Industri Ekstraktif dan Sektor Keuangan: Menengok Masa Lampau, Menatap Masa Depan

Foto oleh Hijauku.com


Industri ekstraktif didefinisikan dengan cara yang berbeda-beda.  Ada yang memasukkan segala ekstraksi (pengambilan) sumberdaya alam sebagai bagian dari industri ini; ada pula yang sekadar memasukkan pengambilan material dari dalam Bumi.  Pendapat yang belakangan ini lebih banyak dianut.  Konsekuensinya, industri ekstraktif dipandang mencakup minyak dan gas serta pertambangan saja.  Extractive Industries Transparency Initiative, sebuah inisiatif paling terkemuka di bidang ini, juga hanya memasukkan migas dan tambang sebagai bagian dari industri ekstraktif. Demikian juga ketika World Bank Group mendefinisikannya dalam Extractive Industries Review.
Dampak industri ekstraktif sendiri sudah sangat diketahui.  Sejak dekade 1990an, dunia dipenuhi dengan berbagai studi kasus dan analisis yang lebih luas tentang industri ini.  Kulminasinya adalah pada Extractive Industries Review, yang diselenggarakan pada tahun 2004.  Laporan kegiatan tersebut, Striking a Better Balance, menunjukkan bahwa industri migas dan tambang hingga periode tersebut telah menimbulkan ketimpangan dalam risiko dan manfaat.  Risiko terbesar ditanggung oleh mereka yang berada di tempat di mana sumberdaya alam diambil (masyarakat dan negara), sementara manfaat terbesar dinikmati oleh mereka yang mengambilnya (perusahaan dan investor).
Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif
Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
20180118 – Winarni, Jalal_Industri Ekstraktif dan Sektor Keuangan

Press Release: Masyarakat Dayak Hibun Melaporkan RSPO ke OECD di Swiss

Jakarta, 23 Januari 2018 – Masyarakat Adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang, Desa Kampuh, Kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat melaporkan RSPO dibawah mekanisme pengaduan perkara khusus OECD di Swiss. Pengaduan masyarakat disampaikan melalui mekanisme pengaduan perkara khusus (specific instance) National Contact Point di Swiss, negara anggota OECD dimana RSPO terdaftar secara hukum.
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah badan kerjasama dan pembangunan ekonomi antar pemerintah negara-negara maju yang bertujuan untuk kerjasama ekonomi dan pembangunan. Untuk mencapai tujuan kerjasama tersebut, OECD merumuskan dan memberlakukan Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional dengan tujuan termasuk melindungi dan memajukan pernghormatan hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat terkena dampak perusahaan-perusahaan dari negara-negara anggota OECD.
Masyarakat berpendapat bahwa RSPO telah gagal mematuhi berbagai peraturan dan prosedur RSPO sendiri, dan bahwa sebagai akibat dari kegagalan-kegagalan tersebut, juga RSPO telah gagal memenuhi apa yang diharapkan Masyarakat terhadap RSPO berdasarkan kewajiban dalam Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional (OECD Guidelines on Multinational Enterprises).
Masyarakat menyatakan bahwa RSPO telah gagal (1) melanggar Bab IV (3) untuk “berusaha untuk mencegah atau mengurangi dampak hak asasi manusia (HAM) yang merugikan yang terkait langsung dengan kegiatan bisnis, produk atau layanan mereka melalui suatu hubungan bisnis, walaupun tidak berkontribusi terhadap dampak tersebut”; dan/atau (2) melanggar Bab IV (5) untuk “melakukan uji tuntas HAM yang sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks kegiatan serta tingkat keparahan risiko dampak buruk terhadap HAM”.
Pengaduan perkara khusus disebabkan oleh tindakan PT Mitra Austral Sejahtera (“PT MAS”), anak perusahaan yang sepenuhnya dimiliki oleh Perusahaan Multinasional Malaysia bernama Sime Darby Berhad (“Sime Darby”), yang merupakan anggota dan pendiri RSPO. Masyarakat menduga bahwa PT MAS dan Sime Darby secara melanggar hukum telah menyingkirkan masyarakat dan mengancam untuk terus secara tidak sah menyingkirkan mereka dari lahan tradisional mereka sehingga tanah seluas 1.462 hektar dapat terus digunakan untuk kebun sawit perusahaan. Sebagai akibatnya masyarakat telah mengalami dan/atau HAM fundamental masyarakat dinegasikan dan diabaikan.
RSPO adalah forum multipihak untuk produksi minyak sawit berkelanjutan, terdaftar dan badan hukum Swiss, wajib dan secara hukum terikat Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Menurut standar RSPO, produksi minyak sawit berkelanjutan tidak menghilangkan hak hukum, hak adat dan hak lainnya; mematuhi FPIC dan menghormati hak asasi manusia. Standar RSPO khususnya Kriteria 6.13 penghormatan hak asasi manusia mengadopsi Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
Sejak 2007, Sime Darby dan PT MAS tidak berusaha menyelesaikan dan melakukan perbaikan atas pelanggaran hukum dan peraturan nasional (Kriteria 2.1); gagal membuktikan bahwa “hak untuk menggunakan” Tanah Sengketa yang tidak dapat diperkarakan oleh Masyarakat Kerunang dan Entapang (Kriteria 2.2); belum memberlakukan dan menerapkan suatu proses penyelesaian konflik yang dapat diterima dan disetujui oleh Masyarakat untuk menyelesaikan “konflik tanah” (Kriteria 2.2.4); gagal memperoleh FPIC Masyarakat (Kriteria 2.3); dan (5) gagal membuktikan bahwa Masyarakat telah memahami dampak hukum dan implikasi lainnya akibat dari kegiatan perusahaan di wilayah tanah masyarakat, dan khususnya “implikasi status hukum tanah masyarakat pada saat berakhirnya konsesi atau HGU perusahaan, ketika PT MAS secara nyata tidak melakukannya (Kriteria 2.3.2 (c)).
Oktober 2012, masyarakat menyampaikan pengaduan kepada RSPO perkara kasus konflik tanah PT Mitra Austral Sejahtera anak perusahaan Sime Darby Plantation. Pengaduan berisi 14 tuntutan terkait dengan hak tanah, masalah kemitraan dan janji-janji perusahaan. Dalam pengaduan tersebut, masyarakat mengajukan pilihan solusi penyelesaian tuntutan masyarakat. Pertama, Complaints Panel RSPO memutuskan agar Sime Darby Plantation mengembalikan tanah masyarakat. Kedua, Dispute Settlement Facility (DSF) memfasilitasi dialog penyelesaian masalah kemitraan, janji-janji perusahaan dan penataan ulang kebun plasma.
Sayangnuya, hingga tahun 2017 Complaints Panel RSPO tidak memberikan tanggapan dan belum berhasil mengambil keputusan tertulis mengenai tuntutan masyarakat. Dispute Settlement Facility tidak berhasil mewujudkan penyelesaian masalah masyarakat. Masyarakat kecewa dan frustasi kegagalan proses penanganan pengaduan RSPO menyelesaikan konflik tanah PT MAS, anak perusahaan Sime Darby Plantation, anggota RSPO.
Masyarakat dan TuK INDONESIA melihat bahwa Bab IV (3) Panduan OECD jelas berlaku untuk RSPO dengan pertimbangan:
Pertama, penerbitan atau penolakan sertifikat adalah suatu “kegiatan bisnis”. Begitu juga dengan kegiatan mekanisme pengaduan;
Kedua, penerbitan sertifikat kepada anggota meskipun gagal menghormati HAM dari suatu Masyarakat yang terkena dampak proyeknya akan “terkait langsung” dengan dampak HAM yang merugikan masyarakat, karena jika dibiarkan akan mendorong anggotanya untuk berpikir bahwa perusahaan dapat mengabaikan hak-hak tersebut tanpa risiko sanksi; Jika perusahaan masih bisa menjual produk bersertifikat, imbalannya mencegah atau mengurangi dampak buruk akan hilang. Kegagalan menjalankan mekanisme pengaduan dengan baik akan memiliki dampak yang sangat mirip selama kegagalan terus berlanjut;
Ketiga, dengan cara yang sama jika RSPO gagal menangguhkan atau mencabut sertifikat Sime Darby akibat konflik PT MAS yang tidak patuh sampai memperbaiki cara-cara kegiatannya, atau menyelidiki suatu pengaduan masyarakat secara layak dan tepat waktu, RSPO gagal “mencari jalan untuk mengurangi” dampak buruk dari perilaku anggota; dan
Keempat, organisasi RSPO jelas-jelas dalam “hubungan bisnis” dengan Sime Darbvy dan PT MAS anggotanya, yang bersedia membayar iuran biaya keanggotaan dan mematuhi peraturan RSPO dengan imbalan keuntungan keanggotaan.
Masyarakat telah merumuskan Proposal untuk Solusi (Proposal for Solution) kepada Sime Darby Plantation. Proposal berisi tahapan dan kegiatan pengembalian tanah adat masyarakat Kerunang dan Entapang. Sayangnya RSPO gagal membantu dan menyakinkan Sime Darby Plantation agar menerima tawaran solusi masyarakat. Masyarakat siap menyampaikan solusi bagaimana NCP Swiss seharusnya menerapkan mekanisme dan upaya pemulihan HAM yang bertanggung jawab, berkelanjutan dan berkeadilan bagi masyarakat RSPO dan anggotanya.
Sebagai anggota OECD, National Contact Point (NCP) Swiss dapat memfasilitasi, membantu masyarakat dan RSPO memulihkan hak masyarakat adat Dayak Hibun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang yang sesuai dengan semangat Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia serta Panduan OECD tentang Perusahaan-Perusahaan Multinasional.
Masyarakat percaya NCP Swiss memiliki komitmen, profesional dan akuntabel dalam merumuskan praktek terbaik pemulihan HAM dalam penerapan dan pemajuan kebijakan Panduan OECD dan selaras dengan semangat pembangunan berkelanjutan dan Hak Asasi Manusia.
Media Contact:
Redatus Musa 081380663822, Kepala Dusun Entapang
Edisutrisno 081315849153, TuK INDONESIA
Rini Kusnadi 082260152595, TuK INDONESIA

Siaran Pers: Demi Meningkatkan Profit Bisnis, Astra Agro Lestari/Astra Internasional Tbk Penjarakan Petani

Jakarta-Diusianya yang ke 60, Astra Internasional Tbk menjadi perusahaan yang menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia dengan berbagai bidang usaha yang dimiliki. Mulai dari bisnis otomotif hingga perkebunan kelapa sawit yang dikelola di bawah Astra Agro Lestari ( AAL) yang sebagian besar kebunnya ada di Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Beberapa anak perusahaan di bawah Astra Agro Lestari telah mengantongi sertifikat ISPO (Indonesia Sustainable Palm Oil), konon sebagai sebuah komitmen dan menunjukkan perusahaan dengan predikat berkelanjutan.
Ironiya, Astra Agro Lestari yang berada di bawah payung Astra Internasional Tbk mempekuat jejaring bisnisnya dan memperbesar asset dan keuntungannya di perkebunan sawit melalui praktek buruk yang melanggar hak asasi manusia seperti yang dilakukan oleh PT. Mamuang yang saat memenjarakan 4 orang petani Desa Polanto Jaya Donggala Sulawesi Tengah di Pengadilan Negeri Mamuju Utara dengan tuduhan pencurian buah sawit di tanah milik petani yang diklaim oleh PT. Mamuang masuk dalam area konsesinya. Bukan hanya satu kasus itu, anak perusahaan Astra Agro Lestari lainnya, PT. Agro Nusa Abadi (ANA) dan PT. Lestari Tani Teladan (LTT). “Prestasi” AAL dalam perkebunan sawit dan menjadi pemain terbesar di Sulteng dengan luas konsesi mencapai 111.304 hektar, dilandasi dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia, konflik agraria, mengkriminalisasi rakyat yang mempertahankan ruang hidupnya, dan juga pencemaran dan penghancuran lingkungan hidup.
Kesemua praktek buruk Astra Agro Lestari/Astra Internasional Tbk untuk mengakumulasi keuntungan harus dihentikan. Astra Internasional Tbk harus bertanggungjawab terhadap anak-anak perusahaannya di lapangan.
Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah menyatakan “kami mendesak agar Astra Internasional Tbk menghentikan seluruh praktek buruk yang dijalankan oleh anak-anak bisnisnya, diantaranya menghentikan kriminalisasi terhadap petani, khususnya 4 orang petani yang dipenjarakan oleh PT. Mamuang, serta berhenti menjalankan bisnisnya yang melanggar HAM dalam seluruh rantai pasoknya, tetapi juga melanggar aturan untuk regulasi”. Dan kesemuanya semata-mata untuk meningkatkan profit perusahaan, Abdul Haris menegaskan”.
Terlebih kita tahu, bahwa bisnis yang dijalankan oleh Astra Agro Lestari didukung oleh pendanaan yang begitu besar baik Bank Internasional antara lain OCBC, Mizuho Financial Group, Sumitomo Group, Mitsubishi UFJ- Financial Group, Bank Pan Indonesia, DBS, Standard Chartered, HSBC, CommonWealth Bank of Australia, dan Bank Mandiri”, karenanya sektor pendanaan ini juga harus bertanggungjawab terhadap praktek buruk yang dijalankan oleh Astra Agro Lestari, ujar Vera Falinda dari TuK Indonesia.
WALHI, TuK Indonesia dan Sawit Watch menilai bahwa semua praktek buruk perusahaan ini tidak lepas dan dilegitimasi oleh kebijakan dan berbagai fasilitas kemewahan dari negara lainnya, antara lain terkait dengan pengamanan perusahaan oleh aparat keamanan. Karenanya, kami juga mendesak kepada negara untuk menjalankan fungsi dan perannya untuk menjalankan aturan terhadap perusahaan-perusahaan termasuk group besar seperti Astra Agro Lestari yang diduga melanggar aturan dan regulasi, melanggar hak asasi manusia dengan penegakan hukum yang tegas, termasuk mereview perizinan yang dimiliki oleh perusahaan.

Siaran Pers Bersama: Terus Menuai Konflik Agraria dan Lingkungan Hidup, Komitmen Astra Agro Lestari Dipertanyakan

Jakarta-Hingga saat ini, empat orang petani desa Polanto Jaya Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah masih harus menjalani proses persidangan di PN Mamuju Utara Sulawesi Barat, atas tuduhan pencurian buah sawit PT. Mamuang, anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL). Konflik dengan masyarakat yang melibatkan keterlibatan group besar perusahaan perkebunan sawit ini bukanlah baru kali ini. Belum lama ini, salah satu anak perusahaan PT. Agro Nusa Abadi (ANA) di Morowali Utara, diduga kuat menggunakan militer untuk melaukan pembungkaman terhadap petani sawit di wilayah perusahaan, dengan pos-pos pengamanan militer yang berada di wilayah perusahaan.
Direktur WALHI Sulawesi Tengah, Abdul Haris menyatakan, “Astra Agro Lestari merupakan salah satu pelaku bisnis yang menguasai sumber-sumber agraria begitu besar di bumi Sulawesi, khususnya Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat. Dengan luasan HGU dan IUP mencapai 111.304 hektar dari total luas perkebunan sawit mencapai 713.217 hektar, Astra Agro Lestari menduduki posisi teratas yang menguasai industri perkebunan sawit di Sulawesi Tengah, disusul Smart dan Kencana Agri. Situasi inilah yang berkontribusi pada semakin krisisnya bumi Celebes. Semakin kuatnya kuku bisnis yang ditancapkan oleh AAL di sektor perkebunan sawit, berjalan beriringan dengan berbagai kasus dan konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah”. “Ironinya, seluruh potret buruk pengelolaan Industri perkebunan sawit mendapat lagitimasi dari Negara, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemerintah Daerah. Tidak mengherankan jika penguasan atas ruang di wilayah Sulawesi Tengah, hampir 30 persen dikuasai oleh Korporasi, sementara di sisi yang lain, ruang hidup dan wilayah kelola rakyat terus terancam dan semakin mengecil”, tambah Haris.
Kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh PT. Mamuang terhadap petani Desa Polanto Jaya dan konflik agraria lainnya patut dipertanyakan, mengingat PT. Mamuang dan anak perusahaan AAL lainnya telah mengantongi sertifikat ISPO, yang konon memiliki ikatan yang bersifat legally binding, pada faktanya di lapangan, berbagai konflik dan kasus lingkungan hidup. ISPO tidak mampu menjawab konflik struktural agraria,  maka sudah sepatutnya ISPO harus turut bertanggungjawab atas kasus kriminalisasi dan berbagai konflik agraria yang terjadi di konsesi Astra Agro Lestari.
Astra Agro Lestari sedikitnya memiliki 413.138 hektar kebun sawit di Indonesia. Pada tahun 2013, AAL memiliki aset lebih kurang 15 triliun ini mendapatkan sebagian dananya dari beberapa Bank antara lain OCBC, Mizuho Financial Group, Sumitomo Group, Mitsubishi UFJ-Financial Group, Bank Pan Indonesia, DBS, Standard Chartered, HSBC, Commonwealth Bank of Australia dan Bank Mandiri. Karenanya, lembaga pendanaan ini juga perlu bertanggungjawab atas tindakan dan praktek AAL di lapangan yang diduga banyak melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, tegas Edi Sutrisno, Deputi Direktur Transformasi untuk Keadilan Indonesia.
Pemerintah terus menutup mata atas berbagai fakta pelanggaran HAM dan penghancuran lingkungan hidup yang terjadi di perkebunan sawit dalam seluruh cerita rantai pasoknya, termasuk yang berada di konsesi group-group besar perusahaan yang konon memiliki komitmen “sawit berkelanjutan”. “dari pada terus mengelak dari fakta-fakta ini dan membenarkan praktek buruk perusahaan, ketimbang berupaya membenahi tata kelola sumber daya alam di dalam negeri dan melindungi hak-hak petani, masyarakat adat/masyarakat lokal yang terus terancam oleh perkebunan kelapa sawit. Terlebih berupaya menegosiasikan persoalan HAM melalui perundingan perdagangan seperti Indonesia-EU CEPA. HAM tidak untuk dinegosiasikan, melainkan dipenuhi dan dilindungi oleh negara dari ancaman serangan pihak ketiga, dalam hal ini korporasi perkebunan besar kelapa sawit.
Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch menegaskan bahwa “konflik agraria yang terjadi di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat yang melibatkan group besar Astra Agro Lestari dan pendekatan keamanan yang digunakan, bertentangan dengan komitmen Presiden untuk menjalankan agenda reforma agraria”. Karenanya, kami mendesak pemerintah Indonesia untuk segera mereview HGU perusahaan yang terlantar, HGU yang didapatkan dengan cara melanggar hukum dan aturan dan atau HGU yang berkonflik dengan masyarakat, ujar Inda dalam penutup siaran pers ini.
 
Jakarta, 16 Januari 2018.
Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi
1.     Abdul Haris, Direktur WALHI Sulawesi Tengah di 082191952025
2.     Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
3.     Inda Fatinaware, Direktur Sawit Watch di 0811448677
4.     Edi Sutrisno, Deputi Direktur TuK Indonesia di 087711246094
5.     Malik Diadzin, Staf Media dan Komunikasi Publik WALHI di 081808131090