Pos

Press Release: Masyarakat Dayak Hibun Melaporkan RSPO ke OECD di Swiss

Jakarta, 23 Januari 2018 – Masyarakat Adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat melaporkan RSPO dibawah mekanisme pengaduan perkara khusus OECD di Swiss. Pengaduan masyarakat disampaikan melalui mekanisme pengaduan perkara khusus (specific instance) National Contact Point di Swiss, negara anggota OECD dimana RSPO terdaftar secara hukum.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. Untuk mencapai tujuan kerjasama tersebut, OECD merumuskan dan memberlakukan Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional dengan tujuan termasuk melindungi dan memajukan pernghormatan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara-negara anggota OECD.
Masyarakat berpendapat bahwa RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedur RSPO sendiri, dan bahwa sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan tersebut, juga RSPO telah gagal memenuhi apa yang diharapkan Masyarakat terhadap RSPO berdasarkan kewajiban dalam Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional (OECD Guidelines on Multinational Enterprises).
Masyarakat menyatakan bahwa RSPO telah gagal (1) melanggar Bab IV (3) untuk “berusaha untuk mencegah atau mengurangi dampak hak asasi manusia (HAM) yang merugikan yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis, produk atau layanan mereka melalui suatu hubungan bisnis, walaupun tidak berkontribusi terhadap dampak tersebut”; dan/atau (2) melanggar Bab IV (5) untuk “melakukan uji tuntas HAM yang sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks kegiatan serta tingkat keparahan risiko dampak buruk terhadap HAM”.
Pengaduan perkara khusus disebabkan oleh tindakan PT Mitra Austral Sejahtera (“PT MAS”), anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Perusahaan Multinasional Malaysia bernama Sime Darby Berhad (“Sime Darby”), yang merupakan anggota dan pendiri RSPO. Masyarakat menduga bahwa PT MAS dan Sime Darby secara melanggar hukum telah menyingkirkan masyarakat dan mengancam untuk terus secara tidak sah menyingkirkan mereka dari lahan tradisional mereka sehingga tanah seluas 1.462 hektar dapat terus digunakan untuk kebun sawit perusahaan. Sebagai akibatnya masyarakat telah mengalami dan/atau HAM fundamental masyarakat dinegasikan dan diabaikan.
RSPO adalah forum multipihak untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, terdaftar dan badan hukum Swiss, wajib dan secara hukum terikat Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Menurut standar RSPO, produksi minyak sawit berkelanjutan tidak menghilangkan hak hukum, hak adat dan hak lainnya; mematuhi FPIC dan menghormati hak asasi manusia. Standar RSPO khususnya Kriteria 6.13 penghormatan hak asasi manusia mengadopsi Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2007, Sime Darby dan PT MAS tidak berusaha menyelesaikan dan melakukan perbaikan atas pelanggaran hukum dan peraturan nasional (Kriteria 2.1); gagal membuktikan bahwa “hak untuk menggunakan” Tanah Sengketa yang tidak dapat diperkarakan oleh Masyarakat Kerunang dan Entapang (Kriteria 2.2); belum memberlakukan dan menerapkan suatu proses penyelesaian konflik yang dapat diterima dan disetujui oleh Masyarakat untuk menyelesaikan “konflik tanah” (Kriteria 2.2.4); gagal memperoleh FPIC Masyarakat (Kriteria 2.3); dan (5) gagal membuktikan bahwa Masyarakat telah memahami dampak hukum dan implikasi lainnya akibat dari kegiatan perusahaan di wilayah tanah masyarakat, dan khususnya “implikasi status hukum tanah masyarakat pada saat berakhirnya konsesi atau HGU perusahaan, ketika PT MAS secara nyata tidak melakukannya (Kriteria 2.3.2 (c)).
Oktober 2012, masyarakat menyampaikan pengaduan kepada RSPO perkara kasus konflik tanah PT Mitra Austral Sejahtera anak perusahaan Sime Darby Plantation. Pengaduan berisi 14 tuntutan terkait dengan hak tanah, masalah kemitraan dan janji-janji perusahaan. Dalam pengaduan tersebut, masyarakat mengajukan pilihan solusi penyelesaian tuntutan masyarakat. Pertama, Complaints Panel RSPO memutuskan agar Sime Darby Plantation mengembalikan tanah masyarakat. Kedua, Dispute Settlement Facility (DSF) memfasilitasi dialog penyelesaian masalah kemitraan, janji-janji perusahaan dan penataan ulang kebun plasma.
Sayangnuya, hingga tahun 2017 Complaints Panel RSPO tidak memberikan tanggapan dan belum berhasil mengambil keputusan tertulis mengenai tuntutan masyarakat. Dispute Settlement Facility tidak berhasil mewujudkan penyelesaian masalah masyarakat. Masyarakat kecewa dan frustasi kegagalan proses penanganan pengaduan RSPO menyelesaikan konflik tanah PT MAS, anak perusahaan Sime Darby Plantation, anggota RSPO.
Masyarakat dan TuK INDONESIA melihat bahwa Bab IV (3) Panduan OECD jelas berlaku untuk RSPO dengan pertimbangan:
Pertama, penerbitan atau penolakan sertifikat adalah suatu “kegiatan bisnis”. Begitu juga dengan kegiatan mekanisme pengaduan;
Kedua, penerbitan sertifikat kepada anggota meskipun gagal menghormati HAM dari suatu Masyarakat yang terkena dampak proyeknya akan “terkait langsung” dengan dampak HAM yang merugikan masyarakat, karena jika dibiarkan akan mendorong anggotanya untuk berpikir bahwa perusahaan dapat mengabaikan hak-hak tersebut tanpa risiko sanksi; Jika perusahaan masih bisa menjual produk bersertifikat, imbalannya mencegah atau mengurangi dampak buruk akan hilang. Kegagalan menjalankan mekanisme pengaduan dengan baik akan memiliki dampak yang sangat mirip selama kegagalan terus berlanjut;
Ketiga, dengan cara yang sama jika RSPO gagal menangguhkan atau mencabut sertifikat Sime Darby akibat konflik PT MAS yang tidak patuh sampai memperbaiki cara-cara kegiatannya, atau menyelidiki suatu pengaduan masyarakat secara layak dan tepat waktu, RSPO gagal “mencari jalan untuk mengurangi” dampak buruk dari perilaku anggota; dan
Keempat, organisasi RSPO jelas-jelas dalam “hubungan bisnis” dengan Sime Darbvy dan PT MAS anggotanya, yang bersedia membayar iuran biaya keanggotaan dan mematuhi peraturan RSPO dengan imbalan keuntungan keanggotaan.
Masyarakat telah merumuskan Proposal untuk Solusi (Proposal for Solution) kepada Sime Darby Plantation. Proposal berisi tahapan dan kegiatan pengembalian tanah adat masyarakat Kerunang dan Entapang. Sayangnya RSPO gagal membantu dan menyakinkan Sime Darby Plantation agar menerima tawaran solusi masyarakat. Masyarakat siap menyampaikan solusi bagaimana NCP Swiss seharusnya menerapkan mekanisme dan upaya pemulihan HAM yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat RSPO dan anggotanya.
Sebagai anggota OECD, National Contact Point (NCP) Swiss dapat memfasilitasi, membantu masyarakat dan RSPO memulihkan hak masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang yang sesuai dengan semangat Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia serta Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional.
Masyarakat percaya NCP Swiss memiliki komitmen, profesional dan akuntabel dalam merumuskan praktek terbaik pemulihan HAM dalam penerapan dan pemajuan kebijakan Panduan OECD dan selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan dan Hak Asasi Manusia.
Media Contact:
Redatus Musa 081380663822, Kepala Dusun Entapang
Edisutrisno 081315849153, TuK INDONESIA
Rini Kusnadi 082260152595, TuK INDONESIA

Siaran Pers: MENGGUGAT RSPO ATAS LAMBANNYA PENYELESAIAN KONFLIK MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KERUNANG DAN ENTAPANG DENGAN PERUSAHAAN MALAYSIA

Sektor kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas strategis yang menopang perekonomian Indonesia. Namun, dengan kontribusinya yang besar pada perekonomian bukan berarti industri ini tanpa masalah. Ekspansi besar-besaran dalam industri perkebunan kelapa sawit justru banyak mengakibatkan konflik lahan yang berkepanjangan, penyebab rusaknya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Berbagai masalah tersebut memunculkan seruan global terhadap pelaku industri untuk lebih bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan dibentuknya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Asosiasi yang dibentuk pada 2004 ini diharapkan mampu memberikan solusi dari berbagai konflik yang terjadi antara perusahaan anggotanya dengan masyarakat dan permasalahan lingkungan yang muncul.

Setiap anggota RSPO dalam menjalankan bisnisnya harus mentaati prinsip-prinsip RSPO, diantaranya komitmen terhadap hukum yang berlaku, perlindungan terhadap lingkungan, menghormati masyarakat lokal terdampak, dan lainnya. Sayangnya, kebanyakan dari perusahaan anggota RSPO justru melanggar prinsip-prinsip tersebut, salah satunya perusahaan sawit asal Malaysia, Sime Darby. Sime Darby melalui anak perusahaannya, PT. Mitra Austral Sejahtera (PT. MAS) sampai saat ini masih terlibat konflik lahan dengan masyarakat adat Dayak di Dusun Entapang dan Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pada tahun 1995/1996, PT. MAS masuk ke kampung untuk mensosialisasikan pembangunan perkebunan kelapa sawit. PT. MAS menjanjikan kepada masyarakat untuk membangun kebun plasma, membangun sarana dan prasarana dan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat di Dusun Kerunang dan Entapang. Setelah mempertimbangkan janji-janji tersebut, Masyarakat Kerunang dan Entapang setuju untuk meminjamkan tanah adat untuk ditanam kelapa sawit. “Namun yang kemudian terjadi, PT. MAS justru melanggar janjinya dengan mengubah status tanah masyarakat menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Padahal masyarakat tidak pernah menyerahkan tanahnya untuk dimiliki atau dijadikan HGU oleh perusahaan, yang ada sebelumnya hanya perjanjian pinjam pakai.” Ujar Redatus Musa, perwakilan dari masyarakat Kerunang dan Entapang.
Hal tersebutlah yang memicu konflik antara masyarakat Kerunang dan Entapang dengan PT. MAS (khususnya PT. MAS II), anak Perusahaan Sime Darby. Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan tanahnya kembali, salah satunya dengan meminta keterlibatan RSPO dalam penyelesaian konflik yang terjadi sejak 2007. Tidak adanya upaya dari Sime Darby untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pada 2012, Masyarakat Kerunang dan Entapang resmi mengajukan komplain kepada RSPO atas perampasan lahan yang dilakukan oleh Sime Darby. Namun hingga saat ini konflik tersebut masih belum terselesaikan.
“Padahal dalam setiap Pertemuan Tahunan RSPO, masyarakat selalu mengingatkan dan menyampaikan komplainnya agar RSPO serius menyelesaikan konflik yang terjadi di Kerunang dan Entapang yang melibatkan perusahaan anggotanya, Sime Darby. Terkahir, pada Pertemuan Tahunan RSPO ke-14 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, saya hadir mewakili masyarakat meminta RSPO untuk serius menyelesaikan konflik yang terjadi di kampung kami. Dalam waktu satu tahun sudah harus ada upaya yang lebih konkrit menuju penyelesaian konfliknya,” tambah Musa dengan tegas.
Tepat satu tahun sejak Pertemuan Tahunan di Bangkok, tepatnya pada 27-30 November 2017, RSPO mengadakan Pertemuan Tahunan kembali di Bali, Indonesia. Masyarakat tentu akan menagih tuntutan yang disampaikan ke RSPO. “Masyarakat akan melakukan upaya yang lebih tegas kepada RSPO. Jika RSPO tidak merespon dengan upaya penyelesaian yang lebih konkrit, masyarakat berencana akan menggugat RSPO melalui mekanisme OECD. Draft dan berkas-berkas yang dibutuhkan sudah kami persiapkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengajukan gugatannya.” Ujar Norman Jiwan, salah satu pendamping masyarakat
Sebagai salah satu organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan terbesar di dunia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki Panduan tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional sebagai standard internasional tata kelola korporasi dari negara-negara anggota OECD. Perusahaan dari negara-negara OECD terikat kewajiban terhadap dampak kegiatan bisnis dan rantai pasok mereka. Tuntutan masyarakat atas hak tanah dan wilayah adat adalah bagian dari hak asasi manusia atas kepastian dan keadilan hukum (rule of law) sebagaimana tercantum dalam Panduan yang diwajibkan oleh OECD. Jika terjadi pelanggaran hak masyarakat dan berdampak serius, maka harus ada proses upaya-upaya memastikan mekanisme pemulihan (remedy).
Tidak hanya RSPO saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban atas belum terselesaikannya konflik yang terjadi di Dusun Kerunang dan Entapang, lembaga pemberi modal juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika asal memberikan modalnya tanpa melakukan due diligent terhadap kliennya. Sime Darby adalah klien terbesar kedua Maybank, dan harus dicatat bahwa Permodalan Nasional Berhad (PNB) yang memegang hampir 50% dari saham Maybank juga memegang sekitar 50% dari saham Sime Darby.
“Dalam Periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3,9 miliar dalam bentuk pinjaman dan underwriting untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit, setara dengan 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Jika Maybank tidak memiliki kebijakan penilaian risiko untuk pendanaan kelapa sawit, maka maybank juga membawa tanggung jawab yang kuat atas dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kliennya.” Ujar Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.
 
Kontak:
Abdul Wahid (081381464445)
Rini Kusnadi (082260152595)