Studi Kasus: Taktik Intimidasi dan Kriminalisasi oleh Perusahaan Perkebunan PT Malisya Sejahtera di Desa Tiberias, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara

Pada bulan Mei 2017, personil keamanan dari PT Malisya Sejahtera menghancurkan dan membakar rumah-rumah masyarakat Tiberias di Sulawesi Utara. Mereka didukung oleh militer dan polisi, yang memukuli beberapa orang dan menahan 40 anggota masyarakat, termasuk kepala desa. Banyak penduduk desa dapat menyelamatkan diri dengan cara kabur ke daerah pegunungan dan mencari perlindungan di sana.
Kejadian ini adalah lanjutan konflik yang telah terjadi sejak tahun 2015, saat PT MS mulai merampas tanah masyarakat untuk menjalankan perkebunan kelapa sawit dan kelapa. Untuk mengusir masyarakat dari tanah tersebut, perusahaan ini telah merusak beberapa taman, sawah, dan sumur-sumur air minum.
Masyarakat telah mengirimkan pengaduan ke tingkat pemerintahan yang berbeda-beda dan masyarakat pun telah mencatatkan dua kasus ke pengadilan melawan perusahaan tersebut, menuduh perusahaan itu tidak memiliki izin yang tepat untuk beroperasi. Pada bulan Juli 2017, masyarakat memenangkan satu kasus pengadilan namun kalah pada kasus yang lainnya, sehingga semua aktor berada dalam kelimbungan hukum, karena pengadilan memutuskan bahwa Izin Usaha Perkebunan (IUP) perusahaan adalah tidak legal, namun Hak Guna Usaha (HGU) mereka legal. Namun, IUP adalah syarat untuk mendapatkan HGU, sehingga, muncul pertanyaan, dapatkah HGU menjadi sah jika IUP mereka tidak legal?
Konflik ini masih belum selesai dan masyarakat Tiberias masih terus mengalami intimidasi, karena PT MS mengajukan banding terhadap Putusan tersebut.
PT. MS adalah perusahaan perkebunan lokal dan tidak mudah untuk menemukan informasi mengenai pemilik sebenarnya atau beneficiary owner-nya. Namun, menurut masyarakat yang saat itu ditemui oleh pihak perusahaan mengatakan, bahwa pihak perusahaan pernah mengatakan kalau perusahaan tersebut merupakan anak perusahaan Indofood Agri Resources Ltd yang dikuasai oleh Salim Group.
Baik dimiliki oleh Grup Salim atau tidak, PT MS dapat beroperasi karena memiliki uang. Entah bagaimana, pemiliknya bisa mendapatkan pembiayaan dari para pemodal yang tampaknya tidak memiliki kebijakan dan tidak melakukan uji tuntas yang kuat untuk memastikan bahwa klien mereka tidak terlibat di dalam konflik sosial dan lingkungan hidup. Sebuah penilaian oleh Forests and Finance1 telah menunjukkan bahwa tidak ada satupun dari bank-bank utama di Indonesia memiliki kebijakan resiko Sosial, Lingkungan Hidup, dan Tata Kelola atau Social, Environmental and Governance (ESG) yang tersedia untuk publik, yang berkaitan dengan klien-klien mereka di sektor kelapa sawit.
Para pemodal bertanggung jawab atas dampak-dampak yang diakibatkan oleh klien-klien mereka dan terpapar pada resiko-resiko keuangan dan reputasi yang diasosiasikan dengan mereka. Untuk mencegah paparan terhadap resiko tersebut, para pemodal PT MS harus sesegera mungkin mengadopsi kebijakan-kebijakan ESG. Mereka juga harus terlibat dengan PT MS dan mensyaratkan perusahaan tersebut untuk menyelesaikan konflik dengan cara yang dapat memuaskan masyarakat setempat juga, dan mereka harus melakukan disinvestasi terhadap PT MS dan perusahaan-perusahaan yang berkaitan dengan perusahaan tersebut, jika perusahaan-perusahaan itu tidak melaksanakannya.
Karena para pemodal enggan untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus mewajibkan para pemodal untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan ESG yang sesuai dengan sektor spesifik mereka. Tindakan ini akan memperkuat Peraturan yang dikeluarkan oleh OJK pada bulan Juli, mengenai pelaksanaan keuangan yang berkelanjutan untuk lembaga-lembaga layanan keuangan, perusahaan-perusahaan penerbit (issuer companies), dan badan usaha-badan usaha milik negara (public companies).
Studi Kasus Tiberias..
 
 

PRESS RELEASE: Laksanakan Reforma Agraria di Provinsi Bengkulu

Jakarta, 11 Desember 2017, Konflik Agraria menjadi catatan kelam yang hampir terjadi di seluruh Wilayah di Indonesia, salah satunya di Kabupaten Seluma Provinsi Bengkulu. Konflik ini mengakibatkan masyarakat terancam kehilangan hak atas tanah dan perkebunannya, bahkan konflik ini sudah mengakibatkan 8 orang sempat mengalami kriminalisasi. Menurut Osian Pakpahan (Ketua Forum Petani Bersatu Seluma), PT. SIL beroperasi di kampung mereka tanpa sosialiasi dan secara tiba-tiba mengklaim lahan masyarakat sebagai lahan HGU-nya, bahkan pada 2011 perusahaan yang beraktivitas di sektor perkebunan kelapa sawit ini melakukan penggusuran lahan masyarakat dengan melibatkan tangan-tangan negara berseragam cokelat.
Enam tahun berselang, eskalasi konflik antara Masyarakat Desa Tumbuan, Lunjuk, Pagar Agung, Talang Prapat (Kecamatan Lubuk Sandi dan Kecamatan Seluma Barat), Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu dengan PT. SIL semakin memanas. Menyikapi konflik ini, Walhi menegaskan bahwa sudah saatnya negara hadir melindungi masyarakat dan memulihkan haknya yang terancam oleh investasi perkebunan kelapa sawit. “Sudah saatnya negara hadir menyelesaikan konflik yang ada di Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Peluang penyelesaian konflik ini bisa ditempuh dengan Program Tanah Objek Reforma Agraria yang disebutkan negara sebagai salah satu program prioritas untuk memulihkan hak masyarakat,” sebut Sawung, Pengkampanye Walhi Nasional.
Meike Inda Erlina, Pengkampanye Walhi Bengkulu menyebutkan bahwa pilihan penyelesaian konflik dengan skema TORA merupakan suatu keharusan yang harus dilakukan negara. “Pemulihan hak masyarakat melalui skema TORA menjadi penting dalam penyelesaian konflik ini, terlebih dalam proses penerbitan izin ditemukan banyak kejanggalan karena ada indikasi praktik korupsi melalui penerbitan HGU. Selain itu, ada pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak PT SIL melalui praktik kriminalisasi dan perampasan hak-hak masyarakat.
Selain perusahaan dan pemerintah, lembaga keuangan merupakan pendorong besar dibalik konflik agraria yang terjadi. “Lembaga pembiayaan tidak bisa menutup mata atas keterlibatan konfik konsumennya. Lembaga pembiayaan harus bertanggung jawab atas dampak konflik yang membawa malapetaka akibat pembiayaan yang tidak akuntable atas perusahaan yang mereka berikan jasa keuangannya,” Vera Falinda, Program Officer TuK INDONESIA.
Narahubung :

  • Saung-WALHI Nasional (0815-6104-606)
  • Osian Pakpahan-FPB Seluma (0812-7847-2378)
  • Meike Inda Erlina-WALHI Bengkulu (0852-6807-0230)
  • Vera Falinda-TuK Indonesia (0821-7788-9183)

Siaran Pers: Warga Desa Tiberias: “Segera Selesaikan Konflik di Tanah Kami!”

Jakarta, 10 Desember 2017 – Meskipun program reforma agraria menjadi prioritas pemerintahan Joko Widodo, nyatanya konflik agraria masih banyak terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Menurut data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) sepanjang tahun 2016 sedikitnya telah terjadi 450 konflik agraria dengan luasan wilayah 1.265.027 hektar dan melibatkan 86.745 KK yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Jika di tahun sebelumnya tercatat 252 konflik agraria, maka terdapat peningkatan signifikan di tahun ini, hampir dua kali lipat angkanya.
Salah satu konflik agraria yang masih terjadi hingga saat ini adalah konflik antara masyarakat Desa Tiberias, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara dengan PT. Malisya Sejahtera (PT. MS), perusahaan perkebunan kelapa. Konflik pecah ketika pada tahun 2015, Perusahaan datang dan mengklaim lokasi tersebut miliknya. Masyarakat harus menyerahkan hasil panennya kepada PT. MS, jika tidak maka masyarakat tidak diperbolehkan bercocok tanam di lokasi yang diklaim oleh perusahaan.
Mendapati hal seperti itu, masyarakat tentu melawan. Menurut masyarakat tanah tersebut merupakan tanah milik negara eks Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan yang sudah habis yang kemudian dikelola oleh masyarakat.
“HGU yang dimiliki oleh PT MS yang digunakan untuk mengklaim lahan itu tidak sah dan ilegal, Izin HGU-nya keluar pada tanggal 31 Oktober 2001, sedangkan perusahaannya baru resmi didirikan pada 28 Juni 2002. Ada kejanggalan dalam proses penerbitannya, tidak mungkin izin keluar terlebih dulu, baru perusahaannya ada. Secara administrasi dan hukum ini cacat.” Ujar Abner Patras, perwakilan dari Masyarakat Tiberias.
Sejak saat itu pihak perusahaan terus melakukan intimidasi kepada masyarakat. Bahkan pihak perusahaan melakukannya dengan melibatkan institusi negara seperti Polri dan TNI. Tidak hanya intimidasi, pihak perusahaan bahkan melakukan pengrusakan bangunan-bangunan milik masyarakat dan mengkriminalisasi masyarakat yang melawan.
Puncaknya pada 2 Mei 2017, ketika itu masyarakat melakukan protes terhadap pemanenan yang dilakukan oleh PT MS dan Aparat TNI AD. Tak lama kemudian datang ratusan personil polisi dari Polres Bolmong yang kemudian mengobrak-abrik perkampungan Desa Tiberias, melepaskan tembakan dengan peluru dan gas air mata.
“Saat itu suasana sangat mencekam, masyarakat banyak yang melarikan diri, bangunan-bangunan ada yang dibakar. Sekitar 40 orang ditangkap dan ditahan tanpa ada alasan yang jelas. Sebagian dari mereka kemudian ditahan dan ditetapkan sebagai Tersangka dengan tuduhan melakukan penyerobotoan lahan, pencurian dan/atau pemufakatan jahat.” Tambah Abner
Namun apa yang dituduhkan kepada masyarakat tidak terbukti. Pengadilan Negeri Bolaang Mongondow memutuskan masyarakat tidak bersalah, mereka divonis bebas pada 28 September 2017.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk mempertahankan wilayah kelolanya adalah dengan melakukan upaya litigasi ke Peradilan Tata Usaha Negara. Mereka menggugat Izin Usaha Perkebunan (IUP-B) dan kemudian juga menggugat HGU milik perusahaan.
“ Dalam Gugatan IUP-B kami menang, tapi dalam Gugatan HGU kami dikalahkan. Tentu ini menjadi tanda tanya besar, karena untuk mendapatkan HGU harus terlebih dulu mempunyai IUP yang sah. Kami mengajukan banding atas Putusan HGU tersebut.” Jelas Theo Runtuwene, Direktur Eksekutif Walhi Suawesi Utara, salah satu pendamping masyarakat
“ Untuk itu kami meminta kepada semua pihak-pihak terkait seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), Pemerintah Daerah, Pihak Kepolisian dan TNI untuk membantu dalam penyelesaian Konflik yang terjadi di Tiberias,” tutup Edi Sutrisno, Deputi Tranformasi untuk Keadilan Indonesia.
Kontak:
Theo Runtuwene (082196902223)
Abdul Wahid (081381464445)

Penundaan dan Penjadwalan Ulang: Diskusi “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor”

Penundaan dan Penjadwalan Ulang
Diskusi “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor”
Indonesia memiliki berbagai komoditas perkebunan yang potensial, yaitu kelapa sawit, cokelat, karet, teh, kopi, pala, tebu, dan lain sebagainya. Dari berbagai komoditas tersebut, kelapa sawit menjadi yang paling diandalkan. Produk-produk turunan kelapa sawit memberikan kontribusi ekspor yang sangat besar, sehingga kelapa sawit menjadi salah satu penyumbang pemasukan terbesar bagi negara.
Namun, eksesnya adalah ekspansi kebun kelapa sawit terjadi secara besar-besaran di Indonesia. Termasuk di dalamnya konversi hutan dan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit. Seringkali pembukaan kebun sawit tidak diikuti dengan perhatian kepada aspek lingkungan dan sosial, termasuk hak-hak masyarakat, sehingga industri ini dipenuhi dengan banyak masalah.
Ekspansi kebun kelapa sawit ini tidak dapat dipisahkan dari investasi sawit yang dibiayai oleh bank dan investor. Sebagai intermediasi keuangan, bank terpapar dampak tidak langsung dari bisnis dan praktik/usaha kliennya, maka dari itu bank perlu bersikap hati-hati dalam mengucurkan dana pinjaman dengan melakukan penilaian risiko lingkungan, sosial dan tata Kelola (environment, social, and governance—atau yang biasa disingkat dengan ESG).
Oleh karenanya, bank perlu sekali menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai penyandang dana dan pengelola resiko. Mereka perlu dengan benar melakukan pembiayaan yang bertanggung jawab kepada debitur yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan kebunnya. Dengan demikian selain keberlanjutan perusahaan yang dibiayai (debitur), keberlanjutan bank, dan keberlanjutan atas hak-hak sosial, lingkungan dan masyarakat juga dapat terpenuhi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menunujukkan komitmennya dalam mewujudkan keuangan berkelanjutan di Indonesia. Selain dengan menelurkan Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan bersama dengan KLHK, OJK juga menggerakkan Indonesia First Movers on Sustainable Banking. Yang mutakhir, komitmen juga ditunjukkan dalam penerbitan POJK Nomor 51/POJK.03/2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik.
POJK tersebut dikeluarkan sebagai peraturan yang spesifik dan mengikat untuk seluruh pelaku sektor jasa keuangan dalam rangka mewujudkan sistem keuangan yang menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan. POJK ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan untuk menegakkan keberlanjutan di bidang perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non-bank. Meskipun regulasi tersebut belum sempurna, OJK sebagai regulator diharapkan dapat mengarahkan bank dan investor menerapkan prinsip-prinsip berkelanjutan di dalam proses dan praktik pendanaan atau investasi.
TuK INDONESIA sedianya akan mengadakan diskusi dengan topik “Kelapa Sawit Indonesia: Peran OJK, Bank dan Investor” pada 28 November 2017 di Bali, di antara deretan side event RT15 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). RSPO adalah sebuah asosiasi yang membuat dan menegakkan standar internasional dalam mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, sehingga roundtable yang mereka adakan selalu dihadiri oleh para pemangku kepentingan industri kelapa sawit, mulai dari perusahaan, bank, NGO lokal dan internasional, pemerintah, serta petani sawit dan masyarakat. Sehingga, RT15 RSPO adalah peluang yang baik untuk mendiskusikan peran OJK, bank dan investor dalam pembangunan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia.
Sayangnya, acara ini urung dilaksanakan. Meningkatnya status bahaya karena erupsi Gunung Agung membuat ditutupnya Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai sebagai titik jalur udara utama keluar dan masuk ke Bali. Para narasumber dan peserta yang telah menyatakan konfirmasi kehadirannya dalam acara tersebut tidak dapat hadir di Bali. Acara ini sedianya akan dihadiri oleh Bapak Edi Setijawan selaku Direktur Keuangan Berkelanjutan OJK, dan narasumber lainnya yaitu ahli-ahli dalam isu keuangan berkelanjutan, serta bank, yang akan mendiskusikan peran regulator dan pembiaya industri kelapa sawit Indonesia.
TuK INDONESIA akan berupaya mewujudkan diskusi ini dalam waktu dekat. Terutama, untuk menekankan pembagian peran dan kerjasama antara OJK, bank dan investor di dalam pembangunan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Bagaimanapun, transisi menuju keberlanjutan dalam industri ini tidak cukup hanya dilakukan dari sisi pelaku–perusahaan perkebunan dan manufakturnya; tapi juga perlu didukung oleh bank dan investor sebagai penyandang dana, OJK sebagai regulator, ISPO sebagai inisiatif nasional, serta RSPO sebagai inisiatif internasional dalam industri ini.