Siaran Pers Hari Tani Nasional: Menolak Ilusi Reforma Agraria dan Kebijakan Pro-Investasi Jokowi-JK

Hari Tani Nasional (HTN) yang diperingati setiap tanggal 24 September merupakan hari lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, yang juga merupakan momentum kebangkitan kaum tani di seluruh Indonesia, sebagaimana ditetapkan melalui Kepres 169 tahun 1963. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengamanatkan terwujudnya keadilan sosial dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pelaksanaan reforma agraria, yang program pokoknya adalah menyediakan tanah dan program pendukung lainnya untuk kaum petani. Namun amanat ini tidak dijalankan. Hingga kini nasib kaum tani tak kunjung membaik. Kemiskinan di pedesaan semakin luas karena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin tajam.
Jokowi-JK memulai pemerintahannya dengan menjanjikan pelaksanaan reforma agraria melalui Nawa Cita dan RPJMN 2015-2019, yang diterjemahkan ke dalam dua skema, yakni redistribusi tanah dan legalisasi asset dengan target 9 juta hektar bagi petani. Skema ini sesungguhnya melanjutkan praktik dari rezim sebelumnya yang cenderung membuka pasar tanah (market-led land reform). Hingga dua tahun masa pemerintahan Jokowi JK berjalan, ketiadaan lembaga pelaksana reforma agraria yang dipimpin langsung oleh Presiden menunjukkan bahwa pemerintahan ini tidak memiliki kemauan menjalankan reforma agraria sejati.
Penyimpangan ini diperparah oleh berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang bertentangan dengan cita-cita reforma agraria. Pemerintahan Jokowi-JK tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan pro investasi anti rakyat, yang semakin melanggengkan persoalan ketimpangan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat. Kebijakan tersebut antara lain: kebijakan pengadaan tanah untuk kebutuhan infrastruktur, perkebunan, pertambangan, kehutanan dan reklamasi; impor pangan; paket kebijakan ekonomi jilid I-XIII; UU Tax Amnesty; dan Perpres Percepatan Pembangunan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Situasi di atas semakin meningkatkan eskalasi konflik agraria di berbagai sektor dan daerah yang berujung pada tindakan represif dan kriminalisasi terhadap perjuangan rakyat atas hak-haknya. Dari 2004-2015, tercatat 1.772 konflik agraria dengan luasan wilayah konflik 6.942.381 hektar dengan korban 1.085.817 kepala keluarga. Akibat represifitas aparat (polisi/TNI/satpol PP) dan security korporasi di lapangan terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah, tercatat petani/nelayan/masyarakat adat yang ditangkap 1.673 orang, dianiaya/luka-luka 757 orang, ditembak 149 orang dan tewas 90 orang (KPA, 2015).
Melihat jauhnya janji dengan realisasi di lapangan, dan menyaksikan tetap bertahannya berbagai persoalan kaum tani tanpa penyelesaian, maka KNPA menegaskan sikap dan posisinya dengan menggelar rangkaian aksi peringatan HTN di berbagai daerah (terlampir), dan akan menutup rangkaian tersebut dengan aksi puncak peringatan HTN 2016 pada Hari Selasa, 27 September di depan Istana Negara, Jakarta. Puncak peringatan HTN di Jakarta ini akan diikuti oleh sekitar 10.000 massa, yang terdiri dari organisasi tani, buruh, nelayan, masyarakat adat, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota dan aktivis/NGO dari Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jakarta.
Demikian rilis ini kami sampaikan. Di dalam negara yang kuat, kaum tani harus berdaulat. Mari perkuat persatuan gerakan rakyat, dan selamat Hari Tani Nasional kepada kaum tani di seluruh tanah-air.
 
Jakarta, 24 September 2016
Hormat Kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)
Dewi Kartika
Koordinator Umum
 
Aliansi KNPA:
KPA, SPI, API, AMAN, KPBI, WALHI, Bina Desa, KontraS, SP, SAINS, IHCS, JKPP, KIARA,
STI, SPM, SPB, FPRS, SEPETAK, FPPB, STIP, STAM, SW, Pusaka, YLBHI, WAMTI, IPPHTI,
GMNI, SMI, Jaka Tani, SPRI, SNI, KNTI, LMND, SPKS, LBH Jakarta,
TuK-Indonesia, STKS, JRMK, UPC.

Obrolan Soal Bank, Masyarakat, dan Lingkungan

Oleh: Jalal
 
Saya mendapat banyak sekali ucapan selamat dari orang-orang yang saya kenal setelah acara peluncuran website www.forestsandfinance.org di Singapura dan Jakarta.  Sebetulnya, peran saya sendiri sangat terbatas di kedua acara itu, hanya menjadi moderator.  Ada juga bantu-bantu sedikit menerjemahkan, juga menyebarkan undangan ke acara itu.  Tetapi, kontribusi kecil itu tak mencegah para kenalan itu memberikan ucapan selamat dan komentar.
 
Di antara mereka yang mengirimkan ucapan selama lewat aplikasi WA, baik secara pribadi maupun lewat WAG, juga menelepon dan ketika bertatap muka, adalah para bankir dan petinggi korporasi.  Secara rerata, mereka sudah kenal saya sejak lama, mengetahui dengan persis apa saja aktivitas saya yang terkait dengan keberlanjutan, dan selama  ini mereka banyak membicarakan bagaimana mereka juga bisa mengaplikasikannya di level individu dan keluarga. 
 
Peluncuran website tersebut, dengan latar pemikiran di belakangnya—sebagaimana yang saya tuliskan dalam tiga artikel di media massa daring Tempo, GeoTimes dan Mongabay—rupanya mengubah pembicaraan kami.  Terutama, karena ide di baliknya adalah transparensi dan akuntabilitas keputusan pembiayaan oleh bank.  Bagian berikut ini bukanlah pembicaraan saya dengan satu orang, melainkan dengan kumpulan para bankir dan petinggi korporasi kenalan saya itu.  Ini juga bukan rekaman pembicaraan yang presisi, namun semua komponen diskusi di antara kami hendak direpresentasikan di sini.    
 
****        
Bankir/Eksekutif (BE): “Mas, selamat ya, acaranya di Singapura dan Jakarta sukses.”  
 
Jalal (J): “Terima kasih. Itu kan cuma peluncurannya. Yang penting sih akan dipake orang untuk mberesin situasi apa nggak.  Kalo nggak dipake, ya percuma.  Tapi saya beneran berharap ini bisa bikin orang mikir lebih jauh soal gimana bank bisa lebih mikirin tanggung jawabnya ketika ngambil keputusan investasi.”      
 
BE: “Susah, Mas. Bankir kan nggak ngerti yang begitu-begitu. Masak diminta untuk beneran meriksa debiturnya njalanin amdal-nya sih? Kan bukan kompetensi kami juga.”
 
J: “Hehe. Bankir juga nggak ngerti detail bisnis tambang batubara, migas, kelapa sawit, atau yang jualan gorengan di pinggir jalan. Bankir nggak punya kompetensi di situ, tapi kan ngambil keputusan soal itu.”    
 
BE: “Menurut saya itu beda, Mas.  Kami punya kualifikasi untuk menilai kelayakan usahanya.  Kami punya kompetensi itu.  Kami nggak ngerti detail bisnisnya, tapi kan ngerti bahwa bisnisnya layak.”
 
J: “Layak secara finansial dan ekonomi, ya?”
 
BE: “Setidaknya secara finansial. Kalo dampak ekonominya sih ya nggak juga bisa kami pahami sepenuhnya. Yang mikro tentu baik buat perusahaan.  Tapi kalo mereka mbayar pajak, tentu saja akan bagus buat ekonomi makro. Kalo mereka mbayar pekerjanya dengan baik, dan bikin macem-macem bisnis dengan pemasoknya, tentu itu dampak ekonomi ikutannya bagus.  Multiplier effect lah.”
 
J: “Jadi memang utamanya kelayakan finansial ya? Kalo sampe sering didemo karyawan dan masyarakat atau didenda besar karena merusak lingkungan, apa mereka juga dianggap layak finansial?”
 
BE: “Itu risiko non-performing loan alias NPL-nya jadi tinggi. Tapi kami dah mikirin juga gimana ngecilinnya. Kan kami melakukan manajemen risiko, di antaranya dengan asuransi dan macam-macam upaya lain.”
 
J: “Tapi ketika ngambil keputusan, apa temen-temen nggak bisa menghitung peluang dan magnitude risiko sosial dan lingkungan itu?”
 
BE: “Susah, Mas.  Itu kan nggak pasti.”
 
J: “Memang. Tapi bukannya risiko yang lain juga gak pasti?  Kalau pasti sih bukan risiko namanya. Terkait risiko sosial kan ilmu sosial bisa banget mbantuin meramalkan apa saja sumber gejolak sosial, termasuk dari masalah-masalah lingkungan.  Kalo amdalnya beres, itu semua bisa dibaca dengan baik, dan kita tahu gimana caranya mengelola itu.”
 
BE: “Tuh, kan. Yang penting ada amdalnya! Kami mastiin itu koq, selain ijin-ijin yang lain.”
 
J: “Masalahnya, sebagian besar amdal nggak beres.  Bukan cuma soal isinya yang jaka sembung bawa golok sama konteks lingkungan dan sosial dengan dampak bisnis, tapi juga cara ndapetinnya nggak beres.”
 
BE: “Sekali lagi, Mas. Kami nggak punya kapasitas buat menilai amdalnya beres apa nggak. Kami juga sulit dong untuk menelisik apakah perijinannya bener-bener diperoleh sesuai dengan governance dan etika. Kami mendukung penegakan itu, tapi sulit kalau harus memastikan bahwa debitur kami juga sama ketatnya dengan kami.
 
J: “Jadi, kalian nrima aja amdal yang nggak masuk akal, walaupun sadar bahwa amdal itu yang akan dipake sebagai alat pengelola risiko sosial dan lingkungan?  Kalo bisnisnya dihentikan masyarakat atau pemerintah lantaran dokumen dan praktik pengelolaannya nggak beres, apa bank nggak akan terpengaruh?  Kalo di kemudian hari ada debitur yang ketauan bahwa ijinnya nggak beres kemudian dicabut, dan bisnisnya dihentikan sementara bahkan permanen, apa bank nggak dirugikan? 
 
BE: “Selama ini ya begitu, yang penting ada amdal dan perijinan lainnya. Tapi sekarang jadi kepikiran banget.  Itu kan bawa risiko bisnis buat kami.”
 
J: “Iya.  Makanya kami juga sering ngingetin, jangan mbayarin kelapa sawit yang mbuka hutan primer, jangan mbayarin kalo itu di atas lahan gambut, walau yang minjem itu grup yang kayaknya bonafid.  Risikonya kegedean.  Temen-temen dari Wetlands Internasional udah nunjukin bukti-bukti kalo sawit di atas gambut itu banyak yang rubuh, padahal masih di tahap ‘belajar buah’, kayak di tahun ke 5 sampe 7.  Kami juga udah ndiskusiin soal stranded assets di sektor pertambangan batubara dan migas. Itu risiko finansial yang gede buat bank.”
 
BE: “Bener. Udah ada beberapa bankir yang bilang bahwa sawit-sawit yang di atas lahan gambut itu memang bikin risiko gede.  Yang kebakaran kemarin itu juga kebanyakan kebun di atas atau di sekitar gambut.  Nggak tau bank mana saja yang kena, tapi yang jelas pasti banyak lah.  Mungkin semua bank yang mbayarin sawit juga kena.  Kalo batubara kita liatnya memang harga produknya terjun bebas beberapa tahun belakangan, jelas banyak bikin pusing juga.  Minyak kita nggak main di situ lagi, karena harganya udah nggak masuk akal buat pengembangan bisnis baru.  Kita tadinya nggak liat itu sebagai risiko sosial dan lingkungan. Paling-paling kalau harganya membaik lagi, ya mereka mulai jalan, dan kami bisa mbayarin juga. Kan menambang batubara dan minyak masih legal?”    
 
J: “Persis di situ yang mau saya bilang.  Kebijakan dan prosedur penapisan serta pengelolaan sosial dan lingkungan yang saya sudah omongin berkali-kali ketika kita ketemu sesungguhnya itu juga buat kebaikan bank.  Amdal yang nggak beres tentu akan bikin risiko bisnis buat si perusahaan, sektor yang berisiko tinggi, dan perusahaan yang nggak peduli masyarakat dan lingkungan akibatnya juga risiko NPL buat bank.  Pas Konferensi Paris, gerakan divestasi batubara dan minyak itu sudah mencapai USD3,4 triliun, dan yang melakukannya beneran nggak akan kembali lagi, karena dasar pemikirannya memang dampak lingkungan.  Buat bank, apa yang terjadi ini memang bikin lebih repot ngambil keputusannya, juga mungkin di awalnya lebih sedikit duit yang bisa disalurkan, tapi keputusan kreditnya akan jadi lebih prudent.”
 
BE: “Iya. Kami juga diminta untuk ‘know your customer’, tapi jelas kami nggak kenal-kenal amat sama mereka, sedeket yang seharusnya.  Kami nggak tau apakah customer kami memang baik-baik apa nggak, bakal mbalikin duit dengan tertib apa nggak.  Bahkan, kayaknya kalo ngurusin pebisnis gede, kayaknya jauh lebih sering ketipu.”
 
J: “Masak sih?”
 
BE: “Haiyah, pura-pura nggak tau deh.  Kan ada tuh pernyataan ‘kalo minjem duit sepuluh juta, itu masalahnya nasabah; tapi kalo minjemnya seratus miliar, itu masalahnya bank.’ Itu beneran, Mas.  Kami seneng bisa minjemin duit gede.  Nggak usah ngurusin banyak pihak, target cepet dapet.  Tapi ya gitu itu deh.”
 
J: “Itu juga yang bikin kami, para aktivis keberlanjutan, berkonsentrasi di penapisan investasi buat korporasi.  Gimanapun, kalo korporasi kan dampaknya gede banget, baik yang positif maupun yang negatifnya.  Makanya perlu dijagain.”
 
BE: “Tapi yang sering diajuin aktivis itu kejauhan dari realitas, Mas.”
 
J: “Hah! Kalian itu doyannya ngeles.  Katanya korporasi termasuk bank itu tempatnya inovasi yang disruptif.  Diajakin mikir gimana caranya ngelola risiko dengan lebih komprehensif aja bilangnya susah.  Kalo tertib ngelola risikonya kan bisnis kalian juga jadi lebih bagus.  NPL itu kan paling nakutin bank.  Juga, kalo kalian terus-terusan diketahui ngasih duit ke perusahaan yang nggak bener, masak nggak ngeri sama risiko reputasi sih?”
 
BE: “Tapi kami kan harus investasi, Mas.  Itu para nasabah yang naruh duit kan ngarepin bunga atau bagi hasil.  Kalo kami susah naruh duitnya, karena dibatesin sama persyaratan ini dan itu, kan repot juga mbayarin bunga dan bagi hasil?  Mereka kan juga harus bisa narik duitnya sewaktu-waktu.  Kita perlu njagain itu.”
 
J: “Ngerti. Makanya, jangan sampe risikonya bank itu nggak terkelola.  Kalo perusahaan yang kalian pinjemin duit itu pada kena gangguan operasi karena kelakuan mereka sendiri, kan kalian juga yang mumet.  Inget lho, di enterprise risk management mutakhir, yang namanya risiko itu kan ancaman dan peluang sekaligus.  Peluangnya dateng dari bisnis-bisnis yang jauh lebih baik.”
 
BE: “Maksudnya, Mas?”
 
J: “Ente kurang piknik neh. Hehehe. Banyak banget penelitian yang mbuktiin bahwa bisnis yang beneran peduli pada lingkungan dan masyarakat itu jauh lebih nguntungin dibandingin bisnis yang nggak peduli.  Baru-baru ini saya beli buku The B Corp Handbook yang ditulis Ryan Honeyman.  Di situ Robert Shiller, yang menang Nobel ekonomi 3 tahun lalu jelas-jelas bilang bahwa B Corporations—yaitu perusahaan-perusahaan yang bersumpah untuk membawa benefit alias manfaat terbesar buat masyarakat, dan nggak mau bawa mudarat sekecil apapun—bakal bikin keuntungan yang jauh lebih gede dibandingin perusahaan-perusahaan lain.  Yang ngomong itu ekonom super-ngetop lho.  Penelitian yang menghubungkan kinerja sosial dan lingkungan dengan keuntungan finansial itu seabreg, dengan jelas banget bilang hubungannya positif.  Google dong.”
 
BE: “Udah pernah liat juga, Mas. Tapi itu semua kan di luar negeri. Indonesia kan aneh.  Belum ada kan penelitian yang bilang hal yang sama di negara kita?  Kalo di sini kita dianggap berbuat baik, itu mancing proposal lebih banyak.  Terutama, hehehe, dari Senayan.”
 
J: “Masih kurang google tuh.  Coba tambahin kata Indonesia.  Hasilnya sami mawon, Bro.  Kalo perusahaan perhatian pada masyarakat dan ogah ngrusak lingkungan, macem-macem indikator finansialnya juga kuat.  Ini bukan soal jadi sinterklas, tapi soal ngelola dampak bisnis inti.  Sebetulnya, kalo ada perusahaan jago ngurusin masyarakat dan lingkungan, jelas itu pertanda bahwa tata kelola sama manajemennya beres.”
 
BE: “Bener juga. Bisa dikirimin?”
 
J: “Haha. Iya deh. Tunggu aja di inbox. Tapi jangan males bacanya.  Agak banyak yang bisa dikirimin.  Termasuk bukti-bukti bahwa bank yang lebih hati-hati ngasih kredit, dengan menghitung aspek environment, social and governance—disingkat ESG—itu juga jauh lebih rendah NPL-nya, dan punya pangsa pasar yang semakin sesuai dengan kebijakan itu.  Pangsa pasarnya sendiri terus membesar.  Jadi sekarang bisa dibilang bukan cuma niche market doang.”
 
BE: “Oh ya?  Mantep tuh. Ditunggu, Mas. Biar gampang ngomong sama temen-temen di dalem.  Tapi susah juga ya kalo Pemerintah kita nggak bergerak ke situ.  Bank biasanyanya sih cuma gerak kalo udah jadi regulasi.  Lagian, seperti data yang ada di website elu itu, bukannya duitnya banyakan dateng dari negara-negara lain? Kalo Malaysia, Cina, Jepang, sama Singapura nggak ngetatin persyaratan kreditnya, emang akan ada artinya?”
 
J: “Mbok ya jangan masang prasangka butuk melulu sama Pemerintah.  Akhir 2014 OJK sama KLHK sudah bikin Roadmap Keuangan Berkelanjutan.  Masih banyak ruang perbaikannya, tapi jelas penting untuk disyukuri.  Tahun ini juga, dan tahun depan kemungkinan sudah akan ada beberapa regulasi turunannya.  OJK sendiri bagian dari Sustainable Banking Network atau SBN, yang bisa memengaruhi negara-negara lain untuk bergerak ke arah yang sama.”
 
BE: “Tapi Malaysia, Singapura sama Cina apa mau begitu?  Bukannya sekarang juga udah terbukti paling ngrusak hutan kita?”
 
J: “Yang ditaruh di website www.forestsandfinance.org itu adalah sektor yang paling bawa risiko kerusakan hutan.  Ya belum pasti mereka merusak.  Soal Malaysia dan Cina juga kita musti lebih hati-hati membacanya.  Dalam laporan WWF yang terbit tahun lalu—Sustainable Finance in Singapore, Indonesia and Malaysia—memang dinyatakan bahwa bank-bank di Indonesia itu yang lebih maju.  Tapi jelas, mereka juga mengejar.  Di laporan itu dinyatakan Singapura yang paling ketinggalan, tapi segera mereka ngeluarin aturan soal pelaporan keberlanjutan yang bakal bikin mereka lebih transparen.  Di Malaysia kayaknya memang belum ada perkembangan.  Cina, tahun lalu juga, ngeluarin dokumen Establishing China’s Green Financial System, lengkap dengan petunjuk detail untuk masing-masing sektor keuangan.  Sebagai dokumen, kayaknya Cina yang paling impresif.  Lha wong yang mbikinin itu salah satunya Simon Zadek, dewa sustainable financing.  Tapi memang kita masih harus nunggu implementasinya.  Tapi kita tahu, di Cina kalo sudah jadi dokumen pemerintah, ya akan dijalanin.”
 
BE: “Hahaha. Kita yang masih gini-gini aja dibilang yang paling maju ya?  Jadi, kalau liat laporan WWF itu, kita kayaknya paling perlu ndorong dan/atau maksa Malaysia berubah ya?”
 
J: “Hmmm, bener.  Tapi sejujurnya kita perlu khawatir juga sama yang lain.  Kalo kita liat status SBN terakhir, Malaysia, Jepang dan Singapura itu boro-boro punya sustainable banking guidelines, mulai ngembangin aja belum.  Jepang sudah jadi pendukung SBN lewat Kementerian Keuangannya, dan Singapura berusaha masuk lewat aturan pelaporan itu.  Tapi ya masih jauh dari harapan lah.  Malaysia itu yang paling menakutkan.  Naruh duit di sektor-sektor yang paling nimbulin risiko deforestasi, tapi paling terbelakang soal ini.”
 
BE: “Nggak ada harapan, Mas?”
 
J: “Hehehe, nggak begitu juga.  Kan kalau mereka naruh duit lalu bisnisnya gagal, duit mereka juga berisiko hilang.  Jadi, ya tetep bisa diajakin ngobrol. Kebetulan SBN tahun ini di Indonesia.  Bali tepatnya, di awal Desember nanti.  Kalau Pak Muliaman, bos OJK kita, bisa ngomong sesuatu yang membuat Malaysia—juga Jepang dan Singapura, semoga mereka datang—tiba-tiba tobat, kayaknya perubahan bisa cepet terjadi.  Lebih bagus lagi kalau Pak Jokowi sekalian yang ngomong.  Bilang kalau kita terbuka pada investasi asing, tapi investasi asing yang mempromosikan keberlanjutan, yang bermanfaat buat masyarakat dan melindungi serta memperbaiki lingkungan, dampaknya bisa sangat dahsyat.”
 
BE: “Apa Presiden kita pasti datang?”
 
J: “Nggak tau lah.  Memangnya saya Pak Jokowi?  Tapi kan sepantasnya begitu.  Ini kumpulan penggede bank sentral dan otoritas jasa keuangan bakal kumpul.  Kita harusnya ya bisa memanfaatkan momentumnya untuk ngomong soal yang kayak gini-gini.  Kita mau duit yang halal, dan dipakenya dengan thayib.”
 
BE: “Jadi ini beneran kepentingan bangsa kita, Mas?  Yakin nih, bukan pesenan LSM asing?”
 
J: “Duh, kenyang deh gua ditanyain kayak gini melulu.  Masak sih buat keberlanjutan sendiri, buat masyarakat sendiri, dan buat lingkungan kita sendiri, biar anak-cucu masih pada bisa hidup dengan air cukup, udara bersih, bisa makan dari hasil bangsa sendiri, masih juga dicurigain?  Selama ini duit asing masuk itu banyakan ke mana? Modal asing di swasta sama hibah dan pinjaman asing yang diterima Pemerintah kita berapa ribu triliun?  Berapa ribu kali lipat yang diterima LSM coba?”
 
BE: “Iya juga sih.  Kalau duit asing masuk ke swasta nggak pada protes ya?  Kalo utang Pemerintah sih masih banyak juga yang teriak-teriak.”
 
J: “Udah dari dulu kita kerjasama sama asing.  Buat merdeka saja kita butuh pengakuan asing, nggak bisa cuma menang perang dan nyatain diri merdeka.  Buat belajar banyak hal baik kita juga dapat dari yang asing. Nggak semua hal yang berasal dari luar Indonesia jelek kan?  Lha wong agama-agama majoritas di negara kita aja agama asing, hehehe.  Begitu juga hibah, hutang, investasi dan bantuan pengetahuan dari negeri-negeri lain, nggak semuanya jelek.  Juga, nggak semua yang berasal dari negeri sendiri itu mulia.  Kalo duit dari negeri sendiri terus dipake nyengsarain masyarakat dan ngrusak lingkungan, apa itu lebih bagus daripada duit asing yang kita pake buat mbangun masyarakat dan njagain juga mberesin lingkungan yang rusak?”
 
****
 
Begitulah, hari-hari menjelang libur Idul Adha saya dipenuhi oleh pembicaraan soal perbankan berkelanjutan.  Sejak peluncuran website www.forestsandfinance.org di Singapura lalu di Jakarta dan sesudahnya, terutama ketika bercakap-cakap dengan banyak orang seperti yang saya rekam di atas, di benak saya kerap muncul ingatan terhadap kalimat sakti: “If financial institutions don’t understand and reward sustainable behaviour, progress in developing more sustainable business practices will be slow.” Kalimat itu diucapkan Bjorn Stigson, sang mantan orang nomor 1 di WBCSD.  Saya membacanya di laporan WWF dan BankTrack, entah berapa tahun lalu.  
 
Shaping the Future of Sustainable Finance: Moving from Paper Promises to Performance, begitu tajuk dokumen itu.  Saya tidak tahu apakah kinerja perbankan dalam perlindungan sosial dan lingkungan sudah membaik sejak itu.  Tapi yang jelas, ruang perbaikannya masih sangatlah luas.  Rapor kebijakannya saja belum memuaskan, apalagi implementasinya.  Tapi saya percaya bahwa transparensi yang dipromosikan Rainforest Action Network, TuK Indonesia, dan Profundo lewat websiteyang baru diluncurkan itu akan bikin perubahan signifikan.  Semoga secepat yang kita butuhkan.  Agar apa yang dinyatakan Stigson itu tidak terus menggelayuti hidup ini, memang kita butuh perubahan yang ekstra cepat.
 
 Depok, 11 September 2016   

Ringkasan penilaian kebijakan bank

Download

Tiada Asap tanpa Api, Tiada Deforestasi tanpa Investasi

Oleh:
Jalal (Reader on Political Economy and Corporate Governance di Thamrin School of Climate Change and Sustainability & Sustainability Specialist TuK INDONESIA)
Rahmawati Retno Winarni (Direktur Eksekutif TuK INDONESIA)
*Tulisan ini diambil dari geotimes.co.id/tiada-asap-tanpa-api-tiada-deforestasi-tanpa-investasi/#
 
Hutan dan Lahan Indonesia: Magnet Investasi
Uang tak . Itu yang banyak diyakini oleh banyak pendukung kapitalisme. Di mana pun peluang menghasilkan keuntungan, ke situ pula uang akan bergerak. Tak peduli sejauh apa, modal akan datang dengan kecepatan tinggi, bila memang potensi keuntungan sudah terendus.
Demikian yang terjadi atas hutan dan lahan kita. Jelas sudah ratusan miliar dolar dituangkan ke situ oleh mereka yang melihat potensi keuntungan nan menggiurkan. Riset kolaboratif yang dilakukan oleh Rainforest Action Network, Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, dan Profundo mengungkap fakta tersebut.
Bayangkan, antara tahun 2010 hingga akhir 2015 saja telah US$38 miliar diinvestasikan di 50 perusahaan terbesar yang terkait dengan kehutanan—kelapa sawit, pulp dan kertas, karet, dan kayu—dan entah berapa lagi untuk perusahaan-perusahaan yang ukurannya di bawah mereka.
Ketika sebagian besar orang berpikir bahwa ekonomi sedang mengalami penurunan sehingga investasi banyak yang ditahan, di keempat sektor tersebut investasi tetap berjalan. Di awal tahun 2016 saja telah terdeteksi masuknya US$14 miliar lagi. Jelas, potensi keuntungan masih diendus oleh para investor di hutan dan lahan yang kita miliki.
Data tentang siapa yang menanmkan modal di hutan dan lahan kita, melalui sektor apa dan perusahaan mana, kini bisa dengan mudah diperoleh lewat website Forests and Finance yang dua hari lalu (6 September 2016) diluncurkan di Singapura.
forestsandfinance.org

(www.forestsandfinance.org)

Dan, seandainya kita penasaran dengan “kewarganegaraan” uang yang ditanam, kita juga bisa mendapatkan informasinya dengan mudah. Yang paling banyak menggelontorkan modal ke hutan dan lahan kita adalah bank-bank dari Malaysia, dengan investasi senilai hampir US$8 miliar pada kurun waktu 2010-2015. Disusul oleh Tiongkok yang menggelontorkan lebih dari US$6 miliar.
Perbedaannya, kalau Malaysia menaruh hampir seluruh uangnya di kelapa sawit, Tiongkok tampaknya menaruh mayoritas uangnya di pulp dan kertas, plus jauh lebih sedikit di kayu.
Jepang berada di peringkat ketiga dengan investasi melampaui US$4 miliar, dengan pembiayaan sektor sawit serta pulp dan kertas yang hampir seimbang. Indonesia sendiri cuma berada pada peringkat keempat, dengan investasi sedikit di bawah US$4 miliar dengan dominasi kelapa sawit dan kayu.
Singapura yang berada di peringkat berikutnya dengan investasi US$3 miliar memiliki profil investasi yang mirip Indonesia. Berikutnya disusul oleh Inggris, Amerika Serikat, Swiss, Jerman, dan Prancis. Gabungan investasi peringkat enam hingga sepuluh itu adalah sekitar US$10 miliar.
Ketidakadilan Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan
Masalahnya, dengan model bisnis kapitalistik yang hingga sekarang sangat dominan di sektor-sektor tersebut, yang terjadi adalah ketimpangan di antara siapa yang menangguk keuntungan dan siapa yang menanggung risiko. Gambaran sangat jelas atas risiko yang ditanggung Indonesia dapat diperoleh di website tersebut.
Hilangnya keanekaragaman hayati adalah risiko yang paling kasat mata. Hutan yang menghilang berarti hilang pula habitat bagi hewan dan tumbuhan. Deforestasi dan degradasi hutan tropis sudah diketahui oleh para ilmuwan merupakan salah satu penyebab utama hilangnya dan punahnya keanekaragaman hayati paling parah di dunia.
Hutan tropis yang tersisa di Asia Tenggara memiliki banyak spesies ikonik, termasuk harimau, gajah pigmi, badak, dan orangutan yang dinyatakan sebagai spesies-spesies terancam punah dalam IUCN Red List.
Kalau kita sadar pada dampak perubahan iklim, kita akan sangat ngeri membaca hasil-hasil penelitian yang menyatakan bahwa kehilangan hutan tropis itu menyumbang 14-21% dari total gas rumah kaca dunia. Sudah beberapa tahun belakangan ekspansi perkebunan kelapa sawit serta pulp dan kertas merangsek masuk ke dalam kawasan gambut. Dari situ saja kita menyumbang 1-2,5% total emisi. Sebuah sumbangan yang tak bisa kita banggakan sama sekali.

Helikopter Mi8-Mtv milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan pengeboman air (water boombing) dari udara untuk memadamkan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (4/8). Berdasarkan data 'hotspot' dari Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) terdapat 104 titik hotspot di pulau Sumatera, dan 31 diantaranya di Provinsi Sumatera Selatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc/16.

Helikopter Mi8-Mtv milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melakukan pengeboman air (water boombing) dari udara untuk memadamkan kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di Ogan Ilir (OI), Sumatera Selatan, Kamis (4/8). Berdasarkan data ‘hotspot’ dari Lembaga Penerbangan & Antariksa Nasional (LAPAN) terdapat 104 titik hotspot di pulau Sumatera, dan 31 diantaranya di Provinsi Sumatera Selatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc/16.


Dan, tentu saja, kebakaran hutan dan lahan yang menjadi bencana lingkungan paling mengerikan di abad ke-21, terjadi terutama lantaran pembukaan lahan gambut. Emisinya sendiri setara dengan 1,7 miliar ton CO2. Tapi kita juga kehilangan 2,6 juta hektare lahan, dan nilai ekonomi dari kerugian itu mencapai setidaknya US$16 miliar. Ini seperti kita dihajar tsunami Aceh dua kali dalam kurun waktu tiga bulan saja.
Dulu, ketika di pengujung 1990-an hutan kita terbakar dengan hebat, kita “cuma” kehilangan US$6 miliar. Keduanya terjadi pada periode super el Nino, namun yang terbaru itu menimbulkan dampak yang jauh lebih merugikan lantaran hutan-hutan memang semakin banyak menghilang.
Deforestasi juga menyebabkan daya regulasi hidrologi dari hutan menurun drastis. Air menghilang bersama menghilangnya hutan. Banjir di mana-mana membawa korban nyawa dan harta, menyisakan trauma yang kerap tak lekang oleh waktu. Bahkan para ilmuwan telah menemukan bukti bahwa deforestasi di Indonesia telah membuat pola curah hujan bergeser.
Bukan saja di tingkat lokal dan regional di mana hutan itu menghilang, tapi juga dalam skala nasional dan global. Kalau nilai air yang hilang itu diperhitungkan dengan ekonomi lingkungan, jumlahnya sudah jauh melampaui nilai ekonomi kayu yang hilang dari hutan-hutan itu. Sebuah kebodohan yang nyata, namun terus dilakukan.
Siapa pun yang pernah datang ke kebun-kebun kelapa sawit dan mengamati sungai-sungai di sekitarnya akan melihat dampak lingkungan yang jelas: erosi tanah. Sungai-sungai menjadi keruh lantaran membawa gerusan tanah sepanjang tahun. Di musim hujan, apalagi bila banjir sedang terjadi, pemandangannya menjadi lebih mengerikan. Erosi tanah bercampur dengan potongan-potongan kayu dan sampah lainnya membuat air lebih keruh lagi. Itu menandai hilangnya kesuburan tanah di bagian hulu dan tengah.
Selain itu, kontaminasi atas air sungai juga terjadi sepanjang tahun lantaran berbagai bahan kimiawi yang dipergunakan untuk perkebunan. Tak ada perkebunan sawit yang bisa hanya menggunakan pupuk kandang. Laporan tentang ikan-ikan yang mengecil atau bahkan menghilang, lalu membuat warga desa harus membeli lauk-pauk dengan uang, membuat mereka menjadi lebih miskin, bisa ditemukan hampir di mana pun kebun sawit berada.
Perlu ditekankan bahwa sektor-sektor yang membawa risiko kehutanan itu bukannya tidak membawa dampak positif dalam aspek ekonomi dan sosial. Namun, kerapkali itu semua didapat dengan mengorbankan lingkungan. Dan korban itu pasti menuntut pihak tertentu untuk membayarnya, termasuk dan terutama generasi mendatang.
Mereka tidak akan mendapatkan jasa lingkungan udara dan air yang bersih sebaik yang dinikmati generasi sebelumnya. Tapi, sebagaimana juga telah banyak dituliskan, sangat banyak korban itu dibayar tunai hanya berbilang waktu yang sebentar. Ketika waktu membayar tiba, dampak positif ekonomi dan sosial menjadi semu atau bahkan hilang sama sekali.
Sementara itu, dampak sosial negatifnya sendiri tidak bisa dianggap ringan. Pemindahan penduduk untuk kepentingan operasi logging dan, belakangan lebih marak, untuk perkebunan kelapa sawit, telah menyebabkan pergolakan sosial, kerawanan pangan, dan pemiskinan. Masyarakat adat dan lokal juga terus-menerus mengalami pelanggaran hak-hak asasi yang melibatkan intimidasi oleh perusahaan swasta dan negara, kekerasan, pemerkosaan, dan bahkan kadang pembunuhan.
Ini semua sudah direkam dengan gamblang oleh Komnas HAM, juga media massa, namun penyelesaiannya sangat kerap mengecewakan para korban dan pendukungnya.
Sengketa klaim kepemilikan tanah antara masyarakat adat dan perusahaan sangat sering terjadi, dan biasanya terkait dengan kegagalan pemerintah untuk mengakui atau melindungi tanah adat. Karena akar masalahnya demikian, maka pemenang dari kebanyakan sengketa klaim juga bisa ditebak.
Selain itu, walaupun sudah dianggap menjadi norma, perusahaan sering gagal melakukan prosedur Persetujuan dengan Informasi Awal Tanpa Paksaan (Padiatapa) untuk pembangunan di tanah adat milik masyarakat.
Praktik perburuhan yang eksploitatif di sektor kehutanan dan perkebunan adalah hal yang kerap terjadi, termasuk pemanfaatan pekerja paksa, pekerja anak, dan paparan terhadap pestisida dan pupuk beracun, tanpa perlindungan alat kesehatan dan keselamatan kerja yang memadai.
Di pojok lain, masalah kesehatan yang datang berulang hampir setiap tahunnya adalah dampak kabut asap. Ini terutama merupakan hasil dari pembakaran hutan untuk ekspansi perkebunan kelapa sawit. Kabut asap yang setiap tahun menyelimuti kawasan Asia Tenggara berdampak sangat buruk bagi kesehatan masyarakat, bukan saja di tingkat lokal atau nasional, melainkan juga di tingkat regional.
Penjaga hutan Kusterman mengamati suasana hutan dari menara pantau Hutan Adat Wehea di Kutai Timur, Kalimantan Timur, Minggu (14/8). [ANTARA FOTO/ Wahyu Putro A]

Penjaga hutan Kusterman mengamati suasana hutan dari menara pantau Hutan Adat Wehea di Kutai Timur, Kalimantan Timur, Minggu (14/8). [ANTARA FOTO/ Wahyu Putro A]

Perubahan yang Dibutuhkan
Jelas, ketidakadilan seperti itu tak bisa dibiarkan. Hutan dan lahan kita menghilang, dengan segala tumpukan masalah lingkungan, sosial, dan ekonomi yang semakin menggunung. Adapun keuntungan ekonomi pergi jauh ke negeri-negeri di mana modal berasal.
Kita kerap mendengar argumentasi bahwa dengan situasi sosial yang memburuk dan lingkungan yang rusak perusahaan dan investornya dirugikan. Tak mungkin perusahaan “berharap” bahwa kondisi masyarakatnya buruk dan lingkungannya rusak. Namun melihat fakta di lapangan, yang terjadi adalah sesuatu yang bagi sebagian orang bersifat counter-intuitive itu.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana membuat situasi yang lebih adil? Bagaimana membuat dampak ekonomi dan sosial yang juga lebih menguntungkan masyarakat dan bangsa Indonesia dalam jangka panjang? Bagaimana memastikan batas-batas ekologis kita dihormati, kerusakan lingkungan diperbaiki, sehingga kita tidak memerintahkan anak-cucu membayarnya dengan sangat mahal?
Proyek yang dijalankan oleh para pendukung forest and finance ini telah memikirkannya dari segala sudut pandang dan sampai pada kesimpulan bahwa transparansi dan akuntabilitas dari perusahaan dan investornyalah yang harus diperjuangkan.
Ada banyak perkembangan menggembirakan—walau harus diakui tidak semenggembirakan yang diharapkan—terkait dengan akuntabilitas perusahaan yang merusak lingkungan, misalnya mereka yang terlibat dalam kebakaran hutan. Mereka yang secara langsung dan tidak langsung melakukan pembakaran dan mereka yang dinilai abai kini telah kerap mendapati dirinya berada dalam proses pengadilan. Tetapi, para investor dan bank yang menyediakan sumberdaya finansial untuk perusahaan-perusahaan itu tampaknya masih tak tersentuh.
Padahal, norma global sekarang telah menerima kenyataan bahwa para investor itu bertanggung jawab atas kinerja proyek di mana mereka berinvestasi. Bukankah mereka yang mengambil keputusan pembiayaan dan yang pada akhirnya mendapatkan keuntungan darinya?
Agar adil, tentu saja, baik keuntungan maupun risiko harus juga ditanggung. Dalam hal ini, bukan sekadar risiko finansial dari investasi itu—yang dengan mudah bisa dialihkan lewat mekanisme seperti asuransi—melainkan juga risiko operasi, regulasi, dan reputasi.
Untuk itu, diperlukan suatu transparansi radikal atas siapa saja yang membayari setiap investasi di hutan dan lahan kita. Itu adalah perubahan yang difasilitasi oleh website yang baru diluncurkan itu. Sejak website itu diluncurkan, sambutan dunia terus menguat, karena memang demikianlah semangat zaman ini. Dan, seperti kata pujangga Victor Hugo, “You can resist an invading army, but you can’t resist an idea whose time has come.”Akuntabilitas para pemodal, termasuk bank, adalah ide yang tak bisa dibendung lagi.
Karena itu, butir-butir yang disarankan pertama-tama ditujukan kepada otoritas jasa keuangan di negara-negara asal modal yang masuk ke Indonesia. Kita tak bisa sekadar menuntut OJK Republik Indonesia untuk berubah sikapnya terhadap keberlanjutan—yang sesungguhnya sudah kita saksikan sejak OJK dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meluncurkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan di pengujung 2014 lalu—namun juga menuntut otoritas yang sama di negara-negara yang telah diidentifikasikan dalam proyek itu. Kerjasama antar-OJK diperlukan, demikian juga diplomasi antar-pemerintahan.
Setidaknya ada lima butir rekomendasi tentang hal tersebut. Pertama, mengembangkan peraturan tentang pengawasan sektor keuangan dan mekanisme kepatuhan yang lebih kuat dalam mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik terkait lingkungan dan sosial. Kedua, mewajibkan lembaga keuangan untuk setiap tahun melaporkan kinerjanya dengan Global Reporting Initiative (GRI) G4 Financial Services Sector Disclosure Framework.
Ketiga, mewajibkan lembaga keuangan untuk mengadopsi dan mengungkapkan kebijakan perlindungan lingkungan, sosial, dan tata kelola yang kuat, serta meningkatkan prosedur uji tuntas, dengan panduan rinci untuk sektor-sektor dengan risiko yang tinggi, seperti sektor komoditas terkait kehutanan (prioritas risiko sektor kehutanan ditunjukkan di bawah, dalam rekomendasi bagi bank dan investor).
Keempat, memperkuat persyaratan terhadap lembaga keuangan untuk mengidentifikasi dan memberitahu kepada regulator tentang setiap transaksi keuangan yang dicurigai terkait dengan korupsi sektor terkait kehutanan.
Kelima, menerapkan pemantauan yang kredibel dan transparan serta mekanisme investigasi terhadap keluhan lembaga keuangann terkait dengan isu-isu lingkungan, sosial, dan tata kelola. Dan kelima, memperkenalkan hukuman dan denda bagi lembaga keuangan dan anggota dewan komisaris dan direksi atas ketidakpatuhan terhadap peraturan dan persyaratan di atas.
Investor dan bank tentu perlu berubah untuk menjadi lebih baik kalau mereka tetap ingin bertahan di dunia yang telah berubah ini. Mereka perlu mengembangkan berbagai kebijakan dan prosedur perlindungan lingkungan dan sosial sebagaimana bisa dilihat di dalam website. Rapor mereka dalam kebijakan yang dibutuhkan sangat jauh dari menggembirakan—kecuali bank-bank yang berasal dari Eropa—apalagi implementasinya di lapangan.
Mereka perlu belajar alifbata keberlanjutan dan bagaimana mereka bisa menginkorporasikannya ke dalam keputusan pembiayaan, monitoring serta evaluasinya sepanjang proyek. Mereka perlu membangun sumberdaya manusia yang mumpuni untuk melakukannya, dengan berbagai dukungan yang dibutuhkan, termasuk dan terutama dari manajemen puncaknya.
Tanpa perubahan itu semua, gambaran di bisnis sektor terkait kehutanan sangat suram. Uang yang banyak dicurahkan hanya akan memperparah ketimpangan yang sekarang sudah kita saksikan. Kita semua memang perlu mengubah diri, termasuk dalam soal akuntabilitas yang seharusnya disandarkan pada data yang kokoh, menghentikan perilaku saling menyalahkan belaka, dan bekerja sama memperbaiki kondisi di seluruh pemangku kepentingan keberlanjutan hutan.
Website Forests and Finance diharapkan bisa menjadi kontribusi signifikan untuk itu.

Siaran Pers: Platform Online "Microsite Forests & Finance" telah Diluncurkan

Sektor keuangan mendapatkan sorotan dengan adanya dorongan dari masyarakat internasional untuk melindungi hutan dan masyarakat yang terdampak atasnya.
UNTUK DIPUBLIKASIKAN SEGERA
Kontak: [email protected]
Singapura – Hari ini, Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA dan Profundo meluncurkan platform web online interaktif sebagai bagian dari kampanye Hutan dan Pembiayaannya. Microsite ini menyasar investor dan lembaga keuangan yang membiayai perusahaan yang terlibat dalam deforestasi hutan tropis di kawasan Asia Tenggara. Microsite ini diperkenalkan melalui konferensi pers pada saat acara side event konferensi investasi berkelanjutan terbesar di dunia, Prinsip yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Investasi Bertanggung Jawab (United Nations-supported Principles for Responsible Investment/UN PRI) yang berlangsung di Singapura.
Forestsandfinance.org merupakan platform online pertama dan satu-satunya yang memberikan penilaian menyeluruh mengenai lembaga keuangan yang membiayai perusahaan yang berkaitan dengan perusakan hutan-tropis. Penelitian ini dilengkapi dengan database yang dapat ditelusuri melalui fungsi pencarian dan penilaian terhadap kebijakan yang dimiliki dan dijalankan lembaga keuangan untuk mengatasi risiko umum di bidang lingkungan dan sosial dalam pembiayaan sektor kehutanan. Selain itu, sejumlah studi kasus mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pembiayaan terhadap hutan dan masyarakat terdampak pun bisa diperoleh di microsite ini. Platform ini akan terus diperbarui setiap tiga bulan sekali untuk masyarakat, peneliti dan penggiat investasi yang bertanggung jawab, serta organisasi masyarakat sipil.
“Bank-bank terbesar di dunia mengucurkan miliaran Dolar AS setiap tahunnya untuk sektor hutan tropis yang berisiko, seperti pulp & kertas, sawit, karet dan kayu, dimana bank tidak sepenuhnya melakukan pemeriksaan mengenai apakah nasabah mereka benar-benar mematuhi undang-undang kehutanan yang berlaku dan menghormati hak masyarakat setempat,” ujar Tom Picken, Direktur Kampanye Hutan dan Keuangan Rainforest Action Network. “Penelitian ini menunjukkan bahwa bank terus menutup mata terhadap dampak yang merusak akibat pembiayaan yang diberikan. Dibutuhkan peraturan keuangan yang ketat serta standar mengikat guna menghentikan bank agar tidak lagi membantu terjadinya kejahatan di sektor kehutanan,” ujarnya lebih lanjut.
Menurut penelitian yang diluncurkan hari ini, sejak tahun 2010 hingga 2015 setidaknya terdapat fasilitas pinjaman komersial dan penjaminan senilai 38 miliar Dolar AS yang diberikan kepada 50 perusahaan yang memberikan dampak kerusakan terhadap hutan tropis di Asia Tenggara melalui aktivitas produksi dan pengolahan minyak sawit, pulp & kertas, karet dan kayu. Operasi bisnis 50 perusahaan ini didukung oleh tambahan obligasi dan kepemilikan saham senilai 14 miliar Dolar AS pada awal tahun 2016. Hutan-hutan tropis Asia Tenggara memiliki laju deforestasi tertinggi di dunia sebagai akibat dari ekspansi besar-besaran terhadap komoditas yang berasal dari sektor berisiko tersebut.
“Dampak gabungan dari penegakan hukum yang lemah dan minimnya standar uji tuntas yang diterapkan oleh lembaga keuangan dalam proses persetujuan kredit semakin menambah tekanan terhadap lingkungan, masyarakat dan usaha. Kebakaran hutan dan lahan yang sangat merusak pada tahun 2015 lalu dan kebakaran lain yang baru terjadi tahun 2016 ini dapat dianggap sebagai salah satu dampaknya. Akan tetapi sejauh ini tidak ada satu pun pembiaya yang telah mempertanggungjawabkan andilnya yang turut menyebabkan terjadinya ekspansi perkebunan,” tutur Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK-INDONESIA. “Sekarang adalah saatnya bagi otoritas yang berwenang di bidang keuangan di Indonesia untuk memiliki peraturan yang menetapkan standar transparansi dan akuntabilitas untuk sektor keuangan yang diawasinya. Laman situs ini menyoroti permasalahan mengenai dana-dana yang tak terkendali dan akan menjadi sebuah platform komunikasi antar pemangku kepentingan yang sama-sama memiliki tujuan untuk terwujudnya investasi yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Beberapa bank yang dianggap paling banyak terlibat dalam pembiayaan sektor kehutanan tropis berisiko ini di antaranya adalah Maybank, CIMB, DBS, OCBC Singapura, Mizuho Financial, Sumitomo Mitsui Financial, Mitsubishi UFJ, HSBC, Standard Chartered, JP Morgan, China Development Bank, Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia.
Microsite ini juga menilai bahwa beberapa bank yang memiliki dan menjalankan kebijakan lingkungan dan sosial secara sukarela sekalipun masih rutin memberikan pinjaman dan jasa keuangan lainnya kepada nasabah yang terlibat dalam deforestasi dan pelanggaran sosial. Rekomendasi utama yang diberikan adalah agar para pembuat kebijakan sektor keuangan seperti  di Jepang, Indonesia, Singapura dan UK, memperkenalkan persyaratan wajib kepada bank dan investor untuk melaksanakan proses uji tuntas (due diligence) yang ketat terhadap nasabah sektor kehutanan disertai dengan sanksi yang kuat atas pelanggaran ataupun ketidakpatuhan.
###
Rainforest Action Network menjalankan kampanye yang tidak kenal kompromi untuk melindungi hutan dan hak masyarakat adat yang terancam, memutuskan ketergantungan masyarakat Amerika Utara terhadap bahan bakar fosil, dan menghentikan investasi yang berdampak buruk di seluruh dunia melalui edukasi, organisasi akar rumput, dan aksi damai secara langsung. Informasi lebih lanjut, kunjungi: www.ran.org.
TuK INDONESIA bekerja untuk mendorong solusi dan opsi politik bagi kelompok rentan, masyarakat setempat, dan masyarakat adat untuk mengamankan dan melindungi hak asasi manusia, akses terhadap keadilan, dan hak menentukan nasib sendiri. Informasi lebih lanjut, kunjungi: www.tuk.or.id.
Profundo merupakan lembaga konsultasi penelitian ekonomi yang melakukan analisis terhadap persoalan rantai komoditas, lembaga keuangan, dan isu Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TJSP) dan terutama bekerja untuk organisasi lingkungan hidup, hak asasi manusia, dan pembangunan di Belanda dan negara lainnya. Informasi lebih lanjut, kunjungi: http://www.profundo.nl/page/show/home-122.
——————————————————————————————————————————————

Financial sector under the spotlight in new international push to protect forests and forest communities

FOR IMMEDIATE RELEASE

Contact: Blair Fitzgibbon, [email protected]

Singapore –– Today, Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA and Profundo announced the launch of a new, interactive online web platform as part of a growing Forests and Finance campaign targeting investors and financial institutions financing companies implicated in tropical deforestation in the Asia Pacific region. The new research tool was introduced with a press conference during a side event at the world’s largest sustainable investment conference – the United Nations-supported Principles for Responsible Investment (UN PRI) in Singapore.

The research is now available on forestsandfinance.org, providing for the first time a comprehensive assessment into how companies linked to rainforest destruction are financed, with a fully searchable database through various field search functions. The platform also assesses what policies financial institutions have in place for addressing common environmental and social risks involved in forest-risk sector financing and features a number of case studies demonstrating the impacts of some of this financing on forests and local communities. The platform will be updated on a quarterly basis, providing an on-going resource for the responsible investment community, researchers and campaigners.

“The world’s biggest banks are pumping billions of dollars a year into tropical forest-risk sectors like pulp & paper, palm oil, rubber and logging, with too few checks on whether clients are actually obeying forest laws or respecting the rights of local communities,” said Tom Picken, Forests and Finance Campaign Director with Rainforest Action Network. “This research suggests that banks continue to turn a blind eye to the devastating impacts of their financial services; only tightened financial sector regulation is capable of setting the kind of binding standards needed to stop banks fuelling forest crime.”

The research released today finds that between 2010 and 2015 at least USD38 billion worth of commercial loans and underwriting facilities were provided to just 50 companies that impact natural tropical forests in Southeast Asia, through their production and primary processing operations of palm oil, pulp & paper, rubber and tropical timber. The forest operations of these 50 companies were supported by an additional USD14 billion worth of bond and shareholdings at the start of 2016. The tropical forests of Southeast Asia have some of the highest rates of deforestation in the world resulting from the large-scale expansion of these forest-risk commodities.

“The combined impact of relaxed law enforcement and minimum due diligence standards applied by financial institutions in credit approval processes is adding pressure on the environment, people and business. The devastating forest and land fires of 2015 and new fires in 2016 can be seen as one such impact, but so far none of the financiers have been held responsible for their role in enabling plantation expansion,” said Rahmawati Retno Winarni, Executive Director with TuK-INDONESIA. “It is time for the financial authority in Indonesia to come up with regulations setting transparency and accountability standards for the financial sector it supervises. This website shines a spotlight on the problems of uncontrolled finance and will become a platform of communication among stakeholders who share the objectives of sustainability and responsible investment.”

Some of  the banks found to be most involved in financing these tropical forest-risk sectors include Malayan Banking, CIMB, DBS, OCBC, Mizuho Financial, Sumitomo Mitsui Financial, Mitsubishi UFJ, HSBC, Standard Chartered, JP Morgan, China Development Bank, Bank Mandiri and Bank Negara Indonesia.

The study finds that even some banks with voluntary environmental and social policies in place are routinely providing loans and other financial services to clients engaged in deforestation and social violations. A primary recommendation is that financial sector regulators in key jurisdictions – such as in Japan, Indonesia, Singapore and the UK – introduce mandatory requirements on banks and investors to conduct robust due diligence screening processes on forest-sector clients, with strong penalties for non-compliance.

###

Rainforest Action Network runs hard-hitting campaigns to protect endangered forests and Indigenous rights, break North America’s fossil fuels addiction, and stop destructive investments around the world through education, grassroots organizing, and non-violent direct action. For more information, please visit: www.ran.org

TuK INDONESIA works to encourage political solutions and options for vulnerable groups, local communities and indigenous peoples to secure and protect human rights, access to justice and self-determination. For more information, please visit: http://www.tuk.or.id/

Profundo is an economic research consultancy analyzing commodity chains, financial institutions and Corporate Social Responsibility (CSR) issues – predominantly working for environmental, human rights and development organizations in the Netherlands and abroad. For more information, please visit: http://www.profundo.nl/page/show/home-122