Pos

Melihat Sawit Indonesia dan Resolusi Uni Eropa dengan Positif

Dua bulan yang lampau, tepatnya tanggal 17 Maret 2017 Kateřina Konečná dari Committee on the Environment, Public Health and Food Safety, Parlemen Uni Eropa, menerbitkan sebuah laporan setebal 39 halaman.  Laporan itu, Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests. Laporan tersebut sebetulnya hanya bersifat rekomendatif, namun kemudian menjadi kuat ketika didukung oleh majoritas anggota Parlemen. Pemungutan suara melalui voting yang dilakukan pada tanggal 4 April 2017, menghasilkan 640 anggota menyatakan persetujuan, 18 menolak, dan 28 menyatakan abstain.  Hal itu berarti persetujuan lebih dari 39% anggota Parlemen.
Laporan itu, dan terutama resolusinya, kemudian menghasilkan serangkaian ekspresi kekecewaan dan kemarahan di Indonesia.  Sejumlah kementerian dan perwakilan industri menyatakan bahwa resolusi tersebut bersifat diskriminatif dan sesungguhnya hanya wujud dari proteksionisme dalam perang dagang yang dibungkus dalam jargon-jargon keberlanjutan.  Kementerian Luar Negeri menyatakan: “[The resolution] only validates our suspicion that the seemingly endless attacks on palm oil by green NGOs and consumer organisations since the late 1990s have partly been prompted by strong lobbying by the EU vegetable oil industry to weaken the competitiveness of Indonesian palm oil.”
Tuduhan bahwa LSM lingkungan—dan secara lebih terbatas LSM konsumen—melakukan kampanye hitam untuk merugikan kepentingan ekonomi Indonesia memang sudah lama digembar-gemborkan.  Namun apa yang dinyatakan oleh LSM-LSM terkait dengan dampak negatif dari ekspansi kelapa sawit itu sesungguhnya selalu didukung oleh ilmu pengetahuan.  Sebaliknya, tuduhan terhadap LSM kerap hanya bersifat fitnah belaka.
Ambil contoh soal hubungan antara kelapa sawit dengan deforestasi.  Para peneliti yang menggunakan hutan dalam pengertian ekologis memang menemukan bahwa perkebunan sawit di seluruh dunia—bukan hanya di Indonesia—sebagiannya memang berasal dari hutan yang dikonversi.  Hal ini sejalan dengan metaanalisis yang dilakukan oleh  Busch dan Ferretti-Gallon (2017) yang menemukan bahwa deforestasi di seluruh dunia memang paling kuat terkait dengan harga komoditas pertanian yang menarik, termasuk kelapa sawit.  Khusus di Indonesia, ekspansi perkebunan kelapa sawit bertanggung jawab atas 54% deforestasi di Indonesia antara 1989-2013 (Vijay, et al., 2016), sementara penelitian sebelumnya menyatakan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu setidaknya 56% (Koh dan Wilcove, 2008).
Memang ada upaya untuk membantahnya.  Misalnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017).  Mereka berupaya untuk ‘membuktikan’ bahwa ekspansi kebun sawit bukanlah penyebab deforestasi, melainkan penyelamat Indonesia dari deforestasi.  Namun, secara sepintas dapat dikatakan metodologi yang dipergunakan tidak akan bisa mendukung kesimpulan itu.  Ada tiga hal dalam metodologinya yang bisa dinyatakan sebagai kelemahan. Pertama, definisi deforestasi yang bersifat administratif belaka, tidak sesuai dengan pengertian ekologis; kedua, menggunakan data yang berasal dari beberapa kabupaten di Provinsi Riau saja, dan bukan di seluruh wilayah Indonesia; dan, ketiga, melihat hanya perkebunan kelapa sawit yang memiliki Izin Usaha Perkebunan dan Hak Guna Usaha saja, dan bukan kondisi aktual perkebunan kelapa sawit baik yang legal maupun ilegal.  Apa yang dilakukan oleh Santosa, et al. (2017) sesungguhnya bisa dinyatakan hanya bersifat apologetik, kalau bukan malahan sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran.
Padahal, daripada melakukan tindakan apologetik maupun sekadar mengungkapkan kekecewaan dan kemarahan, ada cukup banyak perbaikan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang bisa ditunjukkan kepada dunia, sebagai bukti bahwa Indonesia memang memerhatikan keberlanjutan di dalam pengelolaan sumberdaya alamnya, termasuk dalam perkebunan kelapa sawit.  Memfasilitasi tindakan perbaikan menuju keberlanjutan serta komunikasinya yang tepat adalah hal yang sudah lama menjadi sikap sejumlah besar LSM lingkungan yang bekerja di Indonesia.  Alih-alih melakukan kampanye hitam sebagaimana yang dituduhkan, LSM lingkungan sesungguhnya telah, sedang, dan akan terus melakukan kampanye hijau untuk mendukung Indonesia yang berkelanjutan.
Demikian juga dalam menyikapi resolusi yang dibuat oleh Uni Eropa tersebut, LSM lingkungan lebih melihatnya sebagai peluang dan ajakan kerjasama dari Uni Eropa untuk memerbaiki kondisi perkelapasawitan di Indonesia—yang oleh banyak peneliti dalam negeri sendiri dinyatakan perlu banyak tindakan korektif.  Dari mood yang ditunjukkan oleh dokumen Uni Eropa itu di awalnya, jelas yang disampaikan adalah otokritik bahwa negara-negara Uni Eropa, sebagai konsumen, sesungguhnya turut berkontribusi pada berbagai dampak negatif yang masih ada di industri kelapa sawit, khususnya di perkebunannya.  Dari otokritik itu kemudian diajukanlah serangkaian rekomendasi tindakan.
Namun, sangat penting untuk digarisbawahi bahwa dokumen tersebut juga bukanlah dokumen yang sempurna, melainkan memang masih mengandung sejumlah hal yang perlu diperbaiki.  Uni Eropa jelas memiliki kepentingan untuk membuat dokumen yang lebih ringkas lagi, sebaiknya maksimal 5 halaman, dan sedapat mungkin diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, sehingga lebih banyak pemangku kepentingan yang bisa mengakses isinya secara langsung, bukan sekadar membaca secara sepotong-potong dan/atau mendengar dari pihak lain.  Sebagaimana yang ditengarai oleh beberapa peneliti, kemungkinan kekecewaan dan kemarahan sebagian pihak di Indonesia itu disebabkan oleh karena belum membacanya secara lengkap.  Namun, membaca 39 halaman dalam bahasa asing adalah tugas yang masih terlampau berat bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Untuk menghindari prasangka buruk, tentu saja Uni Eropa perlu juga untuk menunjukkan bahwa komitmen keberlanjutan memang ditunjukkan untuk seluruh produk yang mereka produksi dan konsumsi.  Itu juga berarti termasuk seluruh miyak nabati, bukan cuma minyak sawit.  Di Indonesia, berkembang pemikiran bahwa minyak nabati lainnya sama sekali tidak diproduksi dengan memerhatikan aspek-aspek sosial dan lingkungan.  Apalagi, kebutuhan lahan untuk memroduksi minyak nabati lain dalam volume yang sama sangatlah besar, berkali lipat dibandingkan minyak sawit.  Jadi, minyak nabati lainnya dipandang sebagai produk kompetitor yang lebih inferior.
Di dalam dokumen yang kemudian menjadi dasar resolusi, hal tersebut sedikit disinggung.  Namun kemudian, yang mengherankan untuk kebanyakan orang di Indonesia adalah bahwa salah satu rekomendasinya adalah pemanfaatan minyak nabati yang diproduksi oleh negara-negara Uni Eropa sendiri, terutama untuk biodiesel.  Dalam hal ini, Uni Eropa penting untuk menjelaskan alasannya dengan membuktikan bahwa memang pertimbangan keberlanjutanlah yang dipergunakan dalam mengambil rekomendasi itu.  Lantaran tak mungkin minyak nabati lain lebih tinggi produktivitasnya per satuan luas lahan dibandingkan sawit, maka satu-satunya penjelasan yang mungkin adalah karena kedekatannya, sehingga mungkin menjadi lebih kecil jejak karbonnya.  Namun, sekali lagi, hal itu perlu dibuktikan secara ilmiah.
Uni Eropa, sebagaimana yang telah dinyatakan di dalam dokumen tersebut, bersedia untuk membantu negara-negara penghasil sawit, termasuk Indonesia, untuk meningkatkan keberlanjutan pada industri sawit.  Ini sangat penting untuk benar-benar diwujudkan, lewat beragam cara yang mungkin, termasuk dengan memberikan bantuan teknis kepada petani kelapa sawit skala kecil—yang lebih rentan dibandingkan dengan perkebunan besar—dan kesediaan membayar harga yang lebih baik untuk sawit yang dikelola secara lestari.  Melihat berbagai peluang perbaikan sepanjang value chain sangat perlu dilakukan, lalu mengeksekusi tindakan-tindakan perbaikan yang mungkin.
Di Indonesia juga ada berbagai pernyataan bahwa data yang dicantukan di dalam dokumen tersebut tidak seluruhnya mutakhir.  Ada baiknya, segera dilakukan dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia untuk mengetahui perkembangan-perkembangan terbaru di lapangan.  Hal ini sangat penting dilakukan sehingga Uni Eropa bisa mengapresiasi kemajuan-kemajuan yang telah ditunjukkan oleh Indonesia.  Kalau dalam dokumen itu Uni Eropa mengapresiasi Badan Restorasi Gambut, maka pencapaian lain yang belakangan muncul, termasuk beragam inisiatif yang masih dalam pipeline seperti Satu Peta dan regulasi tentang Ekonomi Lingkungan juga sangat perlu diapresiasi sebagai kemajuan menuju keberlanjutan.  Lebih jauh, Uni Eropa mungkin dapat memertimbangkan kerjasama dalam inisiatif-inisiatif baru tersebut.
Tentu, yang lebih baik lagi adalah apabila dialog antara Uni Eropa dengan Pemerintah Indonesia bisa menghasilkan pengetahuan terbaru mengenai kinerja keberlanjutan, bukan sekadar proses mencapainya.  Lalu, keduanya bisa mencapai kesepakatan tentang apa saja kesenjangan yang masih ada dan bagaimana jalan yang ditempuh untuk menutup kesenjangan itu.  Dengan demikian, maka kerjasama menuju keberlanjutan—sebagaimana yang misalnya dinyatakan oleh SDGs dalam Tujuan ketujuhbelasnya—bisa benar-benar diwujudkan.  Kerjasama ini, dan bukannya saling melempar tuduhan dan kecaman, adalah jalan menuju keberlanjutan yang hakiki.  Kalau disepakati, Uni Eropa juga semestinya menjadi bagian dari kampanye hijau untuk perbaikan Indonesia.
Namun pekerjaan rumah Indonesia sendiri perlu untuk disadari.  Koordinasi antar-kementerian dan lembaga sendiri bukan hal yang sudah rampung.  Sebagaimana yang kita saksikan beberapa hari belakangan, regulasi tentang pengelolaan ekosistem gambut malah ditentang oleh Kementerian Perindustrian.  Ini menunjukkan perlawanan terhadap kepentingan konservasi dan rehabilitasi gambut yang sudah diamanatkan Presiden RI dan merupakan jalan yang perlu ditempuh untuk mengupayakan turunnya peluang dan dampak kebakaran hutan dan lahan di masa mendatang.
Kalau dipikirkan lebih dalam, sesungguhnya tindakan Kementerian Perindustrian itulah yang dapat dikategorikan sebagai kampanye hitam terhadap negeri sendiri di mata internasional.  Arah yang benar dalam pengelolaan gambut malah hendak digagalkan.  Upaya menyabotase Indonesia dari tujuan keberlanjutan ini haruslah dihentikan.  Sementara upaya untuk membangun keberlanjutan Indonesia—oleh pemangku kepentingan internal maupun bersama-sama dengan pemangku kepentingan eksternal seperti Uni Eropa—perlu dilakukan dengan serius.
Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
 

Siaran Pers Bersama: Bank Harus Tanggung Jawab atas Ratusan Konflik Tanah dan Kerusakan Lingkungan Hidup yang Terjadi

Jakarta-Perluasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus meningkat dengan kecepatan yang sangat tinggi, dan telah menciptakan berbagai masalah lingkungan hidup dan sosial yang serius. Hutan yang bernilai tinggi dikonversi menjadi perkebunan, emisi gas rumah kaca dari kebakaran hutan dan lahan gambut, bencana ekologis dan banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk keberlangsungan hidup mereka dan yang telah mereka miliki secara turun-temurun.

Perluasan perkebunan kelapa sawit yang semakin masif ini tentu tak dapat dipisahkan dari apa yang disebut dengan “economic booming” di sektor industri perkebunan kelapa sawit yang sesungguhnya dipicu oleh tingginya permintaan minyak nabati dunia untuk memenuhi konsumsi aneka makanan, kosmetik dan agrofuel. Indonesia merespon situasi ini dengan peningkatan perluasan perkebunan kelapa sawit, tujuannya secara normatif tentu untuk mendongkrak pendapatan ekonomi Negara, mengurangi angka pengangguran serta beberapa tujuan normatif lainnnya.

Trend perluasan perkebunan sawit ini semakin menemukan momentumnya ketika institusi-institusi perbankan ikut menyediakan kredit investasi bagi korporasi perkebunan kelapa sawit. Fatalnya, seringkali lembaga-lembaga Perbankan baik nasional maupun internasional tidak mempunyai filter untuk memastikan bahwa pinjaman-pinjaman yang mereka berikan kepada korporasi digunakan dengan mempertimbangkan masalah sosial dan lingkungan seperti keberlangsungan hidup para petani sawit skala kecil atau masyarakat di sekitar perkebunan serta isu-isu yang berhubungan dengan pencegahan deforestasi. Biasanya dalam prakteknya skema pemberian dana oleh Perbankan, terjadi pada tahap sebelum mendapatkan sertifikat HGU (Hak Guna Usaha) dari pemerintah dan juga setelah terbitnya sertifikat tersebut, tegas Fatilda Hasibuan, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Eksekutif Nasional WALHI.

Absennya filter tersebut dan hukum yang tidak berpihak kepada rakyat menyebabkan terjadinya ratusan konflik tanah antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat lokal yang masih belum bisa terlesaikan dan menyisakan krisis lingkungan hidup, misalnya konflik antara warga dengan perusahaan yang terjadi di Jambi, Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi Tenggara.

Dwi Nanto, Manager Advokasi dan Kampanye Walhi Jambi mengatakan, “sejak PT. Krena Duta Agro di Desa Lindung, Sarolangun-Jambi, melakukan pembangunan perkebunan kelapa sawit tahun 2002 seluas 1800 ha, perusahaan tidak pernah menepati kewajibannya : 1) membersihkan danau Biaro, 2) Memberikan kejelasan letak lokasi areal tanah kas Desa (TKD) yang dibangun dari total luasnya 800 hektar, 3) Menerima tenaga kerja Desa Lidung, 4) Membangun kebun kelapa sawit untuk Tanah Kas Desa, 5) Pembukaan lahan”.

“Sedangkan di Maluku Utara, konflik terjadi dengan PT. Korindo yang beroperasi di Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, dan Kepulauan Goronga dan PT. Manggala Rimba Sejahtera yang beroperasi di Kec. Patani Utara, Patani Barat, dan Halmahera Tengah”, ungkap Kuswandi Buamona, Manager Advokasi, Walhi Maluku Utara.

Direktur WALHI Sulawesi Tenggara, Kisran Makati mengatakan “di Sulawesi Tenggara, terdapat konflik agraria antara warga Mowila dan PT. Merbau Indah Raya Group. Menurut Walhi Sulawesi Tenggara, diduga manajemen perusahaan PT. Merbau bekerjasama dengan oknum pejabat, kecamatan, oknum desa, oknum warga, oknum pejabat pembebasan lahan melakukan aksi penipuan secara terstruktur dengan cara mengajak warga desa untuk mengikuti program perkebunan dalam bentuk plasma, dengan system bagi hasil (20% untuk warga dan 80% perusahaan). Dalam proses pembayaran kompensasi perkebunan bentuk plasma, pihak perusahaan meminta fotocopy surat kepemilikan tanah, surat keterangan tanah dan belakangan PT. Merbau mengklaim secara sepihak bahwa telah melakukan pembelian tanah secara beli putus, bukan pola kerja sama plasma seperti yang dijanjikan saat penandatanganan dengan warga”.

PJs. Direktur Walhi Papua, Maurits Rumbekwan menambahkan “di Papua, konflik antara warga dengan PTPN II terjadi sejak tahun 1985. Pemerintah dan perusahaan berusaha menguasai area konsensi dengan meminta masyarakat menandatangani surat yang isinya tidak diketahui karena redaksi surat tersebut ditutup dan hanya menyodorkan lampiran tanda tangan. Masyarakat harus segera tanda tangan karena alat berat akan diturunkan ke lokasi tersebut. Saat alat berat diturunkan, bukan pada lokasi yang disepakati sejak awal tetapi pada area hutan sagu. Beitu juga luasan yang disepakati mengalami perubahan, namun perubahan tersebut terjadi tanpa melibatkan warga”.

Selain perusahaan dan pemerintah, kekuatan pendorong di balik pertumbuhan yang kuat dari sektor minyak kelapa sawit, yaitu pemilik dan penyandang dana – juga harus memikul tanggung jawab atas dampak-dampak tersebut. Industri keuangan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanggungjawab social dan lingkungan hidup melalui kebijakan kredit dan investasi. Bank dan investor dapat terlibat dan membuat perusahaan bisa berinvestasi lebih besar untuk modal, yang kemudian mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat yang kemudian kembali bisa digunakan oleh perusahaan ini untuk berinvestasi dan mengembakan perusahaan mereka. Saat perusahaan mengendalikan proses ekspansi sector kelapa sawit, dana bank dan investor  eksternal yang digelontokan kepada mereka memungkinkan mereka untuk makin mempercepat laju ekspansinya, Edi Sutrisno, Direktur Advokasi dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menutup siaran pers ini.