerja cadangan maka informalisasi buruh perkebunan adalah keniscayaan. Dengan situasi seperti ini maka hanya satu pilihan buat petani yang telah kehilangan sebagian atau keseluruhan tanahnya yakni mengambil alih lagi lahan-lahan mereka yang dikuasai perusahaan dan mengolahnya.

Kepada pemerintah harus segera mengutamakan penegakan hukum agar kejahatan yang dilakukan perusahaan tidak lagi memakan korban yang lebih banyak,menghentikan ekspansi perkebunan sawit dan melakukan perlindungan terhadap petani dan buruh.

Tantangan buat masyarakat bualemo kedepan memang berat namun bukan berati tidak mungkin untuk dapat diperbaiki, apalagi sampai hari ini masyarakat telah berhasil menguasai kembali secara fisik sebagian lahan-lahan yang dirampas perusahaan tersebut dan sebagian buruh-buruh yang ter PHK ternyata mampu bertahan dengan kembali mengusahakan lahan-lahan mereka atau kembali menjadi nelayan tradisonal. Apabila kekuatan ini dipadukan dengan perencanaan yang baik dan semangat kolektifitas maka selalu ada jalan lain. Apalagi dengan keberadaan dana desa yang lumayan besar, adanya undang-undang dan peraturan daerah (perda) perlindungan petani saat ini, ditambah lagi proyek pembangunan irigasi oleh pemerintah yang sedang berlangsung, apabila peluang ini digunakan dengan tepat maka perbaikan tetap niscaya.***

*Penulis adalah Staf Lapangan Walhi Sulteng

Tulisan ini sebelumnya dimuat di Jurnal Kampung Hijau Volume 1 Tahun 2016

__________________________________

Daftar Rujukan

  1. Arianto Sangaji; Transisi Kapital Di Sulawesi Tengah, Kertas Posisi YTM Nomor 9 Tahun 2009 ; Pengalaman Industri Perkebunan Sawit
  2. Muhtar Habibi; Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran, Relasi Kelas,Akumulasi dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980 an (2016)
  3. https://sawitindonesia.com/rubrikasi-majalah/berita-terbaru/industri-sawit-tetap-andalan-ekonomi-nasional
  4. http://tekno.kompas.com/read/2016/02/23/175459026/Kelapa.Sawit.Masih.Andalan.Pengelolaan.Lahan.Harus.Jadi.Perhatian
  5. http://www.kencanaagri.com/milestones.html

 

 

Siaran Pers Bersama: Bank Harus Tanggung Jawab atas Ratusan Konflik Tanah dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang Terjadi

Jakarta-Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan telah menciptakan berbagai masalah lingkungan hidup dan sosial yang serius. Hutan yang bernilai tinggi dikonversi menjadi perkebunan, emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan gambut, bencana ekologis dan banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka dan yang telah mereka miliki secara turun-temurun.

Perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin masif ini tentu tak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan “economic booming” di sektor industri perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya dipicu oleh tingginya permintaan minyak nabati dunia untuk memenuhi konsumsi aneka makanan, kosmetik dan agrofuel. Indonesia merespon situasi ini dengan peningkatan perluasan perkebunan kelapa sawit, tujuannya secara normatif tentu untuk mendongkrak pendapatan ekonomi Negara, mengurangi angka pengangguran serta beberapa tujuan normatif lainnnya.

Trend perluasan perkebunan sawit ini semakin menemukan momentumnya ketika institusi-institusi perbankan ikut menyediakan kredit investasi bagi korporasi perkebunan kelapa sawit. Fatalnya, seringkali lembaga-lembaga Perbankan baik nasional maupun internasional tidak mempunyai filter untuk memastikan bahwa pinjaman-pinjaman yang mereka berikan kepada korporasi digunakan dengan mempertimbangkan masalah sosial dan lingkungan seperti keberlangsungan hidup para petani sawit skala kecil atau masyarakat di sekitar perkebunan serta isu-isu yang berhubungan dengan pencegahan deforestasi. Biasanya dalam prakteknya skema pemberian dana oleh Perbankan, terjadi pada tahap sebelum mendapatkan sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah dan juga setelah terbitnya sertifikat tersebut, tegas Fatilda Hasibuan, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Eksekutif Nasional WALHI.

Absennya filter tersebut dan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat menyebabkan terjadinya ratusan konflik tanah antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat lokal yang masih belum bisa terlesaikan dan menyisakan krisis lingkungan hidup, misalnya konflik antara warga dengan perusahaan yang terjadi di Jambi, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tenggara.

Dwi Nanto, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi mengatakan, “sejak PT. Krena Duta Agro di Desa Lindung, Sarolangun-Jambi, melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit tahun 2002 seluas 1800 ha, perusahaan tidak pernah menepati kewajibannya : 1) membersihkan danau Biaro, 2) Memberikan kejelasan letak lokasi areal tanah kas Desa (TKD) yang dibangun dari total luasnya 800 hektar, 3) Menerima tenaga kerja Desa Lidung, 4) Membangun kebun kelapa sawit untuk Tanah Kas Desa, 5) Pembukaan lahan”.

“Sedangkan di Maluku Utara, konflik terjadi dengan PT. Korindo yang beroperasi di Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Goronga dan PT. Manggala Rimba Sejahtera yang beroperasi di Kec. Patani Utara, Patani Barat, dan Halmahera Tengah”, ungkap Kuswandi Buamona, Manager Advokasi, Walhi Maluku Utara.

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Kisran Makati mengatakan “di Sulawesi Tenggara, terdapat konflik agraria antara warga Mowila dan PT. Merbau Indah Raya Group. Menurut Walhi Sulawesi Tenggara, diduga manajemen perusahaan PT. Merbau bekerjasama dengan oknum pejabat, kecamatan, oknum desa, oknum warga, oknum pejabat pembebasan lahan melakukan aksi penipuan secara terstruktur dengan cara mengajak warga desa untuk mengikuti program perkebunan dalam bentuk plasma, dengan system bagi hasil (20% untuk warga dan 80% perusahaan). Dalam proses pembayaran kompensasi perkebunan bentuk plasma, pihak perusahaan meminta fotocopy surat kepemilikan tanah, surat keterangan tanah dan belakangan PT. Merbau mengklaim secara sepihak bahwa telah melakukan pembelian tanah secara beli putus, bukan pola kerja sama plasma seperti yang dijanjikan saat penandatanganan dengan warga”.

PJs. Direktur Walhi Papua, Maurits Rumbekwan menambahkan “di Papua, konflik antara warga dengan PTPN II terjadi sejak tahun 1985. Pemerintah dan perusahaan berusaha menguasai area konsensi dengan meminta masyarakat menandatangani surat yang isinya tidak diketahui karena redaksi surat tersebut ditutup dan hanya menyodorkan lampiran tanda tangan. Masyarakat harus segera tanda tangan karena alat berat akan diturunkan ke lokasi tersebut. Saat alat berat diturunkan, bukan pada lokasi yang disepakati sejak awal tetapi pada area hutan sagu. Beitu juga luasan yang disepakati mengalami perubahan, namun perubahan tersebut terjadi tanpa melibatkan warga”.

Selain perusahaan dan pemerintah, kekuatan pendorong di balik pertumbuhan yang kuat dari sektor minyak kelapa sawit, yaitu pemilik dan penyandang dana – juga harus memikul tanggung jawab atas dampak-dampak tersebut. Industri keuangan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanggungjawab social dan lingkungan hidup melalui kebijakan kredit dan investasi. Bank dan investor dapat terlibat dan membuat perusahaan bisa berinvestasi lebih besar untuk modal, yang kemudian mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat yang kemudian kembali bisa digunakan oleh perusahaan ini untuk berinvestasi dan mengembakan perusahaan mereka. Saat perusahaan mengendalikan proses ekspansi sector kelapa sawit, dana bank dan investor  eksternal yang digelontokan kepada mereka memungkinkan mereka untuk makin mempercepat laju ekspansinya, Edi Sutrisno, Direktur Advokasi dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menutup siaran pers ini.

Workshop Kampanye ke Perbankan

Pada tanggal 6-8 Februari 2017, TuK Indonesia bersama Rainforest Action Network (RAN) dan Profundo menyelenggarakan “Workshop Kampanye ke Perbankan” di Hotel Grand Cemara, Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Mitra TuK Indonesia di empat wilayah: Walhi Jambi, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Maluku Utara, dan Walhi Papua Barat.
Workshop yang diselenggarakan selama tiga hari difasilitasi oleh: Rahmawati Retno Winarni (TuK Indonesia), Nur Hidayati (Direktur Eksekutif Nasional Walhi), Merrel Vandermark (TuK Indonesia), Jalal (TuK Indonesia), dan Ward Warmerdam (Profundo).
Selama tiga hari workshop peserta mempelajari berbagai materi pelatihan, diantaranya:
·       Pembiayaan Perusahaan-perusahaan dan Berbagai Proyeknya
·       Jenis Bank dan Struktur Tata Kelolanya
·       Bagaimana Bank Menilai dan Mencegah Resiko
·       Kebijakan Resiko Keberlanjutan Bank
·       Inisiatif Perbankan yang Berkelanjutan
·       Analisis Kesenjangan Roadmap Keuangan Berkelanjutan
·       Bagaimana Menyakinkan Bank untuk Mempengaruhi Perbankan
·       Hutan dan Pembiayaan: Bank dan Investor yang Terpapar Resiko Terhadap Kelestarian Hutan di Asia Tenggara
Tidak hanya itu, peserta juga mendiskusikan kasus perampasan tanah  yang sedang terjadi di wilayahnya masing-masing, khususnya yang berhubungan dengan perbankan, serta membahas strategi kampanye ke perbankan di level nasional dan Internasional.