Seruan Koalisi Masyarakat Sipil Internasional atas Kebakaran Hutan, Lahan, dan Gambut

Jakarta, 27 April 2016

Karena kabut asap yang terus melanda kawasan Asia Tenggara, otoritas keuangan diminta memperkenalkan sanksi darurat kepada bank agar menghentikan pembiayaan kepada nasabah di sektor kehutanan yang menyebabkan terjadinya kabut asap.
Kepada seluruh pihak yang terkait dan berkepentingan,

Kebakaran yang menyebabkan terjadinya kabut asap di kawasan Asia Tenggara pada tahun 2015 telah menyebabkan bencana lingkungan dan krisis kesehatan bagi jutaan orang serta kerugian perekonomian Indonesia lebih dari US$16 miliar.[1] Saat ini, insiden kebakaran telah mulai dilaporkan di Indonesia dan Malaysia sebagai permulaan musim kebakaran tahun 2016 .
Bank komersial dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat merupakan sumber penyedia modal utama yang memicu perluasan industri kelapa sawit dan kertas serta bubur kertas di Asia Tenggara, atau dengan kata lain, bank komersial penyedia modal jelas terlibat sebagai penyebab kebakaran. Bank tidak boleh mendukung klien atau kelompok perusahaan ketika melanggar undang-undang anti-pembakaran hutan/lahan, namun kenyataannya, dukungan tetap terus diberikan.
Sebagai lembaga yang mungkin mendapat keuntungan dari tindakan ilegal nasabahnya, perbankan secara langsung berhubungan dan bertanggung jawab untuk mengatasi dampak berbahaya dari aktivitas ilegal nasabah tersebut. Dengan absennya kontrol yang memadai dan perlindungan yang diberlakukan oleh perbankan, otoritas keuangan harus mengambil langkah untuk memperbaiki kegagalan sistemik dalam sistem keuangan.
Kami, organisasi-organisasi yang menandatangani surat ini, meminta Pemerintah menghentikan kelompok perusahaan yang menyebabkan kebakaran untuk menerima pembiayaan berupa pinjaman publik dan komersial serta jasa keuangan lainnya yang memampukan perusahaan melakukan ekspansi. Tanpa adanya ancaman berupa konsekuensi ekonomi yang serius bagi perusahaan perkebunan industri, upaya pemerintah untuk memperkuat penegakan hukum dan meningkatkan kapasitas pencegahan kebakaran tidak akan mampu mencegah terulangnya krisis asap 2015.
Dampak lingkungan dari kebakaran dan kabut asap
Pada tahun 2015, lebih dari 2,6 juta hektar hutan, gambut, dan lahan lainnya dibakar di Indonesia.[2] Kebakaran tersebut berkorelasi erat dengan kegiatan ekspansi perkebunan kelapa sawit, kertas dan bubur kertas. Puncaknya, emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran di Indonesia lebih besar dari emisi rata-rata harian dari seluruh kegiatan ekonomi Amerika dimana hampir 16 juta ton emisi CO2 dihasilkan per hari, yang artinya, Indonesia menyumbang 3 persen dari total emisi global pada tahun tersebut.[3]
Dampak sosial dari kebakaran dan kabut asap
Biaya pemulihan kesehatan masyarakat belum sepenuhnya terhitung dengan baik, tercatat lebih dari 500.000 orang Indonesia dirawat karena masalah pernapasan.[4] Sementara itu, kualitas udara di desa- desa yang berdekatan dengan sumber kebakaran telah mencapai level 1000 indeks pencemaran udara,[5] dimana standar polusi tersebut berada pada level tiga kali diatas level berbahaya. Kondisi ini akan diperparah jika residual kimia (misal: pestisida, herbisida) digunakan di daerah perkebunan yang efeknya akan mencemari udara dan air.
Dampak ekonomi dari kebakaran dan kabut asap
Bank Dunia telah menghitung biaya kerugian akibat kebakaran di Indonesia, yaitu sebesar US$ 16 miliar.[6] Angka ini sangat besar, karena melebihi pendapatan total ekspor Indonesia dari minyak sawit dan sektor kertas dan bubur kertas –atau menyentuh minus 1,8% dari PDB Indonesia.[7] Kerugian yang terjadi termasuk kerugian ekonomi langsung untuk pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata dan sektor lainnya. Ini belum termasuk beban biaya ekonomi negara-negara terdekat seperti Singapura dan Malaysia.
Peran perbankan
Ada 413 perusahaan produsen komoditas hutan tropis yang beresiko (seperti minyak kelapa sawit, kertas dan bubur kertas, kayu, dan karet) dan berkaitan langsung dengan pembakaran di tahun 2015. Perusahaan-perusahaan tersebut menerima jasa pembiayaan keuangan dan investasi lebih dari 20 bank komersial yang diperkirakan menerima dana senilai US$ 17 miliar sejak tahun 2009.[8]
Kami meminta agar otoritas jasa keuangan khususnya di Indonesia, Malaysia, Singapura, Jepang, Eropa dan Amerika Serikat, untuk:
1. Segera memperkenalkan dan menerapkan aturan mengenai pemberian sanksi seperti penangguhan penyediaan fasilitas pembiayaan keuangan (termasuk utang, IPO, dan jasa penasihat investasi) bagi lembaga keuangan atas grup perusahaan yang teridentifikasi oleh otoritas setempat sebagai penyebab terjadinya kabut asap.
2. Mewajibkan dan meningkatkan kualitas aspek uji tuntas atas pengajuan pembiayaan dan penyusunan standar pelaporan serta memperketat prosedur bagi perbankan beserta lembaga keuangan lainnya yang memiliki nasabah bisnis pada sektor kehutanan tropis yang beresiko. Selain itu, mendorong agar pengawasan diperketat ketika produktivitas bisnis terindikasi menurun akibat genangan air yang berkepanjangan dan terjadinya pemadatan lahan gambut.
3. Meminta bursa efek setempat untuk menerapkan sanksi bagi kelompok perusahaan yang tidak menjalankan usahanya secara bertanggung jawab, sanksi tersebut dapat berupa penangguhan, baik sebagian maupun keseluruhan – atas keanggotaannya di bursa efek.
Organisasi yang mendukung seruan ini:
A SEED Japan, Auriga, BankTrack, Bruno Manser Fund, China Environmental Paper Network, Consumers’ Association of Penang, Malaysia, ELSAM (The Institute of Policy Research and Advocacy), Environmental Investigation Agency International, Epistema Institute, Facing Finance, Fern, Forest Heroes, Forest Peoples Programme, UK, Forest Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth US, Friends of the Siberian Forests, Global Witness, Greenpeace Indonesia, HuMa (Association for Community and Ecology-Based Law Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), Japan Center for a Sustainable Environment and Society, Japan Tropical Forest Action Network, ILRC (Indonesian Legal Resource Centre), JKPP, KontraS (The Commission for “the Disappeared” and Victims of Violence), KPA (Agrarian Reform Consortium), KpSHK, Link-AR, Borneo, Market Forces, Perkumpulan Prakarsa, PM.Haze (People’s Movement to Stop Haze), Protect the Forest Sweden, PSHK (Indonesian Centre of Law and Policies Studies), Pusaka, PWYP Indonesia, Rainforest Action Network, Rainforest Foundation Norway, RFUK, Sahabat Alam (Friends of the Earth) Malaysia, Sajogyo Institute, Sierra Club, Stiftung Asienhaus, The Corner House, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Walhi National Executive, Walhi Aceh, Walhi Bengkulu, Walhi Bangka Belitung, Walhi Jambi, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Tengah, Walhi Jawa Timur, Walhi Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Selatan, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Maluku Utara, Walhi NTT, Walhi NTB, Walhi Papua, Walhi Riau, Walhi Sulawesi Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Utara, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumatera Utara, Wetlands International, YLKI (Indonesian Consumer Foundations)

Siaran Pers: Koalisi Internasional Menyeru Ditetapkannya Sanksi Darurat Atas Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia

Otoritas jasa keuangan dunia dihimbau untuk menegakkan kewenangan mereka mencegah bencana ekologis – saat ini kebakaran hutan dan lahan telah kembali terjadi
Jakarta, Indonesia – Koalisi internasional yang terdiri atas lebih dari 70 organisasi masyarakat sipil, termasuk Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA), Walhi (Friends of the Earth Indonesia), Rainforest Action Network dan Sierra Club menyeru otoritas jasa keuangan di Indonesia, Malaysia , Singapura, Jepang, Cina, Eropa dan Amerika Serikat untuk menerapkan sanksi darurat pada bank-bank komersial utama, sebagai upaya untuk memotong pendanaan perusahaan yang diidentifikasi sebagai penyebab kebakaran hutan krisis yang setiap tahun menyesakkan sebagian besar wilayah Asia Tenggara. Hari ini, surat bersama telah dikirimkan ke lebih dari 50 organisasi internasional, termasuk beberapa CEO bank-bank komersial dan otoritas jasa keuangan dunia.
Saat ini kita sudah harus bersiap akan terjadinya kembali krisis asap karena kebakaran hutan dan lahan sengaja dikobarkan untuk membuka lahan dengan cara yang mudah dan murah. Ini terjadi pada lahan-lahan produksi kertas dan bubur kertas serta kelapa sawit, api menjadi tidak terkontrol, dan memenuhi udara Indonesia, Singapura dan Malaysia dengan asap beracun. Kabut asap menyebabkan masyarakat mengungsi, sekolah dan bandara ditutup, dan munculnya ratusan ribu penyakit pernapasan serta bertanggung jawab atas setidaknya 19 kematian, terutama balita dan anak-anak. Krisis asap 2015 adalah yang terburuk dalam sejarah dan, pada puncaknya, emisi gas rumah kaca tersebut melebihi rata-rata emisi harian AS. Bisa dikatakan, hanya musim hujanlah yang berhasil menghalau api dan asap.
“Ini adalah bencana buatan manusia yang mengerikan dan terus berulang seperti detak jarum jam. Bank telah menyediakan modal untuk ekspansi bisnis perusahaan yang melakukan pembakaran. Krisis api sebenarnya bisa dicegah dan bank mestinya tidak lagi menyokong perusahaan-perusahaan yang melanggar regulasi terkait api – tetapi mereka tetap melakukannya. Sudah saatnya otoritas jasa keuangan nasional dan global terjun langsung dalam krisis ini dengan menegakkan fungsi kontrol mereka sebaik-baiknya dan menetapkan safeguard bagi institusi penyedia jasa keuangan yang selama ini membuat mereka mendapat keuntungan dari perbuatan illegal nasabahnya,” demikian menurut Edisutrisno, Direktur Advokasi TuK INDONESIA.
Ada 413 perusahaan yang memproduksi komoditas hutan tropis (seperti minyak kelapa sawit, pulp dan kertas, kayu dan karet) yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015. Perusahaan-perusahaan ini menerima jasa keuangan dan investasi dari lebih dari 20 komersial bank senilai lebih dari USD 17Miliar sejak 2009.
Saat ini, telah bermunculan kembali kasus kebakaran hutan dan lahan di Indonesia dan Malaysia menandai dimulainya musim kebakaran tahun 2016.
Organisasi yang mendukung seruan ini:
A SEED Japan, Auriga, BankTrack, Bruno Manser Fund, China Environmental Paper Network, Consumers’ Association of Penang, Malaysia, ELSAM (The Institute of Policy Research and Advocacy), Environmental Investigation Agency International, Epistema Institute, Facing Finance, Fern, Forest Heroes, Forest Peoples Programme, UK, Forest Watch Indonesia, Friends of the Earth Europe, Friends of the Earth US, Friends of the Siberian Forests, Global Witness, Greenpeace Indonesia, HuMa (Association for Community and Ecology-Based Law Reform), ICW (Indonesia Corruption Watch), Japan Center for a Sustainable Environment and Society, Japan Tropical Forest Action Network, ILRC (Indonesian Legal Resource Centre), JKPP, KontraS (The Commission for “the Disappeared” and Victims of Violence), KPA (Agrarian Reform Consortium), KpSHK, Link-AR, Borneo, Market Forces, Perkumpulan Prakarsa, PM.Haze (People’s Movement to Stop Haze), Protect the Forest Sweden, PSHK (Indonesian Centre of Law and Policies Studies), Pusaka, PWYP Indonesia, Rainforest Action Network, Rainforest Foundation Norway, RFUK, Sahabat Alam (Friends of the Earth) Malaysia, Sajogyo Institute, Sierra Club, Stiftung Asienhaus, The Corner House, Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK INDONESIA), Walhi National Executive, Walhi Aceh, Walhi Bengkulu, Walhi Bangka Belitung, Walhi Jambi, Walhi Jawa Barat, Walhi Jawa Tengah, Walhi Jawa Timur, Walhi Kalimantan Barat, Walhi Kalimantan Selatan, Walhi Kalimantan Tengah, Walhi Kalimantan Timur, Walhi Maluku Utara, Walhi NTT, Walhi NTB, Walhi Papua, Walhi Riau, Walhi Sulawesi Barat, Walhi Sulawesi Selatan, Walhi Sulawesi Tengah, Walhi Sulawesi Utara, Walhi Sulawesi Tenggara, Walhi Sumatera Barat, Walhi Sumatera Selatan, Walhi Sumatera Utara, Wetlands International, YLKI (Indonesian Consumer Foundations)
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Hadiya Rasyid (communication officer TuK INDONESIA)
Email: [email protected]
Telp  : 085355631430
www.tuk.or.id
 

Siaran Pers: Hentikan Pembiayaan bagi PT Musi Hutan Persada yang Merampas Hak-Hak Rakyat

Palembang, 23 April 2016 – Aksi kesewenang-wenangan perusahaan terhadap masyarakat terulang kembali. PT Musi Hutan Persada (MHP) yang dimiliki oleh Perusahaan Marubeni Jepang dengan paksa telah menggusur masyarakat Desa Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan. Aksi penggusuran ini terjadi semenjak bulan Juli 2015 dimana lebih kurang 120 hektar kebun karet dan lahan pangan warga dan 188 unit rumah digusur oleh perusahaan dengan berbagai alasan, salah satunya alasan konservasi.
Penggusuran tersebut juga melibatkan aparatur negara seperti dinas kehutanan, TNI, dan Polri. Negara tidak hadir untuk berpihak pada rakyat, kehadiran negara ini justru ditandai dengan terenggutnya hak-hak warganya, karena Negara lebih memilih untuk memfasilitasi korporasi menjalankan bisnis – yang terang-terangan bertentangan dengan amanat konstitusi.
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan menyampaikan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan pembiaran terhadap 900 jiwa yang saat ini terpaksa mengungsi. Perusahaan Marubeni Jepang sebagai pemilik saham penuh PT MHP bertanggung jawab atas penggusuran tersebut.
“Pemerintah harus mendorong penyelesaian kasus ini dengan kembali merujuk pada surat penghentian penggusuran yang ditandatangani oleh Menteri LHK tanggal 14 Juli 2015 yang meminta Gubernur dan Bupati untuk menyelesaikan persoalan dengan menggunakan pendekatan persuasif melalui skema perhutanan sosial.” Ujar Hadi di sela-sela pembukaan karnaval Walhi, Jumat, 22 April 2016
Sementara itu, perwakilan masyarakat Cawang Gumilir mengungkapkan bahwa perusahaan menggusur habis semua lahan pertanian warga. Bahkan TNI dan polisi ikutserta mengamankan penggusuran dan menyebar ancaman kepada warga, kesannya malah aparat keamanan menginginkan masyarakat pergi dari kampungya
“Kami masyarakat berharap dapat kembali tinggal dan beraktivitas normal tanpa bayang-bayang ancaman di kampung sendiri”, ujar perwakilan masyarakat tersebut.
Kasus PT. MHP ini menjadi contoh kembali gagalnya sektor bisnis memajukan dan menghormati HAM. Hak asasi manusia belum menjadi bagian terintegrasi dengan kebijakan dan operasional perusahaan. Dunia bisnis Indonesia masih enggan mengadopsi “UN Guiding Principle on Bisnis and Human Rights” dalam manajemen dan kegiatan operasional mereka.
Ifdhal Kasim, praktisi Bisnis dan HAM dan mantan Ketua Komnas HAM 2007-2012 menambahkan bahwa, “Pemindahan paksa (“force eviction”) dan pengambilalihan paksa lahan-lahan produktif masyarakat oleh korporasi ini harusnya bisa dihindari apabila perusahaan mengadopsi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan bisnis dalam kegiatan mereka. Melihat pengalaman seperti ini seringkali berulang terus-menerus, Pemerintah harus segera menyiapkan regulasi yang mengatur penghormatan korporasi pada hak asasi manusia, termasuk lembaga-lembaga keuangan”.
PT MHP telah menggunakan uangnya untuk praktek yang tidak elok. Artinya, lembaga keuangan yang mendukung permodalan PT MHP juga ikutserta dalam penindasan. Lembaga keuangan harus mengambil tindakan karena uang merekalah yang memampukan perusahan melakukan penggusuran. Otoritas Keuangan juga mestinya bertindak dengan memberikan peringatan kepada lembaga keuangan yang membiayai perusahaan serta memperkuat aspek uji tuntas pengajuan kredit termasuk di dalamnya uji tuntas HAM (Human Right Due Dillignce) agar kejadian serupa tidak terjadi di masa yang akan datang.
Kasus penggusuran oleh PT. MHP ini bergulir semenjak awal tahun 2015 dan masih berlangsung hingga saat ini. Lebih dari 900 jiwa terpaksa mengungsi dan kehilangan rumah serta lahan pertanian. Kasus ini menjadi contoh kembali gagalnya sektor bisnis menghargai Hak Asasi Manusia
Untuk info lebih lanjut silahkan hubungi
Hadi Jatmiko (Direktur Eksekutif Walhi Sumsel)                : 08127312042
Hadiya Rasyid (Communication Officer – TuK Indonesia)         : 085355631430
 

Perjuangan Petani Banggai (PPB) Untuk Keadilan: Keluarkan Kencana Agri Dari Tanah Rakyat dan Penuhi Hak-Hak Pekerja

Senin, 18 April 2016 – Organisasi Perjuangan Petani Banggai (PPB) Untuk Keadilan menuntut Kencana Agri Grup yang memiliki tiga anak perusahaan di Kabupaten Banggai, PT Wiramas Permai (WMP), PT Sawindo Cemerlang, dan PT. Delta Subur Permai yang disinyalir kuat telah melakukan klaim wilayah secara sepihak. PT Wiramas Permai diduga kuat telah mengkonversi kawasan konservasi Suaka Margasatwa Pai-Pati seluas +250 Ha, dan konservasi kawasan hutan secara ilegal oleh PT Sawindo Cemerlang di Kecamatan Batui Selatan, Kabupaten Banggai.
Dalam aksi yang digelar di Luwuk, Senin 18 April 2016, perwakilan petani yang tergabung dalam Organisasi Perjuangan Petani Banggai (PPB) untuk Keadilan menyebutkan, selain klaim wilayah konservasi, hingga saat ini, lebih kurang 996 hektar lahan masyarakat yang bersertifikat di Kecamatan Bualemo juga dikuasai dan dikelola sebagai kawasan perkebunan kelapa sawit oleh PT Wiramas Permai.
“Perusahaan telah mengambil lahan masyarakat secara paksa, bahkan tidak jarang dengan mengikutsertakan aparat negara seperti polisi dan pemerintah kecamatan. Seringkali modusnya berbentuk pemberian Ganti Rugi Tanaman Tumbuh (GRTT) serta janji akan dijadikan petani plasma,” Ujar salah seorang perwakilan petani.
PT Sawindo Cemerlang yang beroperasi di daerah Batui dan Batui Selatan juga disinyalir telah banyak melakukan pelanggaran. Buktinya, sudah ada laporan resmi panitia khusus (Pansus) DPRD Banggai yang mengindikasikan praktek-praktek ilegal dilakukan oleh perusahaan.
Selain itu, PT Wiramas Permai, Sawindo Cemerlang dan Delta Subur Permai telah melakukan tindakan melawan hukum dengan membayar upah buruh dibawah standar upah minimum provinsi (UMP) dan tidak memenuhi hak dasar buruh yang mayoritasnya adalah buruh perempuan secara baik.
“PT WMP dan Sawindo Cemerlang (Kencana Agri) tidak pernah memberikan cuti haid bagi perempuan yang mengalami menstruasi atau cuti hamil dan melahirkan. Ada teman yang sudah meminta cuti namun tidak dikabulkan meski usia kandungan sudah hampir 9 bulan,” ungkap perwakilan petani tersebut.
Perwakilan petani menambahkan, PT Wiramas Permai juga telah melanggar hak konstitusi rakyat, dimana ada 179 orang buruh PT Wiramas Permai di PHK seminggu setelah membentuk serikat buruh perkebunan. Parahnya, PHK tersebut tidak disertai dengan kewajiban perusahaan untuk membayarkan pesangon.
Dengan permasalahan tersebut, Perjuangan Petani Banggai (PPB) untuk keadilan menuntut pihak-pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan lebih lanjut untuk menghentikan perusahaan dari kesewenang-wenangannya.
“Kami menuntut agar DPRD Banggai untuk segera mengeluarkan rekomendasi kepada Bupati Banggai agar segera meninjau kembali perijinan Kencana Agri (PT.Sawindo Cemerlang, PT.Wiramas Permai dan PT. Delta Subur Permai), dan menuntut BPN untuk melakukan Peninjauan kembali HGU PT. Sawindo Cemerlang, PT. Wiramas Permai dan PT. Delta Subur Permai, serta mendorong Bank Danamon, Bank Nasional Indonesia (BNI) dan Bank Mandiri untuk melakukan uji tuntas terhadap Kencana Agri di Kabupaten Banggai dan menghentikaan pendanaan terhadap Kencana Agri di Kabupaten Banggai.”
Contact person:
Budi Siluet     : 0852 56093 468
Edi Gun          : 0896 3414 4047

Album- Pelatihan Advokasi Kelapa Sawit dan Pembiayaannya Bengkulu

[justified_image_grid preset=20 retina_ready=no timthumb_crop_zone=t developer_link=hide flickr_user=141824104@N06 flickr_photoset=72157667077884445]

Workshop: Mendorong Peranan Perbankan dalam Mewujudkan Pekebun Mandiri

 
Pekanbaru, 15 April 2016 – Petani mandiri kelapa sawit di Indonesia saat ini masih menghadapi keterbatasan dalam mengakses permodalan. Petani mandiri juga sulit mendapat kepercayaan dari perbankan untuk mendapatkan fasilitas pembiayaan atau suntikan dana untuk pengembangan usaha kelapa sawitnya. Hal ini dikarenakan penghasilan petani diangggap terlalu kecil dan tak memiliki agunan yang memadai untuk jaminan pinjaman
Ada ketimpangan akses pembiayaan perbankan pada perkebunan rakyat. Disinyalir, kondisi ini terjadi karena penilaian risiko perbankan terhadap pekebun mandiri yang cukup tinggi. Ketimpangan ini menyebabkan pekebun mandiri dengan luas lahan perkebunan relatif kecil menjadi sulit untuk berkembang.
“Dari hasil survey yang dilakukan, modal yang dikeluarkan pekebun mandiri ternyata lebih besar daripada pekebun lain seperti pekebun plasma yang dibantu oleh keterlibatan perusahaan. Namun kenyataannya, petani tetap masih saja mengalami kesulitan dalam mengakses permodalan. Ada persoalan bunga pinjaman yang cenderung tinggi, laba usaha yang tidak cukup untuk membayar angsuran, agunan yang tidak dapat dipenuhi, akses ke lokasi bank, dan proses administrasi yang rumit” Jelas Vera Falinda, Peneliti TuK Indonesia dalam workshop bersama petani dan perbankan serta organisasi masyarakat sipil di Pekanbaru, 14-15 April 2016.
Perspektif petani
Permasalahan agunan menjadi perhatian petani mandiri karena berdasarkan pengalaman petani, walaupun sertifikat lahan dijadikan agunan, masih banyak bank yang tetap saja menolak pengajuan kredit. Kondisi ini semakin membingungkan petani.
Salah seorang petani mandiri yang hadir dalam workshop tersebut, Suyatno, mengungkapkan bahwa, selama ini permodalan hanya didapatkan oleh mereka yang memiliki agunan, baik pekebun mandiri atau pekebun plasma sekalipun.
“Program PNPM, program UMSP bisa jadi contoh seperti yang pernah dilaksanakan, programnya ini tanpa agunan, sayangnya, belum ada program bank mengenai pinjaman tanpa agunan tersebut,” ungkap Suyatno.
Selain permasalahan agunan, petani mandiri merasa kurang diperhatikan walaupun pinjaman kredit sudah diberikan. Jika seandainya kemitraan dengan perbankan terlaksana, perlu ditekankan pembinaan oleh perbankan agar usaha petani berjalan dengan baik yang artinya, jika usaha berjalan baik dan hasil kebun yang bagus, kemungkinan gagal bayar petani akan semakin rendah.
“Harus ada kebijakan dari Bank, bukan hanya memberikan uang untuk modal berkebun, namun juga harus ada pendampingan bagi petani mandiri dengan mengikutsertakan ahli perkebunan, skema ini juga harus didorong,” tegas salah seorang perwakilan petani mandiri.
Perspektif Perbankan
Pada dasarnya, ketika memberikan pinjaman perbankan terlebih dahulu melakukan analisis resiko. Agunan merupakan bahan untuk meyakinkan bahwa nasabah bisa dibiayai. Namun yang paling penting adalah apakah nasabah kemampuan nasabah melunasi kredit tersebut.
Menurut Suyana Ariati, perwakilan Bank BRI menyatakan bahwa, perbankan pada dasarnya akan menilai karakter dan kemampuan bayar nasabah, acuan inilah yang menjadi dasar penilaian kemampuan kredit.
“Mekanisme administrasi di BRI cukup mudah. Persyaratan administrasi antara lain, KTP dan NPWP yang diperlukan untuk BI Checking, itu prosesnya. Biasanya, pendampingan dilakukan ketika kredit macet terjadi. Namun di BRI, pendampingan dilakukan hingga kredit lunas, karena bagi BRI maju atau tidaknya nasabah bergantung pada Bank”. Ujar Suyana
Penguatan di level masyarakat
Sementara itu, Irwan Mulawarman, Kepala perwakilan BI Provinsi Riau, mengungkapkan bahwa sebenarnya solusi pengajuan kredit yang sering terhambat karena agunan, bisa diselesaikan dengan perbaikan karakter masyarakat dan membangun ikatan yang kuat diantara petani.
Irwan memberikan contoh praktek baik yang dilakukan oleh petani di daerah Jogja,  “walaupun di Jogja tidak ada koperasi, para petani mempunyai ikatan yang sangat kuat antar satu sama lain, mereka membentuk wadah kuat yang berbentuk paguyuban. Sehingga, jika ingin meminjam, paguyuban tersebut menjadi jaminan jika gagal bayar,” ungkap Irwan.
“Manfaatnya, akses meminjam tanpa agunan diperbolehkan. Artinya, ada solusi yang bisa disusun sehubungan dengan permodalan yakninya membentuk karakter antar masyarakat yang kuat, atau jelasnya adalah membangun paguyuban yang kuat sebagai solusi permasalahan agunan,” tegas irwan dalam diskusi tersebut.
Workshop yang diadakan oleh TuK Indonesia dan Walhi Riau diadakan untuk mendengar kondisi dan aspirasi petani mandiri mengenai akses terhadap perbankan. Workshop ini diharapkan dapat memecahkan ketimpangan akses permodalan petani ke perbankan berdasarkan riset yang telah dilakukan di Kabupaten Siak dan Kampar, Provinsi Riau. Harapannya, pihak perbankan dan petani dapat mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi sehingga kedepannya ketimpangan akses permodalan petani tersebut dapat dipecahkan melaui skema yang saling menguntungkan. {MHR}

Surat Terbuka untuk Presiden Bank Dunia dan IFC

Dear World Bank President Kim and IFC President Le Houérou,
We are writing to you with deep concerns about a number of World Bank and IFC-supported Indonesian Infrastructure funds, financial intermediaries, and projects, including on-going investments and support (including for coal mega-power plants), as well as projects in the pipeline and planned for Board vote, as early as 25 April 2016, according to documents posted on the World Bank website.
The projects of concern include:

  • PT. Indonesian Infrastructure Finance (IIF)
  • PT. Indonesian Infrastructure Guarantee Fund (IIGF)

Projects in the pipeline:

  • Indonesian Infrastructure Finance Development project (IIFD:Board vote originally scheduled March, now postponed to 25 April 2016.
  • Indonesian Regional Infrastructure Development Fund (RIDF): $500 million; WB + Switzerland – project in pipeline;Board vote scheduled March 2016; postponed to September 2016?
  • Indonesia Infrastructure Finance Development Trust Fund (IIFDTF)

Overarching concerns about existing and proposed World Bank and IFC support for a range of Indonesian infrastructure funds and initiative include:

  • The lack of public disclosure of documents pertaining to current projects and those in the pipeline;
  • The lack of materials in Indonesian language;
  • The lack of public consultation, including mandatory public consultation on environmental and social assessments prior to appraisal (approximately 120 days prior to Board vote);
  • Violations of and failure to implement WB, IFC environmental and social safeguard requirements, including those pertaining to information disclosure and consultation processes for social and environmental assessments, forced resettlement, Indigenous rights, due diligence requirements prior to the use of Country Systems (CSS), etc.
  • Mis-categorization of environmental and social risks. Please see the appended letter from the undersigned NGOs and appended briefing materials for details.

Thank you for your attention to this matter.
Ecological Justice Indonesia
Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
TUK Indonesia
WALHI – Friends of the Earth Indonesia
WALHI West Java
Indonesia Corruption Watch (ICW)
ELSAM Institute for Policy Research and Advocacy (Indonesia)
Ulu Foundation (USA)
Urgewald (Germany)
Gender Action (USA)
debtWATCH Indonesia
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
BiotaniBahari Indonesia
CAPPA Ecological Justice Foundation (Indonesia)
SolidaritasPerempuan – Women’s Solidarity for Human Rights (Indonesia)
YayasanPusaka (Indonesia)
Indonesia for Global Justice
KonsorsiumPembaruanAgraria (Indonesia)
SajogyoInsititute (Indonesia)
PeTA – Perkumpulan Tanah Air (Indonesia)
PILNet – Public Interest Lawyer Network (Indonesia)
JaringanAdvokasi Tambang -JATAM (Indonesia)
LembagaBantuanHukum (LBH) Semarang (Indonesia)
Lembaga Gemawan, West Kalimatan, Indonesia
Swandiri Institute (Indonesia)
BothENDS (Netherlands)
Japan Center for a Sustainable Environment and Society
Friends of the Earth-Japan
Friends of the Earth – USA
Forest People’s Programme (UK)
Center for International Environmental Law – CIEL (USA)
Labour, Health and Human Rights Development Centre (Nigeria)
Social Justice Connection, Canada
Carbon Market Watch (Belgium)
11.11.11- Coalition of the Flemish North-South Movement (Belgium)
CC:
Executive Directors of the World Bank and IFC
U.S. Appropriations Committees of the House of Representatives and Senate
U.S. Senate Foreign Relations Committee
U.S. Treasury Department
U.S. Environmental Protection Agency