Usut Keterlibatan PT. WKS-APP, JPU Harus Tuntut Sanksi Maksimal Terhadap Pelaku (Sidang kasus pembunuhan alm. Indra Pelani di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi)

pelaku-pembunuh-indra-pelaniJakarta, 31 Agustus 2015. Proses sidang terhadap 6 (enam) tersangka pelaku pembunuhan Indra Pelani akan memasuki sidang hari kesebelas. Sidang selanjutnya akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan tuntutan pada hari Selasa, 1 September 2015 di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi. Sidang ini terkait pembunuhan Indra Pelani (Petani dan anggota Serikat Tani Tebo, Jambi) yang terjadi pada tanggal 27 Februari 2015.
Indra Pelani menjadi korban pengeroyokan, pemukulan, dan pembunuhan sadis oleh Tim Unit Reaksi Cepat (URC) PT. Wirakarya Sakti (WKS)-APP Group yang menggunakan jasa pengamanan dari PT. Manggala Cipta Persada (MCP). Hal ini tidak terlepas dari konflik agraria yang terjadi antara masyarakat Desa Lubuk Mandarsah Kec. Tengah Ilir Kab. Tebo dengan PT. WKS (Wirakarya Sakti) sejak tahun 2006. PT. WKS meminta izin untuk membangun jalan bagi keperluan perusahaan di wilayah Desa Lubuk Mandarsah. Namun, perusahaan ternyata menggusur lahan-lahan pertanian masyarakat.
Sampai diproses sidang ketujuh, pemeriksaan saksi, alat bukti, dan keterangan tersangka telah dilakukan. Saksi yang diperiksa belum ada dari pihak manajemen PT. WKS. Proses sidang juga belum menggali lebih dalam terkait fakta peristiwa sebelum terjadinya pembunuhan. Padahal, ada fakta kuat keterlibatan pihak perusahaan PT. WKS dengan menggunakan jasa pengamanan URC dari PT. Manggala Cipta Persada (MCP). Pembunuhan Indra Pelani juga mesti dilihat sebagai rentetan dari konflik dan buruknya pengelolaan perkebunan PT. WKS yang menjadi penyuplai bahan baku industri kertas PT. Asia Pulp and Paper (APP).
“Atas proses sidang di Pengadilan Negeri Muara Bulian, Jambi, WALHI, KONTRAS, KPA, ELSAM, TuK Indonesia, dan Serikat Tani Tebo (STT) menegaskan bahwa “proses sidang mesti mampu mengusut tuntas keterlibatan dan tanggung jawab PT. WKS-APP Group atas pembunuhan Indra Pelani. Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga diminta agar tegas dan berani menuntut tersangka pelaku pembunuhan secara maksimal, dengan tututan seberat-bertanya. Hal ini untuk mewujudkan keadilan bagi alm. Indra pelani dan keluarga, serta seluruh masyarakat yang selama ini berkonflik dengan PT. WKS-APP di Jambi dan di seluruh Indonesia,” tegas Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye WALHI.
Proses persidangan di Pengadilan Negeri Muara Bulian juga diharapkan lebih transparan dalam menggali fakta-fakta hukum, sehingga proses pengadilan dapat membongkar kejahatan yang sesungguhnya berkaitan dengan pengelolaan bisnis perushaan PT. WKS dengan sistem keamanan yang telah menyebabkan konflik agraria dan kematian Indra Pelani.
Siaran Pers
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) – Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) – Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia – Serikat Tani Tebo (STT)
Contact Person:
Kurniawan Sabar 081241481868
Bustami 081585737022
Rudiansyah 081366699091

Pernyataan Pers Bersama: UU Perkebunan Kembali Hidupkan Represi Negara Terhadap Perjuangan Petani

SEO-Writing-for-Press-ReleasePernyataan Pers Bersama
PILNET – ELSAM – WALHI – KPA – SPP – HuMa – Sawit Watch – Sitas Desa – TuK Indonesia – ICW – AURIGA – YLBHI

UU Perkebunan Kembali Hidupkan Represi Negara Terhadap Perjuangan Petani
Jakarta, 30 Agustus 2015 – Pada Jumat, 28082015, 3 orang petani dari Aceh, Garut, dan Kalimantan Barat telah mendaftarkan Permohonan Pengujian UU No. 39 tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan) terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi. UU Perkebunan ini merupakan revisi atas UU Perkebunan sebelumnya, UU No. 18 tahun 2004.
UU Perkebunan cenderung memfasilitasi dan memberi kemudahan pada perkebunan-perkebunan skala besar, yang berakibat konflik perkebunan di berbagai wilayah Indonesia. Ini diperparah dengan adanya kewenangan besar yang dimiliki Kepala Daerah. Kewenangan tersebut sering disalahgunakan untuk memberi izin secara mudah kepada pemilik perusahaan perkebunan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi lahan-lahan perkebunan. Di satu sisi, proteksi terhadap hak-hak petani dan masyarakat lokal minim dilakukan Pemerintah.
Pemerintah seringkali tidak peka terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat dan petani di sekitar wilayah perkebunan. Konflik pertanahan antara masyarakat/petani dengan perusahaan perkebunan selalu ditindaklanjuti dengan penangkapan dan penahanan, bahkan pengajuan masyarakat/petani ke pengadilan, tanpa melihat latar belakang permasalahan yang muncul, yaitu ketimpangan dalam hal pemilikan, penguasaan, pengelolaan sumber daya alam. Akibatnya, kriminalisasi terhadap masyarakat/petani terjadi di sekitar wilayah perkebunan, baik di Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Jawa dan wilayah lain di Indonesia.
Pasal-Pasal Yang Diujikan Ke Mahkamah Konsitusi
Pasal 11 ayat (2)
Dalam hal terjadi perubahan status kawasan hutan Negara atau Tanah terlantar, Pemerintah Pusat dapat mengalihkan status alas hak kepada Pekebun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12 Ayat (1)
Dalam hal Tanah yang diperlukan untuk Usaha Perkebunan merupakan Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pelaku Usaha Perkebunan harus melakukan musyawarah dengan Masyarakat Hukum Adat pemegang Hak Ulayat untuk memperoleh persetujuan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya.
Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d
Setiap Orang secara tidak sah dilarang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.
Pasal 107 huruf a, huruf c, dan huruf d
Setiap Orang secara tidak sah yang:
a. mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
c. melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
d. memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan;
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Konflik masyarakat dengan perusahaan perkebunan berpotensi makin massif jika melihat isi dari UU Perkebunan ini. Beberapa penyebabnya adalah: ketentuan “melakukan musyawarah” bagi Pelaku Usaha Perkebunan untuk memperoleh “persetujuan” apabila ada Tanah Ulayat yang diperlukan seperti yang termuat dalam Pasal 12 ayat (1) UU Perkebunan menempatkan posisi masyarakat hukum adat diposisi yang lemah, karena diarahkan “musyawarah” hanya untuk memperoleh imbalan. Imbalan pun berarti upah yang diberikan atas kerja seseorang. Ini berarti menempatkan posisi masyarakat Adat tidak setara dengan si pemberi imbalan.
Dihidupkannya kembali sanksi pidana dalam UU Perkebunan setelah dibatalkan Mahkamah Konsitusi (Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010) merupakan bentuk ketidakpahaman Negara atas konflik pertanahan yang terjadi selama ini. Sanksi pidana ini berpotensi disalahgunakan untuk mengkriminalisasi masyarakat adat atau masyarakat sekitar perkebunan yang cenderung berkonflik dengan perusahaan perkebunan. Padahal, tindakan-tindakan yang dilakukan petani/masyarakat adat dalam kaitannya dengan konflik perkebunan dilandasi adanya pelanggaran terhadap hak-haknya oleh perusahaan perkebunan. Tindakan-tindakan petani/masyarakat adat ini merupakan ekspresi dalam upayanya mempertahankan hak-hak yang dilanggar, dan sekaligus bentuk komunikasi petani/masyarakat adat dalam memperjuangkan hak-hak mereka telah dirampas oleh Negara dan perusahaan perkebunan.
Perbuatan-perbuatan yang yang dilarang dalam UU Perkebunan sebenarnya salah satu bentuk dan usaha penyelesaian konflik. Sehingga, tidak dapat diatur dan direpresi melalui sarana hukum pidana yang terdapat dalam UU Perkebunan. Selain itu, yang penting dari proses yang dilakukan petani/masyarakat adat ini adalah, tindakan-tindakan memperjuangkan hak-haknya ini merupakan manifestasi masyarakat dalam membebaskan diri dari kuatnya dominasi negara.
Berdasarkan uraian di atas, kami meminta agar:
Mahkamah Konstitusi agar membatalkan Pasal 11 ayat (2); Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d; Pasal 55 huruf a, huruf c, dan huruf d UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
Mahkamah Konstitusi harus memberikan tafsirnya terhadap Pasal 12 ayat (1) UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, dengan memaknai “Musyawarah yang dilakukan antara pelaku usaha perkebunan dengan Masyarakat Hukum Adat dilakukan dengan posisi setara dan memberikan sepenuhnya hak Masyarakat Hukum Adat untuk menolak penyerahan jika tidak terdapat kesepakatan”;
DPR dan Presiden meninjau ulang semua ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
Pemerintah Daerah sebagai pemegang kekuasaan di daerah untuk tanggap terhadap kasus-kasus kriminalisasi petani dan masyarakat lokal dengan mengedepankan perlindungan terhadap warganya;
Jakarta, 30 Agustus 2015
Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Rakyat Pekebun
Kontak:
Andi Muttaqien Public Interest Lawyer Network (08121996984)
Yani Andre Serikat Petani Pasundan (081214423620)
Zenzi Suhadi WALHI Nasional (081384502601)
Ronald Siahaan Sawit Watch (087775607994)

Perempuan Papua dan Pemerintahan Desa

Pembangunan Indonesia bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan, mencerdaskan kehidupan bangsa dan aktif dalam berbagai kegiatan kedamaian internasional, sebagaimana termaktub dalam mukadimah konstitusi negara ini. Pembangunan juga tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, namun keterlibatan masyarakat sebagai subjek pembangunan juga harus lebih besar. Sebab itu pembangunan yang baik adalah pembangunan yang beradasarkan prinsip buttom up.
Pembangunan tidak hanya menjadi tanggung jawab lelaki, namunjuga perempuan, terlebih karena kebutuhan masing-masing pihakdiketahui paling baik oleh pihak itu sendiri. Apa yang dibutuhkan perempuan diketahui paling baik oleh perempuan itu sendiri, oleh karenanya keterwakilan perempuan dalam berbagai pengambil kebijakan dan lembaga yang mempengaruhi kebijakan adalah mutlak.
Perempuan juga memiliki peran strategis dalam melakukan pembangunan secara nasional, terlebih secara ratio, jumlah perempuan hampir seimbang dari jumlah laki-laki. Sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 merilis dari 237.556.363 orang penduduk Indonesia 49% nya atau 118.048.783 orang adalah perempuan. Sebab itulah perempuan juga memegang peranan penting dan potensial dalam pembangunan.
Hanya saja dalam kehidupan sehari-hari, perempuan di Indonesia masih berada dalam subordinat dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peran perempuan masih dianggap sebelah mata dan memiliki ruang gerak terbatas dalam mengisi kesehariannya. Perempuan masih dinilai memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas dan mengisi pembangunan lantaran sifat alami yang dimilikinya.Sebab itulah perempuan masih sedikit mendapatkan peran-peran strategis dalam mengisi pembangunan. Indikatornya dapat dilihat dari tiga hal: pertama, aspek ekonomi. Perempuan Indonesia masih banyak yang berada dalam garis kemiskinan. Rendahnya pendapatan dan kurangnya akses dalam perekonomian membuat kaum perempuan Indonesia semakin terpuruk. Saat ini 4,7 juta perempuan di Indonesia masih menganggur. Masih kuatnya budaya patriarki juga menyebabkan ketimpangan sosial. Sehingga, kaum perempuan sulit mengakses pekerjaan, pendidikan dan aktualisasi diri.
Kedua, aspek pendidikan. Dari jumlah perempuan pekerja di Indonesia sekitar 81,15 juta orang dan 56 persen atau 45,4 juta orang di antaranya hanya berpendidikan SD. Hanya 4,7 persen atau 3,8 juta yang berpendidikan akademi atau sarjana, data BPS tersebut juga menunjukkan bahwa terdapat banyak kasus dimana anak perempuan terpaksa tidak bersekolah untuk mengurangi biaya pendidikan yang ditanggung keluarganya dan terpaksa masuk ke angkatan kerja mencari nafkah bagi keluarganya, dan lebih banyak anak perempuan usia sekolah yang bekerja dibandingkan anak laki-laki. Jumlah buta aksara perempuan masih 2 kali lipat dari laki-laki (perempuan 12,28%, laki-laki 5,48%) dan rata-rata lama bersekolah perempuan (7,1 tahun) lebih rendah daripada laki-laki (8,0 tahun). Jumlah sarjana perempuan masih di bawah 5%.
Ketiga, aspek kesehatan. Derajat kesehatan kaum perempuan juga sangat memprihatinkan. Walaupun Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia sudah menurun, namun ternyata masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN. AKI di Indonesia terakhir berada di angka 228/100.000 kelahiran hidup setelah sebelumnya sebesar 307/100.000 kelahiran hidup.
Guna memaksimalkan peran perempuan dalam pembangunan, maka pada tahun 2010 Pemerintah telah menerbitkan  Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, sebagai acuan untuk memaksimalkan potensi perempuan dalam pembangunan. Dalam keluarga, kaum perempuan merupakan tiang keluarga, kaum perempuan akan melahirkan dan mendidik generasi penerus. Kualitas generasi penerus bangsa ditentukan oleh kualitas kaum perempuan sehingga mau tidak mau kaum perempuan harus meningkatkan kualitas pribadi masing-masing.
Download artikel lengkapnya disini

Tangkap dan Penjarakan Para Pelaku Kejahatan Tata Ruang!!!

mtrlogoBy admin On 17 Agu, 2015 At 05:30 PM | Categorized As EditorialHome Slide Show | With 2 Comments
Pasal 33 UUD 1945 dan UU no 26 tahun 2007 sebagai dasar hukum penataan ruang telah menggariskan bahwa prinsip penataan Ruang Wilayah Indonesia adalah keadilan dan kemakmuran bangsa. Ini menegaskan bahwa segala bentuk penataan ruang yang ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Indonesia adalah semata-mata demi mewujudkan keadilan dan kemakmuran segenap tumpah darah Indonesia. Ini juga merupakan amanat dari dasar hukum Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, bahwa Salah satu tujuan dari negara Indonesia Merdeka adalah Memakmurkan segenap tumpah darah Indonesia.
Mengacu pada dua landasan penataan ruang di atas tentunya jelas sudah bahwa tidak ada sejengkal tanahpun di wilayah negara Indonesia, yang penataan ruang nya tidak diperuntukan untuk keadilan dan kemakmuran Indonesia. Artinya tidak ada ruang di negeri yang berlandaskan Pancasila ini bagi penataan ruang yang justru menjerumuskan segenap tumbah darah Indonesia pada bencana kemanusiaan atau kesenhgsaraan.
Penataan Ruang yang berkeadilan sosial dan menciptakan kemakmuran tentunya membutuhkan perlindungan dari sebuah penegakan hukum. Hukum penataan ruang haruslah benar-benar berjalan secara konsisten dalam melindungi segenap kepentingan seluruh bangsa ini akan kesejahteraannya. Hukum penataan ruang juga harus dijalankan tanpa pandang bulu demi menjamin terciptaanya penataan ruang yang berkeadilan sosial. Dia haruslah tajam pada siapapun atau bentuk apapun dari prilaku penataan ruang yang tidak mentaati prinsip keadilan sosial.
Apa yang terjadi selama ini di berbagai wilayah Nusantara, di mana banyak terjadi prilaku penataan ruang yang hanya mementingkan aspek pertumbuhan Ekonomi. Sementara pertumbuhan ekonomi yang dituju pun ternyata tidak menghasilkan pemerataan bagi segenap tumpah darah Indonesia. Alhasil penataan ruang yang demikian hanya mampu mengakomodir keadilan bagi segelintir masyarakat dan menghadirkan bencana bagi masyarakat mayoritas. Hutan yang seharusnya menjadi daerah resapan air, dan paru-paru bagi kehidupan masyarakat, harus menjadi korban prilaku brutal penambangan ataupun eksploitasi bisnis property mewah. Lahan persawahan yang menjadi landasan awal tegaknya kedaulatan pangan pun telah dikonversi secara brutal menjadi kawasan Industri.  Wilayah pantai sebagai kawasan lindung bagi tumbuh kembangnya ekosistem pesisirpun terancam oleh bebarapa agenda pembangunan berkedok reklamasi, dalam arti sesungguhnya adalah memonopoli eksploitasi fungsi pantai oleh para mafia property dengan tujuan kapitalisasi modal.
Pola penataan ruang yang “sembrono” seperti di atas haruslah menjadi cerita lama bagi bangsa yang telah menginjak usia 70 tahun ini. Perlu disegerakannya penegakan hukum yang benar-benar konsisten dalam menertibkan pelanggaran-pelanggaran pembangunan yang menyalahi aturan tata ruang atau yang kami sebut KEJAHATAN PENATAAN RUANG. Pihak kepolisian dan kejaksaan sebagai perangkat hukum harus lebih mengoptimalkan keterlibatannya dalam mempercepat terciptanya penataan ruang yang berkeadilan sosial. Penegakan hukum tata ruang yang berorientasi keadilan sosial harus harus segera diprioritaskan.
Undang Undang Negara Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2006 tentang penataan ruang wilayah kesatuan Indonesia, pada pasal 69 sampai dengan pasal 74, menegaskan bahwa setiap Individu, Pejabat Penyelengaara Negara, dan atau Koorporasi yang melakukan kejahataan pada penataan ruang dapat dipidanakan. Untuk itulah hanya dibutuhkan satu ketegasan para aparat hukum, dalam hal ini pihak Kepolisian dan Kejaksaan untuk segra menangkap dan memproses para pelaku kejahatan yang membahayakan masa depan negara ini. Tegas, Konsisten dan Tidak Pandang Bulu adalah sikap yang wajib dijaga oleh para aparatur penegakan hukum Republik Indonesia tersebut.
Untuk itulah demi sebuah penataan ruang yang berorientasi pada Kedaulatan Negara, Kemakmura Rakyat dan Terjaganya Keutuhan Peradaban Bangsa Indonesia, Kami LIMA PETA (Lingkar Msyarakat Peduli Tata Ruang) POS RAYA (Posko Relawan Rakyat) dengan Ini Menyatakan : Diperlukannya ketegasan dalam penegakan hukum untuk menangani segala bentuk kejahatan tata ruang. Dan atas dasar itulah maka kami mengadakan seminar, dengan tema: “Penegakan Hukum Pada Kejahatan Tata Ruang”.
Link:
http://mediatataruang.com/2015/08/tangkap-dan-penjarakan-para-pelaku-kejahatan-tata-ruang/

[KOMPAS.com] PPATK Laporkan ke Presiden 10 Capim KPK dengan Transaksi Mencurigakan

http://nasional.kompas.com/read/2015/08/13/07042321/PPATK.Laporkan.ke.Presiden.10.Capim.KPK.dengan.Transaksi.Mencurigakan

Kamis, 13 Agustus 2015 | 07:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan M Yusuf mengatakan, pihaknya mencatat setidaknya 10 dari 48 peserta seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang lolos tahap ketiga memiliki transaksi mencurigakan.
Catatan tersebut telah diserahkan Yusuf kepada Presiden Joko Widodo.
“Saya katakan ke Presiden, semua 10,” ujar Yusuf saat dihubungi, Rabu (12/8/2015) malam.
Yusuf mengatakan, 10 orang tersebut ada yang diberi catatan ringan hingga berat. Namun, ia tidak mau membuka siapa saja pemilik transaksi mencurigakan tesebut.
“Tidak boleh saya komentari,” kata Yusuf. 
Catatan tersebut diinformasikan kepada Presiden Jokowi sebelum Pansel KPK mengumumkan 19 orang yang lolos seleksi tahap ketiga. Saat disinggung apakah nama-nama pemilik transaksi mencurigakan itu ada dalam daftar 19 orang yang lolos, Yusuf enggan mengungkapkannya. Ia menyerahkan penilaian tersebut kepada Pansel. 
“Pansel itu nanti diklarifikasi, jadi tanya Pansel biar Pansel yang menilai,” ujarnya.
Proses seleksi calon pimpinan KPK akan memasuki tahap terakhir. Juru Bicara Pansel KPK Betty Alisjahbana mengatakan, tes selanjutnya merupakan tes kesehatan dan wawancara yang akan dilakukan pada 24-26 Agustus 2015. Nantinya, mereka akan menjalani tes tahap empat secara paralel. 
“Saat wawancara, mereka akan menghadapi sembilan orang yang berasal dari tim Pansel. Materi yang akan ditanyakan pun berbeda-beda,” ujar Betti.
Nama-nama yang lolos tahap keempat nantinya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo pada 31 Agustus 2015. Berikut 19 nama capim KPK yang lolos tes tahap ketiga:
1. Ade Maman Suherman (Ketua Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran Universitas Jenderal Soedirman) 
2. Agus Rahardjo (Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan) 
3. Alexander Marwata (Hakim Ad Hoc Tipikor PN Jakarta Pusat) 
4. Brigjen Pol Basaria Panjaitan (Widyaiswara Madya Sespimti Polri) 
5. Budi Santoso (Komisioner Ombudsman) 
6. Chesna Fizetty Anwar (Direktur Kepatuhan Standard Chartered Bank) 
7. Firmansyah TG Satya (Pendiri dan Direktur Intercapita Advisory, Consultant Strategic and Business, Investment Banking, Audit and Governance Risk Management) 
8. Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK) 
9. Mayjen TNI (Purn) Hendardji Soepandji (mantan Aspam KSAD) 
10. Jimmly Asshiddiqie (Ketua DKPP) 
11. Johan Budi SP (Pimpinan sementara KPK) 
12. Laode Muhammad Syarif (Lektor Universitas Hasanuddin) 
13. Mohammad Gudono (Ketua Komite Audit UGM dan Direktur Program Studi Magister Akuntansi FEB UGM) 
14. Nina Nurlina Pramono (Direktur Eksekutif Pertamina Foundation) 
15. Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala BIN) 
16. Sri Harijati (Direktur Perdata Jam Datun Kejaksaan Agung) 
17. Sujanarko (Direktur pada Direktorat Pembinaan Jaringan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK) 
18. Surya Tjandra (pengacara publik) 
19. Irjen Pol Yotje Mende (eks Kapolda Papua)