Pawai Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023

Pawai Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2023

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyuarakan isu krisis iklim melalui propaganda bertuliskan “Bumiku Meleleh Dibalik Tawamu” untuk menunjukkan kerusakan lingkungan yang menguntungkan segelintir orang.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyuarakan isu krisis iklim melalui propaganda bertuliskan “Bumiku Meleleh Dibalik Tawamu” untuk menunjukkan kerusakan lingkungan yang menguntungkan segelintir orang.

JAKARTA. Minggu, 4 Juni 2023, kawasan Bundaran HI, Jakarta, menjadi lokasi berkumpulnya massa pawai dalam melaksanakan karnaval memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

Karnaval ini diinisiasi sebagai ajakan kepada masyarakat untuk lebih peduli terhadap pentingnya menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup sebagai peri kehidupan. Selain itu, sebagai seruan dalam menuntut pemerintah untuk segera mengambil tindakan terkait permasalahan krisis iklim yang terjadi di Indonesia.

Dokumentasi 4/6/2023. Rombongan massa pawai dari berbagai penggiat lingkungan.

Dokumentasi 4/6/2023. Rombongan massa pawai dari berbagai penggiat lingkungan.

Masa pawai terdiri dari berbagai penggiat lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Orang Muda untuk Aksi Lingkungan (KOMUNAL) dan WALHI. Dalam agenda tersebut, jalanan menjadi ruang untuk menyuarakan gagasan dan kepedulian terhadap lingkungan. Tentunya, untuk menciptakan lingkungan yang baik, bersih, dan nyaman bagi setiap penghuninya. Lebih dari itu, tuntutan ditujukan untuk mendesak pemimpin negara mewujudkan Indonesia yang adil secara ekologis. TuK INDONESIA yang turut bergabung dalam KOMUNAL menyampaikan bahwa untuk mencapai keadilan ekologis, di mana lingkungan menjadi ruang aman dan nyaman bagi seluruh generasi, penyandang dana harus ikut bertanggung jawab atas operasional kliennya yang banyak menyebabkan krisis.

Dalam konteks krisis iklim, penyandang dana merupakan aktor di level hulu yang memberikan bisnis ekstraktif kekuatan dan kemampuan untuk melakukan ekspansi dan produksi. Aktivitas bisnis ini telah menyebabkan banyak konflik dan kerusakan lingkungan yang mengganggu fungsi ekologis.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyerukan bahwa krisis iklim dan krisis demokrasi saling berkaitan karena praktik negara yang korup.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa menyerukan bahwa krisis iklim dan krisis demokrasi saling berkaitan karena praktik negara yang korup.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa sepanjang Januari hingga awal Juni 2021 terjadi sebanyak 1.704 bencana, yang merupakan 99,1% dari total bencana. Hal ini didominasi oleh bencana hidrometeorologi yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim. Tingginya frekuensi bencana menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tingkat kerentanan yang cukup tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Kerentanan ini tercermin dalam kenaikan peringkat Global Climate Risk Index (CRI) Indonesia selama dua dekade terakhir. Pada 2019, Global Climate Risk Index Indonesia berada di peringkat 14 dunia (Eckstein et. al 2020, 2021). Hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim. Menurut Kementerian Keuangan (2019), Indonesia diperkirakan akan mengalami kerugian ekonomi sebesar 1,4% dari nilai PDB 2019 pada tahun 2050.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa mengkritik pendanaan yang disalurkan untuk sektor-sektor meresikokan hutan.

Dokumentasi 4/6/2023. Mahasiswa mengkritik pendanaan yang disalurkan untuk sektor-sektor meresikokan hutan.

Kompleksitas relasi manusia dengan lingkungan menjadi acuan bagi langkah-langkah pengendalian dampak krisis iklim dan upaya pemulihan fungsi-fungsi ekologis. Penyandang dana memiliki peranan vital dalam aktivitas produksi yang bersifat eksploitatif sebab bahkan dalam pendanaan iklim. Sejumlah uang justru banyak yang disalurkan pada sektor-sektor bisnis. Di mana banyak praktik-praktik aktivitas produksinya mengabaikan aspek keberlanjutan dan keadilan lingkungan hidup, sehingga memperburuk iklim. (TuK INDONESIA 2020, Responsibank 2022).

PT. Sawindo Cemerlang Ingkari Kesepakatan dengan Petani Batui

Masyarakat Batui yang sejak lama dirugikan dan diintimidasi PT Sawindo Cemerlang, hari ini, Kamis, 9 Maret 2023, melakukan penutupan akses jalan menuju pabrik perusahaan PT. Sawindo Cemerlang di Seseba, Desa Honbola, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk ekspresi petani yang kecewa atas ketidakjelasan manajemen PT. Sawindo Cemerlang dan tidak ditindaklanjutinya terkait berita acara kesepakatan di Pemda Banggai (4 Agustus 2022). Dalam aksi ini, lagi-lagi pihak oknum Polsek Batui dan beberapa TNI serta security perusahaan mendatangi warga yang sedang memperjuangkan haknya.

Sumber foto: SA

Peristiwa ini dilatarbelakangi atas konflik yang belum juga terselesaikan sejak tahun 2009 saat PT. Sawindo Cemerlang memiliki izin survei lokasi di atas tanah warga. Kemudian pada tahun 2014 terbit Sertifikat HGU Perusahaan di atas tanah masyarakat yang mempunyai alas hak SHM dan SKPT/SKT. Konflik ini mencuat di mana pada tahun 2017 melalui oknum polisi Perusahaan memaksa petani untuk menandatangani Surat Perjanjian Kerjasama dan Surat Pengakuan Hutang (SPK-SPHu) yang isinya sangat memberatkan dan menindas petani. Bagi petani yang bertanda tangan dijanjikan akan dibayarkan dengan pola kemitraan, akan tetapi hingga sekarang petani dibayarkan tidak sesuai dengan hasil kebun mereka sehingga memaksa petani melakukan panen di lahannya sendiri. Disisi lain, bagi petani yang tidak bertanda tangan juga melakukan panen sendiri di tanahnya namun beberapa petani dikriminalisasi oleh oknum kepolisian.

Salah satunya kriminalisasi dan tuduhan terhadap petani adalah yang menimpa Demas Saampap yang dilakukan oleh Polres Banggai, dalam hal ini Kasat Reskrim Polres Banggai. Bahwa pada tanggal 25 Mei 2022 Polres Banggai menetapkan Demas Saampap sebagai tersangka dengan nomor ketetapan (S.TAP/57/V/2022) dan menangkap secara paksa atas tuduhan Pencurian Sawit. Padahal Demas melakukan aktivitas di lahannya sendiri yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Tanah (SKT) tahun 2014 dengan nomor (592.2/16/HBL/2014) dan Berita acara di tahun 2015.

Sumber foto: https://www.instagram.com/p/CohoDr9SiV-/

Bahwa dikarenakan Saudara Demas melakukan aktivitasnya di tanahnya sendiri yang diklaim pihak perusahaan sebagai bagian dari wilayah perkebunannya maka sesungguhnya kasus ini bukanlah merupakan sebuah tindak pidana, namun merupakan perkara perdata. Bahwa pada tanggal 27 Mei 2022 melalui rilis di beberapa media pemberitaan, Polres Banggai, melalui Kasat Reskrim Polres Banggai menuduh bahwa “Demas bukan petani tapi tengkulak” padahal Saudara Demas murni merupakan petani/pekebun miskin yang berjuang mempertahankan tanahnya. Tidak hanya menimpa Demas, dalam konflik ini sebanyak sepuluh orang petani dilaporkan ke pihak kepolisian dan dua orang petani ditetapkan menjadi tersangka.

Kepatuhan Bank dalam Pengungkapan Aspek Lingkungan Masih Rendah

Jakarta, 8 Februari 2023. Evaluasi keuangan berkelanjutan 37 Bank oleh TuK INDONESIA menemukan bahwa lingkungan merupakan aspek yang paling rendah diungkapkan berdasarkan pedoman POJK 51/2017. Rendahnya pengungkapan ini menunjukkan dua hal. Pertama, ketidaktahuan Bank karena pengetahuan dan wawasan terhadap lingkungan rendah. Kedua, Bank memang tidak menjalankan aspek lingkungan.

Evaluasi keuangan berkelanjutan yang dilakukan TuK INDONESIA bersama Trisakti Sustainability Center  terhadap 37 Bank KBMI III, KBMI IV, dan asing tahun BUKU 2019-2021 bertujuan untuk mengetahui sejauh mana bank menerapkan kepatuhan terhadap peraturan POJK 51/2017. Hasil analisis menunjukkan bahwa aspek sosial dan ekonomi merupakan aspek yang mendominasi pada setiap periode analisis. Pada Bank KBMI III dan IV pengungkapan paling tinggi yaitu aspek sosial dimana setiap tahunnya meningkat. Sementara pengungkapan Bank asing paling tinggi di aspek ekonomi. Dan, dari setiap kategori Bank pengungkapan aspek lingkungan menjadi yang terendah, meskipun setiap tahunnya telah menunjukkan adanya kenaikan.

Temuan lainnya terkait pengungkapan nilai 12 Kategori Kegiatan Usaha Berkelanjutan (KKUB) dari 37 Bank tahun 2019-2021 dengan total sebesar Rp 62.054 miliar. Total KKUB ini mengalami kenaikan sejak 2019 hingga 2021 dan pengungkapannya didominasi oleh Bank KBMI III. Hal tersebut diduga karena terjadi merger (penggabungan) 3 Bank syariah, yaitu Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia. Peningkatan nilai KKUB tersebut juga menunjukkan awareness Bank akan roadmap keuangan berkelanjutan OJK semakin bertumbuh. Meskipun demikian, temuan kontrasnya adalah 4 Bank teratas di Indonesia yaitu BNI, BRI, Mandiri, dan BCA masih banyak menyalurkan pembiayaan pada sektor yang merisikokan hutan seperti sektor perkebunan sawit dan pulp and paper. BRI misalnya, pada 2021 portofolio pembiayaan UMKM sebesar Rp 543 juta, dan di tahun yang sama utang dan penjaminan diberikan kepada pulp and paper jauh lebih besar yaitu 1.401 juta dolar AS atau Rp 19,6 triliun.

Ahli Sustainable Finance, Rahmawati Retno Winarni, mengungkapkan bahwa dalam Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan, memang pembiayaan UMKM masuk ke dalam bagian keuangan berkelanjutan. Padahal, pembiayaan UMKM masih belum melihat dampak lingkungan, sehingga tidak bisa otomatis memasukannya sebagai pembiayaan berkelanjutan. Secara normatif, pembiayaan atas UMKM memang bisa mengurangi kesenjangan, namun sangat perlu dibandingkan dengan proporsi pembiayaan terhadap usaha berskala besar. Pembiayaan aspek lingkungan, ternyata sangat sedikit dibandingkan dengan keseluruhan yang di klaim Bank, padahal masalah lingkungan dan sosial di Indonesia sangatlah besar dan beragam. “Temuan TuK INDONESIA ini menunjukkan hanya 0,8-0,9% dari pembiayaan yang diklaim berkelanjutan, maka di atas 99% pembiayaan di Indonesia bisa dikatakan tidak berkelanjutan, atau setidaknya agnostic terhadap keberlanjutan”, lanjut Rahmawati.

Linda Rosalina, Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, menyampaikan bahwa secara prosedural perbankan telah memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur dalam POJK 51/2017 seperti disusunnya laporan keberlanjutan. Namun secara kualitas pengungkapannya masih buruk, sebab bank gagal mengungkapkan fakta-fakta materialitas ke dalam laporan keberlanjutannya.

“Selama ini, kelemahan praktik keuangan berkelanjutan salah satunya terletak pada kesadaran dan ketidakpahaman proses bisnis sektoral oleh Perbankan. Peningkatan kapasitas dalam membangun kesadaran dan pemahaman bahwa keberlanjutan bukanlah sebuah biaya menjadi hal yang dibutuhkan. Sebab kepedulian terhadap isu keberlanjutan justru akan menjadi daya saing tersendiri bagi perusahaan dan berpotensi untuk perusahaan tumbuh lebih besar di tengah tuntutan pasar akan keberlanjutan semakin tinggi”, ungkap Linda.

Sonny Keraf, Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001, menjelaskan bahwa belum efektifnya implementasi keuangan berkelanjutan dikarenakan tiga hal. Pertama, orientasi Negara masih pada ekonomi pertumbuhan yang tercermin di dalam keputusan pembiayaan Bank yang mengutamakan keuntungan dibandingkan kinerja Environmental, Social, and Governance (ESG). Kedua, tidak ada kekuatan yang memaksa soal perhatian perbankan dan Lembaga Jasa Keuangan terhadap ESG. Ketiga, penegakan hukum lingkungan yang tidak efektif. Atas situasi tersebut, Keraf menawarkan kedepan adalah seluruh komponen masyarakat mengambil langkah untuk memperkuat peran OJK dalam mengawal seluruh implementasi kebijakan keuangan berkelanjutan. Dengan catatan, OJK juga harus membuka diri untuk memperkuat perannya dengan melibatkan masyarakat sipil seperti terlibat di dalam Kelompok Kerja Keuangan Berkelanjutan dalam memastikan konsistensi implementasi keuangan berkelanjutan.

Dari hasil evaluasi keuangan berkelanjutan, TuK INDONESIA merekomendasikan beberapa hal. Pertama, OJK perlu melakukan revisi Pedoman Teknis bagi Bank atas implementasinya untuk memperjelas bahwa pengungkapan oleh bank harus fokus pada seluruh dampak ESG dari pembiayaan yang diberikan untuk membiayai kegiatan operasional nasabah di tingkat grup perusahaan. Kedua, melakukan revisi POJK No. 18/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum dan memasukkan pasal tentang pengelolaan risiko ESG. Ketiga, perlu juga dibentuk multi-stakeholder forum yang mengutamakan partisipasi pemangku kepentingan yang selama ini kurang terwakili namun terkena dampak negatif eksploitasi sumber daya alam.

***

Narahubung:

  1. Kepala Kampanye dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, Linda Rosalina ([email protected], 081219427257)
  2. Menteri Lingkungan Hidup periode 1999-2001, Dr. A. Sonny Keraf ([email protected])
  3. Ahli Sustainable Finance, Rahmawati Retno Winarni ([email protected])

Materi narasumber terdapat pada tautan berikut: Evaluasi_Keuangan_Berkelanjutan_LR_rev_compressed

TuK INDONESIA Temukan 72% Pencabutan Izin Konsesi Layak dari Aspek Lingkungan

Jakarta, 5 Januari 2023. Pencabutan izin konsesi kawasan hutan telah berjalan satu tahun. Dalam rentang waktu tersebut, Pemerintah Indonesia belum juga menunjukkan tanda-tanda keseriusan dalam melakukan penataan ulang lahan kawasan hutan.

Pada saat mengumumkan pencabutan izin, Presiden didampingi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan lahan-lahan yang telah dicabut izinnya akan dialihkan kepada warga, komunitas, organisasi lainnya untuk digunakan dalam rangka peningkatan kesejahteraan. Tidak hanya itu, pencabutan izin tersebut ditujukan untuk melakukan perlindungan terhadap lingkungan hidup yang terus mengalami degradasi dan deforestasi yang terjadi dalam rentang waktu yang panjang.

Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, mengatakan bahwa pencabutan izin ini harusnya menjadi langkah awal dalam melakukan penataan terhadap industri kehutanan di Indonesia. Namun, tidak dalam perencanaan dan pelaksanaan yang baik sehingga berdampak pada tidak dapat dieksekusinya lahan kawasan hutan yang telah dilakukan pencabutan. Bahkan perusahaan berpeluang besar untuk melakukan gugatan hukum terhadap Negara.

Penelitian TuK INDONESIA menemukan kebijakan pencabutan izin konsesi kehutanan ini harusnya bisa menjadi langkah besar dalam perbaikan penataan lingkungan hidup. Dalam hasil skoring fungsi kawasan hutan menunjukkan bahwa pencabutan izin layak dari aspek lingkungan. Sebab, sebesar 72% areal konsesi yang dicabut 2022 dan dievaluasi merupakan areal dengan fungsi hutan lindung (HL) dan fungsi hutan produksi terbatas (HPT) yang tidak bisa dikelola secara intensif untuk hutan tanaman, hutan alam, dan perkebunan sawit. Areal tersebut juga dominan pada kelas tanah dengan tingkat kepekaan sangat tinggi dan dalam kelas kelerengan sangat curam. Hal ini mengindikasikan kerentanan bencana ekologis pada kawasan–kawasan konsesi tersebut.

Faktualnya, izin konsesi kawasan hutan yang telah dicabut telah beralih menjadi perkebunan sawit dan masih beroperasi hingga kini. Sebagai contoh PT Agriprima Cipta Persada Grup Gama/Ganda, PT Agrinusa Persada Mulia Grup KPN Corp Plantation Division/Gama, PT Papua Agro Lestari Grup Korindo, PT Berkat Cipta Abadi (II) Grup TSE yang berada di Merauke, Papua. Akademisi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Riawan Tjandra mengatakan bahwa didalam keputusan yang berangkai, ketika induknya sudah dicabut namun masih beroperasi, itu termasuk aktivitas illegal.

Fakta lain, 24 perusahaan perkebunan sawit di Papua Barat telah dilakukan evaluasi perizinan oleh Pemerintah Provinsi Papua Barat pada 2021, namun hanya 12 perusahaan yang dilakukan pencabutan izin konsesi kehutanan. Padahal hasil evaluasi, perusahaan tersebut terbukti telah melakukan pelanggaran.

Atas dasar tersebut TuK INDONESIA menyampaikan usulan kepada pemerintah khususnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan perencanaan yang lebih sistematis terhadap pencabutan izin konsesi kawasan hutan. Sehingga dapat diakses oleh masyarakat disekitar kawasan hutan dan mengembalikan fungsi lindung terhadap kawasan hutan yang telah dilepasakan sebelumnya. “Sebagai tindak lanjut perlu digarisbawahi bahwa jangan sampai redistribusi memberikan tanah miskin kepada warga miskin”, ungkap Edi. Hal ini senada yang disampaikan oleh Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian, bahwa upaya yang harus dilakukan setelah pencabutan izin ini yaitu pemetaan sosial dan analisis kesesuaian lahan.

Pencabutan izin konsesi dinilai belum menuju kepada terciptanya keadilan. “Keadilan tidak dapat tercipta dalam ruang tertutup. Persoalan ini menjadi rumit sebab publik dalam republik ini tidak diberikan akses untuk tahu sejauh mana perjalanan negara ini sudah ditempuh”, lanjut Bayu.

Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan, menambahkan bahwa pencabutan izin ini harusnya juga direspon oleh Lembaga jasa keuangan, khususnya terkait dengan kebijakan keuangan berkelanjutan yang telah dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini layak dikorelasikan dengan kebijakan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). Sehingga investasi yang berkelanjutan memiliki jaminan pada masa depan, memiliki jaminan hukum, serta secara berimbang memiliki apresiasi dan penalti (carrot and stick).

Dalam konteks regulasi yang lebih detail, Riawan menekankan bahwa Instrumen Hukum Administrasi Negara diperlukan dalam mengembangkan green investment policy yang meliputi: instrumen peraturan perundang-undangan (termasuk amandemen produk-produk hukum yang belum mencerminkan konsep green investment), instrumen rencana (het plan) untuk mempersiapkan kebijakan, instrumen keuangan negara melalui green budget policy, instrument peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) dan perjanjian kebijaksanaan (beleidsovereenkomst) dan instrumen benda-benda publik (publiek domein) yang berkaitan dengan kebijakan investasi hijau.

Sosilog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito, mengajak publik intelektual agar merepolitisasi demokrasi dan merepresentasi rakyat. Sebab, demokrasi tidak bias hanya mengandalkan hukum. Keruhnya demokrasi ditandai ruang publik yang di dalamnya tidak terdapat pertarungan ide. Maka dalam rangka mendorong pencabutan izin konsesi perlu kontrol publik untuk mendorong kualitas kebijakan yang baik. “Kita perlu menciptakan ruang publik yang di dalamnya ramai pertarungan ide khususnya mengenai isu substantif yaitu penguasaan sumber daya alam yang tidak berbatas pada wacana-wacana prosedural”, pungkas Arie.

***

Narahubung:

  1. Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected])
  2. Kepala Pusat Studi Agraria IPB, Bayu Eka Yulian ([email protected] )
  3. Kepala Trisakti Sustainability Center, Juniati Gunawan ([email protected])
  4. Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jogyakarta, Riawan Tjandra ([email protected])
  5. Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Arie Sujito ([email protected])

Materi narasumber dapat diunduh pada link berikut:Pencabutan Izin Konsesi dan Investasi Hijau, Analisis_Pencabutan_Izin,

Media Briefing: Satu Tahun Pencabutan Izin Konsesi & Investasi Hijau

Pada 5 Januari 2022, pemerintah mengumumkan mencabut ribuan izin usaha tambang, kehutanan, dan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan (Kemensetneg 2022). Pencabutan ini merupakan evaluasi besar-besaran terhadap izin-izin pemanfaatan dan pengelolaan lahan di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk mengoreksi ketimpangan, ketidakadilan, dan kerusakan lingkungan. Hanya saja, pencabutan izin yang dilakukan ini lebih didasari pada efisiensi ekonomi, bukan terkait masalah lingkungan. Pertama, pernyataan Presiden bahwa pencabutan tersebut terdiri atas izin-izin yang tidak dijalankan, tidak produktif, dialihkan ke pihak lain, serta tidak sesuai dengan peruntukan dan peraturan (Kemensetneg 2022). Kedua, basis argumentasi KLHK (2022) didalam pencabutan izin konsesi kehutanan lebih mengutamakan optimalisasi produktivitas kawasan hutan untuk penyiapan lapangan kerja dalam mendorong produktivitas pertumbuhan Indonesia, dibandingkan sebagai upaya pemulihan lingkungan dan sosial. Padahal, upaya pemulihan lingkungan tidak bisa dikesampingkan, sebab faktualnya ancaman perubahan iklim meningkat secara signifikan.

Dalam konteks pencabutan ribuan izin, mengindikasikan bahwa implementasi kerangka Environmental, Social, dan Governance (ESG) lemah. Sejumlah korporasi yang dicabut izinnya pada Januari 2022, tercatat telah menerima utang dan penjaminan sebesar 26,62 miliar dolar AS sepanjang 2017-2021. Sebesar 9,37 miliar dolar AS atau 35% diantaranya berasal dari BCA, BRI, Bank Mandiri, BNI, dan Bank Sinar Mas (TuK INDONESIA 2022). Dengan demikian, sejumlah pembiayaan yang telah disalurkan tersebut akan menjadi risiko bagi penyandang dana.

TuK INDONESIA bersama para akademisi akan menyelenggarakan media briefing bertajuk “Satu Tahun Pencabutan Izin Konsesi & Investasi Hijau”. Mendiskusikan dengan para pakar bahwa momentum pencabutan izin ini semestinya mampu menjawab persoalan ketimpangan kepemilikan lahan, penyelesaian konflik tenurial, dan pemulihan lingkungan. Sehingga, indikator di dalam pencabutan izin dapat diperluas pada aspek Environmental, Social, dan Governance (ESG) dan investasi hijau benar-benar dapat diterapkan.

Kegiatan ini akan dilaksanakan pada:

Kamis, 5 Januari 2023 | Pkl. 10.00-13.00 WIB | Ke:kini Coworking Space, Jl. Cikini Raya No 45, Jakpus | Zoom ID: 845 7896 9009, Pass: indonesia

dengan Panelis:

  1. Dr. Arie Sujito, Sosiolog Universitas Gadjah Mada
  2. Dr. Bayu Eka Yulian, Kepala Pusat Studi Agraria IPB
  3. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA
  4. Juniati Gunawan, PhD, Kepala Trisakti Sustainability Center
  5. Dr. Riawan Tjandra, Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya

Atasi Krisis Iklim, TuK INDONESIA Bersama Warga Banggai Tanam Mangrove dan Deklarasikan Peduli Iklim

Banggai, 18 Desember 2022. TuK INDONESIA dan warga Banggai bersama 500 orang muda  yang terdiri dari siswa, mahasiswa, serta kelompok pecinta alam se-Kabupaten Banggai mendeklarasikan peduli iklim. Lewat deklarasi peduli iklim ini, diharapkan adanya sinergitas multipihak dalam upaya menangani krisis iklim melalui pengelolaan dan pemanfaatan mangrove yang kolaboratif.

Kegiatan deklarasi ini dilakukan di Desa Pandan Wangi, Kecamatan Toili Barat, Kabupaten Banggai. Dalam deklarasi ini, turut ditanam sebanyak 2.500 bibit mangrove yang telah dibudidayakan oleh Kelompok Tani Hutan (KTH) Srikandi Hijau Lestari, kelompok perempuan yang berfokus pada pembibitan mangrove di Kecamatan Toili.

Acara penanaman bibit mangrove ini dihadiri oleh DPRD Banggai, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Banggai, Camat Toili Barat, Kapolsek Toili, Kepala Desa Pandan Wangi, serta unsur pemerintahan setempat lainnya. Disamping itu berbagai kelompok mahasiswa dan kelompok peduli lingkungan hidup dari berbagai komunitas dan masyarakat sipil juga turut hadir dalam acara ini, diantaranya KTH Pesona Mangrove, KTH Srikandi Hijau Lestari, KTH Alam Lestari, Kelompok Muda Karya Alas, Pramuka SMA N 1 Tolisu, Osis SMA N 1 Tolisu, PMR SMA N 1 Tolisu, SMK Pertambangan Toili Barat, SMA 1 Moilong, SMA 1 Toili Barat, SMA 1 Toili, Universitas Muhammadiah Luwuk, Universitas Tompotika Luwuk, KPA Maleo, KPA Boloi, Sispala, Kelompok Pemuda Sari Buana, serta NGO di tingkat provinsi Sulawesi Tengah dan Nasional. Kegiatan ini juga turut dihadiri oleh sektor swasta seperti Pertamina EP Donggi Matindok Field, JOB Tomori, dan PT Donggi Senoro LNG.

Provinsi Sulawesi Tengah menetapkan cadangan kawasan konservasi kepulauan Banggai yang dinamakan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Banggai Dalaka (Darat, Laut dan Kepulauan) melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 523/635A/ DIS.KANLUT-GST/2017 dengan luas 869.059,94 ha. Perairan Kabupaten Banggai memiliki tiga komponen ekosistem pesisir tropis penting yaitu terumbu karang, padang lamun, dan mangrove, dimana sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut memiliki nilai penting dari aspek ekologis, ekonomis, budaya, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Selain memiliki komponen ekosistem pesisir utama yang mendukung sumber daya perikanan, kawasan Banggai merupakan habitat bagi spesies endemik yakni Banggai Cardinal Fish (BCF) yang dikenal memiliki nilai ekonomi akan tetapi terancam keberadaannya dihabitat alaminya.

Lia Listiana, Ketua KTH Srikandi Hijau Lestari sampaikan bahwa terdapat empat jenis mangrove yang ditanam hari ini. Empat jenis mangrove tersebut yaitu Rhizopora sp, Rhizopora mucronata, Bruguiera, Ceriops. “Bibit-bibit mangrove ini kami dapatkan dari bantaran sungai Tohitisari. Saat ini, bibit yang kami budidayakan telah menjadi pendapatan tambahan untuk warga Desa Tohitisari,” ungkap Lia.

Kadek Suardika, Kepala Desa Pandan Wangi menyampaikan “saat ini, TuK INDONESIA bersama dengan KPH Toili Baturube bersinergi dalam penguatan Kelompok Tani Hutan (KTH) Pesona Mangrove Pandan Wangi yang sedang melakukan pengajuan hak kelola masyarakat terhadap kawasan hutan mangrove di Desa Pandan Wangi dengan skema Perhutanan Sosial (PS), upaya ini bukan hanya akan melindungi lingkungan, tetapi juga memberi kesempatan peningkatan ekonomi bagi masyarakat desa Pandan Wangi.”

Rifat Hakim, Ketua GMNI Banggai menambahkan, “Bagi kami keterlibatan pemuda dan mahasiswa dalam gerakan lingkungan yang berkelanjutan menjadi penting untuk membangun kesadaran generasi muda. Pemerintah harus mendukung inisiasi rakyat dalam melindungi lingkungan dan meningkatkan perekonomian rakyat“.

Edi Sutrisno, Direktur TuK INDONESIA memberikan penjelasan lebih mendetail latar belakang kegiatan ini, setidaknya ada dua hal mendasar yang menjadi urgensi acara ini :

Pertama, TuK INDONESIA menginisiasi penanaman mangrove ini bersama komunitas, sebagai bagian dari kritik solutif terhadap target pengendalian iklim yang selama ini menjadi target pemerintah. Presiden Joko Widodo telah memberikan mandat untuk merehabilitasi mangrove seluas 600 ribu ha dalam kurun waktu 2021–2024. Mewujudkan mandat tersebut, pemerintah memfokuskan rehabilitasi mangrove di 9 Provinsi prioritas. Upaya pemerintah ini dibaca sebagai kejar target atas komitmen Pemerintah Indonesia terkait penurunan emisi karbon. “Langkah ini justru akan menempatkan kerusakan mangrove di wilayah non prioritas seperti Sulawesi Tengah dalam ancaman serius. Garis pesisir yang panjang dengan ancaman pertambangan di wilayah pesisir akan mempercepat terjadinya kerusakan hutan mangrove di Sulawesi Tengah,” ungkap Edi.

Kedua, Inisiasi penanaman mangrove bersama komunitas akan menjadi ruang silaturahim antar komunitas. Hal ini tidak hanya berdampak pada perlindungan lingkungan hidup, tetapi juga berkorelasi positif pada kesejahteraan warga. Seperti temuan studi yang dilakukan TuK INDONESIA 2022 di 17 Desa Kabupaten Banggai dalam memetakan beberapa ruang lingkup. “Diharapkan dengan pemahaman holistik atas potensi dan manfaat dari kawasan hutan mangrove baik dalam hal ekonomi, sosial, dan lingkungan, maka selanjutnya dapat disusun peta jalan kebijakan dan peran kolaborasi multipihak yang efektif dalam mewujudkan tata kelola pemanfaatan yang adil dan berkelanjutan,” tutup Edi.

***

Narahubung: Edi Sutrisno (081315849153)

Pesta Rakyat: Menanam Mangrove Merawat Bumi

Upaya pemerintah dalam merehabilitasi mangrove seluas 600 rb ha hingga 2024 dibaca sebagai kejar target atas komitmen Pemerintah Indonesia terkait penurunan emisi karbon. Langkah ini justru akan menempatkan kerusakan mangrove di wilayah non prioritas seperti Sulawesi Tengah dalam ancaman serius. Garis pesisir yang panjang dengan ancaman pertambangan di wilayah pesisir akan mempercepat terjadinya kerusakan hutan mangrove di Sulawesi Tengah. Untuk itu sudah saatnya secara bersama-sama NGO, Pemerintah, Kampus, Swasta, dan masyarakat luas menjadi bagian
untuk melakukan rehabilitasi dan perlindungan mangrove di Sulawesi Tengah.

Minggu ini pada 18 Desember 2022 akan dilakukan Penanaman 2.500 Bibit Mangrove dan Deklarasi Kelompok Muda Peduli Iklim di Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah yang akan melibatkan 300 orang muda. Bekerja sama dengan Pemdes setempat dan KTH Srikandi Hijau Lestari, gerakan menanam mangrove ini digelar dalam bentuk Pesta Rakyat turut disemarakkan dengan ragam kesenian, tarian, pembacaan puisi, serta ditutup dengan nonton bareng final piala dunia.

Bagi kalian yg sedang di sekitaran Toili Barat, silakan merapat! Berikut jadualnya:

G20: Solusi atau Rancangan Krisis Global?

Negara-negara Maju memaksa Negara Berkembang untuk mengekploitasi alamnya. Publik luas seperti Indonesia harus menyadari bahwa kerusakan alam di Indonesia akibat permintaan global yang eksploitatif bukan semata-mata kebutuhan Indonesia.

Krisis ekonomi global tidak terjadi di semua negara di belahan dunia ini, itu karena krisis selalu diciptakan untuk memastikan kelancaran sistem kapitalistik tetap eksis. Negara kaya pelopor kapitalisme mengeksplotasi negara miskin, negara maju yang direpresentasikan oleh negara-negara Eropa dan Amerika membuatnya menjadi nampak normal. Berbagai upaya dilakukan salah satunya dengan membuat forum-forum lintas negara untuk berbagai isu ekonomi, lingkungan, pembangunan, teknologi dan lainnya. Hari-hari ini kita bisa melihatnya dengan telajang mata, gelaran Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Grup (G20) yang berlangsung di Bali adalah bentuk kongkritnya.

Sebelumnya, pada tahun 1975 Forum ini bernama G7 beranggotakan tujuh negara maju yang dianggap berhasil menjawab krisis yang berdampak global seperti Mexican Peso Crisis 1994, Asian Finacial Crisis 1997/1998, Rusian Financial Crisis 1998 dan Financial Crisis 2007-2008[1]. G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa[2].

Sudah pasti pertemuan kali ini hendak menjawab problem krisis yang melanda dunia. Krisis selalu dijawab dengan konsolidasi kapital dari Eropa ke negara wilayah-wilayah koloni.[3] Arif Novianto merujuk ke Sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Levebvre, dalam teorinya tentang produksi ruang (production of space), mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya agar tak hancur akibat kontradiksi internal, seperti yang diramalkan Marx, adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global[4].

Menariknya dalam pertemuan G20 Bali ini, strategi apa yang akan dilakukan oleh negara-negara G20 untuk menjawab krisis ekonomi global yang melanda dunia setelah hantaman pandemi Covid19. Dalam keterangan pers Kemenko ekonomi menjelaskan bahwa Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 menjadi periode paling krusial dalam proses pemulihan ekonomi global. Dengan demikian, kolaborasi global melalui Forum G20 harus mampu menghasilkan langkah-langkah nyata dan terobosan besar untuk mengatasi krisis pangan, energi, dan keuangan global yang terjadi saat ini, serta mempercepat pemulihan bersama dan pulih menjadi lebih kuat (recover together recover stronger). Hal ini akan diatur dalam satu workstream dalam G20. Selain Finance Track, Sherpa Track terus melakukan pembahasan terkait tantangan global dan berbagai isu ekonomi (non-finansial) untuk mencari solusi dan memberikan rekomendasi atas agenda dan isu prioritas G20.

Kongkritnya, krisis yang saat ini melanda harus dijawab dengan ekspansi kapital, ini dapat terlaksana dengan cepat dengan interkoneksi wilayah satu dan lainnya, fleksibilitas, dan tentu saja kebijakan yang mempermudah investasi untuk beroperasi. Hanya dengan begitu maka percepatan penyelesaian krisis dapat diselesaikan dengan tempo yang sikat. Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi sendiri berusaha menjawab krisis dengan membuat paket kebijakan ekonomi khusus, Undang-undang cipta kerja dan berbagai regulasi turunnya yang bertujuan untuk mempercepat investasi hadir di Bumi Pertiwi. Kebijakan ini adalah bagian dari solusi krisis yang melanda dunia dengan melakukan eksport kapital ke belahan dunia lain dengan cara mengeksplotiasi alam yang memiliki kandungan mineral dibawahnya. Singkatnya, hadirnya berbagai investasi sektor sumber daya alam seperti Nikel di Sulawesi dan Maluku, Batubara di Sumatera dan Kalimantan, juga Papua dengan gunungan emas, adalah bentuk dari akumulasi kapital yang harus dilakukan untuk keluar dari krisis global.

Industri lain seperti perkebunan kelapa sawit juga memiliki ciri sendiri dalam perluasan kapital di Indonesia yaitu penguasan tanah yang luas dengan watak penyingkiran terhadap rakyat, penghancuran hutan dan pencemaran lingkungan. Tidak heran jika untuk industri ini pemerintah paling royal dalam memberikan izin karena kecenderungan perkebunan yaitu untuk penguasaan tanah yang luas. Pada tahun 2021 Kementerian Pertanian mencatat luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 15,08 juta ha, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Kemudian, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%)[5]. Luasnya tanaman sawit Indonesia menjadikan negara ini pengeksport terbesar Crude Palm Oil (CPO) Dunia. Hanya dengan tiga Komoditi eksport terbesar dunia ini (Nikel, Batubara dan CPO) Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi dunia baru dalam sistem yang kapitalistik.

Pada tahun 2014 Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Pidato Kenegaraan menyoal keterlibatan Indonesia menjadi negara anggota G20, “Pendek kata, Indonesia telah menjadi salah satu pemain inti dalam ekonomi internasional. Kita tidak punya alasan menjadi bangsa yang rendah diri, yang gemar menyalahkan dunia atas segala permasalahan yang terjadi. Kita harus meyakini bahwa Indonesia di abad ke-21 adalah bagian dari solusi dunia,”[6] Kita harus menggaris bawahi solusi terhadap permasalahan apa yang dimaksud oleh SBY dalam pidato tersebut, tentu saja terhadap krisis dunia.

Dirujuk dari publikasi Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA tahun 2022 dalam temuan terbaru koalisi Forests and Finance mengungkapkan sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyalurkan dana 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan. Sebesar 90% diantaranya bank-bank yang berasal dari Negara G20[7]. Publikasi ini menunjukkan bahwa secara keseluran ekonomi yang dibangun untuk menjawab krisis berada pada kerentanan lingkungan global yang tentu saja berdampak pada meningkatnya krisis lingkungan secara global. Peningkatan pemanasan global tentu saja disebabkan oleh kapitalisme. Lalu Negara mendebatnya dengan mengatakan bahwa secara keseluruhan kita harus ikut bertanggung jawab terhadap ini karena secara konsumtif kita menjadi bagian dari yang memproduksi gas rumah kaca. Pandangan ini ingin menghindari dan mengalihkan masalah utama dan pengabaian solusi yang harus dilakukan oleh negara untuk keluar dari krisis iklim. Tentu saja negara harus melakukan itu, karena jika solusinya adalah mengurangi produksi yang kapitalistik maka tentu akan memancing krisis dan berpotensi negara akan mengalami kekacauan ekonomi politik.

Menjawab problem krisis iklim negara kapitalistik memiliki solusi lain, yaitu dengan mendorong investasi hijau, semua jenis investasi saat ini harus bermerek sustainable mulai dari sawit berkelanjutan, tambang berkelanjutan, berdagang karbon, konsep hutan kemitraan kelola dan lain sebagiannya. Solusi ini turut serta diperankan oleh berbagai pihak, mulai dari swasta, lembaga Universitas (juga promosi oleh kalangan akademisi), Lembaga swadaya masyarakat maupun dan organisasi sipil lainnya. Tidak heran jika Pemerintah Indonesia selalu mempublikasi peran mereka dan kolaborasi dalam menjawab masalah krisis iklim ampuh dalam menurunkan kerusakan lingkungan.

Solusi ini tidak sungguh-sungguh menjawab masalah krisis lingkungan hidup yang diciptakan oleh sistem kapitalis, dia hanya dapat dijawab dengan apa yang disebut oleh John Bellamy Foster sebagai pendekatan Ekologi Radikal. Para pengusung pendekatan ini yakin bahwa kapitalisme, yang merupakan sebuah sistem sosial ekonomi, menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas adalah akar masalah dari krisis ekologi saat ini. Dan untuk melayani mesin produksi keuntungan ini agar tetap bekerja, sektor produksi, distribusi, dan konsumsi digenjot semaksimal mungkin dan seglobal mungkin[8].

Hanya dengan menempatkan kapitalisme berhadap hadapan dengan krisis ekologi kita dapat melihat solusi lain dari krisis ini[9]. Dengan begitu kita bisa membuat solusinya kongkrit dari krisis ekologi. Pada akhirnya semua ini dapat dilakukan jika seluruh komponen gerakan sosial dan lingkungan hidup terkonsolidasi dan membangun gerakan bersama.

 

Penulis: Abdul Haris

 

[1] https://indonesiabaik.id/infografis/sejarah-pendirian-g20

[2] https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx

[3] https://indoprogress.com/2011/01/krisis-dan-kelas/

[4] https://indoprogress.com/2014/05/krisis-kapitalisme-dan-upaya-perebutan-ruang-hidup-rakyat-di-pegunungan-kendeng-utara-pati-jawa-tengah/

[5] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31/luas-perkebunan-minyak-kelapa-sawit-nasional-capai-1508-juta-ha-pada-2021

[6] https://www.antaranews.com/berita/448538/presiden-indonesia-jadi-pemain-inti-ekonomi-internasional

[7] https://www.tuk.or.id/2022/10/90-kreditor-negara-g20-fasilitasi-pembiayaan-perusahaan-perusak-hutan-dan-pelanggaran-ham/

[8] https://indoprogress.com/2021/12/236433/

[9] idem

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA 

Kontak: Linda Rosalina ([email protected]/+62 812 1942 7257)

 

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

Masyarakat sipil menuntut peran OJK dan Kementerian Keuangan untuk mendorong Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh Negara G20 yang Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggar HAM

 

Jakarta, 10 November 2022 – TuK INDONESIA bersama dengan Eksekutif Nasional WALHI, Dan WALHI Jakarta melakukan aksi protes di depan Kementerian Keuangan, OJK dan tiga bank besar Indonesia, BNI, BRI dan Mandiri hari ini. Aksi ini menindaklanjuti laporan koalisi Forests & Finance yang menemukan 90% bank-bank dari negara G20  telah mendanai kerusakan hutan dan pelanggaran HAM di Indonesia. Bank-bank dari Indonesia, Brazil, Uni Eropa, Cina, dan Amerika menjadi kreditur teratas dari negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang berisiko terhadap hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah.

 

“Menjelang pertemuan G20 Kementerian Keuangan seharusnya bisa memperkuat negosiasi global untuk mendorong implementasi Keuangan Berkelanjutan kepada negara-negara anggota G20 lainnya. Tidak hanya itu, Indonesia juga seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh bank-bank BUMN. Namun kenyataanya Bank Mandiri, BRI, BNI masih menjadi Bank BUMN teratas yang terlibat dalam kejahatan lingkungan memimpin 33 bank lainnya di Indonesia dengan tetap membiayai perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak perusakan hutan dan perampasan lahan masyarakat lokal, seperti sawit dan pulp & paper”, Ungkap Edi Sutrisno selaku Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

“Skema pembiayaan hijau yang diusung sejumlah bank di Indonesia kontra produktif dengan kondisi faktual di lapangan dimana bank tersebut justru menjadi aktor penyebab krisis ekologis.  Dengan embel-embel hijau, seharusnya bank dapat secara tegas melakukan screening dalam skema pembiayaan proyek dan tidak mendukung proyek solusi palsu iklim yg justru jauh dari prinsip-prinsip keadilan ekologis”, Suci Fitria Tanjung selaku Direktur WALHI Jakarta menambahkan.

 

Bank Mandiri misalnya masih mendanai perusahaan sawit Astra Agro Lestari Tbk. (AALI). Padahal salah satu anak perusahaan AALI, PT. Lestari Tani Teladan (PT.LTT) di Sulteng mendapatkan nilai terendah terkait aspek tata kelola & sosial (LST) karena tidak memenuhi minimal 20% pembangunan kebun masyarakat. Tidak hanya itu, PT.LTT juga tidak segera menyelesaikan sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

 

Kasus anak perusahaan AALI lainnya PT Agro Nusa Abadi (PT.ANA), di Sulteng mendapatkan nilai LST terendah karena tidak memiliki legalitas penguasaan lahan dan legalitas usaha perkebunan. Lokasi PT.ANA juga ditemukan tumpang tindih dengan lokasi usaha perkebunan lainnya dan wilayah kelola masyarakat. Pada bulan Oktober 2022, perusahaan merek raksasa dunia Nestlé berkomitmen menangguhkan rantai pasok sawit dari AALI yang terlibat dalam kasus LST tersebut. Perusahaan merek besar lainnya Procter & Gamble juga menyampaikan menangguhkan AALI setelah menyimpulkan hasil investigasi dari penilaian pihak ketiga pada anak perusahaan AALI yakni PT. LTT, PT. Agro Nusa Abadi, dan PT. Mamuang. 

 

Kejahatan perbankan lainnya juga terungkap melalui pembiayaan BNI kepada Korindo. PT. Papua Agro Lestari (PT.PAL) anak perusahaan Grup Korindo, sebelumnya telah dilaporkan oleh TuK INDONESIA bersama koalisi Forests & Finance kepada BNI melalui whistle blowing system atas dugaan korupsi atas perolehan izin konsesi PT.PAL. Sertifikasi FSC Korindo kemudian dicabut setelah penyelidikan independen menemukan sejumlah pelanggaran sosial dan lingkungan di seluruh konsesi Korindo di Papua dan Maluku Utara. Lebih dari 65.000 ha izin pemanfaatan hutan: PT. PAL (32.348 ha), PT. Tunas Sawa Erma (19.001 ha) dan PT Berkat Cipta Abadi II (14.435 ha) dicabut KLHK pada 5 Januari 2022. Namun fakta ini tidak cukup membuka mata BNI untuk segera menghentikan pembiayaan BNI pada Korindo.

 

BRI juga masih menjadi pemberi dana setia perusahaan raksasa produsen minyak sawit Sinar Mas yang anak perusahaannya, PT. Kresna Duta Agrindo terlibat dalam kasus deforestasi, pencemaran air dan udara, sengketa tanah, perampasan lahan, penembakan oleh polisi, serta represi, dan intimidasi terhadap petani di Jambi. (Menuntut akuntabilitas, sepuluh studi kasus terhadap sektor minyak sawit Indonesia. (FPP, PUSAKA, WALHI, TuK INDONESIA, Juni 2021)

 

“Bank-bank ini harus menyusun indikator LST yang lebih detail, memberlakukan review berkala terhadap penerima dana disertai dengan uji lapangan yang komprehensif. Sektor jasa keuangan juga perlu membangun transparansi terkait informasi indikator LST dan menyediakan mekanisme komplain bagi publik”, Edi menambahkan.

 

“Kepada OJK, kami minta agar segera membangun hub-informasi untuk indikator LST sebagai bagian dari transparansi publik, termasuk di dalamnya mekanisme komplain. Selain itu perlu ada konsekuensi mandatoris terhadap izin usaha dan izin konsesi terkait pemenuhan indikator LST”, tukas Edi.

90% Kreditor Negara G20 Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggaran HAM

90% Kreditor Negara G20 Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggaran HAM

Jakarta, 18 Oktober 2022. Temuan terbaru koalisi Forests and Finance mengungkapkan sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyalurkan dana 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan. Sebesar 90% diantaranya bank-bank berasal dari Negara G20.

 

Brazil, Uni Eropa, Indonesia, Cina, Amerika adalah kreditor teratas dari Negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah. Daging sapi, pulp & paper, dan kedelai merupakan komoditas terbesar di Amerika Latin yang mendapatkan aliran dana tersebut. Sementara di Asia Tenggara, dana banyak mengalir untuk komoditas kelapa sawit dan pulp & paper.

 

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian menegaskan, negara-negara G20 berperan besar dalam perusakan hutan dan pelanggaran HAM yang dapat dilihat dari fasilitas pembiayaan kepada perusahaan sawit milik Grup Astra Agro Lestari (AALI). Grup AALI memiliki 41 anak perusahaan sawit yang tersebar di delapan Provinsi. Sepanjang lima tahun terakhir, WALHI fokus memonitoring PT Lestari Tani Teladan, PT Agro Nusa Abadi, dan PT Mamuang, anak perusahaan sawit AALI di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dalam catatan WALHI, perusahaan ini telah mengkriminalisasi warga, melakukan penanaman di luar HGU, beroperasi di dalam hutan lindung dan hutan produksi terbatas, melakukan deforestasi, mengambil Wilayah Kelola Rakyat dan ruang hidup rakyat, serta beroperasi secara illegal sebab terdapat anak perusahaan tidak memiliki HGU dan IUP.

 

“Fakta bagaimana negara-negara maju yang menjadi bagian dari G20 berinvestasi kotor dan jahat dengan merampas Wilayah Kelola Rakyat dan mengubah bentang hutan kita menjadi kebun kayu, sawit dan industri ekstraktif lainnya. Bukan hanya itu, bisnis yang eksploitatif ini membawa dunia pada situasi darurat iklim. Pemerintah Indonesia harusnya mendesak negara-negara maju ini bertanggungjawab dengan mengoreksi konsumsi, mengubah corak bisnis yang eksploitatif dan keuangan yang berkelanjutan,” ungkap Uli.

 

Hal serupa juga diungkapkan oleh Made Ali, koordinator JIKALAHARI. Menurut Made, temuan Forests and Finance terkait fasilitas pembiayaan oleh negara-negara G20 menunjukkan kian melanggengnya kejahatan korporasi HTI di Riau, merusak hutan alam, dan merampok tanah masyarakat adat. Hasil investigasi JIKALAHARI dan koalisi Eyes on the Forest pada Januari 2022 menemukan anak perusahaan APP Sinarmas yaitu PT Arara Abadi dan PT Sekato Pratama Makmur melakukan penebangan vegetasi alam dan perluasan HTI di dalam cagar biosfir UNESCO Giam Siak Kecil. “Sepatutnya negara-negara G20 bertanggungjawab mutlak atas kejahatan korporasi yang terjadi di Riau,” tegas Made.

 

Pada tahun ini Indonesia ditunjuk sebagai presidensi G20. Tuan rumah untuk pertemuan negara-negara G20 dalam membicarakan bagaimana memitigasi iklim dan pembangunan hijau. Edi Sutrisno, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA mengungkapkan ketidakselarasan pembicaraan G20 terkait keberlanjutan, padahal fasilitas pembiayaan oleh negara-negara G20 banyak mengalir kepada perusahaan yang terlibat dalam deforestasi dan pelanggaran HAM di Indonesia. “Posisi Indonesia sebagai presidensi G20 saat ini seharusnya menjadi momentum untuk mendorong implementasi keuangan berkelanjutan secara mandatoris,” pungkas Edi.

 

***

Narahubung:

  1. Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Edi Sutrisno ([email protected])
  2. Koordinator JIKALAHARI, Made Ali ([email protected]@gmail.com)
  3. Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian ([email protected])

 

*Tersedia bahan tayang TuK INDONESIA dan JIKALAHARI

#jikalahari