Pos

Jalan Panjang dan Berliku Keuangan Berkelanjutan

 
Penantian panjang sejak diterbitkannya Roadmap Keuangan Berkelanjutan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada bulan Desember 2014, kami kira, telah berakhir.  Betapa menyenangkannya mendapatkan undangan untuk hadir dalam peresmian Bali Center for Sustainable Finance (BCSF) sekaligus peluncuran Peraturan Otoritas Jasa Keuangan  Keuangan Berkelanjutan (POJK-KB).  Undangan  yang diterima setelah libur Idul Fitri itu seakan menjadi hadiah Lebaran bagi kami yang telah cukup lama memerjuangkan keuangan berkelanjutan di Indonesia.
Namun, apa mau dikata, ketika kami hadir pada acara yang diselenggarakan di kampus Universitas Udayana, Denpasar, 12 Juli 2017 itu, yang pertama kali kami terima adalah perubahan susunan acara.  Peluncuran POJK-KB hilang dari susunan acara yang baru.  Susunan acara lainnya tidak berubah, namun fisilitator dan para pembicara diskusi panel yang sedianya menjadi penutup seluruh rangkaian acara hari itu juga berganti.
Ketika acara demi acara kami ikuti, benar saja, hingga akhir tak ada pengumuman tentang POJK-KB itu.  Kami tak bisa masuk ke konferensi pers yang memang hanya diperkenankan diikuti oleh jurnalis undangan.  Kami mendengar kabar bahwa materi konferensi pers sendiri memang akan memuat tentang POJK-KB, tapi karena akses yang terbatas, kami tak bisa menerima kepastian pada waktu tersebut.
Keniscayaan, Tapi Terus Tertunda
Sesungguhnya, keuangan berkelanjutan merupakan keniscayaan zaman.  Bumi sudah berada dalam kondisi yang sedemikian mengkhawatirkan.  Batas-batas keberlanjutan sudah banyak yang terlampaui, sehingga cara kita membangun segera harus diperbaiki secara radikal.  Dari cara membangun yang destruktif menjadi restoratif dan regeneratif.
Konsekuensi dari keharusan itu adalah perubahan dari pangkalnya, yaitu pembiayaan.  Kalau kita terus membayari beragam aktivitas ekonomi yang destruktif, maka kondisi Bumi akan semakin mengkhawatirkan. Dalam perubahan iklim misalnya, kalau kita terus membayari business as usual, jelas kita tak bisa mencapai target peningkatan suhu maksimum 2 derajat Celsius, apalagi 1,5 derajat.
Oleh karena itu, ide dasar dari keuangan berkelanjutan adalah untuk memastikan bahwa Bumi menjadi tempat yang layak huni, dan keadilan sosial serta ekonomi bisa diwujudkan, dengan cara hanya membayari aktivitas ekonomi yang kompatibel dengan tujuan tersebut.  Konsekuensi dari tujuan tersebut adalah bahwa semua keputusan pembiayaan disandarkan tidak saja pada kelayakan keuangan seperti biasanya, melainkan juga kelayakan ekonomi secara luas, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan.
Ketika ukuran ekonomi, sosial, dan lingkungan—juga tata kelola—dipergunakan untuk menimbang keputusan pembiayaan maka akan timbul daftar aktivitas ekonomi yang bisa dibiayai, bisa dibiayai dengan modfifikasi, atau tidak bisa dibiayai sama sekali.  Secara umum, aktivitas yang jelas-jelas mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) serta Kesepakatan Paris lah yang bisa dibiayai.  Sementara yang bertentangan dengan keduanya haruslah dihentikan pembiayaannya.  Tentu, penghentiannya membutuhkan periode transisi untuk menghindari guncangan ekonomi.
Kalau kita simak Roadmap Keuangan Berkelanjutan yang dibuat, ketegasan seperti itu belum tampak.  Namun, Indonesia harus memulainya dari titik tertentu.  Sehingga munculnya POJK-KB memang ditunggu-tunggu oleh seluruh pemangku kepentingan.  Kita semua sudah mendengarkan janji OJK untuk meluncurkan regulasi itu sejak tahun 2015, muncul kembali di tengah dan akhir 2016, namun semuanya berakhir dengan ketiadaan kemajuan.  Ancer-ancer waktu yang diberikan selalu meleset, hingga muncul kabar yang tampaknya lebih pasti di bulan Juni, yang bertepatan dengan Ramadan 2017.
Akhirnya para pemangku kepentingan melihat draft POJK-KB yang dijanjikan.  Draft yang diedarkan itu dipandang secara berbeda-beda oleh pemangku kepentingan yang berbeda.  Dari perbankan terdengar selentingan bahwa mereka berpikir substansinya terlampau berat.  Namun bagi organisasi masyarakat sipil yang progresif, kesannya lain sama sekali: ada terlampau banyak hal yang luput dari pengaturan.  Kewajiban membuat berbagai kebijakan sektoral (mis. migas, tambang, perkebunan, kehutanan) maupun tematik (HAM, ketenagakerjaan, lingkungan) tidak ada.  Padahal, penilaian pertama dari keuangan berkelanjutan yang selama ini dikenal adalah terhadap ada-tidaknya kebijakan bank terlebih dahulu.
Namun, terlepas dari pro-kontra substansi draft tersebut, prospek bahwa kita akan segera memiliki POJK-KB tetaplah merupakan kabar yang menyenangkan.  Apalagi, ketika undangan dari OJK datang setelah Idul Fitri, dengan susunan acara yang jelas-jelas menyebutkan peluncuran POJK-KB, kegembiraan jelas dirasakan banyak pihak, termasuk kami.  Ketika kemudian susunan acara berubah, dan peluncuran POJK-KB itu hilang dari daftar, kegembiraan itu sirna.  Ternyata penantian panjang kami belum berakhir.
Pentingnya Pusat Keuangan Berkelanjutan
Dalam kekecewaan lantaran harapan yang belum terkabul, peresmian BCSF dan diskusi panelnya menjadi perhatian berikutnya.  Dari acara tersebut kami mendapati bahwa sesungguhnya dalam pendirian BCSF OJK masih akan menyelesaikan penilaian awal terlebih dahulu.  Apa yang bakal benar-benar dikerjakan di situ akan ditentukan oleh hail dari penilaian tersebut.
Secara umum memang dinyatakan oleh Pimpinan OJK, Gubernur Bali, maupun para panelis diskusi bahwa BCSF akan menjadi pusat penelitian tentang keuangan berkelanjutan dilakukan oleh jejaring peneliti dari berbagai universitas.  BCSF adalah hub.  Selain itu, BCSF akan menjadi tempat peningkatan kapasitas bagi para bankir dalam mengaplikasikan keuangan berkelanjutan.  Dalam hal ini, BCSF adalah sebuah training center.
Sejujurnya, kami masih kerap mendapati pertanyaan sangat mendasar dari kalangan akademisi soal apa yang dimaksud dengan keuangan berkelanjutan.  Termasuk dari mereka yang bertungkus lumus dalam urusan keuangan atau ekonomi secara umum.  Kalau kita lihat latar belakang akademisi di Indonesia, hingga kini jumlah akademisi yang memiliki pendidikan formal di bidang ini masih hampir nol.  Orang seperti Dr. Aidy Halimanjaya dari Pusat Studi SDGs di Universitas Padjajaran—yang kepakarannya dalam keuangan perubahan iklim sudah diakui di level internasional—bisa dihitung dengan jari.
Hal ini sebetulnya tidak mengherankan juga, lantaran keuangan berkelanjutan sendiri memang bergerak sangat cepat dari pinggiran di awal 2000an menjadi pusat segala perhatian dalam 15 tahun saja.  Universitas-universitas terbaik di dunia—di antaranya Harvard dan Columbia di Amerika Serikat—memang sudah menyediakan sarana pendidikan untuk isu ini, namun di tempat lain masih sangat sulit ditemui.  Kalau Indonesia bergerak lewat BCSF, ini termasuk salah satu yang awal.
Tentu saja, tugas pertama dari pada akademisi adalah mendidik dirinya sendiri dalam keuangan berkelanjutan.  Buku-buku dasarnya harus dikuasai, demikian juga dengan artikel-artikel jurnal terkemuka yang menyediakan perkembangan mutakhir. Perpustakaannya harus dibuat selengkap mungkin, dengan buku-buku dan jurnal, agar akselerasi pengetahuan memang terjadi.  Penelitian di Indonesia harus digenjot dengan cepat, sehingga terkumpul body of knowledge keuangan berkelanjutan yang khas Indonesia, dan benar-benar bisa dimanfaatkan.
Dalam masa yang sama, para akademisi itu perlu untuk membuat berbagai mata kuliah yang relevan, dan membimbing mahasiswa untuk membuat skripsi, tesis, dan disertasi yang mendorong kemajuan pengetahuan dalam bidang ini juga.  Buktinya tentu saja adalah meningkatnya jumlah publikasi ilmiah yang datang lewat perantaraan BCSF.  Dengan demikian, tugas untuk meningkatkan kapasitas para bankir yang disematkan kepada mereka juga bisa dilakukan secara kontekstual Indonesia.
(Tetap) Menanti Kabar Baik
Bagi kami, masih ada satu hal lagi yang sangat mengganjal ketika mendengar bagaimana BCSF itu hendak difungsikan.  Tak ada satupun pihak yang menyebutkan bahwa peningkatan kapasitas bagi organisasi masyarakat sipil.  Padahal, kita semua tahu, bahwa hanya apabila kelompok masyarakat sipil juga menguasai keuangan berkelanjutan maka akan tercipta kekuatan penyeimbang dan pendukung bagi kemajuan keuangan berkelanjutan.  Kalau ada yang bisa dinyatakan sebagai kekecewaan kami yang kedua, itu adalah tak masuknya agenda meningkatkan kapasitas masyarakat sipil Indonesia di dalam kenduri di Bali itu.
Di level global, keuangan berkelanjutan menjadi agenda masyarakat sipil yang sangat kokoh.  Dalam Pertemuan Puncak Civil20 di Hamburg pada minggu ketiga Juni 2017, keuangan berkelanjutan menjadi topik yang sangat ditekankan, dan menjadi salah satu dari tujuh rekomendasi yang diberikan kepada Kanselir Angela Merkel untuk digodok lebih lanjut dalam Pertemuan Puncak G20.  Jelas, masyarakat sipil di Indonesia butuh peningkatan kapasitas juga agar bisa lebih banyak berkontribusi dalam keuangan berkelanjutan di dalam negeri maupun di kancah internasional.
Presiden Joko Widodo sendiri telah menyinggung keuangan berkelanjutan dalam pidatonya di Pertemuan Puncak G20.  Tentu, Indonesia kemudian akan dinilai oleh negara-negara G20 lainnya, apakah memang pidato itu serius diwujudkan, atau sekadar basa-basi tingkat dewa.  BCSF memegang peranan penting dalam pembuktian itu.  Tapi, tanpa POJK-KB, rasanya sulit untuk meyakinkan negara-negara lain bahwa kita serius.  Batalnya peluncuran POJK-KB, kami percaya, bukan sekadar membuat kecewa segelintir orang, namun juga jadi perhatian pihak-pihak di luar Indonesia—apalagi perwakilan berbagai negara sahabat juga hadir dalam acara tersebut.
Semoga, pernyataan Dr. Muliaman Hadad bahwa POJK-KB itu segera diluncurkan—sebagaimana yang dikutip oleh Koran Tempo dan Kompas pada tangal 13 Juli 2017, sehari setelah acara—memang berarti dalam bilangan hari saja.  Kami masih menahan nafas hingga sekarang, khawatir bahwa penantian ini ternyata masih butuh waktu lebih lama lagi.  Padahal, komisioner OJK periode ini hanya bertugas hingga beberapa hari ke depan.  Kalau tengat waktunya terlampaui, konon prosesnya harus dimulai dari awal lagi.  Jadi, selain merasakan kekecewaan, kami juga merasa sesak nafas, lantaran kombinasi harapan dan kekhawatiran.  Semoga sesak nafas ini bisa segera berakhir dengan kabar baik dari OJK.
Penulis:

  • Rahmawati Retno Winarni – Executive Director, TuK Indonesia
  • Jalal – Reader on Corporate Governance and Political Ecology, Thamrin School

Sumber: Indonesiana.tempo.co
 

Pertemuan G20 dan Keuangan Berkelanjutan: Apa yang Perlu Disampaikan Presiden Jokowi di Hamburg?

Pertemuan pimpinan keuangan negara-negara G20 telah berakhir di pada Sabtu 18 Maret 2017. Hasilnya ‘mengejutkan’ seluruh pihak karena benar-benar menunjukkan bahwa proteksionisme Amerika Serikat memang bisa mengubah banyak kesepakatan yang sudah dicapai bertahun-tahun. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan Amerika Serikat, secara terang-terangan menyatakan bahwa pendekatan G20 yang selama ini menentang proteksionisme telah menjadi “not really relevant.”
Perwakilan Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa sudah menyatakan kekecewaannya yang mendalam atas sulitnya memertahankan perdagangan bebas, saling menguntungkan dan lebih adil di antara negara-negara G20. Mereka semua telah berupaya keras untuk mencapai kesepakatan dengan mengakomodasi kepentingan Amerika Serikat tanpa mencederai tujuan dan pendekatan yang selama ini dipercaya sebagai yang terbaik. Tetapi sikap non-kompromistik perwakilan Amerika Serikat membuat kesepakatan tak bisa dicapai.
Selain proteksionisme, Amerika Serikat juga benar-benar menunjukkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan dalam bentuk penentangan terhadap upaya pengendalian perubahan iklim. Kalau di dalam negeri sendiri Amerika Serikat memotong 31% anggaran perlindungan lingkungan dan mulai menghidupkan kembali industri batubara dan mendorong pertumbuhan industri minyak secara besar-besaran, dalam pertemuan G20 Amerika Serikat bersama-sama dengan Arab Saudi bahkan mengutuk sekadar referensi terhadap pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di dalam teks perjanjian.
Ketidaksetujuan kedua negara kemudian benar-benar menghilangkan referensi itu, lantaran teks perjanjian haruslah hanya yang disetujui oleh seluruh pihak. Dengan Donald Trump sebagai presiden yang secara terbuka menyatakan bahwa perubahan iklim adalah hoax buatan Tiongkok untuk merugikan ekonomi Amerika Serikat, dan pembiayaan untuk menanganinya adalah pemborosan belaka, menjadi mustahil bagi Amerika Serikat untuk berpartisipasi di dalam pengendaliannya.
Dengan hilangnya pernyataan tentang perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil, serta pernyataan tentang pendanaan untuk penanganan perubahan iklim, maka pertemuan tersebut dinyatakan gagal oleh banyak pihak. Untungnya, kesepakatan mengenai stabilisasi nilai tukar dan penghentian kompetisi devaluasi mata uang bisa masuk ke dalam perjanjian. Tetapi, dengan kegagalan di dua isu kunci tersebut, seluruh negara—selain Amerika Serikat, dan Arab Saudi, tentu saja—berharap perbaikan luar biasa bisa terjadi pada pertemuan kepala negara G20 di Hamburg.
Oleh karena itu, kehadiran Presiden Jokowi di Hamburg pada bulan Juli mendatang perlu dipersiapkan dengan baik. Pesan-pesan Presiden Jokowi perlu menjadi bagian penting dari upaya untuk mengembalikan dua isu tadi ke dalam teks perjanjian yang disepakati para kepala negara. Sementara, di sisi lain, Indonesia juga perlu mendapatkan keuntungan berjangka panjang dari pertemuan tersebut. Bukan saja dari perdagangan, namun juga dari investasi dan pendanaan untuk kepentingan rehabilitasi/restorasi lingkungan Indonesia yang juga menguntungkan bagi dunia. Beberapa pesan yang perlu disampaikan adalah:
Pertama, menunjukkan keuntungan-keuntungan model perdagangan yang selama ini diperjuangkan oleh G20. Perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil adalah apa yang dinyatakan sebagai salah satu raison d’etre dibentuknya G20. Kemajuan perekonomian telah dicapai melalui model tersebut, dan hal ini perlu disokong oleh bukti-bukti nyata berupa statistik perdagangan dan lainnya. Selama ini Presiden Trump ‘terkenal’ dengan kesalahan-kesalahan data yang sangat elementer. Tanpa harus menyatakan kesalahan dalam apa yang dipercaya oleh Trump, penekanan terhadap kemajuan bersama perlu disampaikan secara gamblang.
Kedua, memberikan gambaran kompehensif mengenai kemungkinan dampak proteksionisme terhadap ekonomi Amerika Serikat. Proteksionisme memiliki daya tarik jangka pendek, yang mungkin saja merupakan satu-satunya hal yang dihitung oleh Trump. Namun, dunia memiliki sejumlah besar contoh bahwa dalam jangka panjang proteksionisme tidaklah menguntungkan. Kerugian dalam jangka panjang, yang akan dirasakan oleh rakyat Amerika Serikat jauh setelah Donald Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden perlu disampaikan, agar menjadi bahan pertimbangan tim ekonomi Trump yang dipastikan akan hadir di Hamburg.
Ketiga, menekankan tentang penting dan urgennya penanganan perubahan iklim bagi seluruh dunia. Sejumlah 97% ilmuwan mumpuni dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan terkait iklim telah sepakat bahwa perubahan iklim itu terjadi, penyebabnya adalah antropogenik, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan segera, serta dunia akan mengalami dampak yang semakin buruk bila penanganannya diperlambat. Amerika Serikat, sebagai negara penghasil emisi nomor dua tertinggi di dunia setelah Tiongkok, tidak bisa mengabaikan hal ini, lantaran rakyatnya sendiri yang akan menderita, selain juga akan membahayakan negara-negara lain. Dampak terhadap Amerika Serikat sendiri perlu menjadi penenkanan.
Keempat, memberikan gambaran mengenai keuntungan ekonomi-sosial-lingkungan yang telah dan bisa diperoleh bagi negara-negara yang telah mulai menjalankan new climate economy. Menangani perubahan iklim dengan sungguh-sungguh bukan sekadar membawa konsekuensi biaya, melainkan juga membawa keuntungan ekonomi. Seluruh ekonom lingkungan sepakat bahwa semakin awal perubahan iklim ditangani, maka biayanya semakin kecil; selain keuntungan yang bisa diperoleh dari investasi itu semakin besar. Contoh-contohnya bisa ditemukan di banyak negara G20, namun terutama bisa ditunjukkan contoh sukses dari kota dan negara bagian Amerika Serikat sendiri yang banyak di antaranya sudah menerapkan ekonomi yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan perubahan iklim.
Kelima, menyatakan dukungan kepada investasi untuk pencapaian SDGs. Bukan saja terkait dengan perubahan iklim, seharusnya seluruh investasi pemerintah dan swasta diarahkan kepada pembiayaan yang sesuai dengan pencapaian SDGs di tahun 2030. Inilah yang dinyatakan sebagai pengertian keuangan berkelanjutan (sustainable financing) yang mutakhir. Amerika Serikat sendiri masih memiliki kesenjangan yang tinggi dalam banyak Tujuan SDGs, sehingga perlu untuk mengarahkan pembiayaan publik yang bisa menutup kesejangan itu. Seluruh negara lain juga demikian. Presiden Jokowi juga bisa menekankan bahwa SDG17 menekankan pada kerjasama intra- dan antarnegara dalam pencapaiannya, sehingga investasi dalam pencapaian SDGs juga perlu dilakukan di negara-negara berkembang yang lebih membutuhkan.
Keenam, menyatakan dukungan terhadap GreenInvest Platform di bawah kepemimpinan Jerman. Pada Januari 2017telah disepakati bahwa salah satu program penting G20 di bawah kepemimpinan Jerman adalah menjalankan GreenInvest Platform, bukan hanya untuk negara-negara G20, melainkan juga untuk negara-negara berkembang yang membutuhkannya. Dalam perhitungan GreenInvest Platform, untuk membuat dunia benar-benar bisa masuk ke dalam ekonomi hijau—rendah karbon, memiliki resiliensi atas perubahan iklim, tidak menghasilkan polusi—dibutuhkan USD90 triliun, yang sebagian besarnya diinvestasikan di negara-negara berkembang. Presiden Jokowi perlu menyatakan dukungan terhadap platform ini untuk menunjukkan pemihakan kepada ekonomi hijau dan negara-negara berkembang. Selain, tentu saja, hal ini akan menguntungkan Indonesia sendiri.
Ketujuh, mendesak diberlakukannya safeguards sosial dan lingkungan bagi investasi yang dilaksanakan oleh dan di negara-negara G20. Kebanyakan lembaga keuangan dari negara-negara G20 telah memiliki kebijakan perlindungan sosial dan lingkungan di dalam investasi mereka. Namun, seluruhnya bersifat voluntari dan/atau terbatas keberlakuannya. Kiranya pendekatan voluntari tersebut sudah tidak lagi memadai, mengingat berbagai permasalahan sosial dan lingkungan terkait dengan investasi sudah semakin mengemuka, dan banyak di antaranya yang malah membuat negara-negara sasaran investasi menjadi dirugikan, sementara keuntungan ekonomi tetap diperoleh negara asal investasi. Pemberlakuan safeguards sosial dan lingkungan di seluruh negara-negara G20, yang merupakan negara asal sekaligus sasaran investasi yang utama akan menguntungkan negara-negara G20 sendiri lantaran menjamin dampak bersih positif dari investasi, baik bagi negara asal maupun sasaran.
Terakhir, mengundang berbagai investasi berkelanjutan untuk masuk ke Indonesia. Indonesia adalah negara tujuan investasi yang sangat menarik untuk berbagai sektor ekonomi. Apalagi, peringkat ease of doing business di Indonesia terus meningkat. Presiden Jokowi perlu menekankan pada sektor-sektor ekonomi yang memang bisa menarik minat investasi asing, namun dengan menegaskan bahwa investasi yang diinginkan Indonesia adalah investasi yang memerhatikan keberlanjutan dengan dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang kokoh. Indonesia sudah banyak menderita karena investasi domestik maupun asing yang secara ekonomi bisa mendatangkan keuntungan bagi investor namun keuntungan ekonomi bagi Indonesia sendiri jauh lebih kecil; sementara dampak negatif sosial dan lingkunganya ditanggung oleh Indonesia. Hal ini perlu diakhiri, dengan hanya menerima investasi berkelanjutan.
Agar pesan-pesan tersebut bisa dianggap serius oleh negara-negara G20 lainnya, Indonesia perlu menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunannya memang mengarah ke sana. Di antara yang terpenting adalah memastikan bahwa Indonesia memiliki regulasi tentang keuangan berkelanjutan. Hingga sekarang, bentuk yang dimiliki barulah soft regulation berupa peta jalan yang sudah dibuat Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diluncurkan pada Desember 2014. Ada baiknya, sebelum ke Hamburg Presiden Jokowi memastikan terlebih dahulu bahwa peta jalan tersebut telah diresmikan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Ini sungguh penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia.

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif

Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan

2016: Tahun Keuangan Berkelanjutan

Simon Zadek, pakar keberlanjutan yang telah lama malang melintang sejak 3 dekade lalu, mencanangkan bahwa 2016 adalah tahun keuangan berkelanjutan.  Beberapa tahun terakhir, ia memang menjadi seorang pemuka dalam bidang ini. Dengan jabatan sebagai co-chair dari UNEP Inquiry, tentu pendiriannya itu bukannya tak berdasar.
Setidaknya ada tiga laporan penting yang diluncurkan tahun lalu.  Semuanya di penghujung tahun.  Pertama, The Financial System We Need: Momentum to Transformation, yang diluncurkan pada pertemuan tahunan IMF di awal Oktober.  Kedua, Financing Sustainable Development: Moving from Momentum to Transformation in a Time of Turmoil yang diluncurkan awal Desember. Terakhir, Fintech and Sustainable Development, yang diluncurkan pertengahan Desember.  Ketiga laporan itu benar-benar memerkaya pemahaman kita terhadap keuangan berkelanjutan.  Juga semakin menunjukkan bahwa keuangan berkelanjutan artinya adalah sistem keuangan yang ditujukan untuk mendorong pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Seabreg kegiatan bertemakan keuangan berkelanjutan juga memenuhi kalender sepanjang 2016. Ada peluncuran Green Digital Finance Alliance di Davos, bulan Januari. Pertemuan G20 di Jerman juga mengusung tema Greeninvest Initiative, yang tahun 2017 ini akan disambung dengan pertemuan G7 yang salah satu fokusnya Green Finance for SMEs.
Di Asia Pasifik sendiri kita juga menyaksikan berbagai pertemuan.  Pada penghujung Februari ada acara Responsible Investor Asia di Tokyo, yang mengusung tema Investing for Resilience.  Kemudian ada acara UN Principles for Responsible Investment, PRI in Person, awal September, di Singapura.  Kemudian, yang paling penting, acara Sustainable Banking Network di awal Desember, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali.
Semua itu menunjukkan gairah yang luar biasa terhadap keuangan berkelanjutan.  Namun, gairah tersebut dinyatakan belum memadai.  Kalau kita ingin membuat penyatuan pada level yang fundamental antara sistem keuangan dengan pembangunan berkelanjutan, pekerjaan rumah masih menunggu.  Karena itu, kita semua harus memastikan gairah keuangan berkelanjutan semakin menyala di tahun 2017, dan itu ditunjukkan melalui tindakan-tindakan nyata oleh seluruh pihak.
Oleh: Jalal.