TuK Nilai Banyak Perusahaan Sawit Beroperasi Tanpa HGU

BANGGAI – Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK) menilai, banyak perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan Indonesia Timur tanpa adanya hak guna usaha (HGU).
Sehingga mereka meminta pemerintah dan penegak untuk mengkaji ulang izin usaha dan izin lokasi.
“Semakin ke ujung, semakin banyak yang beroperasi tanpa HGU. Maka sudah saatnya menteri agraria memiliki komitmen yang kuat menyelesaikan masalah ini. KPK, PPATK, dan Pajak juga perlu melakukan konsolidasi sehingga kesemrawutan bisa terurai,” ujar Direktur Advokasi Tuk Indonesia, Edisutrisno,
Selain tidak ada HGU, katanya, sebagaimana dilansir Bisnis, Senin (23/3/2015), sejumlah perusahaan tersebut tidak memberikan laporan kepada Dinas Perkebunan setempat terkait lahan inti dan lahan plasma yang sudah digarap, seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah.
Dijelaskannya, dari 48 perusahaan perkebunan yang beroperasi di Sulteng, sebagian besar tidak memberikan laporan penggunaan lahan inti dan plasma.
Sumber: Info Sawit

Potret Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah

sawit-inti-plasmaLiputan Kegiatan

Media Briefing: Potret Perkebunan Kelapa Sawit di Sulawesi Tengah

Rabu, 25 Maret 2015, Ruang Pertemuan WALHI Sulawesi Tengah.
Secara ekonomi, industri kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang dibanggakan oleh Indonesia, karena memiliki nilai serta prospek masa depan yang baik serta memiliki daya saing yang tinggi sebagai industri minyak sawit. Dimana sawit adalah salah satu sumber yang paling kompetitif di dunia untuk biofules dan sebagai sumber makanan. Sedangkan pengembangan dari limbah kelapa sawit ini masih digunakan untuk keperluan industri oleokimia, seperti pembuatan deterjen, sabun dan bahan kosmetik.
Diperkirakan di tahun-tahun mendatang akan dibutuhkan lebih banyak lagi produksi makanan untuk memberi makan penduduk bumi yang semakin meningkat setiap tahunnya. Dengan begitu dibutuhkan lebih banyak minyak untuk penggunaan pembuatan makanan.
Potensi inilah yang dilihat oleh para pengusaha atau investor sebagai peluang besar untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Sehingga tidak mengherankan mereka melakukan proses ekspansi dalam skala yang besar lahan dan sumber daya yang ada di sektor kelapa sawit ini, laju ekspansi di sektor ini terjadi begitu cepat dan massiv, dengan dukungan finansial yang besar yang dimiliki oleh pengusaha memudahkan mereka untuk mengembangkan perusahan-perusahaan kelapa sawit mereka.
Bertempat di ruang pertemuan WALHI Sulawesi Tengah di Jln Kihajar Dewantara, Lorong Bakti Baru No.15A, Perkumpulan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK-INDONESIA) bersama-sama Perkumpulan Evergreen Indonesia dan WALHI Sulawesi Tengah menggelar media briefing terkait dengan temuan-temuan di lapangan yang terjadi akibat dari ekspansi perkebunan kelapa sawit dalam skala besar yang ada di Sulawesi Tengah.
Direktur Eksekutif WALHI Sulawesi Tengah, Ahmad, memaparkan, “apa yang kita ingin sampaikan hari ini sebenarnya adalah informasi dari proses advokasi yang sudah dilakukan sejak tahun 2009 dan ditambah dengan informasi dari hasil perjalanan kami selama kurang lebih dua mingggu terakhir ke Kabupaten Morowali Utara dan Kabupaten Banggai. Jika mengacu kepada data yang direkap oleh dinas perkebunan provinsi, luas areal perkebunan sawit di Sulawesi Tengah adalah 693.699 ha, dengan rincian untuk izin lokasi seluas 250.763 ha, izin usaha perkebunan seluas 294.545 ha dan hak guna usaha seluas 148.390, yang dikuasai oleh 48 perusahaan.
Di perkebunan kelapa sawit satu perusahaan harus melalui beberapa tahapan untuk mendapatkan izin lokasi terlebih dahulu, setelah melewati proses verifikasi dan sebagainya kemudian baru ada izin usaha perkebunan, jika dianggap tidak ada masalah atau istilah pemerintah itu adalah clear and clean baru ada hak guna usaha.
Di Sulawesi Tengah itu sendiri ada 48 perusahaan kelapa sawit yang beroperasi, namun hanya 14 perusahaan yang memiliki Hak Guna Usaha, sehingga sisanya beraktifitas tanpa Hak Guna Usaha, diantaranya Astra Agro Lestari dengan 98 ribu hektar dengan 90 persen tanpa HGU, Sinar Mas dengan kelompoknya SMART yang menguasai 61 ribu hektar tanpa HGU, dan Kencana Agri yang menguasai areal lebih dari 55 ribu hektar yang telah memiliki HGU dan sekitar hampir 30 ribu hektar yang dikuasai tanpa HGU”.
Lanjut Ahmad, “dari aktifitas perusahaan-perusahaan tersebut ada beberapa permasalahan yang muncul akibat dari operasi yang dilakukan, seperti:

  1. Permasalahan soal konversi kawasan hutan, perusahaan mengkonversi kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi menjadi perkebunan kelapa sawit yang tumbuh di atas kawasan hutan produksi dan kawasan konservasi. Seperti yang terjadi Kecamatan Bualemo sekitar 250 hektar dan Morowali Utara lebih dari 2.000 hektar, yang terjadi secara massive.
  2. Permasalahan berikutnya adalah soal perampasan tanah yang terjadi hampir diseluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perampasan terjadi atas tanah petani yang memiliki sertifikat, surat pemilikan tanah dan surat atau alat bukt lainnya. Tanah tersebut diambil dengan janji plasma, tanpa adanya proses pembebasan tanah seperti proses jual beli.
  3. Permasalahan yang lain adalah soal eksploitasi buruh atau tenaga kerja, karena buruh bekerja dan diupah di bawah UMP provinsi yakni kurang lebih 1,5 juta/bulan. Di perusahan-perusahaan kelapa sawit ini buruh digaji rata-rata 1 juta/bulan. Eksploitasi secara massive juga terjadi atas buruh-buruh perempuan, temuan yang terjadi seperti di  Wira Mas Permai yang merupakan anak perusahaan dari Kencana Agri Group adalah salah satu ibu hamil baru berhenti bekerja 1-4 hari sebelum melahirkan kemudian kembali bekerja 1 bulan setelah melahirkan, persoalan lainnya adalah terkait tidak adanya keselamatan kerja bagi para pekerja, faktanya adalah salah satu orang buruh perempuan mengalami kebutaan di mata kirinya karena terkena pupuk pestisida saat proses pemupukan kebun sawit.
  1. Permasalahan yang berikutnya adalah soal kebun plasma yang dijanjikan oleh perusahaan saat pertama kali sosialisasi kepada masyarakat, namun hingga saat ini tidak pernah dilakukan oleh perusahaan. Ada perusahaan yang beroperasi hanya memegang izin lokasi sehingga bisa dikatakan pelanggaran administratif.

Selanjutnya selama kurang lebih dua minggu ini Walhi Sulawesi Tengah bersama-sama dengan Perkumpulan Evergreen Indonesia dan TuK INDONESIA kembali melakukan memonitor dan melakukan investigasi. Walhi Sulwesi Tengah bersama Perkumpulan Evergreen Indonesia, TuK INDONESIA serta masyarakat di Morowali Utara dan Banggai terus melakuakn proses advokasi untuk mengupayakan bagaimana tanah-tanah warga ini kembali, dan untuk mendapatkan kebun plasma, kami juga terlibat melakukan advokasi terhadap hak-hak buruh yang menuntut pesangon setelah di-PHK oleh PT Wira Mas Permai.
Walhi Sulawesi Tengah dan TuK INDONESIA juga telah mengidentifikasi bank-bank mana saja yang memberikan pinjamannya kepada kelompok-kelompok perkebunan kelapa sawit ini, kami juga akan melakukan advokasi terkait dengan sektor keuangannya, melakukan komplain terhadap pemberi dana ini bahwa fakta dampak dari perkebunan kelapa sawit ini sangat buruk karena adanya perampasan tanah, penggusuran dan pengerusakan lingkungan, ini untuk menekan bank-bank atau lembaga-lembaga perbankan tersebut untuk menerapkan standar yang lebih ketat ketika memberikan investasinya di sektor perkebunan, pungkasnya”.
Direktur Advokasi TuK INDONESIA, Edisutrisno menjelaskan, “jika terkait perampasan tanah ini memang sangat sulit untuk melakukan di ruang litigasi dalam hal ini peradilan karena ruang ini terlalu kejam untuk komunitas sehingga kita tidak akan mengambil langkah itu, namun kita masih yakin bahwa ruang di eksekutif itu masih memungkinkan, masyarakat akan melakukan advokasi ke ranah itu dalam hal ini BPN agar BPN melakukan review terhadap HGU yang telah mereka terbitkan. Masyarakat dalam waktu dekat paling telat bulan April juga akan mengirimkan surat ke Kementerian Agraria agar Menteri Agraria segera melakukan review itu dan memastikan tanah tersebut kembali kepada pemilik semula yakni masyarakat”.
Media Briefing ini dihadiri oleh media lokal di Palu, diantaranya Pos Palu, Luwuk Post, Kompas Palu dan Metro Sulawesi serta kawan-kawan NGO lokal; WALHI Sulawesi Tengah, Perkumpulan Evergreen Indonesia, TuK INDONESIA, JATAM Sulteng dan YMP Palu.
 

Wiramas Permai Didesak Bangun Inti Plasma

sawit-9Bisnis.com, LUWUK, Sulteng- PT Wiramas Permai, perusahaan kelapa sawit yang mendapatkan izin usaha perkebunan (IUP) di Kabupaten Banggai, Kecamatan Boalemo, Sulawesi Tengah didesak untuk segera meralisasikan kebun inti plasma bagi warga di kawasan tersebut.
Pasalnya, sejak menggarap kebun sawit dengan luasan sekitar 6.000 ha di Kecamatan Boalemo pada 2009, anak usaha Kencana Agri Ltd ini (perusahaan sawit yang sahamnya tercatat di bursa Singapura), belum juga memenuhi kewajibannya.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No 98/2013, perusahaan yang memiliki izin usaha perkebunan wajib membangun kebun untuk masyarakat (perkebunan plasma) paling rendah 20% dari total luas area kebun yang diusahakan oleh perusahaan.
Desakan tersebut disampaikan 179 buruh yang di-PHK perusahaan pada Februari lalu.
Dari surat resmi yang ditandangani Agustinus A Suprapto, Senior Manager HRD &GA PT Wiramas Kencana pemecatan tersebut dilakukan hanya karena alasan kondisi lahan secara kultur teknis tidak mungkin dikembangkan dan curah hujan yang di bawah agronomis. serta jumlah tenaga kerja yang dinilai melebihi normal luasan efektif perkebunan.
“Kami minta perusahaan beri pesangon tapi yang dikasi hanya uang tali kasih yang nilainya Rp1 juta sampai Rp2 juta untuk kami yang sudah bekerja sekitar 5 tahun. Sekarang kami juga desak mereka melakukan kewajibannya membangun inti plasma. Karena waktu mau ke sini (Kecamatan Boalemo) mereka janji mau bangun itu (inti plasma) tapi sampai sekarang mana, tak ada,” ujar Mustar Djangkuton, mantan mandor yang juga terkena PHK kepada Bisnis, Kamis (19/3/2015)
Sebab, setelah di PHK, praktis warga tidak lagi memiliki penghasilan. Begitu pula dengan masyarakat yang 300 hektar lahan perkebunan mereka dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit.
Untuk menuntut haknya, mereka melakukan unjuk rasa di gedung DPRD Luwuk dan kantor Bupati. Bahkan, mereka rela tidur di depan gedung DPRD untuk bertemu dengan anggota DPRD dan Wakil Bupati agar para wakil rakyat dan pemerintah daerah dapat segera mewujudkan hak para warga.
Sumber: Bisnis Indonesia

70% Perusahaan Sawit Di Sulteng Beroperasi Ilegal

kebun-sawit10Bisnis.com, BANGGAI – Lebih dari 70% perusahaan kelapa sawit yang memiliki izin lokasi dan izin usaha perkebunan di Sulawesi Tengah, beroperasi tanpa mengantongi Hak Guna Usaha.
Berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah terdapat sekitar 48 perusahaan dengan luas lahan lebih dari 650.000 hektar. Sebagian besar dikuasai anak usaha PT Astra Agro Lestari, Sinarmas Group, dan Kencana Agri Ltd.
Dari 48 perusahaan tersebut, hanya 14 yang sudah mengantongi HGU, sementara sisanya belum memiliki. Padahal, sebagian besar ijin lokasi dan ijin usaha perusahaan sudah dikeluarkan lebih dari tiga tahun, bahkan ada yang dari 2007 seperti yang dimiliki PT Rimbunan Alam Sentosa, PT Cipta Agro Nusantara, PT Kirana Sinar Gemilang, dan PT Pritama Kreasi Mas.
Edisutrisno, Direktur Advokasi Transformasi untuk Keadilan Indonesia, mengatakan meski tidak memiliki HGU, namun berdasarkan pantaun TuK Indonesia di sejumlah wilayah Sulawesi Tengah, perusahaan tersebut tetap saja menggarap lahan yang belum menjadi haknya. Hal tersebut bertentangan dengan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan PP No 40/1996 tentang Hak Guna Usaha.
“Perusahaan ini dalam praktiknya sering menunda menerbitkan HGU, padahal sudah menguasai ribuan hektar lahan. Tanpa HGU, artinya mereka beroperasi secara illegal, ini yang dirugikan pemerintah karena tidak ada pemasukan pajak, dan juga warga yang tanahnya diambil,” ujarnya kepada Bisnis.com ketika melakukan kunjungan ke Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulteng, pekan lalu.
Sumber: Bisnis Indonesia

Perkebunan Sawit: Banyak Perusahaan Beroperasi Tanpa HGU

130509_kebun sawitBisnis.com, BANGGAI, Sulteng – Transformasi untuk Keadilan Indonesia meminta pemerintah dan penegak hukum mengkaji ulang ijin usaha dan ijin lokasi perusahaan perkebunan mengingat banyaknya perusahaan yang beroperasi tanpa hak guna usaha.
Edisutrisno, Direktur Advokasi Transformasi untuk Keadilan Indonesia mengatakan praktik tersebut banyak terjadi di Kawasan Indonesia Timur yang jauh dari pantauan dan jangkauan pemerintah, padahal memiliki potensi lahan yang luas untuk digarap.
“Semakin ke ujung, semakin banyak yang beroperasi tanpa HGU. Maka sudah saatnya menteri agraria memiliki komitmen yang kuat menyelesaikan masalah ini. KPK, PPATK, dan Pajak juga perlu melakukan konsolidasi sehingga kesemrawutan bisa terurai,” ujarnya ketika berbincang dengan Bisnis, saat melakukan kunjungan ke Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulteng, pekan lalu.
Di samping tidak memiliki HGU, sejumlah perusahaan tersebut juga tidak memberikan laporan kepada Dinas Perkebunan setempat terkait lahan inti dan lahan plasma yang sudah digarap, seperti yang terjadi di kawasan Sulawesi Tengah.
Dari 48 perusahaan perkebunan yang beroperasi, sebagian besar tidak memberikan laporan penggunaan lahan inti dan plasma.
KPK pun menurutnya harus segera masuk dalam isu perkebunan sawit ini. Pasalnya, ketika tidak memiliki HGU maka perusahaan sudah menggunakan lahan secara ilegal dan tidak memberikan pajak kepada Negara.
“KPK harus masuk, karena ini suatu bentuk proses pemiskinan Negara sebab tidak ada pajak yang masuk, padahal yang digunakan tanah Negara. Praktik ini dilakukan oknum pejabat yang di-support oleh korporasi,” tuturnya.
Sumber: Bisnis Indonesia

Ekspansi Perkebunan Sawit: Perusahaan Ini Bayar Lahan Warga Rp750.000 Per Hektar

sawit-13Bisnis.com, BANGGAI, Sulteng — Proses ekspansi yang dilakukan perusahaan sawit Kencana Agri Ltd melalui anak usahanya PT Wiramas Permai di Kecamatan Banggai, Kabupaten Boalemo menimbulkan sejumlah permasalahan sosial.
Edisutrisno, Direktur Advokasi Trasformasi untuk Keadilan Indonesia mengatakan permasalah pertama ialah konflik agraria. Mengingat lebih dari 400 hektar lahan perkebunan dan pertanian yang dimiliki warga dikonversi menjadi areal perkebunan sawit yang diistilahkan Ganti Rugi Tanaman Tumbuh (GRTT) tanpa proses yang transparan.
“Awalnya warga memaknai GRTT hanya ganti rugi tanaman sedangkan tanahnya akan dijadikan kebun plasma yang nantinya akan jadi milik masyarakat. Namun ketika proses ganti rugi warga hanya disodori kwitansi pembayaran tanah seharga Rp750.000 per hektar, dan lahan dijadikan hak milik perusahaan semua,” ujarnya ketika berbincang dengan Bisnis, ketika melakukan kunjungan ke Kabupaten Banggai, Kecamatan Bualemo, Sulteng, pekan lalu.
Hal ini dibenarkan Amna, salah seorang warga yang kebunnya dikonversi 2 hektar. Menurutnya, kala itu warga rela memberikan lahan dengan harga rendah karena perusahaan berjanji mensejahterakan warga. Antara lain membuka lapangan kerja, membangun fasilitas dan memberikan inti plasma 20% dari lahan perkebunannya.
“Kalau waktu itu mereka tidak bicara seperti itu ya mana mau kami memberikan lahan. Tapi mereka janji mau mensejahterakan warga dan membuat ini plasma, tapi apa? Tak ada plasma. Malah setelah lahannya berbuah dan menghasilkan justru kami dipecat,” keluh wanita yang sempat menjadi buruh di PT Wiramas Permai.
Kedua, masalah perburuhan yang tidak memenuhi syarat kontrak ikatan kerja, terutama buruh harian lepas, upah di bawah UMP, tidak memiliki organisasi perburuhan. Selain itu, tidak adanya jaminan kesehatan dan standar keselamatan kerja yang memadai.
Hal ini menyebabkan adanya buruh yang harus kehilangan penglihatan seperti yang dialami Saani, bahkan ada pula yang meninggal dunia ketika tengah menjaga kebun.
Setidaknya terdapat 179 buruh yang di PHK karena alasan kondisi alam dan jumlah pekerja yang melebihi luasan perkebunan.
Mustar Djangkuton, mantan mandor mengakui setelah lima tahun bekerja sejak perusahaan ekspansi pada 2009, warga hanya dijadikan pekerja harian lepas. Meski harian, mereka digaji bulanan yang kadang tidak sesuai nilainya.
“Seharusnya kami bekerja 25 hari tapi semakin ke sini hari kerja hanya 15 hari. Seharusnya kami dibayar Rp900.000 kalau kerja 15 hari tapi hanya Rp500.000 an perbulan,” ujarnya.
Sumber: Bisnis Indonesia

Journalist Trip ke Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah .

Liputan Kegiatan Journalist Trip
Kecamatan Bualemo, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah

Kamis – Sabtu, 19-21 Maret 2015.???????????????????????????????
Sawit merupakan salah satu sumber yang paling kompetitif di dunia untuk biofules, industri kelapa sawit ini juga memiliki prospek dan masa depan yang cerah. Pengembangan produk kelapa sawit diperoleh dari produk utama yakni kelapa sawit dan minyak inti sawit seperti minyak goreng, kemudian pengembangan produk dari limbah sawit juga merangsang pertumbuhan industri barang konsumen seperti deterjen dan kosmetik.
Diperkirakan pada 2030 akan dibutuhkan lebih banyak produksi makanan untuk memberi makan penduduk dunia yang semakin meningkat. Berdasarkan perhitungan konservatif, pada tahun itu dunia akan mengkonsumsi 48 juta MT lebih minyak untuk penggunaan makanan, sehingga dibutuhkan peningkatan sebesar 30 juta MT yang harus dipenuhi dalam 20 tahun. Indonesia seharusnya dapat berperan besar dalam menangkap peluang ini. Daya tarik inilah yang membuat proses ekspansi kelapa sawit dalam skala besar di Indonesia pada umumnya dan di Sulawesi Tengah secara khusus, tepatnya di Kecamatan Bualemo terjadi begitu cepat dan massive.
Proses ekspansi dalam skala besar ini tentunya menciptakan berbagai macam permasalahan, dampak negatif yang timbul dari proses tersebut merupakan konsekuensi yang harus ditanggung oleh negara dan tentunya mesti ditanggung oleh masyarakat sekitar tempat perusahaan melakukan ekspansinya.
Journalist trip ini merupakan agenda lanjutan setelah TuK INDONESIA bersama Profundo merilis hasil kajian tentang Kuasa Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia pada bulan Februrari 2015 yang lalu, dimana sebanyak 25 grup bisnis kelapa sawit yang dikendalikan oleh 29 orang taipan menguasai lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia melalui proses ekspansi dalam skala besar. Journalist trip ini juga untuk mengungkapkan fakta lapangan yang terjadi dan menguatkan hasil kajian.
TuK INDONESIA bersama salah satu media nasional yang berdomisili di Jakarta yakni Bisnis Indonesia melakukan journalist trip selama 3 hari di Kecamatan Bualemo Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah, dengan mengunjungi beberapa desa diantaranya, Desa Toiba, Desa Longkoga Timur dan Barat, Desa Malik serta lembah Tompotika untuk bertemu masyarakat, kemudian berdiskusi dan mendapatkan informasi seputar proses ekspansi salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Banggai yakni PT Wiramas Permai. Kami juga datang dan berdiskusi ke kantor perusahaan tersebut serta bertemu dengan pihak manajemen, di hari terakhir journalist trip ini kami bertemu dan berdiskusi dengan salah satu ketua kelompok plasma yang ada di daerah transmigrasi di Desa Benteng.
Selama 3 hari melakukan perjalanan tersebut, ditemukan berbagai macam pelanggaran dan kerusakan lingkungan di sekitar lokasi tempat perusahaan melakukan ekspansinya. Hilangnya akses masyarakat ke tanah yang mereka miliki, terputusnya mata pencaharaian masyarakat, rusaknya lingkungan tempat masyarakat tinggal serta masyarakat tidak mendapatkan tanah plasma sebagaimana yang tertuang di dalam Permentan 98 tahun 2013. Kemudian adanya permasalahan dan pelanggaran terhadap para buruh di perusahaan tersebut, upah buruh yang rendah bahkan tidak mencapai UMP yang ditetapkan oleh provinsi sebesar Rp 1.450.000/bulan, tidak jelasnya status para buruh, tidak adanya keselamatan dan jaminan kerja ini terbukti ada salah satu buruh yaitu Ibu Saani yang mengalami kebutaan di mata sebelah kiri karena terkena pupuk pestisida ini terjadi dikarenakan tidak adanya alat kelengkapan untuk keselamatan kerja, dan hingga akhirnya terjadi pemecatan buruh sebanyak 179 orang secara sepihak dengan berbagai macam alasan dari perusahaan.
Beragam permasalahan dan pelanggaran yang terjadi di atas tadi, sebagai pengungkapan fakta lapangan dan menguatkan hasil kajian bahwa ekspansi dalam jumlah besar yang dilakukan para taipan pada sektor ini telah menciptakan kerugian yang sangat besar terhadap masyarakat dan negara, sehingga negara dituntut harus segera melakukan tindakan tegas terhadap perusahaan yang melanggar. Misalnya mencabut izin perusahaan dan melakukan intervensi melalui salah satu lembaga negara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal dukungan dana dan pembiayaan yang selama ini didapatkan pengusaha atau para taipan sebagai pinjaman dari bank, baik bank domestik maupun asing untuk mengembangkan perusahaan-perusahaan mereka.

[TuK INDONESIA] Produksi Minyak Sawit dan Pelanggaran HAM

Bisnis online menerbitkan dua artikel tentang kampanye hitam sawit [note] Kampanye Hitam Sawit, Kementan Bilang Petani Kuasai 4,4 Juta Hektare, akses di http://industri.bisnis.com/read/20150216/99/403377/kampanye-hitam-sawit-kementan-bilang-petani-kuasai-44-juta-hektare[/note] (16/02/2015 21:02 WIB) dan kampanye negatif sawit (18/02/2015 14:25 WIB) [note] Kampanye Negatif Sawit, Gapki Tolak Masalah Lahan Dikaitkan HAM, akses di http://industri.bisnis.com/read/20150218/99/404111/kampanye-negatif-sawit-gapki-tolak-masalah-lahan-dikaitkan-ham [/note] merupakan pandangan pemerintah dan pengusaha. Pembaca dan publik berhak atas informasi dan berita yang nyata dan objektif.
Artikel ini tidak akan mempertanyakan makna kampanye hitam dan kampanye negatif. Artikel ini mencoba menjabarkan sejumlah hubungan antara produksi minyak sawit dan pelanggaran HAM. Selain memang telah banyak laporan publikasi terkait pelanggaran HAM oleh kegiatan industri produksi minyak sawit (Promised Land, 20053[note] http://sawitwatch.or.id/2012/01/final-land-acquisition-book/[/note]; Losing Ground, 2008[note]http://sawitwatch.or.id/2012/01/palm-impact-in-ecology-and-social/ [/note]; Conflict or Consent, 2013 [note]http://www.tuk.or.id/2015/01/conflict-or-consent/[/note]; Institute for Ecosoc Rights, 2015).
Banyaknya kasus pertanahan perkebunan kelapa sawit berbagai daerah Kabupaten memberi contoh bagaimana pembebasan lahan yang dimiliki komunitas lokal atas nama kelapa sawit dimudahkan oleh lemahnya perlindungan hukum terhadap hak-hak masyarakat atas lahan, hutan dan daerah-daerah lain yang penting bagi sumber penghidupan mereka. Beberapa celah hukum tersebut diuraikan di bawah ini.
a) ‘Penguasaan bumi, air dan sumber daya alam yang terkandung di dalamnya untuk kemakmuran rakyat’ sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UUD Republik Indonesia Tahun 1945 secara sepihak ditafsirkan dan dilaksanakan oleh pemerintah melalui model dan program pembangunan yang kurang melibatkan partisipasi yang demokratis, termasuk di dalam rencana-rencana pengembangan perkebunan kelapa sawit. Dalam praktiknya, pengembangan kelapa sawit dipaksakan kepada masyarakat tanpa memberi mereka posisi tawar yang besar atau hak untuk berunding atau menolak ketentuan-ketentuan pembangunan;
b) Berkenaan dengan tanah, pemerintah telah mengunci dirinya sendiri ke dalam interpretasi sempit dari tanah negara yang telah menjadi obyek perkebunan kelapa sawit skala besar. Meskipun hukum Indonesia telah cukup jelas dalam perbedaan antara tanah negara tanpa hak dengan status bebas dengan tanah negara yang dibebani hak, dalam praktiknya, perbedaan-perbedaan hukum tersebut tidak memberikan cukup perlindungan bagi masyarakat untuk menguasai, mengelola dan menggunakan tanah mereka;
c) Otoritas pemerintah mewajibkan bukti kepemilikan dalam bentuk hak tanah atau sertifikat tanah untuk membuktikan hak-hak sesungguhnya atas tanah negara, sesuai dengan peraturan perundangan administrasi pertanahan. UU administrasi pertanahan tersebut tidak mengakui berbagai bentuk hak atas tanah, seperti hak atas tanah yang tidak ditempati atau yang secara aktif atau teratur digunakan oleh perorangan namun memiliki fungsi penting bagi masyarakat dan mata pencaharian mereka, seperti kawasan hutan, daerah aliran sungai, dan tempat-tempat sosial dan budaya lainnya;
d) peraturan perundangan yang lemah dan kurangnya pengetahuan dan pemahaman di kalangan otoritas pemerintah tentang sistem penguasaan masyarakat atas lahan di tingkat lokal menimbulkan ketimpangan kekuatan yang tidak berpihak pada masyarakat dalam perundingan dengan perusahaan. Di satu sisi, perusahaan menggunakan ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk merundingkan cara-cara memperoleh hak pemanfaatan lahan masyarakat. Izin Lokasi, misalnya, dalam praktiknya selalu diartikan sebagai hak atas keseluruhan lahan dan daerah yang ditetapkan dalam izin lokasi. Di sisi lain, masyarakat kekurangan dukungan dan informasi untuk melawan dan mencegah konversi lahan dan pola mata pencaharian mereka tanpa persetujuan penuh dan diinformasikan mereka;
e) Salah satu konsekuensi dari ketidakseimbangan dalam daya tawar ini adalah bahwa masyarakat sering mendapati diri mereka hanya mendapat ganti rugi untuk kerusakan tanaman mereka, yang jauh dari memadai mengingat perubahan radikal dalam cara hidup mereka dan ancaman terhadap keamanan ekonomi mereka yang diakibatkan oleh pembangunan tersebut.
Hambatan-hambatan yang diuraikan di atas telah mengakibatkan pengabaian yang meluas oleh pemerintah dari kewajibannya untuk memberikan perlindungan secara penuh dan efektif terhadap hak-hak konstitusional masyarakat adat dan masyarakat lokal. Sebagaimana telah dibahas dengan panjang lebar di sumber-sumber lain (Promised Land, 2005; Losing Ground, 2008; Ghosts on our own land, 2006; Ecosoc Institute, 2015), pelanggaran-pelanggaran ini setidaknya melanggar pasal-pasal dalam UUD 1945 di bawah ini:
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang;
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Pasal 28H
(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;
(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan;
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat;
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang oleh siapa pun.
Pasal 28I
(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu;
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban;
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pasal 33:
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional;
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Bagaimana dengan minyak sawit yang anda beli dan konsumsi saat ini? Silakan anda periksa dan tanyakan kepada perusahaan yang mengolah minyak sawit menjadi minyak goreng yang anda pakai sehari-hari. Merupakan langkah maju apabila perusahaan tersebut memberitahukan kebun dan pabrik darimana minyak sawit berasal atau diproduksi sebelum diolah menjadi minyak goreng dari buah kelapa sawit segar dan terbaik.
Redaksi percaya, bahwa produksi minyak sawit yang berkelanjutan, bertanggung jawab dan berkeadilan tentu tidak melanggar atau memanfaatkan kelemahan hukum. Dengan kata lain, minyak sawit dihasilkan dengan cara tidak melanggar pasal-pasal UUD diatas, secara moral dan sosial, tentu layak disebut tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM.

Holcim Ltd Harus Bertanggung Jawab Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo

Pernyataan Pers Bersama

ELSAM – Fransiscans International – Sitas Desa – Paguyuban Petani Aryo Blitar – TuK Indonesia – Konsorsium Pembaruan Agraria – AURIGA

Holcim Ltd Harus Bertanggung Jawab Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo
Jakarta-Switzerland, 19/03 – Hari ini, masyarakat sipil yang selama ini membela warga Ringinrejo, Wates, Blitar, Jawa Timur dalam memperjuangkan hak kelolanya dari pengambilalihan lahan yang dilakukan Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia, mengadukan permasalahan tersebut ke National Contact Point Switzerland, karena operasi Holcim tersebut berdampak buruk terhadap Hak Asasi Manusia masyarakat setempat.
Pengaduan yang kami sampaikan merupakan pengaduan yang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises (OECD Guidelines for MNE’s). Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi.
Di Blitar, lahan seluas ± 724,23 Hektar yang dikelola ± 826 Kepala Keluarga ditanami jagung, ketela & semangka di Desa Ringinrejo, Blitar, Jawa Timur, Indonesia telah menjadi sumber penghidupan warga selama 19 (Sembilan belas) tahun lamanya, kini terancam digusur. Karena, lahan yang dikelola warga tersebut, sejak tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT. Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti (dijadikan hutan), karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen.
Penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang manipulatif. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 19 (sembilan belas) tahun lamanya, bahkan justru tawaran ganti rugi atau kompensasi dilakukan kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut. Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) dalam pemberian lahan kompensasi kepada Kementerian Kehutanan dapat dinyatakan sebagai berikut:
1.  Lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan Indonesia. Yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Karena Karena berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). Karena, fakta di lapangan masih terdapat ±826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun.
2.  Melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Pihak PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) telah melakukan sosialisasi/musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi, namun musyawarah/sosialisasi tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo. Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga tersebut, PT. Holcim Indonesia Tbk. melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut.
3.  Persetujuan Atau Kesepakatan Bersama Dibuat Secara Tidak Transparan. Dalam proses negosiasi untuk membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan yang dilakukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia Permohonan Tanah di Desa Ringinrejo, dan sampai memiliki buah kesepakatan bersama (Pernyataan Bersama) yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Ringinrejo menerima pemberian lahan seluas 40Ha dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008. Namun ternyata dalam memperoleh tandatangan untuk pernyataan tersebut Panitia Permohonan Tanah tidak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan bagi warga Desa Ringinrejo tentang isi pernyataan tersebut.
Tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia; bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik. Serta bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.
Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim, dan dengan difasilitasi NCP, dapat dicapai putusan agar Holcim mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo; atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan yang final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Sehingga dampak kerugian yang dialami warga dapat dipulihkan sepenuhnya.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan
Jakarta-Geneva, 19 Maret 2015 

Hormat kami,

 

Kontak:

Andi Muttaqien          08121996984             (ELSAM, Jakarta-Indonesia)
Farhan Mahfudzi        081555859984          (Sitas Desa, Blitar-Indonesia)
Budi Tjahjono            +41227794010           (Frasiscans International, Geneva-Switzerland)

BIADAB – Penggunaan kekerasan didalam Menyelesaikan Konflik

Biadab. Itu kata yang pantas untuk menggambarkan peristiwa terhadap almarhum Indra Kailani, anggota Serikat Petani Tebo. Ormas tani yang memperjuangkan petani di Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Kabupaten Tebo tanggal 27 Februari 2015. Pria yang baru berumur 23 tahun tewas dibunuh secara biadab oleh Unit reaksi cepat security PT. WKS.

Tanpa melepaskan motif sesungguhnya yang melatarbelakangi peristiwa, perlakuan terhadap korban merupakan cara-cara biadab yang mengingatkan cara-cara digunakan dalam peristiwa G 30 S/PKI. Perlakuan terhadap almarhum mengingatkan cara-cara kejahatan terhadap kejahatan didalam perang dunia dan kejahatan terhadap HAM.

Bayangkan. Perkelahian dimulai. Pada jam 14.00 wib saudara Indra (korban) menjemput saudara Nick Karim (Tim WALHI Jambi) dengan menggunakan sepeda motor GL Pro di simpang niam yang baru saja datang dari kota jambi. Sekitar jam 16.03 wib Indra (korban) bersama Nick Karim sampai pada pos kembar security di stop oleh tim URC (Unit Reaksi Cepat) PT. Wirakarya Sakti sebanyak 2 (dua) orang, lantas mereka bertanya (URC) terhadap korban dan Nick Karim “Mau Kemana”?, dijawab oleh Nick Karim mau kedalam, kemudian URC membentak Indra (Korban) dengan ucapan “Kau ini belagak nian!!!” (Kau ini sok banget), lantas Indra (Korban) menjawab “Apo Bang” (apa bang), pihak URC langsung memukul Indra (Korban) dari belakang disusul dengan 5 (lima) orang rekan-rekannya untuk memukul korban. Nick Karim berusaha untuk melerai namun upaya itu tidak berhasil karena jumlah URC terlalu banyak, kemudian Nick Karim meminta kepada salah satu Security yang berpakai dinas yang berada di pos untuk membantu menghentikan pemukulan terhadap korban, namun tidak ditanggapi oleh pihak Security tersebut.

Kemudian Nick Karim ditarik oleh Bapak-Bapak yang berada didekat lokasi pos untuk menghindar dan mencari bantuan ke desa Lubuk Mandarsah dusun Pelayang Tebat. Nick Karim tiba di dusun Pelayang Tebat sekitar pukul 16.28 wib meminta pertolongan kepada masyarakat bahwa Indra (korban) di pukuli oleh URC PT.Wirakarya Sakti, mendengar berita tersebut masyarakat sekitar 30 orang langsung menuju ke lokasi pos kembar sekitar jam 16.30 wib, sesampai masyarakat di pos kembar Indra (Korban) tidak berada disitu dan masyarakat langsung menanyakan kepada security (Zulkifli) yang ada di pos kembar “Apakah benar Indra (korban) di keroyok dan dibawak ke Districk 8?”, security tersebut menjawab “tidak tau, silahkan saja bertanya kepada anggota URC”, tim URC yang pada saat itu ada disamping pos security, pada saat masyarakat menanyakan kepada URC, tim URC tersebut sudah dilengkapi dengan senjata tajam (Parang dan Pisau) masyarakat tetap menanyakan keberadaan Indra (korban) “dimana posisi Indra (korban)?”, tim URC menjawab “tidak tau, disini juga tidak terjadi apa-apa”.

Akhirnya masyarakat bertanya kembali kepada security (Zulkifli) yang berada di pos dan security menjawab bahwa Indra (korban) sudah di bawak ke districk 8 menggunakan mobil patroli URC yang bermerek Ford. Karena kekesalan masyarakat terhadap Security, masyarakat langsung mengusir security dan URC dari pos, dilokasi pos masyarakat menemukan senjata tajam seperti parang dan pisau yang di persiapkan oleh tim security dan URC, setelah itu selesai masyarakat bubar dan kembali ke lahan.

Dari informasi yang berhasil didapatkan oleh teman-teman di lapangan, keadaan fisik korban masih berjalan ketika dimasukkan ke mobil perusahaan. Namun mukanya ditutup oleh pakaian dari korban.

Brita kemudian simpang siur. Issu pengeroyokan terhadap almarhum kemudian dibawa ke distrik 8. Namun dari informasi pihak perusahaan sendiri, mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan korban. bahkan mereka sendiri kehilangan jejak termasuk mobil.

Terhadap proses ini kemudian telah dilaporkan kepolisian terdekat.

Pada tanggal 28 Pebruari 2015 sekitar jam 09.00 wib kepala security (Akiet) PT. Wirakarya Sakti menelpon Rudi (WALHI Jambi) mengabarkan bahwa Indra (korban) sudah ditemukan sekitar 7 Km dari lokasi camp districk 8 dengan keadaan tidak bernyawa dan sekarang dalam proses evakuasi dari pihak kepolisian.

Rudi (WALHI Jambi) menelpon Kasat Reserse Polres Tebo untuk memastikan berita tersebut dan kasat menjawab, memang sudah ditemukan korban dengan ciri-ciri rambut keriting, memakain celana pendek dengan keadaan luka memar diseluruh tubuh, bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat, sekarang jenazah dibawa ke rumah sakit tebo untuk dilakukan visum dan otopsi. Setelah mendapatkan informasi dari kasat reserse polres tebo, Rudi (WALHI Jambi) langsung menuju ke rumah sakit untuk memastikan korban yang ditemukan, sesampai dirumah sakit langsung melihat korban dan benar adalah saudara Indra.

Dari rangkaian peristiwa maka terhadap peristiwa harus diletakkan pada pengungkapan kasusnya secara obyektif.

  1. Harus dicari motif utama mengapa URC begitu reaktif dan langsung memukul korban.

  2. Mengapa cara-cara biadab diperlakukan kepada korban. Ada persoalan apa sesungguhnya yang terjadi sehingga pelaku tanpa “babibu” langsung memukul korban.

Misteri kasus ini

Terhadap peristiwa ini, maka masih banyak misteri yang harus diungkapkan.

  1. Mengapa korban dibawa dari pos portal 803 ke distrik 8 ? Apakah distrik 8 tidak mengetahuai kedatangan korban ? Apakah korban “dihabisi” di distrik 8 atau diluar distrik 8 ?

  2. Mengapa mayat ditemukan 7 km dari distrik 8. Apakah ada upaya menghilangkan barang bukti sehingga menutupi kesalahan dan menutup-nutupi kasusnya.

  3. Mengapa korban ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tangan dan kaki terikat. Seluruh tubuh korban penuh dengan luka tusukan, kepala pecah, ada sayatan pisau di wajah korban ? Siapa yang tega melakukan perbuatan ini ? Sungguh biadab.

Melihat kejadian ini maka terhadap peristiwa ini tidak dapat dikategorikan didalam pengeroyokan sebagaimana dilihat di media massa. Menempatkan peristiwa ini sebagai pengeroyokan mengganggu nurani kemanusiaan.

  1. Pengeroyokan

Istilah pengeroyokan tidak terdapat di dalam literature ilmu hokum pidana. Peristiwa pengeroyokan lebih tepat dikategorikan didalam “kekerasan terhadap orang atau benda”. Didalam KUHP diatur didalam pasal 170 KUHP.

Khusus terhadap kekerasan yang menyebabkan matinya rang lain, maka diancam dengan 170 ayat 2 ke 2 KUHP dengan ancaman 12 tahun penjara.

Dalam praktek selama ini, pasal ini diterapkan terhadap pengeroyokan yang bisa menyebabkan matinya orang lain.

Namun didalam melihat peristiwa yang dimaksudkan, maka perbuatan terhadap korban tidak tepat dikategorikan sebagai penerapan pasal 170 KUHP.

Rangkaian pemukulan diikuti dengan membawa pelaku, kemudian pelaku diperlakukan secara biadab yang ditandai dengan bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat dan ditemukan mayat jauh dari lokasi semula (pos portal) tidak dapat dikategorikan sebagai pengeroyokan.

  1. Penculikan “merampas kemerdekaan”

Pasal 333 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Terhadap peristiwa ini bisa dikategorikan perbuatan telah melakukan dengan “menculik korban” dari posportal 803 ke distrik atau setidak-tidaknya dibawa ketempat ditemukannya mayat.

Namun harus dibuktikan apakah penculikan dilakukan kemudian menyebabkan matinya orang lain dan proses ditemukan mayat dari korban.

  1. Pembunuhan berencana

Pembunuhan berencana diatur didalam pasal 340 KUHP. Pembunuhan berencana lebih tepat diterapkan kepada para pelaku dengan melihat fakta-fakta.

  1. Bahwa memang dipersiapkan rencana pembunuhan dengan baik. Ini dimulai dari Sekitar jam 16.03 wib Indra (korban) bersama Nick Karim sampai pada pos kembar security di stop oleh tim URC (Unit Reaksi Cepat) PT. Wirakarya Sakti sebanyak 2 (dua) orang, lantas mereka bertanya (URC) terhadap korban dan Nick Karim “Mau Kemana”?, dijawab oleh Nick Karim mau kedalam, kemudian URC membentak Indra (Korban) dengan ucapan “Kau ini belagak nian!!!” (Kau ini sok banget), lantas Indra (Korban) menjawab “Apo Bang” (apa bang), pihak URC langsung memukul Indra (Korban) dari belakang disusul dengan 5 (lima) orang rekan-rekannya untuk memukul korban

  2. Dengan melihat peristiwa pertama maka memang para pelaku “menjadikan target” terhadap Indra. Sehingga basa-basi di pos adalah rangkaian permulaan untuk “menghabisi” Indra.

  3. Membawa korban dari pos ke distrik atau tempat ditemukannya mayat adalah rangkaian selanjutnya dari rencana pembunuhan berencana.

  4. Berbagai luka-luka yang terdapat didalam diri korban adalah desain yang cukup direncanakan dengan baik.

  5. Akibat dengan keadaan luka memar diseluruh tubuh, bekas sayatan diseluruh tubuh, tanda tusukan benda tajam, benda tumpul dengan keadaan mulut ditutup menggunakan baju, tangan dan kaki diikat adalah tujuan dilakukannya pembunuhan berencana.

  6. membuang mayat dari pos portal 803 adalah rencana yang cukup dipersiapkan dengan baik dari pembunuhan rencana.

Peristiwa ini lebih tepat disebutkan dengan penculikan (merampas kemerdekaan), pembunuhan berencana. Sama sekali tidak bisa sesederhana “pengeroyokan”. Menempatkan peristiwa ini sebagai pengeroyokan mengganggu nurani kemanusiaan.

Melihat rangkaian kejadian dan akibat terhadap korban maka tidak dapat dibenarkan secara hokum. Cara-cara biadab ini harus diungkapkan dan dipertanggungjawabkan secara hokum. Siapapun yang terlibat harus diproses.

WALHI JAMBI, STT, API

contact person

Musri Nauli

Rudiansyah

Riva’i


Unduh versi pdf Rilis Indra