Pos

Pertemuan G20 dan Keuangan Berkelanjutan: Apa yang Perlu Disampaikan Presiden Jokowi di Hamburg?

Pertemuan pimpinan keuangan negara-negara G20 telah berakhir di pada Sabtu 18 Maret 2017. Hasilnya ‘mengejutkan’ seluruh pihak karena benar-benar menunjukkan bahwa proteksionisme Amerika Serikat memang bisa mengubah banyak kesepakatan yang sudah dicapai bertahun-tahun. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan Amerika Serikat, secara terang-terangan menyatakan bahwa pendekatan G20 yang selama ini menentang proteksionisme telah menjadi “not really relevant.”
Perwakilan Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa sudah menyatakan kekecewaannya yang mendalam atas sulitnya memertahankan perdagangan bebas, saling menguntungkan dan lebih adil di antara negara-negara G20. Mereka semua telah berupaya keras untuk mencapai kesepakatan dengan mengakomodasi kepentingan Amerika Serikat tanpa mencederai tujuan dan pendekatan yang selama ini dipercaya sebagai yang terbaik. Tetapi sikap non-kompromistik perwakilan Amerika Serikat membuat kesepakatan tak bisa dicapai.
Selain proteksionisme, Amerika Serikat juga benar-benar menunjukkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan dalam bentuk penentangan terhadap upaya pengendalian perubahan iklim. Kalau di dalam negeri sendiri Amerika Serikat memotong 31% anggaran perlindungan lingkungan dan mulai menghidupkan kembali industri batubara dan mendorong pertumbuhan industri minyak secara besar-besaran, dalam pertemuan G20 Amerika Serikat bersama-sama dengan Arab Saudi bahkan mengutuk sekadar referensi terhadap pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di dalam teks perjanjian.
Ketidaksetujuan kedua negara kemudian benar-benar menghilangkan referensi itu, lantaran teks perjanjian haruslah hanya yang disetujui oleh seluruh pihak. Dengan Donald Trump sebagai presiden yang secara terbuka menyatakan bahwa perubahan iklim adalah hoax buatan Tiongkok untuk merugikan ekonomi Amerika Serikat, dan pembiayaan untuk menanganinya adalah pemborosan belaka, menjadi mustahil bagi Amerika Serikat untuk berpartisipasi di dalam pengendaliannya.
Dengan hilangnya pernyataan tentang perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil, serta pernyataan tentang pendanaan untuk penanganan perubahan iklim, maka pertemuan tersebut dinyatakan gagal oleh banyak pihak. Untungnya, kesepakatan mengenai stabilisasi nilai tukar dan penghentian kompetisi devaluasi mata uang bisa masuk ke dalam perjanjian. Tetapi, dengan kegagalan di dua isu kunci tersebut, seluruh negara—selain Amerika Serikat, dan Arab Saudi, tentu saja—berharap perbaikan luar biasa bisa terjadi pada pertemuan kepala negara G20 di Hamburg.
Oleh karena itu, kehadiran Presiden Jokowi di Hamburg pada bulan Juli mendatang perlu dipersiapkan dengan baik. Pesan-pesan Presiden Jokowi perlu menjadi bagian penting dari upaya untuk mengembalikan dua isu tadi ke dalam teks perjanjian yang disepakati para kepala negara. Sementara, di sisi lain, Indonesia juga perlu mendapatkan keuntungan berjangka panjang dari pertemuan tersebut. Bukan saja dari perdagangan, namun juga dari investasi dan pendanaan untuk kepentingan rehabilitasi/restorasi lingkungan Indonesia yang juga menguntungkan bagi dunia. Beberapa pesan yang perlu disampaikan adalah:
Pertama, menunjukkan keuntungan-keuntungan model perdagangan yang selama ini diperjuangkan oleh G20. Perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil adalah apa yang dinyatakan sebagai salah satu raison d’etre dibentuknya G20. Kemajuan perekonomian telah dicapai melalui model tersebut, dan hal ini perlu disokong oleh bukti-bukti nyata berupa statistik perdagangan dan lainnya. Selama ini Presiden Trump ‘terkenal’ dengan kesalahan-kesalahan data yang sangat elementer. Tanpa harus menyatakan kesalahan dalam apa yang dipercaya oleh Trump, penekanan terhadap kemajuan bersama perlu disampaikan secara gamblang.
Kedua, memberikan gambaran kompehensif mengenai kemungkinan dampak proteksionisme terhadap ekonomi Amerika Serikat. Proteksionisme memiliki daya tarik jangka pendek, yang mungkin saja merupakan satu-satunya hal yang dihitung oleh Trump. Namun, dunia memiliki sejumlah besar contoh bahwa dalam jangka panjang proteksionisme tidaklah menguntungkan. Kerugian dalam jangka panjang, yang akan dirasakan oleh rakyat Amerika Serikat jauh setelah Donald Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden perlu disampaikan, agar menjadi bahan pertimbangan tim ekonomi Trump yang dipastikan akan hadir di Hamburg.
Ketiga, menekankan tentang penting dan urgennya penanganan perubahan iklim bagi seluruh dunia. Sejumlah 97% ilmuwan mumpuni dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan terkait iklim telah sepakat bahwa perubahan iklim itu terjadi, penyebabnya adalah antropogenik, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan segera, serta dunia akan mengalami dampak yang semakin buruk bila penanganannya diperlambat. Amerika Serikat, sebagai negara penghasil emisi nomor dua tertinggi di dunia setelah Tiongkok, tidak bisa mengabaikan hal ini, lantaran rakyatnya sendiri yang akan menderita, selain juga akan membahayakan negara-negara lain. Dampak terhadap Amerika Serikat sendiri perlu menjadi penenkanan.
Keempat, memberikan gambaran mengenai keuntungan ekonomi-sosial-lingkungan yang telah dan bisa diperoleh bagi negara-negara yang telah mulai menjalankan new climate economy. Menangani perubahan iklim dengan sungguh-sungguh bukan sekadar membawa konsekuensi biaya, melainkan juga membawa keuntungan ekonomi. Seluruh ekonom lingkungan sepakat bahwa semakin awal perubahan iklim ditangani, maka biayanya semakin kecil; selain keuntungan yang bisa diperoleh dari investasi itu semakin besar. Contoh-contohnya bisa ditemukan di banyak negara G20, namun terutama bisa ditunjukkan contoh sukses dari kota dan negara bagian Amerika Serikat sendiri yang banyak di antaranya sudah menerapkan ekonomi yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan perubahan iklim.
Kelima, menyatakan dukungan kepada investasi untuk pencapaian SDGs. Bukan saja terkait dengan perubahan iklim, seharusnya seluruh investasi pemerintah dan swasta diarahkan kepada pembiayaan yang sesuai dengan pencapaian SDGs di tahun 2030. Inilah yang dinyatakan sebagai pengertian keuangan berkelanjutan (sustainable financing) yang mutakhir. Amerika Serikat sendiri masih memiliki kesenjangan yang tinggi dalam banyak Tujuan SDGs, sehingga perlu untuk mengarahkan pembiayaan publik yang bisa menutup kesejangan itu. Seluruh negara lain juga demikian. Presiden Jokowi juga bisa menekankan bahwa SDG17 menekankan pada kerjasama intra- dan antarnegara dalam pencapaiannya, sehingga investasi dalam pencapaian SDGs juga perlu dilakukan di negara-negara berkembang yang lebih membutuhkan.
Keenam, menyatakan dukungan terhadap GreenInvest Platform di bawah kepemimpinan Jerman. Pada Januari 2017telah disepakati bahwa salah satu program penting G20 di bawah kepemimpinan Jerman adalah menjalankan GreenInvest Platform, bukan hanya untuk negara-negara G20, melainkan juga untuk negara-negara berkembang yang membutuhkannya. Dalam perhitungan GreenInvest Platform, untuk membuat dunia benar-benar bisa masuk ke dalam ekonomi hijau—rendah karbon, memiliki resiliensi atas perubahan iklim, tidak menghasilkan polusi—dibutuhkan USD90 triliun, yang sebagian besarnya diinvestasikan di negara-negara berkembang. Presiden Jokowi perlu menyatakan dukungan terhadap platform ini untuk menunjukkan pemihakan kepada ekonomi hijau dan negara-negara berkembang. Selain, tentu saja, hal ini akan menguntungkan Indonesia sendiri.
Ketujuh, mendesak diberlakukannya safeguards sosial dan lingkungan bagi investasi yang dilaksanakan oleh dan di negara-negara G20. Kebanyakan lembaga keuangan dari negara-negara G20 telah memiliki kebijakan perlindungan sosial dan lingkungan di dalam investasi mereka. Namun, seluruhnya bersifat voluntari dan/atau terbatas keberlakuannya. Kiranya pendekatan voluntari tersebut sudah tidak lagi memadai, mengingat berbagai permasalahan sosial dan lingkungan terkait dengan investasi sudah semakin mengemuka, dan banyak di antaranya yang malah membuat negara-negara sasaran investasi menjadi dirugikan, sementara keuntungan ekonomi tetap diperoleh negara asal investasi. Pemberlakuan safeguards sosial dan lingkungan di seluruh negara-negara G20, yang merupakan negara asal sekaligus sasaran investasi yang utama akan menguntungkan negara-negara G20 sendiri lantaran menjamin dampak bersih positif dari investasi, baik bagi negara asal maupun sasaran.
Terakhir, mengundang berbagai investasi berkelanjutan untuk masuk ke Indonesia. Indonesia adalah negara tujuan investasi yang sangat menarik untuk berbagai sektor ekonomi. Apalagi, peringkat ease of doing business di Indonesia terus meningkat. Presiden Jokowi perlu menekankan pada sektor-sektor ekonomi yang memang bisa menarik minat investasi asing, namun dengan menegaskan bahwa investasi yang diinginkan Indonesia adalah investasi yang memerhatikan keberlanjutan dengan dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang kokoh. Indonesia sudah banyak menderita karena investasi domestik maupun asing yang secara ekonomi bisa mendatangkan keuntungan bagi investor namun keuntungan ekonomi bagi Indonesia sendiri jauh lebih kecil; sementara dampak negatif sosial dan lingkunganya ditanggung oleh Indonesia. Hal ini perlu diakhiri, dengan hanya menerima investasi berkelanjutan.
Agar pesan-pesan tersebut bisa dianggap serius oleh negara-negara G20 lainnya, Indonesia perlu menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunannya memang mengarah ke sana. Di antara yang terpenting adalah memastikan bahwa Indonesia memiliki regulasi tentang keuangan berkelanjutan. Hingga sekarang, bentuk yang dimiliki barulah soft regulation berupa peta jalan yang sudah dibuat Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diluncurkan pada Desember 2014. Ada baiknya, sebelum ke Hamburg Presiden Jokowi memastikan terlebih dahulu bahwa peta jalan tersebut telah diresmikan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Ini sungguh penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia.

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif

Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan

Siaran Pers: Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global Keadilan Iklim

 
Waktunya Rakyat Diberi Kepercayaan Menyelamatkan Hutan dan Iklim Global
P_20151212_105529Jakarta-Di COP 21 Paris, perundingan perubahan iklim memasuki detik-detik terakhir untuk mencapai sebuah kesepakatan penting bagi masa depan bumi dan keselamatan manusia dari dampak perubahan iklim. Kita tentu berharap, perundingan ini akan membawa perubahan yang signifikan bagi penanganan perubahan iklim dan perbaikan tata kelola lingkungan hidup dan sumber daya alam yang berkeadilan, khususnya bagi masyarakat kelompok rentan seperti masyarakat adat-masyarakat lokal, petani, nelayan, perempuan dan anak-anak.
Di Jakarta, hari ini (12 Desember 2015), Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global meluncurkan platform yang berjudul “Keadilan Iklim: Perbaikan tata kelola sumber daya alam dan lingkungan hidup yang melampui karbon”.
Merespon perundingan ini, Direktur WALHI Nasional, Abetnego Tarigan menekankan bahwa, “Selama ini penanganan perubahan iklim didominasi oleh perdebatan tentang karbon, sehingga inisiatif-insiatif masyarakat adat dan masyarakat lokal nyaris tidak terdengar. Padahal justru inisiatif seperti inilah yang pada faktanya lebih mampu menghadapi dan menangani krisis. Sektor swasta yang berbasiskan mekanisme pasar seperti carbon trading, justru mengalihkan solusi mengatasi perubahan iklim yang seharusnya mengubah cara-cara pembangunan global menjadi isu perdagangan, sehingga gagal mengatasi masalah perubahan iklim”.
Selama ini kearifan lokal masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam upaya adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim, belum diakui dapat berkontribusi besar bagi penanganan perubahan iklim, baik oleh pemerintah Indonesia maupun internasional.  Pengakuan dan penghormatan hak-hak dasar masyarakat adat/masyarakat lokal menjadi modal utama bagi rakyat untuk bisa terlibat secara aktif dalam penanganan perubahan iklim. “Hutan adat adalah harapan rakyat menjaga lingkungannya, harapan tidak diakui, maka rusaklah lingkungan” tegas Dahniar, Direktur Perkumpulan Hukum Berbasis Masyarakat (HuMa).
Pidato Jokowi dalam sidang UNFCCC pada tanggal 30 November 2015 yang lalu, menyampaikan sebagai negara kepulauan dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, kerentanan masyarakat yang tinggal di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dari dampak perubahan iklim. Karenanya, dibutuhkan sebuah kebijakan nasional yang dapat memastikan perlindungan terhadap kawasan yang rentan tersebut. Arimbi Heroepoetri, Direktur debtWATCH Indonesia menegaskan, “Jika Presiden betul-betul berkomitmen, maka usaha perlindungan dan pemeliharaan wilayah pesisir tidak bisa ditunda lagi. Dalam jangka pendek perlu dilakukan moratorium reklamasi pesisir serta mendorong adanya langkah-langkah perlindungan dan pemanfaatan berbasis hak yang berkelanjutan.”
Selanjutnya, Arimbi juga menekankan bahwa alokasi pendanaan Negara harus menaruh prioritas kepada penguatan daya lenting masyarakat melalui adaptasi, bukan malah menunggu bantuan dari luar negeri untuk memastikan keselamatan rakyat apalagi membebankan kebutuhan ini kepada dana utang.
 
Climate Rally dengan tema “dari Indonesia untuk Dunia” yang diselenggarakan oleh Koalisi yang selama ini memiliki perhatian dalam penyelamatan hutan dan iklim global, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gerakan sosial yang disuarakan oleh seluruh masyarakat internasional yang memperjuangkan keadilan iklim demi generasi hari ini dan generasi yang akan datang. Ini merupakan bagian dari peran yang diambil oleh masyarakat sipil di Indonesia bagi upaya penyelamatan hutan dan iklim global, yang tentulah kami harapkan bagian dari komitmen Indonesia terhadap persoalan global perubahan iklim.
Dalam Climate Rally dan Climate Art ini, kami mengajak seluruh rakyat Indonesia bahu membahu menyelamatkan lingkungan hidup yang semakin kritis dan secara bersama-sama mengambil peran dalam upaya penanganan perubahan iklim. (selesai)
 
Jakarta, 12 Desember 2015.
WALHI-Debt Watch Indonesia-HuMa-Green Peace Indonesia-JKPP-PUSAKA-ICEL-AMAN-FWI-KpSHK-Qbar, LBH Semarang-Perkumpulan Bantaya-LBBT Pontianak-RMI-KoAGE-Walacea-IESR-TuK Indonesia
 
 
Contact Person:

  1. Abetnego Tarigan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI di 08159416297
  2. Dahniar, Direktur HuMa di 081341333080
  3. Arimbi Heroeputri, Direktur Debt Watch Indonesia di 0811848514

Di New York, 4 Raksasa Sawit Ikrar Jaga Hutan. TUK-Walhi: Jangan Hanya Bagus di Atas Kertas!

Empat raksasa sawit,  Golden Agri Resources (GAR), Wilmar, Cargill dan Asian Agri bersama Kadin Indonesia, bersamaan dengan pertemuan iklim di New York, mengumumkan komitmen minyak sawit berkelanjutan, nol deforestasi dan menghargai hak-hak masyarakat. Penandatanganan komitmen ini disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Komitmen ini disambut positif berbagai kalangan, namun terpenting bagaimana implementasi di lapangan. Jangan, sampai komitmen hanya bagus di atas kertas dan hanya pencitraan perusahaan-perusahaan ini ke lembaga keuangan, pembeli (konsumen) dan pemerintah.
Edi Sutrisno, devisi Advokasi Kebijakan Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia) mengatakan, komitmen mereka langkah bagus, tetapi masyarakat dunia harus melihat realitas di lapangan. “Terutama terkait konflik, jangan gara-gara komitmen ini seakan-akan mereka menjadi baik semua,” katanya di Jakarta, Kamis (25/9/14).
Dia melihat, di lapangan masih banyak konflik-konflik antara perusahaan dan warga. Hak-hak masyarakat masih terabaikan.  Edi mencontohkan, konflik lahan warga dengan Sinar Mas di Padang Halaban, Sumatera Utara (Sumut) sampai sekarang belum ada penyelesaian. “Ini yang membuat kita khawatir, komitmen hanya di atas kertas, terlebih di tengah lemahnya pengawasan dan penegakan hukum,” ucap Edi.
Dia mengatakan, jangan sampai komitmen ini hanya sebagai pembenaran buat mengamankan  bisnis mereka di mata lembaga keuangan (bank) dan konsumen serta pemerintah yang akan terus melanggengkan bisnis. “Secara deklarasi cukup baik. Ya, harapannya pasar dan bank kuat mengawasi ini agar tak sekadar imej.”
Guna memastikan perusahaan menjalankan praktik baik, TUK pernah mendesak bank asing melakukan due diligence atas uang-uang yang mereka pinjamkan.
Zenzi Suhadi, Pengkampanye Hutan dan Perkebunan Besar Walhi Nasional menduga, ada upaya menyembunyikan praktik mereka sebelum mendeklarasikan komitmen.
Dia mencontohkan, Wilmar  berani berkomitmen menurunkan deforestasi non persen kawasan gambut. Nyatanya, dua “cucu” perusahaan ini , PT Sawindo Cemerlang dan PT Sawit Tiara Nusa, masih menebang di hutan alam, di Pahuwato, Gorontalo. Wilmar punya saham pada PT Agri Kencana Grup, induk kedua perusahaan itu.
Contoh lagi, titik api alias kebakaran hutan dan lahan masih banyak ditemukan pada konsesi perusahaan. Misal, titik api pada 2013-2014, di Sumatera Selatan,  mayoritas ditemukan di konsesi HTI, antara lain Sinar Mas.  “Ga cukup hanya komitmen lalu diklaim jadi contoh baik. Luar biasa.”
Salah satu kawasan hutan di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, yang tak terjamah sawit. Ia terjaga di bawah kelola hutan kemasyarakatan. Jangan sampai, hutan-hutan alam seperti ini terjarah buat kepentingan bisnis seperti sawit. Foto: Sapariah Saturi
Zenzi melihat, dengan manifesto global (komitmen) ini malah berpotensi berbahaya bagi hutan dan masyarakat. Sebab, pemodal di bisnis sumber daya alam bisa membuat skenario dengan menunggangi isu iklim.
Dari skenario ini, katanya, tak hanya terjadi intervensi kesepakatan global juga lokal. Di Indonesia, pemerintah sedang proses RUU Konservasi Air dan Tanah. “Ini curiga jadi payung hukum perampasan lahan baru.” Sedang perusahaan sektor konservasi lancar dengan ‘bisnis’ restorasi ekosistem (RE).
Dalam salah satu draf Pasal dalam RUU ada klausul pengguna air wajib membayar jasa kepada yang melakukan konservasi air dan tanah.  “Itu berpotensi menyusahkan warga atau petani. Bisa jadi petani pakai air konsesi RE wajib bayar pada perusahaan. Pemegang modal punya skenario pegang bisnis di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, RE akan diklaim para pengusaha skala besar sebagai bentuk kontribusi  rehabilitasi hutan.  Padahal, kawasan itu memang hutan lestari bahkan sebagian wilayah kelola masyarakat. perampasan sumber kehidupan rakyat atas nama penyelamatan iklim global.”
WWF: Momentum luar biasa
Sementara itu, WWF menyambut baik dan menyatakan, komitmen itu momentum luar biasa. Efransjah, CEO WWF-Indonesia, mengatakan, komitmen ini mengarah pada transformasi industri minyak sawit global. WWF, katanya,  menaruh keyakinan komitmen para petinggi  industri sawit terkemuka dan Kadin ini memberikan titik terang di pasar global. “ Bahwa Indonesia serius menjalankan langkah-langkah perbaikan menuju produksi minyak sawit berkelanjutan.”
Dia sadar, tantangan yang dihadapi dalam menjalankan komitmen ini sangat besar dan keberhasilan implementasi komitmen mutlak memerlukan dukungan para produsen lain, organisasi lingkungan, pedagang, konsumen, pemerintah dan masyarakat.
Irwan Gunawan, Strategic Leader of Agriculture & Fisheries Market Transformation WWF-Indonesia mengatakan, sebenarnya pasar global merupakan pendorong penting membantu industri sawit Indonesia mencapai standar keberlanjutan.
“Memboikot atau mencari pengganti sawit bukanlah jalan keluar. Justru berpotensi membawa dampak sampingan terhadap banyak hal di luar komoditas  itu. Yang penting bagaimana menyeimbangkan kepentingan-kepentingan ekonomi masyarakat dan kelestarian lingkungan,” katanya dalam rilis kepada media.
WWF percaya, komitmen yang disampaikan di New York berada di jalur tepat dalam mencapai keseimbangan antara ekonomi, sosial dan lingkungan.
Perlindungan hutan dan REDD+
Sementara itu, dalam event REDD+ di New York, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menekankan pentingnya melindungi hutan tropis dan lahan gambut. Terlebih, Indonesia memiliki hutan tropis ketiga dunia dan lahan gambut terbesar yang menyimpan banyak karbon.
“Melindungi mereka penting guna menghindari dampak perubahan iklim lebih buruk.  Komitmen Indonesia melawan deforestasi dan degradasi lahan gambut bagian dari kontribusi kami kepada dunia dalam menekan laju perubahan iklim,” katanya.
Dia mengatakan, alih fungsi hutan dan lahan memberikan kontribusi besar dalam pelepasan emisi karbon, terbesar diberikan deforestasi dan degradasi hutan. Untuk Indonesia, lebih dari dua pertiga gas rumah kaca disumbangkan oleh alih fungsi lahan dan hutan ini. “Namun di waktu sama, kami juga melindungi hutan guna melawan perubahan iklim ini.”
Dalam kesempatan itu, SBY memaparkan BP REDD+ yang sudah terbentuk sebagai bukti upaya Indonesia menekan deforestasi dan degradasi. Dia secara pribadi terlibat dalam pemberntukan badan ini.
Menurut dia, ada beberapa pelajaran penting dari keberadaan REDD+.  Pertama, ada REDD+ itu mengubah pola pikir dalam penggunakan dan pengelolaan hutan. Yakni, menggunakan pendekatan baru tata kelola hutan yang menekankan pada kontribusi hutan bagi konservasi lingkungan.
Kedua, REDD+ relevan dan tak hanya mengenai lingkungan tetapi juga sosial. Bentuk ini juga memberikan penekanan pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
Ketiga, guna memastikan REDD+ berjalan, dengan melibatkan semua stakeholders. “Ini penting untuk bekerja bersama, pemerintah pusat dan daerah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil dan masyarakat.”
Keempat, menekankan pentingnya regulasi. Sebagai contoh, kebijakan moratorium izin baru pada kawasan hutan dan lahan gambut pada 2011. Dengan kebijakan itu, SBY mengklaim, Indonesia bisa melindungi lebih dari 63 juta hutan primer dan gambut. Kebijakan ini sudah diperpanjang hingga 2015.
Sumber: mongabay.co.id