G20: Solusi atau Rancangan Krisis Global?

Negara-negara Maju memaksa Negara Berkembang untuk mengekploitasi alamnya. Publik luas seperti Indonesia harus menyadari bahwa kerusakan alam di Indonesia akibat permintaan global yang eksploitatif bukan semata-mata kebutuhan Indonesia.

Krisis ekonomi global tidak terjadi di semua negara di belahan dunia ini, itu karena krisis selalu diciptakan untuk memastikan kelancaran sistem kapitalistik tetap eksis. Negara kaya pelopor kapitalisme mengeksplotasi negara miskin, negara maju yang direpresentasikan oleh negara-negara Eropa dan Amerika membuatnya menjadi nampak normal. Berbagai upaya dilakukan salah satunya dengan membuat forum-forum lintas negara untuk berbagai isu ekonomi, lingkungan, pembangunan, teknologi dan lainnya. Hari-hari ini kita bisa melihatnya dengan telajang mata, gelaran Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Grup (G20) yang berlangsung di Bali adalah bentuk kongkritnya.

Sebelumnya, pada tahun 1975 Forum ini bernama G7 beranggotakan tujuh negara maju yang dianggap berhasil menjawab krisis yang berdampak global seperti Mexican Peso Crisis 1994, Asian Finacial Crisis 1997/1998, Rusian Financial Crisis 1998 dan Financial Crisis 2007-2008[1]. G20 adalah forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU). G20 merepresentasikan lebih dari 60% populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB dunia. Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa[2].

Sudah pasti pertemuan kali ini hendak menjawab problem krisis yang melanda dunia. Krisis selalu dijawab dengan konsolidasi kapital dari Eropa ke negara wilayah-wilayah koloni.[3] Arif Novianto merujuk ke Sosiolog-cum filsuf Prancis Henri Levebvre, dalam teorinya tentang produksi ruang (production of space), mengungkapkan bahwa keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang napasnya agar tak hancur akibat kontradiksi internal, seperti yang diramalkan Marx, adalah melalui cara produksi dan reproduksi ruang-ruang ekonomi secara terus-menerus dalam skala global[4].

Menariknya dalam pertemuan G20 Bali ini, strategi apa yang akan dilakukan oleh negara-negara G20 untuk menjawab krisis ekonomi global yang melanda dunia setelah hantaman pandemi Covid19. Dalam keterangan pers Kemenko ekonomi menjelaskan bahwa Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 menjadi periode paling krusial dalam proses pemulihan ekonomi global. Dengan demikian, kolaborasi global melalui Forum G20 harus mampu menghasilkan langkah-langkah nyata dan terobosan besar untuk mengatasi krisis pangan, energi, dan keuangan global yang terjadi saat ini, serta mempercepat pemulihan bersama dan pulih menjadi lebih kuat (recover together recover stronger). Hal ini akan diatur dalam satu workstream dalam G20. Selain Finance Track, Sherpa Track terus melakukan pembahasan terkait tantangan global dan berbagai isu ekonomi (non-finansial) untuk mencari solusi dan memberikan rekomendasi atas agenda dan isu prioritas G20.

Kongkritnya, krisis yang saat ini melanda harus dijawab dengan ekspansi kapital, ini dapat terlaksana dengan cepat dengan interkoneksi wilayah satu dan lainnya, fleksibilitas, dan tentu saja kebijakan yang mempermudah investasi untuk beroperasi. Hanya dengan begitu maka percepatan penyelesaian krisis dapat diselesaikan dengan tempo yang sikat. Indonesia dibawah pemerintahan Presiden Jokowi sendiri berusaha menjawab krisis dengan membuat paket kebijakan ekonomi khusus, Undang-undang cipta kerja dan berbagai regulasi turunnya yang bertujuan untuk mempercepat investasi hadir di Bumi Pertiwi. Kebijakan ini adalah bagian dari solusi krisis yang melanda dunia dengan melakukan eksport kapital ke belahan dunia lain dengan cara mengeksplotiasi alam yang memiliki kandungan mineral dibawahnya. Singkatnya, hadirnya berbagai investasi sektor sumber daya alam seperti Nikel di Sulawesi dan Maluku, Batubara di Sumatera dan Kalimantan, juga Papua dengan gunungan emas, adalah bentuk dari akumulasi kapital yang harus dilakukan untuk keluar dari krisis global.

Industri lain seperti perkebunan kelapa sawit juga memiliki ciri sendiri dalam perluasan kapital di Indonesia yaitu penguasan tanah yang luas dengan watak penyingkiran terhadap rakyat, penghancuran hutan dan pencemaran lingkungan. Tidak heran jika untuk industri ini pemerintah paling royal dalam memberikan izin karena kecenderungan perkebunan yaitu untuk penguasaan tanah yang luas. Pada tahun 2021 Kementerian Pertanian mencatat luas perkebunan sawit Indonesia mencapai 15,08 juta ha, mayoritas dimiliki oleh Perkebunan Besar Swasta (PBS) yaitu seluas 8,42 juta ha (55,8%). Kemudian, Perkebunan Rakyat (PR) seluas 6,08 juta ha (40,34%) dan Perkebunan Besar Negara (PBN) seluas 579,6 tibu ha (3,84%)[5]. Luasnya tanaman sawit Indonesia menjadikan negara ini pengeksport terbesar Crude Palm Oil (CPO) Dunia. Hanya dengan tiga Komoditi eksport terbesar dunia ini (Nikel, Batubara dan CPO) Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi dunia baru dalam sistem yang kapitalistik.

Pada tahun 2014 Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam Pidato Kenegaraan menyoal keterlibatan Indonesia menjadi negara anggota G20, “Pendek kata, Indonesia telah menjadi salah satu pemain inti dalam ekonomi internasional. Kita tidak punya alasan menjadi bangsa yang rendah diri, yang gemar menyalahkan dunia atas segala permasalahan yang terjadi. Kita harus meyakini bahwa Indonesia di abad ke-21 adalah bagian dari solusi dunia,”[6] Kita harus menggaris bawahi solusi terhadap permasalahan apa yang dimaksud oleh SBY dalam pidato tersebut, tentu saja terhadap krisis dunia.

Dirujuk dari publikasi Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA tahun 2022 dalam temuan terbaru koalisi Forests and Finance mengungkapkan sejak Perjanjian Paris ditandatangani, bank telah menyalurkan dana 267 miliar dolar AS kepada perusahaan penghasil komoditas yang merisikokan hutan. Sebesar 90% diantaranya bank-bank yang berasal dari Negara G20[7]. Publikasi ini menunjukkan bahwa secara keseluran ekonomi yang dibangun untuk menjawab krisis berada pada kerentanan lingkungan global yang tentu saja berdampak pada meningkatnya krisis lingkungan secara global. Peningkatan pemanasan global tentu saja disebabkan oleh kapitalisme. Lalu Negara mendebatnya dengan mengatakan bahwa secara keseluruhan kita harus ikut bertanggung jawab terhadap ini karena secara konsumtif kita menjadi bagian dari yang memproduksi gas rumah kaca. Pandangan ini ingin menghindari dan mengalihkan masalah utama dan pengabaian solusi yang harus dilakukan oleh negara untuk keluar dari krisis iklim. Tentu saja negara harus melakukan itu, karena jika solusinya adalah mengurangi produksi yang kapitalistik maka tentu akan memancing krisis dan berpotensi negara akan mengalami kekacauan ekonomi politik.

Menjawab problem krisis iklim negara kapitalistik memiliki solusi lain, yaitu dengan mendorong investasi hijau, semua jenis investasi saat ini harus bermerek sustainable mulai dari sawit berkelanjutan, tambang berkelanjutan, berdagang karbon, konsep hutan kemitraan kelola dan lain sebagiannya. Solusi ini turut serta diperankan oleh berbagai pihak, mulai dari swasta, lembaga Universitas (juga promosi oleh kalangan akademisi), Lembaga swadaya masyarakat maupun dan organisasi sipil lainnya. Tidak heran jika Pemerintah Indonesia selalu mempublikasi peran mereka dan kolaborasi dalam menjawab masalah krisis iklim ampuh dalam menurunkan kerusakan lingkungan.

Solusi ini tidak sungguh-sungguh menjawab masalah krisis lingkungan hidup yang diciptakan oleh sistem kapitalis, dia hanya dapat dijawab dengan apa yang disebut oleh John Bellamy Foster sebagai pendekatan Ekologi Radikal. Para pengusung pendekatan ini yakin bahwa kapitalisme, yang merupakan sebuah sistem sosial ekonomi, menempatkan pengejaran keuntungan setinggi-tingginya tanpa batas adalah akar masalah dari krisis ekologi saat ini. Dan untuk melayani mesin produksi keuntungan ini agar tetap bekerja, sektor produksi, distribusi, dan konsumsi digenjot semaksimal mungkin dan seglobal mungkin[8].

Hanya dengan menempatkan kapitalisme berhadap hadapan dengan krisis ekologi kita dapat melihat solusi lain dari krisis ini[9]. Dengan begitu kita bisa membuat solusinya kongkrit dari krisis ekologi. Pada akhirnya semua ini dapat dilakukan jika seluruh komponen gerakan sosial dan lingkungan hidup terkonsolidasi dan membangun gerakan bersama.

 

Penulis: Abdul Haris

 

[1] https://indonesiabaik.id/infografis/sejarah-pendirian-g20

[2] https://www.bi.go.id/id/g20/default.aspx

[3] https://indoprogress.com/2011/01/krisis-dan-kelas/

[4] https://indoprogress.com/2014/05/krisis-kapitalisme-dan-upaya-perebutan-ruang-hidup-rakyat-di-pegunungan-kendeng-utara-pati-jawa-tengah/

[5] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/31/luas-perkebunan-minyak-kelapa-sawit-nasional-capai-1508-juta-ha-pada-2021

[6] https://www.antaranews.com/berita/448538/presiden-indonesia-jadi-pemain-inti-ekonomi-internasional

[7] https://www.tuk.or.id/2022/10/90-kreditor-negara-g20-fasilitasi-pembiayaan-perusahaan-perusak-hutan-dan-pelanggaran-ham/

[8] https://indoprogress.com/2021/12/236433/

[9] idem

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

SIARAN PERS UNTUK DISIARKAN SEGERA 

Kontak: Linda Rosalina ([email protected]/+62 812 1942 7257)

 

Aksi Protes Terhadap 36 Bank yang Terlibat Kejahatan Lingkungan

Masyarakat sipil menuntut peran OJK dan Kementerian Keuangan untuk mendorong Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh Negara G20 yang Terlibat Pembiayaan Perusahaan Perusak Hutan dan Pelanggar HAM

 

Jakarta, 10 November 2022 – TuK INDONESIA bersama dengan Eksekutif Nasional WALHI, Dan WALHI Jakarta melakukan aksi protes di depan Kementerian Keuangan, OJK dan tiga bank besar Indonesia, BNI, BRI dan Mandiri hari ini. Aksi ini menindaklanjuti laporan koalisi Forests & Finance yang menemukan 90% bank-bank dari negara G20  telah mendanai kerusakan hutan dan pelanggaran HAM di Indonesia. Bank-bank dari Indonesia, Brazil, Uni Eropa, Cina, dan Amerika menjadi kreditur teratas dari negara G20 yang menyalurkan dana kepada perusahaan penghasil komoditas yang berisiko terhadap hutan di Amerika Latin, Asia Tenggara, serta Afrika Barat dan Tengah.

 

“Menjelang pertemuan G20 Kementerian Keuangan seharusnya bisa memperkuat negosiasi global untuk mendorong implementasi Keuangan Berkelanjutan kepada negara-negara anggota G20 lainnya. Tidak hanya itu, Indonesia juga seharusnya bisa menjadi contoh bagaimana Keuangan Berkelanjutan diterapkan oleh bank-bank BUMN. Namun kenyataanya Bank Mandiri, BRI, BNI masih menjadi Bank BUMN teratas yang terlibat dalam kejahatan lingkungan memimpin 33 bank lainnya di Indonesia dengan tetap membiayai perusahaan-perusahaan dengan rekam jejak perusakan hutan dan perampasan lahan masyarakat lokal, seperti sawit dan pulp & paper”, Ungkap Edi Sutrisno selaku Direktur Eksekutif TuK INDONESIA.

“Skema pembiayaan hijau yang diusung sejumlah bank di Indonesia kontra produktif dengan kondisi faktual di lapangan dimana bank tersebut justru menjadi aktor penyebab krisis ekologis.  Dengan embel-embel hijau, seharusnya bank dapat secara tegas melakukan screening dalam skema pembiayaan proyek dan tidak mendukung proyek solusi palsu iklim yg justru jauh dari prinsip-prinsip keadilan ekologis”, Suci Fitria Tanjung selaku Direktur WALHI Jakarta menambahkan.

 

Bank Mandiri misalnya masih mendanai perusahaan sawit Astra Agro Lestari Tbk. (AALI). Padahal salah satu anak perusahaan AALI, PT. Lestari Tani Teladan (PT.LTT) di Sulteng mendapatkan nilai terendah terkait aspek tata kelola & sosial (LST) karena tidak memenuhi minimal 20% pembangunan kebun masyarakat. Tidak hanya itu, PT.LTT juga tidak segera menyelesaikan sengketa lahan antara perusahaan dengan masyarakat.

 

Kasus anak perusahaan AALI lainnya PT Agro Nusa Abadi (PT.ANA), di Sulteng mendapatkan nilai LST terendah karena tidak memiliki legalitas penguasaan lahan dan legalitas usaha perkebunan. Lokasi PT.ANA juga ditemukan tumpang tindih dengan lokasi usaha perkebunan lainnya dan wilayah kelola masyarakat. Pada bulan Oktober 2022, perusahaan merek raksasa dunia Nestlé berkomitmen menangguhkan rantai pasok sawit dari AALI yang terlibat dalam kasus LST tersebut. Perusahaan merek besar lainnya Procter & Gamble juga menyampaikan menangguhkan AALI setelah menyimpulkan hasil investigasi dari penilaian pihak ketiga pada anak perusahaan AALI yakni PT. LTT, PT. Agro Nusa Abadi, dan PT. Mamuang. 

 

Kejahatan perbankan lainnya juga terungkap melalui pembiayaan BNI kepada Korindo. PT. Papua Agro Lestari (PT.PAL) anak perusahaan Grup Korindo, sebelumnya telah dilaporkan oleh TuK INDONESIA bersama koalisi Forests & Finance kepada BNI melalui whistle blowing system atas dugaan korupsi atas perolehan izin konsesi PT.PAL. Sertifikasi FSC Korindo kemudian dicabut setelah penyelidikan independen menemukan sejumlah pelanggaran sosial dan lingkungan di seluruh konsesi Korindo di Papua dan Maluku Utara. Lebih dari 65.000 ha izin pemanfaatan hutan: PT. PAL (32.348 ha), PT. Tunas Sawa Erma (19.001 ha) dan PT Berkat Cipta Abadi II (14.435 ha) dicabut KLHK pada 5 Januari 2022. Namun fakta ini tidak cukup membuka mata BNI untuk segera menghentikan pembiayaan BNI pada Korindo.

 

BRI juga masih menjadi pemberi dana setia perusahaan raksasa produsen minyak sawit Sinar Mas yang anak perusahaannya, PT. Kresna Duta Agrindo terlibat dalam kasus deforestasi, pencemaran air dan udara, sengketa tanah, perampasan lahan, penembakan oleh polisi, serta represi, dan intimidasi terhadap petani di Jambi. (Menuntut akuntabilitas, sepuluh studi kasus terhadap sektor minyak sawit Indonesia. (FPP, PUSAKA, WALHI, TuK INDONESIA, Juni 2021)

 

“Bank-bank ini harus menyusun indikator LST yang lebih detail, memberlakukan review berkala terhadap penerima dana disertai dengan uji lapangan yang komprehensif. Sektor jasa keuangan juga perlu membangun transparansi terkait informasi indikator LST dan menyediakan mekanisme komplain bagi publik”, Edi menambahkan.

 

“Kepada OJK, kami minta agar segera membangun hub-informasi untuk indikator LST sebagai bagian dari transparansi publik, termasuk di dalamnya mekanisme komplain. Selain itu perlu ada konsekuensi mandatoris terhadap izin usaha dan izin konsesi terkait pemenuhan indikator LST”, tukas Edi.