Pos

Press Release: Masyarakat Dayak Hibun Melaporkan RSPO ke OECD di Swiss

Jakarta, 23 Januari 2018 – Masyarakat Adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat melaporkan RSPO dibawah mekanisme pengaduan perkara khusus OECD di Swiss. Pengaduan masyarakat disampaikan melalui mekanisme pengaduan perkara khusus (specific instance) National Contact Point di Swiss, negara anggota OECD dimana RSPO terdaftar secara hukum.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. Untuk mencapai tujuan kerjasama tersebut, OECD merumuskan dan memberlakukan Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional dengan tujuan termasuk melindungi dan memajukan pernghormatan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara-negara anggota OECD.
Masyarakat berpendapat bahwa RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedur RSPO sendiri, dan bahwa sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan tersebut, juga RSPO telah gagal memenuhi apa yang diharapkan Masyarakat terhadap RSPO berdasarkan kewajiban dalam Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional (OECD Guidelines on Multinational Enterprises).
Masyarakat menyatakan bahwa RSPO telah gagal (1) melanggar Bab IV (3) untuk “berusaha untuk mencegah atau mengurangi dampak hak asasi manusia (HAM) yang merugikan yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis, produk atau layanan mereka melalui suatu hubungan bisnis, walaupun tidak berkontribusi terhadap dampak tersebut”; dan/atau (2) melanggar Bab IV (5) untuk “melakukan uji tuntas HAM yang sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks kegiatan serta tingkat keparahan risiko dampak buruk terhadap HAM”.
Pengaduan perkara khusus disebabkan oleh tindakan PT Mitra Austral Sejahtera (“PT MAS”), anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Perusahaan Multinasional Malaysia bernama Sime Darby Berhad (“Sime Darby”), yang merupakan anggota dan pendiri RSPO. Masyarakat menduga bahwa PT MAS dan Sime Darby secara melanggar hukum telah menyingkirkan masyarakat dan mengancam untuk terus secara tidak sah menyingkirkan mereka dari lahan tradisional mereka sehingga tanah seluas 1.462 hektar dapat terus digunakan untuk kebun sawit perusahaan. Sebagai akibatnya masyarakat telah mengalami dan/atau HAM fundamental masyarakat dinegasikan dan diabaikan.
RSPO adalah forum multipihak untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, terdaftar dan badan hukum Swiss, wajib dan secara hukum terikat Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Menurut standar RSPO, produksi minyak sawit berkelanjutan tidak menghilangkan hak hukum, hak adat dan hak lainnya; mematuhi FPIC dan menghormati hak asasi manusia. Standar RSPO khususnya Kriteria 6.13 penghormatan hak asasi manusia mengadopsi Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2007, Sime Darby dan PT MAS tidak berusaha menyelesaikan dan melakukan perbaikan atas pelanggaran hukum dan peraturan nasional (Kriteria 2.1); gagal membuktikan bahwa “hak untuk menggunakan” Tanah Sengketa yang tidak dapat diperkarakan oleh Masyarakat Kerunang dan Entapang (Kriteria 2.2); belum memberlakukan dan menerapkan suatu proses penyelesaian konflik yang dapat diterima dan disetujui oleh Masyarakat untuk menyelesaikan “konflik tanah” (Kriteria 2.2.4); gagal memperoleh FPIC Masyarakat (Kriteria 2.3); dan (5) gagal membuktikan bahwa Masyarakat telah memahami dampak hukum dan implikasi lainnya akibat dari kegiatan perusahaan di wilayah tanah masyarakat, dan khususnya “implikasi status hukum tanah masyarakat pada saat berakhirnya konsesi atau HGU perusahaan, ketika PT MAS secara nyata tidak melakukannya (Kriteria 2.3.2 (c)).
Oktober 2012, masyarakat menyampaikan pengaduan kepada RSPO perkara kasus konflik tanah PT Mitra Austral Sejahtera anak perusahaan Sime Darby Plantation. Pengaduan berisi 14 tuntutan terkait dengan hak tanah, masalah kemitraan dan janji-janji perusahaan. Dalam pengaduan tersebut, masyarakat mengajukan pilihan solusi penyelesaian tuntutan masyarakat. Pertama, Complaints Panel RSPO memutuskan agar Sime Darby Plantation mengembalikan tanah masyarakat. Kedua, Dispute Settlement Facility (DSF) memfasilitasi dialog penyelesaian masalah kemitraan, janji-janji perusahaan dan penataan ulang kebun plasma.
Sayangnuya, hingga tahun 2017 Complaints Panel RSPO tidak memberikan tanggapan dan belum berhasil mengambil keputusan tertulis mengenai tuntutan masyarakat. Dispute Settlement Facility tidak berhasil mewujudkan penyelesaian masalah masyarakat. Masyarakat kecewa dan frustasi kegagalan proses penanganan pengaduan RSPO menyelesaikan konflik tanah PT MAS, anak perusahaan Sime Darby Plantation, anggota RSPO.
Masyarakat dan TuK INDONESIA melihat bahwa Bab IV (3) Panduan OECD jelas berlaku untuk RSPO dengan pertimbangan:
Pertama, penerbitan atau penolakan sertifikat adalah suatu “kegiatan bisnis”. Begitu juga dengan kegiatan mekanisme pengaduan;
Kedua, penerbitan sertifikat kepada anggota meskipun gagal menghormati HAM dari suatu Masyarakat yang terkena dampak proyeknya akan “terkait langsung” dengan dampak HAM yang merugikan masyarakat, karena jika dibiarkan akan mendorong anggotanya untuk berpikir bahwa perusahaan dapat mengabaikan hak-hak tersebut tanpa risiko sanksi; Jika perusahaan masih bisa menjual produk bersertifikat, imbalannya mencegah atau mengurangi dampak buruk akan hilang. Kegagalan menjalankan mekanisme pengaduan dengan baik akan memiliki dampak yang sangat mirip selama kegagalan terus berlanjut;
Ketiga, dengan cara yang sama jika RSPO gagal menangguhkan atau mencabut sertifikat Sime Darby akibat konflik PT MAS yang tidak patuh sampai memperbaiki cara-cara kegiatannya, atau menyelidiki suatu pengaduan masyarakat secara layak dan tepat waktu, RSPO gagal “mencari jalan untuk mengurangi” dampak buruk dari perilaku anggota; dan
Keempat, organisasi RSPO jelas-jelas dalam “hubungan bisnis” dengan Sime Darbvy dan PT MAS anggotanya, yang bersedia membayar iuran biaya keanggotaan dan mematuhi peraturan RSPO dengan imbalan keuntungan keanggotaan.
Masyarakat telah merumuskan Proposal untuk Solusi (Proposal for Solution) kepada Sime Darby Plantation. Proposal berisi tahapan dan kegiatan pengembalian tanah adat masyarakat Kerunang dan Entapang. Sayangnya RSPO gagal membantu dan menyakinkan Sime Darby Plantation agar menerima tawaran solusi masyarakat. Masyarakat siap menyampaikan solusi bagaimana NCP Swiss seharusnya menerapkan mekanisme dan upaya pemulihan HAM yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat RSPO dan anggotanya.
Sebagai anggota OECD, National Contact Point (NCP) Swiss dapat memfasilitasi, membantu masyarakat dan RSPO memulihkan hak masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang yang sesuai dengan semangat Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia serta Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional.
Masyarakat percaya NCP Swiss memiliki komitmen, profesional dan akuntabel dalam merumuskan praktek terbaik pemulihan HAM dalam penerapan dan pemajuan kebijakan Panduan OECD dan selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan dan Hak Asasi Manusia.
Media Contact:
Redatus Musa 081380663822, Kepala Dusun Entapang
Edisutrisno 081315849153, TuK INDONESIA
Rini Kusnadi 082260152595, TuK INDONESIA

Siaran Pers: MENGGUGAT RSPO ATAS LAMBANNYA PENYELESAIAN KONFLIK MASYARAKAT ADAT DAYAK DI KERUNANG DAN ENTAPANG DENGAN PERUSAHAAN MALAYSIA

Sektor kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas strategis yang menopang perekonomian Indonesia. Namun, dengan kontribusinya yang besar pada perekonomian bukan berarti industri ini tanpa masalah. Ekspansi besar-besaran dalam industri perkebunan kelapa sawit justru banyak mengakibatkan konflik lahan yang berkepanjangan, penyebab rusaknya lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Berbagai masalah tersebut memunculkan seruan global terhadap pelaku industri untuk lebih bertanggung jawab dengan memperhatikan aspek lingkungan dan sosial. Hal inilah yang kemudian menjadi alasan dibentuknya Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Asosiasi yang dibentuk pada 2004 ini diharapkan mampu memberikan solusi dari berbagai konflik yang terjadi antara perusahaan anggotanya dengan masyarakat dan permasalahan lingkungan yang muncul.

Setiap anggota RSPO dalam menjalankan bisnisnya harus mentaati prinsip-prinsip RSPO, diantaranya komitmen terhadap hukum yang berlaku, perlindungan terhadap lingkungan, menghormati masyarakat lokal terdampak, dan lainnya. Sayangnya, kebanyakan dari perusahaan anggota RSPO justru melanggar prinsip-prinsip tersebut, salah satunya perusahaan sawit asal Malaysia, Sime Darby. Sime Darby melalui anak perusahaannya, PT. Mitra Austral Sejahtera (PT. MAS) sampai saat ini masih terlibat konflik lahan dengan masyarakat adat Dayak di Dusun Entapang dan Kerunang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Pada tahun 1995/1996, PT. MAS masuk ke kampung untuk mensosialisasikan pembangunan perkebunan kelapa sawit. PT. MAS menjanjikan kepada masyarakat untuk membangun kebun plasma, membangun sarana dan prasarana dan memberikan lapangan pekerjaan kepada masyarakat di Dusun Kerunang dan Entapang. Setelah mempertimbangkan janji-janji tersebut, Masyarakat Kerunang dan Entapang setuju untuk meminjamkan tanah adat untuk ditanam kelapa sawit. “Namun yang kemudian terjadi, PT. MAS justru melanggar janjinya dengan mengubah status tanah masyarakat menjadi tanah Hak Guna Usaha (HGU) milik perusahaan. Padahal masyarakat tidak pernah menyerahkan tanahnya untuk dimiliki atau dijadikan HGU oleh perusahaan, yang ada sebelumnya hanya perjanjian pinjam pakai.” Ujar Redatus Musa, perwakilan dari masyarakat Kerunang dan Entapang.
Hal tersebutlah yang memicu konflik antara masyarakat Kerunang dan Entapang dengan PT. MAS (khususnya PT. MAS II), anak Perusahaan Sime Darby. Berbagai cara dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan tanahnya kembali, salah satunya dengan meminta keterlibatan RSPO dalam penyelesaian konflik yang terjadi sejak 2007. Tidak adanya upaya dari Sime Darby untuk menyelesaikan konflik yang terjadi, pada 2012, Masyarakat Kerunang dan Entapang resmi mengajukan komplain kepada RSPO atas perampasan lahan yang dilakukan oleh Sime Darby. Namun hingga saat ini konflik tersebut masih belum terselesaikan.
“Padahal dalam setiap Pertemuan Tahunan RSPO, masyarakat selalu mengingatkan dan menyampaikan komplainnya agar RSPO serius menyelesaikan konflik yang terjadi di Kerunang dan Entapang yang melibatkan perusahaan anggotanya, Sime Darby. Terkahir, pada Pertemuan Tahunan RSPO ke-14 yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, saya hadir mewakili masyarakat meminta RSPO untuk serius menyelesaikan konflik yang terjadi di kampung kami. Dalam waktu satu tahun sudah harus ada upaya yang lebih konkrit menuju penyelesaian konfliknya,” tambah Musa dengan tegas.
Tepat satu tahun sejak Pertemuan Tahunan di Bangkok, tepatnya pada 27-30 November 2017, RSPO mengadakan Pertemuan Tahunan kembali di Bali, Indonesia. Masyarakat tentu akan menagih tuntutan yang disampaikan ke RSPO. “Masyarakat akan melakukan upaya yang lebih tegas kepada RSPO. Jika RSPO tidak merespon dengan upaya penyelesaian yang lebih konkrit, masyarakat berencana akan menggugat RSPO melalui mekanisme OECD. Draft dan berkas-berkas yang dibutuhkan sudah kami persiapkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengajukan gugatannya.” Ujar Norman Jiwan, salah satu pendamping masyarakat
Sebagai salah satu organisasi kerjasama ekonomi dan pembangunan terbesar di dunia, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) memiliki Panduan tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional sebagai standard internasional tata kelola korporasi dari negara-negara anggota OECD. Perusahaan dari negara-negara OECD terikat kewajiban terhadap dampak kegiatan bisnis dan rantai pasok mereka. Tuntutan masyarakat atas hak tanah dan wilayah adat adalah bagian dari hak asasi manusia atas kepastian dan keadilan hukum (rule of law) sebagaimana tercantum dalam Panduan yang diwajibkan oleh OECD. Jika terjadi pelanggaran hak masyarakat dan berdampak serius, maka harus ada proses upaya-upaya memastikan mekanisme pemulihan (remedy).
Tidak hanya RSPO saja yang bisa dimintai pertanggung jawaban atas belum terselesaikannya konflik yang terjadi di Dusun Kerunang dan Entapang, lembaga pemberi modal juga bisa dimintai pertanggungjawaban jika asal memberikan modalnya tanpa melakukan due diligent terhadap kliennya. Sime Darby adalah klien terbesar kedua Maybank, dan harus dicatat bahwa Permodalan Nasional Berhad (PNB) yang memegang hampir 50% dari saham Maybank juga memegang sekitar 50% dari saham Sime Darby.
“Dalam Periode 2010-2016, Maybank menyediakan kurang lebih US$ 3,9 miliar dalam bentuk pinjaman dan underwriting untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit, setara dengan 11% dari semua pendanaan yang disediakan untuk perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit terpilih. Jika Maybank tidak memiliki kebijakan penilaian risiko untuk pendanaan kelapa sawit, maka maybank juga membawa tanggung jawab yang kuat atas dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh kliennya.” Ujar Rahmawati Retno Winarni, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.
 
Kontak:
Abdul Wahid (081381464445)
Rini Kusnadi (082260152595)

SURAT TERBUKA: Keprihatinan atas Pendanaan bagi Perusahaan Pembakar Hutan, Lahan dan Gambut di Indonesia

PrintJakarta, 30 Oktober 2015

Nomor

:

01/DE-TuK/X/2015

Subjek

:

Keprihatinan atas Pendanaan bagi Perusahaan Pembakar Hutan, Lahan dan Gambut di Indonesia

Kepada Yth.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia

Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Negara-Negara Uni Eropa

Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Negara-Negara Anggota OECD

Di Tempat

Dengan hormat,

TuK INDONESIA menyampaikan rasa prihatin yang mendalam kepada warga negara Indonesia yang telah mengalami penderitaan dan menjadi korban pencemaran udara akibat pembakaran hutan dan lahan. Pembakaran hutan dan lahan gambut tahun 2015 terus terjadi di Acehi, Sumatera Utaraii, Riauiii, Jambiiv, Sumatera Selatanv, Bengkuluvi, Kalimantan Baratvii, Kalimantan Tengahviii, Kalimantan Timurix, Kalimantan Selatanx, Sulawesi Tengahxi, Malukuxii, Papuaxiii dan Papua Baratxiv.

TuK INDONESIA mempelajari dan memandang kerugian akibat kesehatan publik khususnya kelompok rentan terutama balita, anak-anak, perempuan, lansia dan warga berkebutuhan khusus dipaksa menghirup udara kotor – asap dari api pembakaran hutan dan lahan sudah tidak bisa diterima dengan alasan apapun baik atas nama pembangunan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan pendapatan negara.xv

Asap dan pencemaran udara dari kebakaran hutan dan lahan tidak hanya mencemari Malaysia dan Singapura tetapi juga korban nyawa (19 orang)xvi, penyakit saluran nafas (ISPA), penutupan sekolah, fasilitas umum, gangguan penerbangan domestik, regional dan internasional, dll. Emisi emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut membuat Indonesia telah melampaui rata-rata emisi karbon harian Amerika Serikat selama 26 hari dari 44 hari sejak awal September 2015.xvii

TuK INDONESIA mendukung upaya pemerintah Indonesiaxviii memberlakukan moratorium izin baru dikawasan hutan dan lahan gambut, penegakan hukum, dan upaya pemadaman api dan pengurangan asap akibat pembakaran hutan dan lahan. Pemerintah bahkan tercatat telah berhasil mendaftar 413 perusahaan yang diindikasi melakukan pembakaran hutan di lahan seluas 1,7 juta hektar.xix

Hikmah 18 Tahun Pembelajaran

Wahana Lingkungan Hidup Indonesiaxx merinci nama group perusahaan hutan dan lahan, di Kalimantan Tengah Sinar Mas tiga anak perusahaan dan Wilmar 14 anak perusahaan. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) ada 6 anak perusahaan, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources/Surya Dumai (1) dan Provident (1). Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).

Selain data WALHI, World Resources Institute telah memonitor kebakaran di tahun 2014xxi dan bahkan Greenpeace juga merilis data kebakaran hutan dan lahan dimana sejak 2013 konsesi milik anggota RSPO bertanggung jawab atas 39% dari total titik api perkebunan sawit di Riau.

Pinjaman Aktif oleh Lembaga Pembiayaan dan Bankxxii

Antara tahun 2009-2013, TuK INDONESIA mencatat sekitar US$17.8 miliar pinjaman diberikan kepada 25 kelompok sawit yang dikuasai oleh taipan. Pinjaman-pinjaman tersebut berasal dari HSBC (Inggris), OCBC (Singapore), CIMB (Malaysia), Mitsubishi UFJ Financial Group (Jepang), DBS (Singapura), Sumitomo Group (Jepang), Bank Mandiri (Indonesia), ANZ (Australia), United Overseas Bank (Singapore), Mizuho Financial Group (Jepang), Commonwealth Bank of Australia (Australia), Rabobank (Belanda), BNI 46 (Indonesia), BNP Paribas (Perancis), BRI (Indonesia), Citibank (Amerika Serikat), Credit Suisse (Switzerland), National Bank Australia (Australia), Westpac Banking Corporation (Australia), dan Industrial and Commercial Bank of China (China).

Penjamin Aktif dalam Sektor Minyak Sawitxxiii

Total jaminan berupa saham dan surat berharga oleh taipan yang menguasai 25 group kelapa sawit mencapai US$ 10.6 miliar. Dana besar skema underwriter berupa saham dan surat berharga tersebut bersumber dari RHB Banking Group (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), Goldman Sachs (Amerika Serikat), Bank of Communications (China), Danatama Makmur (Indonesia), CIMB Group (Malaysia), Credit Suisse (Switzerland), HSBC (Inggris), Citibank (Amerika Serikat), AMMB Holdings (Malaysia), BNP Paribas (Perancis), DBS (Singapore), Malayan Banking (Malaysia), Danareksa Sekuritas (Indonesia), Mitsubishi UFJ Financial Group (Jepang), Bank Mandiri (Indonesia), Deutsche Bank (Jerman), UBS (Switzerland), Bahana Group (Indonesia), dan Indo Premier Securities (Indonesia).

Peran Strategis OJK dan Lembaga Pembiayaan

TuK INDONESIA mendukung Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia dan internasional untuk mengambil langkah-langkah strategis pencegahan dan mengambil kebijakan strategis jangka panjang untuk mencegah lembaga pembiayaan, bank BUMN dan swasta komersial baik domestik dan internasional terlibat secara langsung dan melalui pihak kedua dan ketiga yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan di Indonesia.

TuK INDONESIA mendesak lembaga pembiayaan dan bank komersil khusus domestik dan internasional untuk segera mengambil langkah untuk meninjau dan mencabut kontrak pinjaman dan fasilitas investasi lainnya terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Hormat kami,


Norman Jiwan

Executive Director

Tembusan:

Rakyat Indonesia

iv Kebakaran Hutan dan Lahan di Jambi Masih Membara. Akses di http://jambi.tribunnews.com/2015/10/23/kebakaran-hutan-dan-lahan-di-jambi-masih-membara

v Satu juta hektar lahan gambut Sumsel terbakar. Akses di

http://www.antaranews.com/berita/515778/satu-juta-hektar-lahan-gambut-sumsel-terbakar

viAktivis Lingkungan Bengkulu Sebut Malaysia dan Singapura Biang Kebakaran Hutan. Akses di http://regional.kompas.com/read/2015/09/16/18312381/Aktivis.Lingkungan.Bengkulu.Sebut.Malaysia.dan.Singapura.Biang.Kebakaran.Hutan

xJokowi Mendadak Cek Ulang Lokasi Kebakaran Lahan Gambut di Kalsel. Akses di

http://news.liputan6.com/read/2324786/jokowi-mendadak-cek-ulang-lokasi-kebakaran-lahan-gambut-di-kalsel

xiiiKebakaran hutan mencapai Sulawesi, Maluku dan Papua. Akses di http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151019_indonesia_asap_sulawesi

xv Romo Magnis: Semua Kepala Daerah di Wilayah Kebakaran Hutan Harus Dipecat. http://kaltim.tribunnews.com/2015/10/26/romo-magnis-semua-kepala-daerah-di-wilayah-kebakaran-hutan-harus-dipecat; lihat juga Ada korupsi di balik kabut asap Indonesia. Akses di http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151017_indonesia_korupsi_asap

xvi 5 orang dari Kalimantan Tengah, 5 orang dari Sumatera Selatan, dan 5 orang dari Riau, 1 orang dari Jambi, dan 3 orang dari Kalimantan Selatan. (nasional.kompas.com)

xviiGara-gara kabut asap, Indonesia kalahkan AS soal emisi karbon. Akses di http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151021_indonesia_emisi_as

xviiiJokowi Mendadak Cek Ulang Lokasi Kebakaran Lahan Gambut di Kalsel. Akses di http://news.liputan6.com/read/2324786/jokowi-mendadak-cek-ulang-lokasi-kebakaran-lahan-gambut-di-kalsel

xix Penyebab Kebakaran Hutan Terungkap?. Akses di http://www.dw.com/id/penyebab-kebakaran-hutan-terungkap/a-18801135

xxiTabel titik api 2014 HTI, Sawit, HPH. Akses di http://www.wri.org/sites/default/files/uploads/picture5_0.png

xxiiTuK INDONESIA 2015. Executive Summary: Tycoon-controlled oil palm groups in Indonesia. Access at http://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2015/02/Tycoons-in-the-Indonesian-palm-oil-sector-140828-Tuk-Summary.pdf

xxiiiTuK INDONESIA 2015. Executive Summary: Tycoon-controlled oil palm groups in Indonesia. Access at http://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2015/02/Tycoons-in-the-Indonesian-palm-oil-sector-140828-Tuk-Summary.pdf

Equator Banks & Equator Principles

EP
Equator Principles (EPs)1 adalah kerangka kerja pengelolaan risiko, ditetapkan oleh lembaga keuangan, untuk menentukan, menilai dan mengelola risiko lingkungan dan sosial dalam proyek-proyek dan sangat dimaksudkan untuk menyediakan suatu standar minimum untuk uji tuntas (due diligence) untuk mendukung pengambilan-keputusan risiko secara bertanggung jawab.

EP berlaku diseluruh dunia, terhadap semua sektor industri dan terhadap empat produk finansial yaitu, 1) Jasa Nasihat Pembiayaan Proyek (Project Finance Advisory Services); 2) Proyek Pembiayaan (Project Finance); 3) Pinjaman Perusahaan Terkait Proyek (Project-Related Corporate Loans); dan 4) Pinjaman Penghubung (Bridge Loans). Batas dan kriteria untuk penerapan dijelaskan secara lengkap pada bagian Cakupan EP.

Saat ini terdapat 80 Lembaga Keuangan Equator Principles (EPFIs) (80 Equator Principles Financial Institutions (EPFIs) di 34 negara telah memberlakukan EP, mencakup lebih dari 70 persen Proyek Pembiayaan utang dalam pasar-pasar berkembang pesat.

LKEP/EPFI berniat menerapkan Prinsip Equator dalam kebijakan, prosedur dan standar lingkungan dan sosial internal mereka untuk pembiayaan proyek-proyek dan tidak akan memberikan Pembiayaan Proyek (Project Finance) atau Pinjaman Korporasi Terkait Proyek (Project-Related Corporate Loans) kepada proyek-proyek dimana klien atau peminjam tidak akan, atau tidak mampu untuk, mematuhi Prinsip Equator.

Prinsip Equator tidak diniatkan untuk diterapkan berlaku surut, LKEP/EPFI menerapkan Prinsip Equator terhadap perluasan atau pemutakhiran proyek yang telah ada dimana perubahan-perubahan dalam skala atau cakupan mungkin menciptakan dampak dan risiko lingkungan dan sosial yang signifikan atau sangat merubah sifat atau derajat suatu dampak yang telah ada.

Prinsip Equator telah meningkatkan perhatian dan fokus dalam standar dan tanggung jawab sosial/masyarakat, termasuk standar yang ketat untuk masyarakat adat, standar buruh, dan konsultasi dengan masyarakat terkena dampak setempat didalam pasar Proyek Pembiayaan. Prinsip Equator juga telah menggalakkan konvergensi sekitar standar-standar umum lingkungan dan sosial. Bank-bank pembangunan multilateral, termasuk European Bank for Reconstruction & Development, dan badan-badan kredit ekspor melalui OECD Common Approaches semakin banyak menggunakan standar yang sama seperti Prinsip Equator.

Prinsip Equator juga telah membantu memacu pengembangan praktek-praktek pengelolaan lingkungan dan sosial bertanggung jawab lainnya dalam sektor pembiayaan dan industri perbankan (contoh, Carbon Principles Amerika Serikat, Climate Principles seluruh dunia) dan telah menyediakan suatu platform keterlibatan luas dengan para pemangku kepentingan termasuk organisasi non pemerintah (NGO), klien dan badan-badan industri.

Equator Principles

Equator Principles (equator_principles_III) atau Prinsip Equator terdiri dari 10 prinsip atau asas yang baru saja direvisi.2 Prinsip-prinsip tersebut adalah: Prinsip 1: Tinjauan dan Kategorisasi; Prinsip 2: Penilaian Lingkungan dan Sosial; Prinsip 3: Standar Lingkungan dan Sosial yang Berlaku; Prinsip 4: Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Sosial serta Rencana Aksi Equator Principles; Prinsip 5: Pelibatan Pemangku Kepentingan; Prinsip 6: Mekanisme Keluhan; Prinsip 7: Tinjauan Independen; Prinsip 8: Konvenan; Prinsip 9: Monitoring dan Pelaporan Independen; Prinsip 10: Pelaporan dan Transparansi.

RSPO dan Equator Principles

Hingga tahun 2014, anggota RSPO yang berasal dari lembaga pembiayaan dan perbankan baru 13 lembaga.3 Bank-bank anggota RSPO yang terdaftar sebagai anggota Equator Banks adalah ABN AMRO Bank N.V., HSBC Holdings Plc, BNP Paribas, Citi, Credit Suisse AG, ANZ Banking Group Limited, International Finance Corporation (IFC), Rabobank, dan Standard Chartered Bank.

Hingga 2014, kecuali bank asing, belum ada satupun lembaga pembiayaan dan perbankan dari Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Malaysia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar dunia yang bergabung dengan Equator Banks.

Tidak jelas, apa kendala bagi lembaga pembiayaan dan perbankan, standar yang terlalu ketat atau iuran tahunan anggota yang terlalu tinggi. Atau mungkin kedua hal tersebut sama-sama memberatkan!

Daftar anggota Equator Banks4

Lembaga

Pengesahan

Negara

Wilayah

Westpac Banking Corporation

04-Jun-03

Australia

Oceania

Wells Fargo Bank

12-Jul-05

US

North America

UniCredit Bank

04-Jun-03

Germany

Europe

UK Green Investment Bank

02-Dec-13

UK

Europe

TD Bank Financial Group

12-Apr-07

Canada

North America

Sumitomo Mitsui Banking Corporation

03-Sep-07

Japan

Asia

Standard Chartered

08-Oct-03

UK

Europe

Standard Bank

02-Feb-09

South Africa

Africa

Société Générale

03-Sep-07

France

Europe

Skandinaviska Enskilda Banken

03-Apr-07

Sweden

Europe

Royal Bank of Scotland

04-Jun-03

Scotland

Europe

Royal Bank of Canada

21-Jul-03

Canada

North America

Rabobank Group

04-Jun-03

The Netherlands

Europe

Nordea Bank

21-Feb-07

Sweden

Europe

NIBC Bank

09-Nov-10

The Netherlands

Europe

Nedbank

10-Nov-05

South Africa

Africa

Natixis

30-Dec-10

France

Europe

National Australia Bank

25-Oct-07

Australia

Oceania

Mizuho Bank

27-Oct-03

Japan

Asia

Mauritius Commercial Bank

15-May-12

Mauritius

Africa

Manulife Financial

11-May-05

Canada

North America

Lloyds Banking Group

31-Jan-08

UK

Europe

KfW IPEX-Bank

03-Mar-08

Germany

Europe

KBC Group

27-Jan-04

Belgium

Europe

JPMorgan

04-Dec-06

US

North America

Itaú Unibanco

12-Aug-04

Brazil

Latin America

Intesa Sanpaolo

04-Aug-06

Italy

Europe

ING Bank

23-Jun-03

The Netherlands

Europe

Industrial Bank

31-Oct-08

China

Asia

IDFC

03-Jun-13

India

Asia

HSBC

04-Sep-03

UK

Europe

FMO

19-Oct-05

The Netherlands

Europe

FirstRand

13-Jul-09

South Africa

Africa

Fidelity Bank

01-Nov-12

Nigeria

Africa

Export Development Canada

25-Oct-07

Canada

North America

Ex-Im Bank

31-Mar-11

US

North America

Eksportkreditt Norway

27-Jun-14

Norway

Europe

Eksport Kredit Fonden

14-May-04

Denmark

Europe

Efic

03-Mar-09

Australia

Oceania

Ecobank Transnational Incorporated

01-Jan-12

Togo

Africa

DZ Bank

01-Jan-13

Germany

Europe

DNB

29-May-08

Norway

Europe

DekaBank

01-Mar-11

Germany

Europe

Crédit Agricole Corporate and Investment Bank

04-Jun-03

France

Europe

Credit Suisse Group

04-Jun-03

Switzerland

Europe

CORPBANCA

29-Jul-07

Chile

Latin America

Commonwealth Bank of Australia

26-May-14

Australia

Oceania

Citigroup

04-Jun-03

US

North America

CIFI

06-Apr-07

Costa Rica

Latin America

CIBanco

07-Mar-12

Mexico

North America

Canadian Imperial Bank of Commerce

03-Dec-03

Canada

North America

CaixaBank

19-Mar-07

Spain

Europe

CAIXA Economica Federal

18-Nov-09

Brazil

Latin America

BNP Paribas

24-Oct-08

France

Europe

BMCE Bank

10-May-10

Morocco

Africa

Barclays

04-Jun-03

UK

Europe

Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ

22-Dec-05

Japan

Asia

Bank of Nova Scotia

25-Sep-06

Canada

North America

Bank of Montreal

15-Sep-05

Canada

North America

Bank of America Corporation

28-Jul-06

US

North America

Bank Muscat

18-Aug-07

Sultanate of Oman

Middle East

Bancolombia

11-Dec-08

Colombia

Latin America

Banco Santander

30-Apr-09

Spain

Europe

Banco Sabadell

29-Sep-11

Spain

Europe

Banco Popular Español

20-May-13

Spain

Europe

Banco PINE

07-Dec-12

Brazil

Latin America

Banco Mercantil del Norte

12-Mar-12

Mexico

North America

Banco Espírito Santo

16-Aug-05

Portugal

Europe

Banco do Brasil

06-Jul-06

Brazil

Latin America

Banco de la República Oriental del Uruguay

03-Jan-08

Uruguay

Latin America

Banco de Galicia y Buenos Aires

19-Mar-07

Argentina

Latin America

Banco de Crédito

22-Jan-13

Peru

Latin America

Banco Bradesco

08-Sep-04

Brazil

Latin America

Banco Bilbao Vizcaya Argentaria

18-May-04

Spain

Europe

ASN Bank NV

25-Nov-09

The Netherlands

Europe

Arab African International Bank

25-Jan-09

Egypt

Africa

ANZ

15-Dec-06

Australia

Oceania

Ahli United Bank

01-May-11

Kingdom of Bahrain

Middle East

Access Bank Plc

04-Jun-09

Nigeria

Africa

ABN Amro

03-Aug-09

The Netherlands

Europe