Liputan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Sawit”

IMG_0101-300x200

Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas


Solidaritas Perempuan melakukan Temu dan Konsultasi Perempuan Komunitas “Akses dan Kontrol Terkait Proyek Iklim (REDD+) dan Perkebunan Kelapa Sawit” selama 3 hari (27 – 29 November) di Hotel Puri Yuma-Denpasar, Bali. Bersama 27 perempuan dari 5 wilayah yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sumbawa, Poso dan Sulawesi Tengah, berbagi pengalaman, pengetahuan, inisiatif serta strategi perempuan dalam mengelola sumber daya hutan, mempertahankan dan memperjuangkan hak-haknya, serta melawan ketidakadilan yang dialaminya, akibat kehadiran proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit.
Temu perempuan ini juga menghadirkan 3 narasumber yang memiliki pengetahuan dan expert pada isu perlindungan perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan (Mia Siscawati – Sayogjo Institute), perkebunan kelapa sawit (Norman Jiwan – Transformasi Untuk Keadilan), perubahan iklim dan pendanaan iklim (Titi Soentoro – AKSI!).
Dalam materinya Titi Soentoro menyampaikan Perkembangan Kebijakan, Proyek dan Pendanaan Iklim dalam Konteks Hutan dan Perlindungan Perempuan. Komitment pembiayaan iklim di Indonesia saat ini mencapai $ 4,4 milyar, yang berasal dari Bank Dunia, JICA, USAID, dan lain-lain. Kucuran dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek iklim di Indonesia, seperti geothermal, FIP dan REDD. Selain itu, ada juga Green Climate Fund, yang berkomitment untuk mengeluarkan dana US$ 800 milyar/tahun untuk adaptasi dan mitigasi di Negara berkembang. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah sejauh mana perempuan memperoleh manfaat dari proyek-proyek tersebut?. Proyek iklim ini kenyataannya merugikan masyarakat Indonesia, khususnya perempuan yang tinggal di sekitar hutan, karena tujuan proyek iklim ini bukan lagi untuk menjaga lingkungan, namun hanya untuk bisnis semata.
Persoalan perempuan juga terjadi di perkebunan kelapa sawit juga disampaikan Norman Jiwan, dimana luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini sebanyak 11,5 juta Ha di seluruh indonesia (Data Sawit Watch, tahun 2011), namun ironisnya 60 – 70 % perkebunan sawit yang berada di indonesia dimiliki oleh negara luar seperti Malaysia dan Singapura. Perkebunan kelapa sawit skala besar tidak memiliki dampak positif bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dengan adanya industri ekstraktif ini, masyarakat khususnya perempuan rentan mengalami pelanggaran HAM, pelecehan seksual, bekerja tanpa diupah,eksploitasi tenaga kerja perempuan, karena itulah selain dibutuhkan perlindungan, perempuan juga membutuhkan penghargaan dan penghormatan bagi hak azasi mereka.
Sementara Mia Siscawati dari Sajogjo Institute menyampaikan bahwa perempuan dari dulu telah memiliki peran signifikan dalam pengelolaan hutan. Pengalaman dari berbagai daerah dan dunia, memperlihatkan bagaimana perempuan memperjuangkan hak asasi manusia dan hak asasi perempuan dalam mempertahankan tanah mereka dan lingkungan mereka yang dirampas oleh perusahaan. Eksploitasi dan ekstraksi sumber daya alam yang terjadi sejak kolonial sampai abad 21, akan semakin meningkat dengan ada mega proyek MP3EI yang semakin memudahkan eksploitasi sember daya alam Indonesia oleh perusahaan asing.
Peserta kemudian turut menyampaikan persoalan dan pengalamannya dalam sesi ini, seperti perempuan di Lore Peore, yang berbagi tentang informasi mengenai HGU perkebunan ubi di wilayah mereka. Bagaimana hutan yang selama ini mereka kelola beralih fungsi menjadi perkebunan ubi dengan masa HGU yang terus diperbaharui, namun tanpa memberikan informasi dan melakukan proses persetujuan dengan masyarakat sekitar hutan, khususnya perempuan.

Pembahasan dan berbagai pengalaman perempuan telah membuktikan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan berlapis dengan adanya proyek iklim dan perkebunan kelapa sawit, dimana perempuan tidak dapat lagi mengakses dan mengelola sumber daya hutannya.
(Liputan oleh Margaretha Winda FK)
Link:
http://www.solidaritasperempuan.org/liputan-temu-dan-konsultasi-perempuan-komunitas/

Taruhan bagi Perkebunan Sawit Berkelanjutan

SELASA, 12 NOVEMBER 2013 | 19:41 WIB

169597_620 Untung TempoTEMPO.COJakarta – Puluhan spanduk mengepung Hotel Santika yang terletak di Jalan Pengadilan, Medan. Sekitar 3.000 petani, buruh, serta aktivis organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat dari berbagai provinsi di Sumatera terus meneriakkan tuntutannya kepada peserta Pertemuan Tahunan Ke-11 dari The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) di hotel itu.

Mereka memajang tuntutan yang berbeda-beda pada spanduk, sesuai konflik yang terjadi dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerahnya. “Kami ingin bertemu langsung dengan pimpinan Wilmar Group karena eksekutif PT Jatim Jaya Perkasa tak bisa menyelesaikan masalah di desa kami,” kata Isnadi Esman, Sekretaris Jenderal Jaringan Masyarakat Gambut Riau, Selasa (12/11). 
PT Jatim, yang merupakan anak perusahaan Wilmar, ujar Isnadi, baru menyerahkan 600 hektare kebun sawit pada 2012 kepada warga empat desa di Kabupaten Rokan Hilir, Kecamatan Kubu Babusalam, Riau. Padahal, sesuai dengan skema kredit koperasi tahun 2004, lahan yang harus diserahkan seluas 2.150 hektare.
Unjuk rasa hingga mengadu ke pejabat pemerintah daerah sudah dilakukan, namun tak membuahkan hasil. Karena itu, Isnadi berharap dapat menyampaikan langsung tuntutannya ke bos Wilmar yang datang dalam acara RSPO Meeting. Harapan senada juga datang dari aktivis petani, Gabungan Serikat Buruh Indonesia, Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Serbundo), Walhi Sumatera Utara, Indonesian People Aliance, Jaringan Masyarakat Gambut Jambi, dan lainnya.
Para buruh menuntut penghapusan sistem kerja alih daya (outsourcing) di perkebunan kelapa sawit dan industrinya. “Perusahaan yang melanggar hak-hak buruh harus dicabut izin usahanya,” kata Herwin Nasution, koordinator aksi Serbundo.

Pada 12-14 November, Medan menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan RSPO. Ini adalah asosiasi yang didirikan pada 2004 oleh berbagai perusahaan di sektor industri kelapa sawit (perkebunan, pemrosesan, distributor, industri manufaktur, dan investor), akademisi dan LSM bidang lingkungan. Tujuan Forum Meja Bundar itu mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

“Pertemuan kali ini berfokus pada perbaikan prinsip-prinsip dan kriteria serta berbagai aspek kritis. Sebagai inisiatif multipihak yang pertama untuk jenis komoditas global, RSPO memandang pendekatan progresif untuk menilai dan meningkatkan standar setiap 5 tahun sekali menjadi hal penting dalam rangka secara positif mempengaruhi dan mentransformasi pasar,” kata Darrel Webber, Sekretaris Jenderal RSPO, dalam pengantarnya.
Webber mengakui jalan masih panjang untuk mencapai norma minyak sawit berkelanjutan. Dia berharap, dalam pertemuan di Medan, 11-14 November, semua perwakilan peserta mampu merumuskan rencana masa depan. Dia mengklaim, saat ini pasokan Certified Sustainable Palm Oil adalah sebesar 15 persen dari keseluruhan pasokan minyak sawit dunia. Sedangkan keanggotaan RSPO naik melampaui 1.300 anggota.

Ada delapan prinsip dan 39 kriteria RSPO yang merupakan standar global tata kelola perkebunan yang disusun berbagai pemangku kepentingan di sepanjang rantai pasok minyak sawit untuk mendefinisikan sawit berkelanjutan. Antara lain, komitmen terhadap transparansi, tanggung jawab lingkungan, dan konservasi kekayaan alam serta keanekaragaman hayati. Lalu, bertanggung jawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik. Serta pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab.
Grup Wilmar, Sinar Mas, Minamas Plantation, Astra Agro Lestari, Asian Agri, Duta Palma, dan perusahaan perkebunan sawit lainnya mengklaim telah mengimplementasikan prinsip dan kriteria RSPO. “Kami mengadopsi semua praktek industri terbaik dan standar dalam produksi kami. Begitu juga pengelolaan yang bertanggungjawab terhadap lingkungan,” demikian Wilmar menuliskan dalam website-nya.

Memang, dalam tiga dekade terakhir, jumlah konsumsi minyak nabati di seluruh dunia naik tiga kali lipat. Ternyata minyak sawit paling tinggi pertumbuhannya (hingga 10 kali lipat) ketimbang minyak kedelai, minyak lobak atau rapa, minyak bunga matahari, dan minyak nabati lainnya. Pada 1980, produksi minyak sawit cuma 5 juta ton. Namun, pada 2009, produksi melesat menjadi 45 juta ton.

Diperkirakan, permintaan dunia atas minyak sawit akan mencapai tiga kali lipat pada 2050. Alhasil, kecenderungan ekspansi perkebunan kelapa sawit akan terus berlanjut tidak hanya di Indonesia dan Malaysia, tapi juga di negara-negara tropis di seluruh dunia. Saat ini, Indonesia dan Malaysia memproduksi lebih dari 85 persen minyak sawit global, dengan total lahan perkebunan kedua negara ini mencapai 14 juta hektare.
Perusahaan sawit raksasa juga melakukan ekspansi di Papua Nugini, Filipina, Thailand, dan Kamboja. Tak hanya itu, mereka merambah Benua Afrika, terutama di Liberia, Nigeria, Ghana, Pantai Gading, dan Republik Demokratik Kongo. Selain itu, di Amerika Latin, terutama di Kolombia, Honduras, dan Ekuador.

Dalam prakteknya, pembuatan kebun itu banyak terjadi di hutan primer, hutan rawa, dan lahan gambut yang kaya oksigen. Sepuluh persen deforestasi atau penggundulan hutan di Malaysia dan Indonesia sepajang 1990-2010 dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit. Sekitar 600 ribu hingga 1 juta hektare kawasan hutan dikonversi menjadi perkebunan sawit setiap tahun di Indonesia. Luasnya saat ini 8 juta hektare, dan akan naik menjadi hingga 13 juta hektare pada 2020.

Tak hanya itu, hak atas persetujuan bebas, didahulukan, dan diinfomasikan (free, prior, informed and consent, FPIC)–yang sentral dalam prinsip dan kriteria–banyak dilanggar oleh perusahaan yang tergabung dalam RSPO. Hasil studi kasus di Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun, Republik Demokratik Kongo, dan Liberia, yang dipublikasikan Kamis pekan lalu di Medan, menunjukkan pelanggaran itu.
Studi kasus dilakukan Forest Peoples Programme (FPP), Sawit Watch, dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, bekerja sama dengan 17 organisasi dan lembaga di negara-negara tersebut. Hasil kajian ini dibukukan dengan judul Konflik atau Mufakat? Sektor Minyak Sawit di Persimpangan.

Salah satu kasus terjadi di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Di tempat ini, tim peneliti menemukan kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas.

Perusahaan lebih memihak elite lokal daripada masyarakat penggarap lahan Melayu setempat. Salah satu responden, Resmiati, ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Beringin, menjelaskan bahwa kepala desa menawar harga tanahnya Rp 1,5 juta, dia menolak dan berkukuh harganya Rp 3,5 juta.
“Sebab, tanah sangat berharga bagi kami orang kecil ini. Jika kami mau kelapa sawit, kami akan tanam sendiri dan kami tidak mau orang lain mengambil tanah kami untuk menanam kelapa sawit,” katanya. Jika ia mampu mewariskan tanah ke anak-cucunya, “Tanah akan menjamin sumber penghidupan anak saya, bukan uang. Sebab, uang tidak pernah cukup. Tanah adalah jaminan sumber penghidupan yang paling aman,” katanya.
Riset juga menemukan, banyak produsen sawit anggota RSPO yang beroperasi di tujuh negara tersebut melanggar hak-hak masyarakat adat dan warga lokal di kawasan hutan dan lahan gambut. Menurut Marcus Colchester, Penasihat Kebijakan Senior FPP, di balik kegagalan “praktek terbaik sukarela” ini, ternyata hukum dan kebijakan nasional juga menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, kata Marcus, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. “Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi, dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit yang bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka serta menghormati hak-hak masyarakat,” kata Marcus, doktor antropologi lulusan Universitas Oxford, Inggris.
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TuK Indonesia, mengakui RSPO telah menetapkan standar yang baik. Namun banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji di atas kertas tersebut. Dia menilai RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika mampu memberi pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat. Karena itu, ia menambahkan, kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhannya.
UNTUNG WIDYANTO 

Sumber/tautan:

http://www.tempo.co/read/news/2013/11/12/206529167/Taruhan-bagi-Perkebunan-Sawit-Berkelanjutan

Revisi UU Perbankan sudah rampung 95%

Oleh Dea Chadiza Syafina – Selasa, 12 November 2013 | 11:05 WIB

JAKARTA. Panitia Kerja revisi Undang-Undang No. 29 tahun 1999 tentang Perbankan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah merampungkan 95% penyusunan revisi UU Perbankan pasal per pasal.
Anggota Komisi XI DPR fraksi PDI-Perjuangan Dolfie Othniel Fredric Palit mengungkapkan, meski draf revisi UU Perbankan telah rampung 95%, namun pembahasan mengenai revisi UU ini baru akan dilakukan pada tahun depan. Sebab, DPR periode saat ini berakhir pada Oktober 2014 mendatang.
“Jadi kalaupun dibahas, maksimum sebelum Oktober 2014,” ujar Dolfie saat dihubungi KONTAN, Selasa (12/11).
Dolfie menyebutkan, banyak yang di revisi pada UU Perbankan ini. Di antaranya adalah mengenai izin operasional bank asing, kantor bank asing, kepemilikan saham asing pada industri jasa keuangan perbankan.
“Untuk kantor bank asing, harus mengikuti ketentuan hukum di Indonesia. Mengenai kepemilikan akan dirumuskan secara normatif. Sedangkan aturan teknisnya oleh OJK (otoritas jasa keuangan),” ujar Dolfie.
Lebih lanjut Dolfie menjelaskan, untuk aturan mengenai kepemilikan saham asing di perbankan, mengacu pada PBI bernomor 14/8/ PBI/2012. Dalam peraturan BI itu disebutkan, batas maksimum kepemilikan saham bank untuk kategori badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank sebesar 40%, badan hukum bukan lembaga keuangan sebesar 30% dan kategori pemegang saham perorangan sebesar 20%.
Sementara itu, mengenai jumlah kepemilikan asing yang semula diperbolehkan dari 99%, akan diturunkan menjadi kurang dari 50%. Dengan begitu, posisi pemodal domestik diberi kesempatan kepemilikan yang lebih besa dan akan berada di atas pemodal asing.
Namun begitu, untuk besaran pastinya, pentahapannya akan diatur lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nantinya, lanjut Dolfie, rumusannya akan sangat teknis karena terkait pentahapan.
Sebelumnya, persoalan kepemilikan asing dalam saham mayoritas di sektor perbankan termasuk salah satu hal yang dipersoalkan dalam rencana revisi Undang-Undang No 29 tahun 1999 tentang Perbankan.
Terdapat tiga opsi yang sempat mencuat dalam pembahasan revisi UU Perbankan tersebut. Pertama, menurunkan jumlah kepemilikan asing yang semula diperbolehkan dari 99% menjadi hanya 49%. Sedangkan pemodal domestik diberi kesempatan kepemilikan sebesar 51%.
Opsi kedua adalah mengikuti sistem perbankan yang dianut negara lain. Politisi Golkar itu pun lantas mencontohkan China yang memperbolehkan sektor asing menguasai saham perbankan sebanyak 20%-30% saja.
Kemudian yang terakhir adalah wacana untuk menentukan jumlah kepemilikan saham asing dengan menyesuaikan kesehatan perbankan di Indonesia. Kata dia, dalam opsi ini DPR memberikan beberapa kriteria yang kemudian dirumuskan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada dasarnya kepemilikan asing dalam perbankan di Indonesia harus tetap dipelihara. Sebab, jika hanya mengandalkan pemodal dalam negeri hanya beberapa pengusaha saja yang bisa masuk.
Editor: Barratut Taqiyyah
Link:
http://keuangan.kontan.co.id/news/revisi-uu-perbankan-sudah-rampung-95

Pernyataan bersama oleh peserta yang berkumpul di “Conflict or Consent Workshop”

Medan, 8-10 November 2013

Pada kesempatan lokakarya Conflict or Consent, diselenggarakan sebelum RT11 RSPO dan GA 10, peserta membawa bersama 16 studi kasus dari dua benua, menjadi saksi atas konflik tanah dan pelanggaran HAM yang disebabkan oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit yang tidak bertanggung jawab.1

Kami mengamati sejumlah kemajuan prosedur dan beberapa perbaikan dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, dan upaya-upaya yang kuat oleh beberapa anggota dan pihak-pihak lainnya untuk mendorong upaya pemulihan. Meskipun begitu, peserta lokakarya mengamati bahwa diantara perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam berbagai pelanggaran tersebut adalah anggota RSPO. Kenyataan tersebut menggaris bawahi tantangan besar yang sedang dihadapi RSPO, keanggotaan RSPO dan pasar untuk memastikan kepatuhan dengan persyaratan-persyaratan dasar dalam Prinsip dan Kriteria RSPO, seperti kepatuhan terhadap hak asasi manusia, hukum nasional dan konvensi sosial dan lingkungan hidup internasional.

Itulah yang menjadi alasan keprihatinan bahwa kebijakan dan arena pasar Eropa/Belanda/Perancis/Inggris/Jerman/Belgia masih belum mampu sepenuhnya memahami berbagai implikasi sosial perdagangan dan penggunaan komoditas yang strategis ini. Laporan ini menekankan pula kegagalan RSPO juga akibat pemerintah belum berhasil mengatur sektor minyak sawit dan mencegah berbagai pelanggaran yang dicatat dalam studi kasus ini dan laporan-laporan lapangan lainnya.

Pernyataan ini juga menekankan bahwa para peserta yang mendukung pernyataan ini banyak terlibat dalam sektor minyak sawit dan arena RSPO, bekerja untuk menyusun cara-cara untuk membantu mengurangi dan menyelesaikan masalah-masalah tersebut. Beberapa diantara peserta diberikan tugas untuk terlibat dalam badan eksekutif dan pengurus RSPO.

Menghargai komitmen yang dibuat oleh Task Force … untuk mencapai target minyak sawit lolos sertifikasi, kami meminta anda meninjau laporan kami dan menyusun aksi nyata yang membantu memastikan bahwa semua minyak sawit yang masuk ke pasar adalah “bebas konflik”.

Kami mengundang anda bergabung bersama kami dalam upaya-upaya menegakkan standar RSPO dan implementasinya terutama dengan menggunakan instrumen-instrumen pemulihan seperti mekanisme pengaduan RSPO dan Fasilitas Penanganan Sengketa, dan mendesak pemerintah kami untuk memperbaiki kerangka kerja kelembagaan hukum yang memandu sektor minyak sawit. Kami meminta anda memeriksa sendiri di lapangan dalam berkonsultasi dengan masyarakat, keadaan-keadaan dimana minyak sawit diproduksi dan membantu menyusun bersama serta menerapkan berbagai upaya untuk membawa standar RSPO dalam praktek. Kami siap untuk dialog dengan semua pihak dan melakukan apa yang dapat kami lakukan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah tersebut.

Hormat kami,

Peserta dari:

  1. Andalas University, Padang, Sumatra
  2. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Indonesia
  3. Bitra Indonesia, North Sumatra
  4. Both ENDS, Netherlands
  5. Centre de coopération internationale en recherche agronomique pour le développement (CIRAD), France

  6. École des Hautes Études en Sciences Sociales, France

  7. ELSAKA, North Sumatra
  8. Forest Peoples Programme, United Kingdom
  9. Front Mahasiswa Nasionalis Medan, North Sumatra
  10. Gabungan Serikat Buruh Indonesia, North Sumatra
  11. HuMa, Indonesia
  12. HUTAN, Malaysia
  13. Hutan Rakyat Institute (HARI), North Sumatra
  14. IDEAL, Malaysia
  15. Impartial Mediators Network, Indonesia
  16. Indigenous Peoples’ Foundation for Education and Environment, Thailand
  17. Indonesia Peoples’ Alliance, North Sumatra
  18. Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Indonesia
  19. Jaringan seOrang Asal SeMalaysia (JOAS)
  20. Keystone Foundation, India
  21. Komunitas Peduli Hutan Sumatra Utara (KPHSU), Indonesia
  22. Lembaga Gemawan, West Kalimantan, Indonesia
  23. Natural Justice, South Africa
  24. Oxfam Novib, The Netherlands
  25. PUSAKA Indonesia, Indonesia
  26. PUSAKA, Indonesia
  27. Qbar Association, Padang, Indonesia
  28. Rainforest Action Network (RAN), United States
  29. Sawit Watch, Indonesia
  30. SCALE UP, Indonesia
  31. Setara Jambi, Indonesia
  32. Socio-Pastoral Institute, Cameroon
  33. StaB-LB, North Sumatra, Indonesia
  34. Transformasi Untuk Keadilan INDONESIA
  35. Wahana Bumi Hijau (WBH), Indonesia
  36. Walhi Kalbar, Indonesia
  37. Walhi Kalteng, Indonesia
  38. Walhi Riau, Indonesia
  39. Walhi SumSel, Indonesia
  40. Walhi Sumut, Indonesia
  41. Warsi, Jambi, Indonesia
  42. Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS), Indonesia

Penelitian Terbaru: Banyak Anggota RSPO Melanggar Hak Masyarakat

November 7, 2013 Ayat Suheri Karokaro dan Sapariah Saturi

Penelitian terbaru dari Forest Peoples Programme (FPP), Transformasi Untuk Keadilan (TUK) dan Sawit Watch yang dirilis di Medan, Sumatera Utara (Sumut) Kamis (7/11/13) mengungkapkan banyak anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) melanggar hak-hak masyarakat adat dan lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, termasuk Indonesia. Dalam kajian berjudul Konflik atau Mufakat? Sektor Kelapa Sawit di Persimpangan Jalan ini, merinci kinerja 16 aktivitas perusahaan sawit, mayoritas anggota RSPO, yang melanggar HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Penelitian ini menjabarkan kasus-kasus produsen minyak sawit yang gagal mendapat persetujuan dari masyarakat, lewat proses yang diwajibkan RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal Persetujuan atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Temuan-temuan ini mendukung bukti-bukti perusakan karena pengembangan sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal. Laporan ini akan disebarkan dalam pertemuan tahunan RSPO 11-14 November di Medan.

Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TUK mengatakan, sejak dibentuk delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standard tetapi banyak anggota tak memenuhi janji-janji. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan, tetapi perlu penegakan lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan,” katanya.

Senada diungkapkan Jefri Saragih, Direktur Eksekutif Sawit Watch. Menurut dia, begitu banyak investasi dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation (IFC), tapi hasil minim. “Kami bisa tunjukkan satu atau dua hasil baik di lapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan sawit di Indonesia saja. Masalah ini meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika.”

Karlos Lumban Raja, Kepala Departemen Lingkungan dan Inisiatif Kebijakan Sawit Watch, mengatakan ada beberapa perusahaan besar dianggap masih terlibat konflik dengan petani dan pemilik. Antara lain, PT Wilmar, PT London Sumatera (Lonsum), PT Sinar Mas, dan beberapa perusahaan besar lain. Mereka sampai saat ini bergerak di sektor perkebunan sawit serta turunannya.

Perusahaan menggunakan hak ulayat adat, tanah adat, dan warisan kerajaan untuk menguasai ratusan ribu hektar lahan milik masyarakat dijadikan perkebunan sawit. Pemerintah mendiamkan, meski ada aturan dan UU yang mengatur soal itu dilanggar.”

Menurut Karlos, RSPO harus bisa dan mau mengevaluasi dan mengaudit ulang semua sertifikat yang diberikan terhadap perusahaan perkebunan sawit di Indonesia, termasuk membekukan dan menarik kembali sertifikasi terhadap anggotanya.

Contoh lain, masih terjadinya konflik di kebun-kebun PT Lonsum, konflik degan petani di Desa Pergulaan, dan konflik perebutan lahan di Kabupaten Deli Serdang. Konflik serupa terjadi antara petani dengan PT Wilmar, PT Musi Mas, dan hampir semua anggota RSPO masih banyak menyisakan sengketa lahan, penyerobotan dan pelanggaran aturan kerja. Kebun PTPN III di Bukit Perjuangan, Kota Rantau Parapat, ada dua kasus sengketa lahan dengan petani yang sudah menempati lahan seluas 272 hektar turun temurun.

Hak tetap hak dan harus diselesaikan. Mekanisme konflik sosial memang lebih rumit daripada konflik lingkungan. Ini terus terjadi sampai sekarang.”

Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, mengatakan, beberapa anggota RSPO sudah mengesahkan standard dan prosedur operasional baru guna memperbaiki praktik mereka di atas kertas, bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha. Namun katanya, kenyataan di lapangan menyimpulkan masih tak ada perubahan berarti. “Pejabat senior perusahaan mungkin bersedia menjalankan pendekatan baru, seringkali manajer operasional di lapangan gagal menanggapi. Prosedur memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk,” ujar dia.

Menurut dia, hukum dan kebijakan yang menolak dan mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat, dan masyarakat lokal, menjadi salah satu pemicu. “RSPO harus berani bersikap, dan memberikan tindakan tegas terhadap anggota yang tidak menjalan ketentuan berlaku. Agar ada keadilan bagi masyarakat adat dan tak ada kesenjangan sosial.”

Colchester menyebutkan, berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia, 60 persen pemegang lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah. Penelitian dari akademis dan para ahli, juga menyebutkan 80 persen lahan di Indonesia tidak diakui pemerintah.

FPP, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif ini berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Referensi/Link:

http://www.mongabay.co.id/2013/11/07/penelitian-terbaru-banyak-anggota-rspo-melanggar-hak-masyarakat/

Minyak Sawit Berkelanjutan: Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

6 November 2013

EMBARGO NASKAH TIDAK UNTUK DISEBARLUASKAN HINGGA 4:00 AM GMT KAMIS, NOVEMBER 7, 2013

CATATAN EDITOR: Untuk semua publikasi, “Konflik atau Mufakat,” dan bahan-bahan pendukung, silakan kunjungi: http://www.forestpeoples.org/press-room

Minyak Sawit Berkelanjutan: Permainan Pasar atau Komitmen Nyata? Kajian Baru Mempertanyakan Keberhasilan Standar RSPO

16 Studi Kasus Menyimpulkan Beberapa diantara Perusahaan Minyak Sawit Terbesar Dunia Meremehkan Mandat PBB Keputusan Persetujuan Masyarakat Adat & Masyarakat Lokal Sebelum Membabat Hutan, Lahan Gambut

MEDAN, INDONESIA (7 November, 2013)— Anggota RSPO melanggar hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan hutan dan lahan gambut di negara-negara tropis dunia, menurut satu publikasi kajian baru yang diluncurkan hari ini. Kajian tersebut merinci kinerja 16 kegiatan perusahaan kelapa sawit, banyak dijalankan oleh anggota RSPO, melaporkan tentang kegagalan mereka untuk menjunjung tinggi HAM dan standar lingkungan yang diwajibkan.

Sejak dibentuknya delapan tahun lalu, RSPO telah menetapkan standar yang baik tetapi banyak perusahaan anggota tidak memenuhi janji-janji diatas kertas tersebut,” kata Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, organisasi HAM berkedudukan di Jakarta. “RSPO masih dapat memenuhi tantangan ini jika RSPO memberikan pemulihan atas berbagai dampak perusahaan anggota terhadap masyarakat, tetapi untuk tercapainya hal itu kita perlu penegakan yang lebih ketat. Kredibilitas organisasi RSPO menjadi taruhan.”

Buku Konflik atau Mufakat? Sektor minyak sawit di persimpangan, menguraikan kasus-kasus produsen minyak sawit telah gagal mendapat persetujuan dari masyarakat – proses yang diwajibkan oleh RSPO berdasarkan mandat PBB yang dikenal sebagai keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan (FPIC). Temuan-temuan tersebut juga mendukung bukti-bukti dampak merusak yang disebabkan pengembangan minyak sawit bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal.

Para pendukung berencana menyebarkan kajian ini di pertemuan tahunan RSPO yang berlangsung 11-14 November di Medan, Sumatra Utara. Sasaran rencana mereka fokus dalam tiga tema:

  • Rantai pasok — perjalanan minyak sawit dari perkebunan ke pabrik pengolahan sampai rak supermarket harus transparan dan terlacak utuh.

  • Penegakan — mandat dan kapasitas RSPO mengesahkan lembaga sertifikasi harus diperluas dan ditegakan serta prosedur pengaduan dan mekanisme resolusi konflik lebih bergigi.

  • Komitmen – janji-janji anggota RSPO menghormati HAM dan standar lingkungan harus ditegakan lebih tegas dan tidak diperlakukan sebagai pilihan.

Meningkatnya permintaan global akan minyak sawit memicu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit sepanjang hutan-hutan Asia Tenggara dan Afrika. Keprihatinan mengenai berbagai dampak lingkungan dan sosial mendesak pembentukan Roundtable on Sustainable Palm Oil tahun 2004. RSPO menjalankan sebuah standard sertifikasi untuk kegiatan usaha yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup dalam lahan yang terdampak oleh perkebunan dan juga melingungi tanah dan hutan dengan nilai konservasi tinggi.

Begitu banyak upaya diinvestasikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation, tapi hasilnya sedikit,” kata Jefri Saragih, Eksekutif Direktur Sawit Watch, salah satu anggota RSPO. “Kami bisa tunjukan satu atau dua hasil yang baik dilapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan kelapa sawit di Indonesia saja, dan masalah tersebut kini semakin meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika. Kami mendesak satu tanggapan segera dan meluas atas krisis ini.”

Walaupun beberapa dari perusahaan anggota RSPO sudah mengesahkan standar dan prosedur operasional yang baru, memperbaiki praktek mereka diatas kertas, dan bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha mereka, kenyataan di lapangan menyimpulkan bisnis-seperti-biasa. Pejabat senior perusahaan mungkin sudah bersedia menjalankan pendekatan baru, tetapi sering kali para manejer operasional di lapangan – tidak ada pelatihan wajib dan insentif – gagal menanggapi. Prosedur untuk memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk.

Dibalik kegagalan ‘praktek terbaik sukarela’ ini adalah hukum dan kebijakan nasional yang menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal,” Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, sebuah organisasi HAM internasional. “Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka dan menghormati hak-hak masyarakat.”

Indonesia Memimpin dalam Produksi Minyak Sawit dan Deforestasi

Asia Tenggara dalam pusat dari industri minyak sawit. Indonesia, dimana pertemuan RSPO akan berlangsung, adalah produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, dengan 10.8 juta hektar lahan ditanami pohon kelapa sawit, satu angka diperkirakan meluas hingga lebih dari 20 juta hektar—lebih dari 10 persen seluruh luas daratan Indonesia — hingga tahun 2020. Indonesia juga menempati peringkat ketiga di dunia untuk emisi karbon dioksida, terutama karena deforestasi dan kerusakan lahan gambut Indonesia.

Banyak perkebunan Indonesia, dengan pabrik pengolahan dan fasilitas lainnya dalam rantai pasok minyak sawit, berkedudukan di Sumatra, sehingga menjadikan Medan ibukota tidak resmi industri minyak sawit Indonesia. Kota ini menjadi panggung untuk teater jalanan dan protes selama pertemuan RSPO.

Forest Peoples Programme, Sawit Watch and Transformasi untuk Keadilan Indonesia menerbitkan kajian investigatif berkerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen minyak sawit terbesar: Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.

Keputusan Bebas, Didahulukan dan Diinformasikan: Tidak dilaksanakan dan Kurang ditegakkan

Ada 16 studi kasus dalam kajian tersebut mengungkapkan bahwa proses RSPO telah menyebabkan terjadinya pemahaman yang lebih baik atas banyak persoalan penting, baik untuk masyarakat dan perusahaan, dalam mencapai ‘pembangunan berkelanjutan’ berdasarkan penghormatan terhadap HAM. Sejumlah perbaikan procedural mungkin menyediakan suatu dasar untuk penyelesaian konflik lahan, dan beberapa perusahaan telah menanggapi dengan baik dan menyelaraskan operasi mereka untuk lebih baik menampung sumber mata pencaharian dan tuntutan masyarakat.

Tetapi banyak anggota RSPO menjalankan proses yang sangat singkat dalam mendapatkan keputusan persetujuan masyarakat yang jauh dari ‘bebas’, ‘didahulukan’ and ‘diinformasikan.’ Di wilayah konsesi PT Permata Hijau Pasaman I, anak perusahaan multinasional Wilmar International berkedudukan di Singapura, di Sumatra Barat, Indonesia, proses pembebasan lahan bercirikan konsultasi selektif antara perusahaan dan perwakilan masyarakat yang terkooptasi. Dalam kasus Tanjung Bahagia Sdn Bhd, anak perusahaan Genting Plantations, tanah dan hutan terusa digusur dan ditanami meskipun masyarakat bersikukuh menolak.

Banyak perusahaan juga gagal mengikuti prosedur RSPO dengan mengabaikan langkah-langkah prasyarat untuk mengakui hak-hak adat. Di Kalimantan Barat, Indonesia, terjadi kolusi manipulasi konsep hak adat oleh staf dari PT Agrowiratama, anak perusahaan kelompok Musim Mas, lebih memihak elit lokal daripada masyarakat panggarap lahan Melayu setempat. Di Kalimantan Timur, Indonesia, PT Rea Kaltim Plantations, dimiliki oleh perusahaan Inggris REA Holdings PLC, tidak melakukan pemetaan partisipatif atau penelitian kepemilikan tanah sebelum pembebasan lahan. Meskipun begitu, hal ini telah diakui oleh perusahaan dan pemetaan telah dimulai.

Kurang Penegakan Memicu Konflik dan Pengunduran dari RSPO

Penistaan hak kerapkali memicu konflik yang tidak berimbang, saat protes dari masyarakat lokal dihadapkan dengan penangkapan dan kekerasan fisik. SG Sustainable Oils Cameroon PLC di Selatan Barat Kamerun, dimiliki oleh perusahaan Amerika Herakles Farms, sebenarnya mundur dari RSPO bulan September 2012 sebagai reaksi terhadap pengaduan resmi terhadap dirinya dan kritik meluas atas proyek perusahaan. Di PT Permata Hijau Pasaman I, konflik antara perusahaan dan masyarakat lokal mengarah pada sejumlah penangkapan dan tunggakan satu perkara pengadilan di Pengadilan Tinggi di Indonesia.

Kajian tersebut juga menunjukan bahwa mekanisme resolusi konflik yang ada, termasuk milik RSPO, belum menghasilkan nyata bagi masyarakat lokal. Proses resolusi konflik International Finance Corporation (IFC) Compliance Advisor/Ombudsman (IFC CAO) dan RSPO, kendati membentuk beberapa preseden penting, sayangnya kurang mandat dan kapasitas utnuk memulihkan banyak sengketa antara perusahaan dan masyarakat.

Kurang niat baik dan transparansi perusahaan semakin memperparah keberhasilan mekanisme IFC CAO. Sebagai contoh, dalam PT Asiatic Persada (PT AP) di Jambi, mediasi IFC CAO digagas tahun 2012, setelah perusahaan menggusur pemukiman masyarakat yang menolah ke sungai-sungai kecil terdekat, terhenti total akibat PT AP dijual oleh Wilmar tanpa konsultasi dengan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses mediasi. Wilmar benar-benar cuci tangan dan masalah yang Wilmar ciptakan sendiri.

RSPO hanya berhasil jika komitmen para anggotanya buat adalah sungguh-sungguh,” simpul Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme. “Sertifikasi RSPO tidak dimaksudkan menjadi satu permainan pasar. Harusnya sertifikasi ditujukan untuk menunjukan satu pengabdian sepenuh hati untuk menghormati hidup dan mata pencaharian masyarakat adat dan masyarakat lokal, dan tanah yang mereka sebut sebagai rumah. Sebagai anggota RSPO kami mendesak RSPO sebagai satu kesatuan untuk mempertegas kembali komitmen ini dan menjalankannya.”

# # #

Forest Peoples Programme (FPP):

FPP bekerja dengan masyarakat penghuni hutan di Amerika Latin, Afrika, dan Asia, untuk membantu mereka mendapatkan jaminan atas hak-hak mereka, mendirikan organisasi mereka sendiri, dan bernegosiasi dengan pemerintah dan perusahaan dalam menentukan cara terbaik untuk melestarikan dan mewujudkan pembangunan ekonomi di lahan mereka. Visi dari organisasi ini adalah hutan yang dimiliki dan dikuasai oleh masyarakat penghuni hutan dalam cara yang menjamin kelangsungan mata pencaharian, keadilan, dan kesejahteraan yang didasarkan pada penghormatan atas hak, pengetahuan, kebudayaan, dan identitas mereka. FPP juga telah melakukan kerja yang ekstensif di Asia Tenggara tentang pluralisme hukum serta kesempatan dan tantangan yang dialami oleh masyarakat adat dan komunitas lokal sebagai akibat dari rezim hukum plural. Sebagai tambahan, FPP juga terlibat dalam penelitian, advokasi, dan kerja lapang terkait ekspansi perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara dan dampak sosial-budaya, ekonomi, dan lingkungan yang ditimbulkannya. Untuk informasi lebih lanjut silakan kunjungi www.forestpeoples.org.

Sawit Watch:

Sawit Watch didirikan pada tahun 1998 dan sejak saat itu telah membangun jaringan dengan lebih dari 130 anggota dan kontak lokal yang bekerja dengan puluhan komunitas lokal di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. Mandat Sawit Watch adalah untuk mendukung komunitas lokal yang kehilangan hutan dan mata pencaharian mereka sebagai akibat dari ekspansi kelapa sawit skala besar, dan untuk mendukung komunitas penghuni hutan yang terus menolak pembangunan ini. Melalui mandat ini, Sawit Watch bekerja menuju konservasi dan restorasi bagi hutan di Indonesia dan mempromosikan kesepakatan terbaik yang paling mungkin bagi komunitas tersebut, yang memilih untuk hidup di tengah perkebunan kelapa sawit. Selain aktivitas-aktivitas peningkatan kesadaran komunitas, mereka terlibat dalam membantu masyarakat untuk mendapatkan jaminan hak atas lahan mereka dan mempertahankan hukum tradisional (adat) mereka. Sawit Watch juga membantu komunitas untuk mengembangkan atau mempertahankan pengelolaan lahan dan hutan yang berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.sawitwatch.or.id.

Transformasi untuk Keadilan INDONESIA:

Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK INDONESIA) adalah sebuah organisasi non pemerintah (Ornop) Indonesia yang berkedudukan di Jakarta yang berkerja mendorong terwujudnya hak konstitusional rakyat menuju keadilan, kesejahteraan dan jatidiri bangsa Indonesia. Tujuan TuK INDONESIA adalah pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup dilakukan dengan memperhatikan keadilan, HAM, solidaritas sosial, peningkatan kapasitas mayarakat, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi pasar dan modal, yang akan melahirkan Indonesia yang bebas dari praktek korupsi, jaminan kepastian hukum, kelestarian lingkungan hidup, hutan dan sumber daya alam, integrasi sosial dan keberpihakan Negara yang menghasilkan kesejahteraan rakyat. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.tuk.or.id

Referensi/link:

http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/11/Conflict%20or%20Consent%20press%20release_FINAL_7Nov_Bahasa_0.pdf