Virus Corona dan Hilangnya Keanekaragaman Hayati

Hilangnya keanekaragaman hayati tak pernah dianggap sebagai kerugian negara sehingga tak masuk dalam kebijakan politik. Virus corona mesti jadi peringatan kita membuat rumus ekonomi.

Pada akhir 1880, hampir 90 persen daratan Indonesia tertutup hutan hujan alami, ketika hutan di negara-negara Asia lainnya, seperti India dan Bangladesh, berkurang secara signifikan. Saya tahu informasi ini dari Daniel Cleary dan Lyndon Devantier (2011) dalam publikasi mereka, Indonesia: Threats to the Country’s Biodiversity. Mereka menyebut kehilangan tutupan hutan Indonesia baru terjadi pada 1880 hingga 1980, sebanyak 25 persen.

Saat ini, lebih dari 50 persen tutupan hutan masih menyelimuti Indonesia, tetapi sebagian besar dari hutan itu telah terdegradasi. Hutan, seperti di lokasi-lokasi yang sebelumnya bukan hutan, atau hutan yang sangat terdegradasi, atau terdiri dari pertumbuhan hutan tanaman, sangat berbeda dengan hutan alam baik secara ekologi, biofisik maupun ekonomi. Semua jenis hutan lainnya bukan pula merupakan substitusi yang tepat untuk hilangnya hutan alam itu.

Untuk tingkat global, dalam How biodiversity loss is hurting our ability to combat pandemics, John Scott melaporkan bahwa dalam 100 tahun terakhir, lebih dari 90 persen varietas tanaman telah menghilang. Tren itu telah mengurangi keanekaragaman hayati (kehati) secara langsung yang terkait dengan berkembangnya wabah atau faktor risiko kesehatan. Antara 1980 sampai 2013 tercatat 12.012 jenis wabah dengan menelan korban 44 juta kasus individu di berbagai negara di dunia.

Sejumlah faktor berkontribusi pada kenaikan wabah itu. Semakin tingginya perjalanan global, perdagangan dan konektivitas, kehidupan dengan kepadatan tinggi. Dari semua itu, dua berkurangnya kehati dan perubahan iklim faktor paling berpengaruh.

Ironisnya, laju deforestasi menjadi penyebab dua faktor tersebut, yang terus berlangsung di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, rute hilangnya hutan alam yang saling terkait adalah penebangan, kebakaran hutan, dan konversi hutan.

Walaupun bukti ilmiah menunjukkan bahwa tebang pilih tidak memiliki dampak buruk serius terhadap kerusakan keanekaragaman hayati, dari banyak studi efek sekunder dari penebangan itu sering kali berakibat lebih buruk. Yaitu terbukanya fasilitas masuknya pemburu, pertanian tebas bakar ataupun konversi besar-besaran untuk kebun dan tambang. Konflik pun tidak terhindarkan. Di situ muncul berbagai bentuk geng penebangan liar, bahkan memakai teror kepada penghuni kamp-kamp konsesi bila mengganggu kegiatan mereka (Kartodihardjo, 2015).

Dampak penebangan liar yang paling merugikan, yang biasanya tidak dipertimbangkan, adalah mengubah iklim mikro dan meningkatkan jumlah bahan yang mudah terbakar. Sehingga meningkatkan kemungkinan kebakaran di masa depan, yang jauh lebih buruk daripada kebakaran awal, baik dalam besaran, intensitas, kedalaman, waktu terbakar maupun kecepatan penyebaran api.

Hasil penelitian para ahli yang dilaporkan Cleary dan Devantier itu adalah musnahnya keanekaragaman hayati di Kalimantan akibat kebakaran sebanyak 100 spesies kupu-kupu. Kebakaran juga mengurangi genetika keanekaragaman spesies yang membuat spesies tersisa lebih rentan terhadap kepunahan, karena berkurangnya keseimbangan populasi.

Di Sumatera, penebangan hutan alam menyebabkan berkurangnya ragam spesies burung dan kelelawar, tetapi tidak memengaruhi kelimpahan atau kekayaan spesies primata, tupai, dan tikus hutan, kecuali hal itu terjadi pada konversi hutan untuk perkebunan.

Terputusnya rantai kehidupan dan rusaknya habitat satwa liar tersebut mendorong hewan liar lebih mendekati populasi manusia dan meningkatkan kemungkinan virus zoonosis, seperti Covid-19, membuat lompatan lintas spesies dan manusia menjadi inangnya. Dengan mempelajari fenomena alam seperti itu, semestinya kita perlu mengatasi krisis wabah ini bukan hanya dengan reaksi jangka pendek dengan tetap mempertahankan model politik, ekonomi dan institusional yang sama, yang akan membawa kita jatuh ke jurang lebih dalam kerusakan hayati.

Sebaliknya, kita perlu mengembangkan bentuk institusi yang memungkinkan jasa lingkungan itu berada di pusat pemikiran. Itu artinya kita perlu membenahi model sektoralisasi dan spesifikasi birokrasi yang saat ini, by design, lebih memperhatikan besaran input atau serapan anggaran sambil membatasi apa yang boleh dilihat melalui tugas pokok yang kaku. Atas dasar reduksi kerangka pikir itulah sifat-sifat keanekaragaman dari alam yang memang abstrak disederhanakan melalui narasi besar di bawah perlindungan politik negara, misalnya, berupa Rencana Jangka Menengah Pembangunan.

Mereduksi kompleksitas kehati menjadi komoditi ekonomi itu telah menghilangkan seluruh “jasa alam” dengan cara yang sah. Akibatnya, kehilangan jasa alam itu tidak pernah dianggap sebagai kerugian negara. Hal itu misalnya dapat dibaca dari definisi mengenai kerugian negara dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Di sana disebutkan bahwa kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya, sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 angka 15). Dalam praktiknya, jasa alam itu tidak dianggap sebagai “nyata dan pasti jumlahnya”. Ilmu pengetahuan di Indonesia masih dianggap dongeng tanpa kenyataan.

Sementara itu, dalam Nature: International weekly journal of science, Daniel Cressey menunjukkan hasil kajian para peneliti atas nilai “jasa ekosistem alam”, seperti penyerbukan tanaman dan penyerap karbon. Nilainya diperkirakan antara US$ 2 triliun hingga US$ 6 triliun per tahun. Jumlah itu memang bukan tagihan, melainkan investasi oleh modal alam untuk kehidupan manusia yang dihapus dalam sistem ekonomi yang sedang berjalan.

Maka, apabila kita tidak melakukan perubahan bagaimana sistem ekonomi bekerja, guncangan di masa depan akibat kerusakan keanekaragaman hayati mungkin bisa melebihi kapasitas pemerintah, lembaga keuangan, ataupun pihak-pihak lain untuk mencegahnya.

Kenyataan seperti itu direspon oleh The Club of Rome (2020) dalam laporannya bertajuk A Green Reboot After the Pandemic yang menyebut bahwa pandemi virus corona harus bisa sebagai “panggilan bangun” dan peringatan, bahwa penggundulan hutan, hilangnya kehati maupun perubahan iklim perlu menjadi bagian dari pemodelan pilihan sistem ekonomi.

Klub yang terkenal dengan laporannya, The Limits to Growth pada 1972 dan Beyond the Limits pada 1992, itu telah mengingatkan pada saat itu bahwa masa depan umat manusia akan ditentukan bukan oleh suatu keadaan darurat (seperti perang), tapi oleh banyak krisis yang terpisah, namun terkait dan berasal dari kegagalan hidup secara berkelanjutan.

Cirinya pemakaian sumber daya bumi lebih cepat dari yang dapat dipulihkan, serta dengan melepaskan limbah dan polutan lebih cepat daripada yang bisa diserap bumi. Pembaruan sistem ekonomi mestinya ditujukan untuk merespons hal-hal ini.

 

Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB

 

artikel ini pertama kali terbit di https://www.forestdigest.com/ dimuat ulang untuk tujuan pendidikan dan pengetahuan

 

Gambar ilustrasi orang yang memerangi virus, sumber: https://www.freepik.com/

Tanpa pekerja, dunia akan kolaps. Lindungi pekerja dari Covid-19, sekarang!

Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Kelapa Sawit (TPOLS) mendesak seluruh pemerintah nasional dan semua perusahaan untuk melindungi pekerja dengan segala cara. Pemerintah dan perusahaan harus memprioritaskan dan memastikan perlindungan terhadap kesehatan dan penghidupan seluruh rakyat pekerja terhadap pandemi Covid-19. Kami mendesak agar tindakan penting untuk segera diambil, sekarang juga!

Kami telah mengidentifikasi tiga kebutuhan mendesak dalam situasi krisis saat ini

Pertama, tentang perlindungan kesehatan. Di Filipina, Indonesia, Malaysia dan negara berkembang dan maju lainnya, terdapat problem serius ketersediaan infrastruktur kesehatan dan kecukupan peralatan kesehatan/ perlindungan diri dengan prosedur/ kebijakan pemeriksaan dan pelayanan kesehatan yang efektif dalam menangani pasien dengan penyakit Covid-19, baik positif maupun yang masih terduga.

Di Indonesia, minimnya pemeriksaan dan pelayanan kesehatan yang efektif, murah dan dapat diakses telah menyebabkan kematian yang tidak terdeteksi dan banyaknya kasus orang yang terinfeksi. Sementara itu, tidak sedikit kasus di mana rumah sakit menolak untuk merawat pasien atau dugaan terjangkit Covid-19.

Buruknya infrastruktur kesehatan di Indonesia dengan amat terbatasnya tenaga medis dan peralatan pelindung telah telah memperparah kondisi yang dihadapi oleh pekerja yang dipaksa memilih antara menjaga kesehatan atau penghidupan.

Di Malaysia, pekerja migran di hampir setiap sektor melaporkan mengalami kesulitan dalam mengakses pemeriksaan dan perawatan medis. Pemerintah Malaysia telah secara tepat menerapkan kebijakan untuk memeriksa kondisi kesehatan pekerja migran, terlepas dari status dokumentasi mereka.

Namun, penangkapan dan perlakuan buruk selama bertahun-tahun yang dialami migran tidak berdokumen, terutama di sektor perkebunan, telah menyebabkan pekerja migran selalu merasa cemas akan adanya penangkapan dan tindakan sewenang-wenang. Masalah sistematis ini menyulitkan pekerja migran tidak berdokumen untuk mengakses pemeriksaan dan perawatan kesehatan yang seringkali berlokasi di kota dan memerlukan perjalanan ke luar area perkebunan.

Sementara di Filipina, kebijakan karantina yang tidak matang telah menyebabkan hilangnya sumber pendapatan pekerja—terutama sektor informal yang mendapat pemasukan secara harian. Pemerintah Filipina tidak menyediakan cukup pasokan pangan bagi rakyat miskin di perkotaan yang terdampak dari kebijakan karantina. Mayoritas rakyat miskin baru akan mulai menjalani pemeriksaan massal pada 14 April.

Kedua, tentang jaminan pendapatan dan pekerjaan. Terdapat banyak laporan yang muncul bahwa para pekerja diharuskan oleh majikannya untuk tetap bekerja, bahkan pada saat sebagian besar pemerintah telah mengumumkan ‘social distancing’, ‘bekerja dari rumah’, penutupan beberapa layanan publik dan bahkan karantina wilayah.

Di Malaysia, khususnya Sabah, hanya ada beberapa daerah di mana semua perkebunan dan pabrik/ kilang diperintahkan untuk menghentikan sementara produksinya. Di banyak daerah lain di Malaysia—dan juga di Indonesia dan Filipina—banyak perkebunan, pabrik/ kilang, pelabuhan, dan perkantoran masih beroperasi secara normal. Situasi ini meningkatkan resiko penyebaran penyakit Covid-19 di antara para pekerja.

Selain itu, terdapat juga laporan di mana perusahaan tidak mengambil langkah-langkah serius untuk meningkatkan standar K3 di tempat kerja. Dari perkebunan ke pelabuhan, pekerja diharuskan bekerja tanpa suplai vitamin dan suplemen serta masker pernapasan untuk mencegah penyebaran virus. Standar kebersihan dan sanitasi juga tidak ditingkatkan. Terlebih lagi, ada keluhan dari pekerja bahwa upah mereka dipotong hingga 50% dengan alasan kerugian perusahaan.

Di sisi lain, dalam kasus di mana perusahaan memperbolehkan pekerja untuk dirumah, mereka dipaksa untuk mengambil cuti tahunan tidak dibayar. Perhatian kami dalam hal ini adalah para pekerja dan keluarganya tidak akan bertahan hidup tanpa jaminan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Tidak adanya jaminan kerja juga meningkatkan resiko penularan virus. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan/ sumber pendapatan, terutama yang dialami oleh para pendatang dan migran di negara asing, baik di sektor formal maupun informal. Para pekerja tidak memiliki pilihan selain kembali ke kampung halaman di mana terdapat resiko penularan penyakit

Ketiga, tentang makanan dan kebutuhan dasar. Pada situasi yang serba tidak pasti, makanan dan kebutuhan pokok dapat menjadi masalah serius. Krisis pangan ini terutama dialami oleh penganggur, pekerja lepas/ informal, pekerja perempuan, tunawisma dan pengungsi.

Krisis ini mulai menyebabkan gelombang protes, seperti di Filipina ketika sejumlah orang miskin di Quezon City melakukan protes menuntut bantuan pangan dan bantuan lainnya—yang sayangnya malah berujung pada penangkapan.

Pada konteks area yang terpencil dan terisolasi, seperti di perkebunan kelapa sawit berskala besar, kebijakan karantina/ lockdown telah menganggu akses ke pasokan—dan pemenuhan—pangan dan kebutuhan dasar. Problem kelangkaan ini dapat menyebabkan masalah kelaparan dan malnutrisi hingga tingkat akut.

Kami mendesak seluruh pemerintah nasional dan semua perusahaan untuk mengatasi kebutuhan mendesak yang disebutkan di atas sekarang juga. Tanpa pekerja yang sehat, dunia pasti akan runtuh. Tidak akan ada orang yang mengolah tanah, mengoperasikan mesin dan mengangkut komoditas. Tidak akan ada daya beli yang cukup untuk menopang perekonomian dunia.

Kami menuntut pemerintah Indonesia, Malaysia, Filipina, Jerman, dan di tempat lain

  • Untuk memastikan pelayanan kesehatan universal dan akses untuk setiap rakyat pekerja tanpa memandang status kewarganegaraan, kelas, etnis, dan ras. Pemerintah harus memprioritaskan upaya pemeriksaan, pemantauan dan perawatan pasien atau dugaan orang dengan penyakit Covid-19
    1. Pemerintah harus mengadakan pemeriksaan massal, perawatan dan peralatan pelindung diri yang gratis dan mudah dijangkau kepada seluruh orang dengan atau tanpa gejala Covid-19, terutama bagi pekerja yang paling rentan terjangkit dan komunitas yang telah terjangkit.
    2. Pemerintah harus menanggung seluruh biaya penanganan dan perawatan medis
  • Untuk mengalokasikan dan memprioritaskan anggaran negara, seperti pemotongan gaji dan tunjangan pejabat negara, untuk mendukung pelayanan kesehatan publik dan pemenuhan kebutuhan dasar. Pemerintah perlu meningkatkan pendapatan dengan menambah kewajiban pajak bagi orang kaya dan korporasi.
  • Untuk memastikan jaminan pendapatan dan pekerjaan bagi seluruh rakyat pekerja
  • Pemerintah harus memerintahkan perusahaan yang beroperasi pada teritorinya agar mematuhi standar/ protokol nasional tentang K3, terutama dalam memerangi pandemi Covid-19.
  • Khussunya pada situasi buruh migran dan keluarganya, pemerintah harus membatalkan setiap rencana penangkapan dan deportasi massal bagi pekerja, baik berdokumen atau tidak, maupun bekerja atau menganggur. Seluruh pemerintah harus memastikan para pekerja migran dan keluarganya dilindungi oleh skema perlindungan sosial nasional. Para migran harus diperlakukan setara seperti warga negara tanpa diskriminasi.
    1. Terutama bagi pemerintah Malaysia agar mencabut ketentuan Health Circular 10/2001 yang mewajibkan tenaga medis/ penyedia layanan kesehatan melaporkan jika menemukan migran tidak berdokumen
  • Untuk memastikan penyediaan kebutuhan dasar, terutama makanan, obat-obatan dan bantuan keuangan untuk setiap pekerja hingga pandemi berakhir.
    1. Pemerintah harus memberikan bantuan keuangan dan pangan, terutama bagi pekerja yang terdampak yang kehilangan sumber pendapatannya. Bantuan ini harus diberikan kepada, baik pekerja lokal maupun migran berdokumen maupun tidak berdokumen
    2. Pemerintah harus memperluas jaring pengaman sosial dengan menambah bantuan perumahan, pengasuhan anak bagi keluarga pekerja, dan menghentikan penggusuran dan penyitaan/ penghentian akses air dan listrik
    3. Setiap insentif bagi industri tertentu harus dialihkan dan disalurkan langsung kepada pekerja, bukan kepada pemegang saham atau eksekutif perusahaan. Setiap pinjaman/ insentif dari negara harus digunakan untuk memasatikan pemenuhan hak upah dan tunjangan bagi pekerja, bukan dinikmati sebagai bonus eksekutif atau jaminan saham
  • Pemerintah nasional tidak dibenarkan menggunakan ‘tindakan urgen kesehatan’ sebagai alasan untuk mengkriminalisasi pengkritik, aktivis maupun gerakan rakyat. Kelompok sipil harus secara aktif dilibatkan dalam merancang dan mengimplementasi respon gawat darurat

Kami juga menuntut perusahaan, terutama perusahaan transnasional, untuk memprioritaskan keselamatan dan kesehatan pekerja di atas motif keuntungan dengan cara:

  • Memastikan implementasi tindakan yang diperlukan pada standar tertinggi di seluruh bagian rantai pasok global, baik anak perusahaan maupun pihak ketiga.
  • Dalam situasi di mana kegiatan bisnis dapat dihentikan sementara, perusahaan harus memastikan bahwa pekerja tetap dibayar tanpa pengurangan atau memaksa pekerja mengambil cuti tahunan tidak dibayar. Perusahaan memberikan cuti sakit dibayar dan cuti anggota keluarga sakit dibayar (paid family medical leave)
  • Dalam situasi di mana produksi tidak mungkin dihentikan sementara, pekerja harus bekerja dengan waktu lebih pendek dan dirotasi secara teratur untuk mengurangi resiko penularan virus. Setiap kebijakan di tempat kerja harus mengikuti panduan WHO mengenai ‘social distancing’ seefektif mungkin. Perusahaan harus memastikan tingkat higiene dan standar K3 tertinggi yang diterapkan di tempat kerja dan menyediakan APD yang tepat dan efektif termasuk masker pernapasan dan akses ke air bersih.
  • Secara teratur memeriksa dan memantau kondisi kesehatan para pekerja. Perusahaan harus memastikan dan memfasilitasi pekerja untuk mengakses dan menggunakan fasilitas kesehatan. Perusahaan wajib memastikan tidak ada diskriminasi terhadap pekerja yang dengan atau tanpa penyakit.
  • Untuk memberikan cuti dibayar selama masa karantina dan kepada pekerja yang terdampak dari wabah Covid-19. Perusahaan dengan kerja sama dengan pemerintah nasional harus menanggung seluruh biaya medis yang keluar dalam memastikan kesehatan pekerja dan keluarganya

 

6 April 2020

Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS) Network:

Serikat Pekerja
1.     Sabah Plantations Industry Employees Union (SPIEU) (Malaysia)

2.     Food Industry Employees Union (FIEU) (Malaysia)

3.     Serikat Pekerja Nasional (SPN) Kalimantan Timur (Indonesia)

4.     Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) (Indonesia)

5.     Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) (Indonesia)

6.     Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SBPI) (Indonesia)

7.     Federasi Serikat Pekerja Minamas ASD (FSP Minamas) (Indonesia)

8.     Federasi Perjuangan Buruh Nasional (FPBN/KSN) (Indonesia)

9.     Federasi Buruh Transportasi Pelabuhan Indonesia (FBTPI) (Indonesia)

10.  Serikat Buruh Nestle, Lampung (Indonesia)

11.  Filipinas Palm Oil Workers Union (FPIWU) (Philippines)

Pejuang Hak Asasi Manusia dan Perburuhan
1.     Asia Monitor Resource Centre (AMRC) (Hong Kong)

2.     Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) (Indonesia)

3.     Research Centre for Crisis and Alternative Development Strategies (Inkrispena) (Indonesia)

4.     Center for Trade Union and Human Rights (CTUHR) (Philippines)

5.     Jaringan Rakyat Tertindas (JERIT) (Malaysia)

6.     Stiftung Asienhaus (Germany)

Organisasi Perempuan
1.     Sabah Family Planning Association (SFPA) (Malaysia)

2.     Tenaganita (Malaysia)

3.     Solidaritas Perempuan Anging Mammiri (Indonesia)

4.     Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) (Indonesia)

Kelompok Lingkungan Berkeadilan
1.     Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) (Indonesia)

2.     Sawit Watch (Indonesia)

3.     Resisting Expansion of Agricultural Plantations in Mindanao (REAP) (Philippines)

4.     Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) (Indonesia)

5.     Rainforest Action Network (Indonesia)

6.     Tranformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA

Kelompok Pendukung
1.     BMBF Junior Research Group ‘Bioeconomy and Inequality, Friedrich Schiller University Jena, (Germany)

 

JAMIN KESELAMATAN RAKYAT, BUKAN URUS RUU CIPTA KERJA DI TENGAH WABAH CORONA

HENTIKAN PEMBAHASAN OMNIBUS LAW!!

Pernyataan Sikap Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

Rapat Paripurna DPR RI Periode 2019-2020 telah menghasilkan kesepakatan diteruskannya pembahasan RUU Cipta Kerja (“Omnibus Law”) oleh DPR melalui Badan Legislasi (Baleg). Hal ini disepakati oleh 302 anggota dewan yang hadir, baik secara langsung maupun melalui media virtual. Pembahasan Omnibus Law dilanjutkan menanggapi Surat Presiden (Surpres)/R06/Pres tertanggal 7 Februari 2020 tentang RUU Cipta Kerja.

Sikap DPR di atas memberi sinyal bahwa parlemen dan pemerintah tidak memiliki kepekaan atas permasalahan ekonomi dan sosial, bahkan atas situasi darurat kesehatan yang tengah dialami rakyat saat ini. Dengan memaksakan melanjutkan Omnibus Law pada masa darurat seperti sekarang ini, di saat kebijakan pyshical distancing berlaku, telah meresahkan rakyat. Keputusan ini mencederai semangat demokrasi, karena DPR dengan sengaja akan membatasi partisipasi publik dalam pembentukan perundang-undangan. Sudah pasti publik tak bisa dengan efektif dan optimal memberikan masukan, mengawal substansi hingga terlibat dalam proses konsultasi di tengah situasi darurat saat ini.

Perlu dicatat, RUU Cipta Kerja telah banyak menuai penolakan dari berbagai kalangan. Tidak hanya merugikan buruh, namun juga petani, nelayan, dan masyarakat adat akibat memasukkan pasal-pasal dan kebijakan agraria secara serampang ke dalam RUU tersebut. Bahkan beberapa RUU yang telah ditolak publik September 2019 lalu, seperti RUU Pertanahan, RKHUP, RUU Minerba dan beberapa RUU berbahaya lainnya dimasukkan ke dalam RUU Cipta Kerja.

Di bidang agraria, setidaknya terdapat 5 (lima) permasalahan pokok yang akan mengancaman keselamatan jutaan petani, nelayan, masyarakat adat dan perempuan di desa, yakni: Pertama, Omnibus Law akan memperparah ketimpangan penguasaan tanah dan konflik agraria di Indonesia; Kedua, RUU akan mempermudah penggusuran dan perampasan tanah rakyat atas nama kepentingan pembangunan infrastruktur dan bisnis; Ketiga, RUU akan mempercepat arus konversi tanah pertanian demi kepentingan bisnis semata; Keempat, RUU memperbesar peluang kriminalisasi dan diskriminasi hak petani dan masyarakat adat; Kelima, RUU ini anti-reforma agraria dan keadilan sosial dengan kehendak mengubah UUPA 1960 sehingga sudah pasti bertentangan dengan Ideologi Pancasila dan UUD 1945 Pasal 33.

Di negeri agraris ini, jutaan petani, nelayan, dan masyarakat adat menggantungkan hidup mereka dari tanah dan sumber agraria lain di pedesaan, pesisir dan pelosok-pelosok negeri. Jika RUU ini disahkan, nasib dan keberlangsungan hidup mereka akan terancam. Tanah-tanah dan sumber penghidupan mereka akan semakin mudah diambil-alih oleh korporasi dan kelompok pemodal besar.

Menurut pandangan kami, DPR dan Pemerintah harus menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang tidak sesuai dengan situasi sosial hari ini. Pemaksaan RUU akan lahirkan keresahan di tengah publik. Masyarakat yang KECEWA dengan penanggulangan wabah, tekanan ekonomi, ancaman PHK, represi di wilayah konflik agraria akan bertemu dengan kekecewaan masyarakat kepada DPR karena bersikukuh tetap melanjutkan RUU anti rakyat ini. Apabila diabaikan, gejolak ini akan memaksa mobilisasi massa secara besar-besaran. Petani, buruh, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa, perempuan dan kelompok lainnya yang terancam dengan RUU ini seolah telah dipancing oleh Negara sendiri untuk melakukan mobilisasi. Situasi ini akan berdampak terhadap kebijakan dan usaha pemerintah dalam mencegah penyebaran wabah pandemi Covid-19 itu sendiri.

Ada banyak hal yang SEPATUTNYA dilakukan DPR dalam situasi krisis saat ini sebagai wujud tanggung jawab Konstitusi Negara, sebagaimana yang menjadi tujuan bernegara kita dalam Pembukaan UUD, yakni melindungi segenap warga negara.

Maka SEPATUTNYA:

  • DPR menghentikan pembahasan RUU Cipta Kerja, karena kebijakan ini BUKANLAH jalan keluar bagi ekonomi Indonesia, apalagi bagi kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya RUU ini mengancam keselamatan hidup rakyat, buruh, petani, nelayan, masyarakat adat sehingga akan menimbulkan gelombang penolakan yang luas dari masyarakat sipil;
  • DPR awasi kinerja pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid 19 untuk meminimalisir jumlah korban, mencegah menjalar lebih luas bahkan hingga ke desa-desa. Menyadari fasilitas dan tenaga kesehatan yang tidak memadai dan merata, DPR mesti meminta keterangan pemerintah atas situasi ini.
  • DPR sebaiknya mendorong dan memastikan agar pemerintah menggunakan kerangka peraturan perundang-undangan yang tepat. Penetapan Darurat Sipil yang dilemparkan pemerintah dan dibiarkan DPR adalah bukti bahwa pemerintah maupun parlemen telah abai dalam menggunakan kerangka hukum yang tepat untuk menanggulangi wabah virus serta dampak lanjutannya.
  • DPR melakukan pengawasan anggaran penanggulangan bencana non alam virus Covid-19 ini sehingga benar-benar tepat sasaran, bermanfaat bagi perlindungan keselamatan rakyat atas penyebaran wabah ini. Apalagi wabah ini telah menyebabkan krisis ekonomi di tengah-tengah rakyat.
  • DPR memastikan pemerintah menangani dampak meluas sosial-ekonomi dari wabah Covid-19 dengan memastikan ketersediaan kebutuhan pokok masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah selama status darurat Kesehatan.
  • DPR mengawasi kinerja pemerintah dalam menuntaskan konflik agraria. Memastikan pemerintah, aparat keamanan dan perusahaan (swasta dan BUMN) untuk menghentikan tindakan yang memperkeruh situasi agraria, yakni penggusuran, terror, kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat di tengah situasi darurat saat ini. Lindungi hak-hak petani yang tengah mempersiapkan panen dan distribusi pangannya.

Kewajiban menjaga situasi yang kondusif di saat krisis bukan hanya tugas rakyat, tapi juga tugas DPR dan Pemerintah! Oleh sebab rakyat yang ditekan dari berbagai aspek kehidupannya, dapat menekan balik Negara yang gagal jalankan fungsinya.

Demikian pernyataan ini kami buat agar menjadi perhatian bagi semua pihak

INDONESIA, 04 Maret 2020

Hormat Kami,
Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA)

1. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
2. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
3. Persatuan Pergerakan Petani Indonesia (P3I)
4. Aliansi Petani Indonesia (API)
5. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
6. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
7. Solidaritas Perempuan
8. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
9. Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
10. Perkumpulan HuMa
11. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP)
12. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI)
13. Elpagar, Kalimantan Barat
14. FARMACI
15. Forsda Kolaka, Sulawesi Tenggara
16. Forum Komunikasi Petani Kendal (FPPK)
17. Forum Masyarakat Labuhan Batu (FORMAL)
18. Forum Nelayan Togean
19. Forum Pelajar Mahasiswa Rakyat (FPMR), Tasikmalaya
20. Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG)
21. Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB)
22. Forum Perjuangan Rakyat Mojokerto
23. Himpunan Tani Masyarakat Banjarnegara (Hitambara)
24. Kelompok Kajian dan Advokasi Tantular, Mojokerto
25. Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM), Sumatra Utara
26. LBH Cianjur
27. LBH Progresif Toli-Toli
28. LBH Serikat Petani Pasundan (LBH SPP)
29. Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Sulawesi Selatan
30. Lidah Tani, Blora
31. Masyarakat Adat Moronene Hukaea Laeya, Bombana
32. Organisasi Tani Jawa Tengah (Ortaja)
33. Organisasi Tani Lokal Blongko dan Ongkaw 3, Minahasa Selatan
34. Organisasi Tani Lokal Ratatotok, Minahasa Tenggara
35. Paguyuban Petani Aryo Blitar (PPAB)
36. Pergerakan Petani Banten (P2B)
37. Persatuan Petani Cianjur (PPC)
38. Persatuan Petani Jambi (PPJ)
39. Persatuan Petani Siantar Simalungun (SPSS)
40. Persatuan Rakyat Salenrang Maros
41. Puspaham, Kendari
42. Rukun Tani Indonesia (RTI)
43. SEPETAK Karawang
44. Serikat Nelayan Teluk Palu (SNTP)
45. Serikat Petani Badega (SPB), Garut
46. Serikat Petani Batanghari (SPB), Jambi
47. Serikat Petani Gunung Biru (SPGB), Batu
48. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Kalimantan Barat
49. Serikat Petani Lumajang (SPL)
50. Serikat Petani Majalengka (SPM)
51. Serikat Petani Pasundan – Ciamis (SPP Ciamis)
52. Serikat Petani Pasundan – Garut (SPP Garut)
53. Serikat Petani Pasundan – Pangandaran (SPP Pangandaran)
54. Serikat Petani Pasundan – Tasikmalaya (SPP Tasikmalaya)
55. Seikat Petani Serdang Bedagai (SPSB), Sumatra Utara
56. Serikat Petani Sriwijaya (SPS)
57. Serikat Rakyat Binjai Dan Langkat (Serbila)
58. Serikat Tani Bengkulu (STaB)
59. Serikat Tani Independen (Sekti), Jember
60. Serikat Tani Independen Pemalang (STIP)
61. Serikat Tani Indramayu (STI)
62. Serikat Tani Kambo Trigona, Palopo
63. Serikat Tani Kerakyatan Sumedang (STKS)
64. Serikat Tani Konawe Selatan (STKS)
65. Serikat Tani Kontu Kowuna, Muna
66. Serikat Tani Likudengen Uraso
67. Serikat Tani Sigi (STS), Sulawesi Tengah
68. Serikat Tani Tebo (STT), Jambi
69. SITAS Desa, Blitar
70. Sunspirit, NTT
71. Wahana Tani Mandiri, NTT
72. Perkumpulan Wallacea, Palopo
73. Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR)
74. Yayasan Tanah Merdeka
75. Sajogyo Institute
76. Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia
77. Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI)
78. Greenpeace Indonesia
79. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
80. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
81. Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)
82. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
83. Epistema Institute
84. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
85. Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU-KSN)
86. Indonesia Centre for Enviromental Law (ICEL)
87. FIAN Indonesia
88. Indonesia for Global Justice (IGJ)
89. Perkumpulan Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), Jatim
90. Yayasan Bina Desa
91. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)
92. Konfederasi Serikat Nasional
93. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)