Pos

Korindo Membawa Virus Deforestasi dan Pelanggaran HAM di Papua

Masyarakat sipil menuntut KPK mengusut dugaan korupsi oleh Korindo dan meminta BNI menghentikan pendanaan kepada Korindo

 

Jakarta, Rabu 1 Juli 2020 – Sejumlah masyarakat sipil melakukan aksi di depan gedung BNI, KPK dan OJK menuntut lembaga pembuat kebijakan dan penegakkan hukum untuk mengusut perusahaan sawit, karet dan kayu milik Korindo Group, konglomerat Korea Selatan yang beroperasi di Papua dan Maluku. Aksi ini merupakan tindak lanjut atas temuan dugaan korupsi yang dilakukan oleh Korindo melalui pembayaran ‘konsultan’ yang mengambil lahan dari masyarakat adat di Merauke, Papua setelah hasil liputan investigasi Al Jazeera dan laporan
Gecko Project dirilis pada Kamis, 25 Juni 2020 lalu.

Direktur WALHI Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi selaku koordinator aksi menyatakan bahwa aksi ini merupakan wujud dari solidaritas terhadap masyarakat Papua yang lahannya dirampas oleh Korindo. “Kami harus ikut berjuang bersama masyarakat Papua yang hutannya dirusak, karena keputusan politik, kebijakan dan penegakkan hukum harus dimulai dari sini di Jakarta. Kami sebagai masyarakat urban yang menghirup oksigen yang dihasilkan oleh hutan Papua juga merasa ini bagian dari keberlangsungan hidup kami yang harus diperjuangkan”, ungkap Bagus.

 

Aksi ini dilakukan untuk menekan Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai pemberi kredit terbesar grup Korindo dan menjadikan perusahaan bermasalah ini sebagai klien terbesar ke-6 BNI untuk sektor pertanian dengan jumlah pinjaman 2,8 triliun rupiah pada triwulan 2017. Bahkan jumlah pinjaman ini meningkat dari tahun ke tahun dengan kenaikan lebih dari 19% tiap tahunnya. “Kami minta BNI untuk berhenti mendanai Korindo dan segera melakukan evaluasi pembiayaan bila tidak ada perbaikan tata kelola dan keberlanjutan sesuai batas waktu yang disepakati”, ungkap Edi Sutrisno, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA. Aksi yang juga dilakukan di depan kantor OJK ini bermaksud mendorong lembaga pembuat kebijakan jasa keuangan seperti OJK di Indonesia untuk lebih serius memastikan uji kelayakan dari bank-bank di Indonesia agar bisa memenuhi kebijakan Tata Kelola Lingkungan dan Sosial (Environmental Social Governance/ESG) yang lebih baik sehingga praktek-praktek perusakan lingkungan, pelanggaran HAM dan korupsi bisa dicegah.

 

Edi juga menekankan perlunya proses sinergi penegakkan hukum di Indonesia dengan penegakkan hukum di Singapura dan Amerika dalam menelusuri kejahatan korporasi dan melakukan tindakan berdasarkan Undang-undang (UU) Anti Penyuapan, UU pencucian uang dan anti pencucian uang dan sanksi berdasarkan UU Magnitsky Act. “KPK harus segera turun tangan dan serius melakukan hal tersebut, melakukan investigasi dan berkoordinasi serta bekerjasama dengan jaringan penegak hukum di negara lain”, pungkas Edi.

 

***

Kontak media:

Linda Rosalina, TuK INDONESIA

Email: [email protected] / +62 812-1942-7257

Surat Terbuka ke Presiden RI Joko Widodo

Credit: http://peta-papua.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html

Credit: http://peta-papua.blogspot.co.id/2014_02_01_archive.html


Kepada Yang Mulia
Bapak Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara
 
Dengan hormat,
Tuan Presiden Joko Widodo permah mengatakan akan menghentikan ketidakpastian dan belenggu transisi yang berkepanjangan dengan memberi jalan bagi kelahiran Indonesia hebat dan meneguhkan kembali jalan ideologis berdasarkan Pancasila dan Trisakti.
Tuan Presiden Joko Widodo pernah mengatakan visi mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong. Guna mewujudkan visi tersebut bagi jalan perubahan, maka dirumuskan sembilan agenda prioritas yang disebut Nawacita.
Hari ini (22 Januari 2015), kami membaca dan mendengar Tuan Presiden meluncurkan program Investasi Ciptakan Lapangan Kerja Tahap III di Wonogiri, Jawa Tengah. Pemerintah mengumumkan ada 10 pabrik dan perusahaan swasta terlibat dalam program tersebut, terdiri dari 8 perusahaan bermodal asing (PMA) dan sisanya perusahaan modal dalam negeri, yang mana sebanyak tiga perusahaan beroperasi ditanah Papua, yakni: perusahaan modal asing PT. Nabire Baru (Nabire, Prov. Papua), perusahaan modal asing PT. Bio Inti Agrindo (Merauke, Prov. Papua) dan PT. ANJ Agri Papua (Sorong Selatan, Prov. Papua Barat). Ketiganya berinvestasi dalam usaha perkebunan kelapa sawit.
Kami masyarakat adat Papua dan aktivis organisasi masyarakat sipil sangat resah dan marah atas program Tuan Presiden, karena program ini tidak seperti mimpi kami mengenai kesejahteraan dan pembangunan di tanah Papua. Keputusan atas program ini sudah pasti bukan berdasarkan hasil musyawarah ataupun dialog dengan masyarakat Papua. Program ini menyimpang dari jalan ideologis dan sistem nilai musyawarah, membelokkan jalan Indonesia hebat dan kembali masuk dalam belenggu sistem ekonomi neoliberal yang menguntungkan kelompok pemodal tertentu dan memiskinkan rakyat kebanyakan.
Dalam pengalaman hidup kami, kehadiran perusahaan tersebut terbukti belum sepenuhnya.memberikan manfaat sosial dan ekonomi berarti untuk memajukan kualitas hidup Orang Asli Papua dan lingkungan alam. Tanah Papua hanya dijadikan ladang pemerasan untuk investor dan pejabat pendukungnya, sedangkan masyarakat asli hanya menjadi penonton dan berkonflik menjadi korban kekerasan pelanggaran HAM. Karenanya, program tersebut akan melukai hati kami yang sedang menuntut perubahan dan keadilan.
Tuan Presiden, sejak awal kehadiran dan keberadaan ketiga perusahaan ini terlibat bersengketa dengan masyarakat adat setempat, karena menggunakan praktik-praktik kotor manipulasi dan intimidasi, terlibat dalam kejahatan kehutanan, melakukan pembakaran lahan, menggusur dusun sumber pangan masyarakat, membongkar hutan tempat sakral dan menghancurkan ritus budaya kehidupan orang Papua. Kehadiran perusahaan juga telah menciptakan konflik, kriminalisasi penangkapan sewenang-wenang terhadap tuan tanah dengan berbagai tudingan dan stigma OPM yang merendahkan martabat orang Papua. Praktik kekerasan dialami masyarakat adat setempat dan berujung dengan pelanggaran HAM. Bahkan dua diantara perusahaan tersebut sedang dalam proses gugatan masyarakat, yakni: PT. Nabire Baru di PTUN Jayapura dan PT. ANJ Agri Papua di PN Sorong.
Kehadiran perusahaan yang diprioritaskan negara itu juga tidak membantu perbaikan dan peningkatan nasib perempuan kami di kampung namun justru memperburuknya. Sumber-sumber air bersih hilang dan tercemar, membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan penyakit. Masyarakat semakin jauh menjangkau kebun dan dusun sagu maupun tempat berburu di hutan, sehingga membuat mereka kesulitan mendapatkan bahan pangan berkwalitas dan mudah terserang penyakit anemia, pertusis, gisi buruk dan rematik, yang lebih cepat menyerang anak-anak dan perempuan karena pekerjaan bertambah berat di luar dan di dalam rumah. Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi persoalan besar di tanah kami, diperparah dengan kehadiran perusahaan yang membatasi akses masyarakat dan mereka merasa terancam oleh aturan dan kekerasan verbal aparat dan petugas security perusahaan.
Ancaman serius dari program ini adalah menghadirkan belasan ribu tenaga kerja dari luar Papua akan membawa tekanan sosial, ekonomi dan politik terhadap Orang Asli Papua yang hak-hak dasarnya belum sepenuhnya dipenuhi, dilindungi dan dihormati. Demikian pula, mobilisasi buruh tanpa merubah sistem pengupahan yang murah dan perlindungan hak-hak pekerja yang buruk, akan menimbulkan masalah tidak hanya secara struktural, tetapi juga secara horisontal dengan masyarakat setempat dan meningkatkan tekanan tehadap lingkungan alam.
Kami berpandangan, program ini telah mengingkari janji-janji nawacita dan mengabaikan hak-hak konstitutional masyarakat adat Papua. Pemerintah gagal menghadirkan dan menciptakan rasa aman kepada masyarakat adat Papua, pemerintah justeru pro ataupun berpihak pada perusahaan swasta yang diduga melanggar hukum. Program ini menunjukkan ketidak mampuan pemerintah membangun Indonesia dari pinggiran dan melemahkan pembangunan desa. Program ini merontokkan mimpi membangun Indonesia berlandaskan pada sendi-sendi ekonomi rakyat yang berdaulat dan mandiri. Sangat jauh menyimpang dari pendekatan kesejahteraan yang dibayangkan orang Papua.
Karenanya, kami mohon Tuan Presiden untuk menghentikan program tersebut yang bertentangan dengan rasa keadilan, tidak sejalan dengan sendi-sendi perekonomian rakyat dan potensial memperkeruh konflik-konflik. Secara khusus, kami meminta Tuan Presiden, sebegai berikut: pertama, memeriksa izin dan aktifitas perusahaan-perusahaan bisnis pemanfaatan hasil hutan, lahan, pertambangan dan laut, mengadili dan memberikan sangsi kepada perusahaan dan pihak-pihak yang nyata-nyata melanggar hak-hak dasar Orang Asli Papua dan melanggar peraturan perundang-undangan yang merugikan negara; kedua, mereview berbagai perjanjian kerjasama pengamanan perusahaan dan menarik petugas pengamanan TNI dan Polri diareal perusahaan; ketiga, mengembangkan kebijakan program dan pemberdayaan ekonomi kerakyatan yang adil dan berkelanjutan, menyegerakan dan memperbanyak pendirian sekolah-sekolah dan pendidikan keahlian, memperbanyak tenaga pengajar, serta pusat-pusat pelayanan kesehatan dan tenaga media yang berkwalitas di tanah Papua; keempat, lakukan dialog-dialog yang berkwalitas dan meluas melibatkan masyarakat adat Papua hingga tingkat akar rumput untuk mengembangkan setiap rencana pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam di tanah Papua.
Demikian Surat Terbuka ini dan kami berharap Tuan Presiden dapat bertindak memutuskan secara bijaksana untuk memenuhi permohonan kami.
 
Terima kasih.
 
Tanah Papua, Jayapura, 22 Januari 2016
 
Hormat Kami,

  1. John Gobay, DAP Paniai, Papua
  2. Robertino Hanebora, Suku Yerisiam, Nabire, Papua
  3. Gunawan Inggeruhi, tokoh masyarakat, Nabire, Papua
  4. Imanuel Monei, korban PT. Nabire Baru, Nabire, Papua
  5. Lamek Niwari, Suku Yaur, Nabire, Papua
  6. Ayub Kowoi, LMA Nabire, Nabire, Papua
  7. Levina Niwari, Pemuda Yaur, Nabire, Papua
  8. Simon Soren, korban PT. ANJ Agri Papua, Sorong, Papua
  9. Max Binur, Perkumpulan Belantara Papua, Sorong, Papua
  10. Charles Tawaru, Greenpeace, Sorong, Papua Barat
  11. Loury Dacosta, PBHKP, Sorong, Papua Barat
  12. Septer Manufandu, JERAT Papua, Jayapura, Jakarta
  13. Fientje S. Jarangga, TIKI, Jaringan Kerja Perempuan Papua, Jayapura, Papua
  14. Natan Tebai, AMPTPI, Jayapura, Papua.
  15. Laurens Womsiwor, PFW, Jayapura, Papua
  16. Melianus Duwitau, FIM Papua, Jayapura, Papua
  17. Victor Mambor, Perkumpulan JUBI, Jayapura, Papua
  18. Robert Jitmau, SOLPAP, Jayapura, Papua
  19. Karon Mambrasar, Forum Independen Mahasiswa, Jayapura, Papua
  20. Teko Kogoya, Forum Inedependen Mahasiswa, Jayapura, Papua
  21. Pst. Anselmus Amo, MSC, Merauke, Papua
  22. Servo Tuamis, Tokoh Adat Keerom Arso, Papua
  23. Yunus Yumte, Samdhana, Manokwari, Papua Barat
  24. Pietsaw Amafnini, JASOIL, Manokwari, Papua Barat
  25. Charles Imbir, Raja Ampat, Papua Barat
  26. Risdianto, PERDU, Manokwari, Papua Barat
  27. N.R. Hastuti, Manokwari, Papua Barat
  28. Esau Yaung, Yayasan Paradisea, Manokwari, Papua Barat
  29. Alexander Tethool, Jurnalis, Fakfak, Papua Barat
  30. Y.L. Franky, Yay. PUSAKA, Jakarta
  31. Syamsul Alama Agus, Yay. Satu Keadilan, Bogor.
  32. Zely Ariane, PapuaItuKita, Jakarta.
  33. Timer Manurung, AURIGA, Jakarta
  34. Dewi Kartika, KPA, Jakarta
  35. April Perlindungan, PUSAKA, Jakarta
  36. Moch. Ainul Yaqin, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
  37. Andi Mutaqien, ELSAM, Jakarta
  38. Alves Fonataba, PapuaItuKita, Jakarta
  39. John Muhammad, PHI, Jakarta
  40. Budi Hernawan, AWC Universitas Indonesia, Jakarta
  41. Joko Waluyo, SAMPAN, Pontianak, Kalbar
  42. Haris Azhar, KONTRAS, Jakarta
  43. Teguh Surya, Greenpeace, Jakarta
  44. Zainal Arifin, SH, LBH Semarang, Jateng
  45. Eko Cahyono, Sajogyo Institut, Bogor, Jabar
  46. Kasmita Widodo, BRWA, Bogor, Jabar
  47. Iwan Nurdin, KPA, Jakarta
  48. Fandi, FMN, Jakarta
  49. Suwiryo Ismail, Ecological Justice, Jakarta
  50. Mieke Verawati, ELSAM, Jakarta
  51. Idham Arsyad, DPN Gerbang Tani, Jakarta
  52. Ide Bagus Arief, Jakarta.
  53. Muntaza, Perempuan AMAN, Jakarta
  54. Devi Anggaini, Perempuan AMAN, Jakarta
  55. Marianne Klute, Berlin, Jerman
  56. Betty Tiominar, BRWA, Bogor, Jawa Barat
  57. Melly Setyawati, Perkumpulan Magenta, Jakarta
  58. Arimbi Heroepoetri, DebtWatch Indonesia, Jakarta
  59. Abetnego Tarigan, Eksekutif Nasional WALHI, Jakarta
  60. Diana Gultom, Debt Watch Indonesia, Jakarta
  61. Dede Shineba, KPA, Jakarta
  62. Siti Rahma Mary, PilNet, Depok, Jawa Barat
  63. Ridwan Bakar, LBH Medan, Sumatera Utara
  64. Ahmad, SH, ED Walhi Sulteng, Sulawesi Tengah
  65. Marianto Sabintoe, Yayasan Tanah Merdeka, Palu, Sulteng
  66. Indria Fernida, Asia Justice and Rights, Indonesia
  67. Nur Amalia, Aktivis Lingkungan, Jakarta
  68. Sri Palupi, Institut Ecosoc Rights, Jakarta
  69. Alvons Palma, YLBHI, Jakarta
  70. Dahniar, HUMA, Jakarta
  71. Nedine Sulu, Perempuan Adat Minahasa, Sulut
  72. Mamik Yuniantri, Komunitas Adat Osing, Jateng
  73. Lenny Patty, Komunitas Adat Ullath, Maluku
  74. Moh. Ali, Sekjen AGRA, Jakarta
  75. Achmad Yakub, Bina Desa, Jakarta
  76. Khalisah Khalid, EN Walhi, Jakarta
  77. Ferry Widodo, aktivis agraria, Jakarta
  78. Yusriansyah, KPA, Jakarta
  79. Martin Hadiwinata, aktivis agraria, Depok, Jawa Barat
  80. Puspa Dewi, Solidaritas Perempuan, Jakarta
  81. Aliza Yuliana, Solidaritas Perempuan, Jakarta
  82. Yohanes Y. Balubun, Lawyer, Maluku
  83. Tommy Albert Tobing, LBH Jakarta, Jakarta
  84. Marthen Goo, aktivis Papua, Jakarta
  85. Alghiffari Aqsa, LBH Jakarta, Jakarta
  86. Wahyu Wagiman, ELSAM, Jakarta
  87. Kartini Samon, GRAIN International, Jakarta.
  88. Mahir Takaka, AMAN, Jakarta
  89. Abdul Halim, KIARA, Jakarta
  90. India Fatinaware, Sawit Watch, Bogor, Jawa Barat
  91. Jus Felix Wewengkang, aktivis, Jakarta
  92. Norman Jiwan, TUK Indonesia, Jakarta
  93. Arie Rompas, Walhi Kalteng, Palangkaraya, Kalimantan Tengah
  94. Edisius Terre, aktivis HAM, Jakarta
  95. Eliakim Sitorus, aktivis, Jakarta
  96. Siti Maimunah, Sajogyo Institute, Bogor, Jawa Barat
  97. Rizki Anggriana Arimbi, KPA Sulawesi Selatan
  98. Armin Salassa, Sekjen Federasi Petani Sulawesi Selatan
  99. Asmar Eswar, ED Walhi Sulawesi Selatan
  100. Muh. Taufik Kasaming, aktivis, Makassar, Sulawesi Selatan
  101. Seams Munir, Human Right Lawyer (PBHI), Jakarta
  102. Ridwan Darmawan, PBHI, Jakarta
  103. Muhnur Satyahaprabu, SH, EN Walhi, Jakarta
  104. Veronika Koman, LBH Jakarta, Jakarta

 
Kontak Person:

  1. Robertino Hanebora : 0822 1831 2666
  2. Charles Tawaru : 0812 4795 9331
  3. Franky Samperante : 0813 1728 6019

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.

Merauke Integrated Food and Energy Estate: Melanggar Hak-hak Masyarakat Adat di Merauke dan Meruntuhkan Nilai-nilai Sosial, Ekonomi dan Budaya

Implementasi UU No. 21 tahun 20101 tentang Otonomi Khusus Papua belum memberikan keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua. Berbagai proyek pembangunan, khususnya yang dilakukan di Merauke tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengetahui proses pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. Sebaliknya, malah mengakibatkan tercabutnya hak-hak masyarakat asli Papua dan maraknya pelanggaran hak asasi manusia.
Padahal, permintaan masyarakat Papua untuk memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Papua ini ditujukan untuk mengkoreksi ketidakadilan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahan orde baru.
Melalui UU Otsus Papua, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih memenuhi rasa keadilan, memberikan kesejahteraan rakyat, lebih memperhatikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan dan sumber daya alam Papua diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
Penyimpangan terhadap maksud otonomi khusus Papua tersebut disebabkan, salah satunya, oleh dilaksanakannya mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang mulai dilaksanakan sejak 2010 telah mengakibatkan terjadinya perampasan hak-hak atas tanah dan pelanggaran hak asasi  manusia masyarakat adat di Merauke.
MIFEE yang secara resmi diluncurkan Pemerintah Indonesia 11 agustus 2010 di Merauke, sebelumnya, Mifee berawal dari MIRE ( Merauke Integrated Rice Estate ). yang di gagas oleh Bupati Merauke, John Gluba Gebze, sebelumnya, tahun 1939-1958 dikenal program Padi Kumbe di wilayah itu.
Pemerintah daerah Merauke menyediakan dan mencadangkan lahan seluas 2,5 juta hektar dan badan perencanaan tata ruang (BKPRN) merekomendasikan areal potensial yang efektif untuk proyek MIFEE seluas 1,2 juta hektar. Lahan tersebut sebagian besar adalah kawasan hutan (91 %) dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas. Hingga tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan puluhan izin lokasi dengan luas lahan melebihi 2,5 juta ha kepada 47 perusahaan transnasional dan nasional yang mengendalikan bisnis dan mempunyai jaringan hingga di tingkat lokal Papua.
Proyek MIFEE ini telah berdampak dan mengancam keberadaan hak-hak masyarakat adat. Perusahaan-perusahaan besar terus melakukan ekspansi dan dan menggusur tanah-tanah masyarakat adat untuk dialihkanfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Akibatnya, terjadi penyingkiran terhadap para masyarakat adat. Penduduk setempat semakin minoritas di atas tanahnya sendiri; membludaknya pekerja dari luar Merauke, dan hancurnya ekonomi tradisonal masyarakat adat yang selama ini mengandalkan hidupnya pada hutan mereka.
Ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia dimulai ketika proses pelepasan tanah dari masyarakat adat Malind Anim kepada perusahaan-perusahaan. Pelepasan tanah umumnya terjadi melalui manipulasi kata dan makna dari mekanisme adat. Manipulasi “pengangkatan anak adat”, “toki babi”, atau pengorbanan hewan babi, yang menurut hukum adat memiliki makna sakral untuk mengesahkan perputaran hak dan kewajiban di antara sesama warga suku dan marga-marga dalam masyarakat Malind, oleh pihak perusahaan justru dipakai sebagai upaya dan tanda pengesahan peralihan hak dari marga pemilik tanah ke pihak perusahaan. Dan itu berarti penghilangan hak kepemilikan orang Malind atas tanah mereka selama-lamanya!!!
Proses manipulasi ini dilakukan melalui penciptaan istilah-istilah yang membingungkan masyarakat. Masing-masing perusahaan mempunyai pola yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah “pelepasan tanah adat” (contoh di Domande), “kompensasi” di Boepe dan Tagaepe, yang lain memakai istilah “pemberdayaan masyarakat kampung” (contoh di Kaliki), yang lain lagi, “tali asih” dan “uang penghargaan” (contoh di kampung Zanegi), “ketok pintu” di Muting. Semuanya mempunyai muara yang sama, yaitu hilangnya hak kepemilikan masyarakat adat Malind Anim.
Kehilangan hak atas tanah untuk selamanya itu sudah membawa akibat yang tidak terbayangkan oleh orang Malind Anim sendiri; sangat mengejutkan mereka. Seluruh bangunan kebudayaan mereka, termasuk hukum adat dan hubungan sosial, serta pola produksi pangan yang selama ini dibangun dan berkembang  di atas landasan kebudayaan yang berbasiskan tanah dan alam, sekarang lenyap  atau porak poranda. Kehidupan sebelumnya yang dekat dengan alam, menjadi bagian dari alam yang menyediakan semua kebutuhan hidup mereka, kini berubah.
Serbuan ekonomi uang membuat segala sesuatu yang tadinya dihargakan dengan simbol adat seperti wati, babi, sagu, tebu, pisang buti berubah. Nilai-nilai religius, moral, sosial dan budaya  dari simbol-simbol adat itu dikalahkan oleh nilai uang. Contohnya, dalam transaksi tanah yang dilakukan oleh perusahaan sejumlah uang yang bernilai milyaran rupiah dianggap sudah cukup untuk mengganti tanah yang dilepaskan. Padahal kehilangan nilai-nilai religius, moral, sosial, dan budaya tidak sebanding dengan berapa pun nilai uang.
Masyarakat adat di Merauke kini dihadapkan pada sebuah bangunan ekonomi industri baru,  yang disokong oleh sistem-sistem hukum, hubungan sosial, pola kepemilikan, dan produksi yang kapitalistik, atau dengan kata lain sistem-sistem yang sepenuhnya mengandalkan uang dan bertujuan menimbun kekayaan sebesar-besarnya bagi pemilik perusahaan.
Perubahan ini menyebabkan :

  1. masyarakat adat Malind Anim mengalami kekurangan pangan, gizi buruk, hilangnya tanaman-tanaman yang menjadi sumber-sumber obat, dan lenyapnya tempat-tempat sakral;
  2. hilangnya manifestasi atau perwujudan nilai-nilai luhur masyarakat adat Malind Anim. Totem-totem tidak lagi dihargai karena tanah di mana totem itu hidup, ‘mama’ yang mengandung dan melahirkan totem itu sudah hilang. Hubungan antara manusia dan Alam serta antara manusia dan manusia yang pada mulanya hidup dalam kedamaian dan persaudaraan sedang dan akan terus terkikis.

 
Seluruh situasi ini membuat orang-orang Malind Anim mulai bertanya-tanya: “mama di mana saya punya tanah?” atau “mama donde nok en makan?”. Ungkapan ini dalam tradisi Malind Anim sesungguhnya bermakna pertanyaan seorang anak atas warisan tanah yang menjadi haknya secara turun-temurun. Kini makna pertanyaan itu menjadi “sa pu tanah hilang kamana”?
Secara hukum adat masyarakat adat Malind Anim tidak mengenal adanya transaksi pelepasan hak atas tanah karena tanah merupakan “mama”. Tanah dalam kosmologi orang Marind adalah mahkluk hidup, bukan benda mati. Kepemilikan tanah bersifat kolektif dan bukan kepemilikan secara pribadi. Ada ungkapan untuk itu di kalangan masyarakat Malind Anim, yang berbunyi “ina anem makan anem”, atau “tanah ini kita sama-sama punya”. Kolektifitas ini digambarkan oleh ungkapan “Kondo – Digul”, ruang hidup yang membentang dari Kondo sampai Digul. Nilai ini yang membuat hasil dari tanahpun dibagi secara merata tanpa membeda-bedakan kedudukan dan pangkat secara adat. Sifat kolektifitas hak itu lahir dari filosofi ‘tanah adalah mama’. Sebagaimana seorang ibu adalah ‘milik’ dari semua anak-anaknya, bukan hanya ‘milik’ satu anak saja, demikian pula ‘makan’ atau tanah adalah ‘punya kita’ atau ‘ina anem makan anem’
Potensi pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi dan perampasan hak-hak dan sumber daya alam masyarakat adat di Papua, Merauke khususnya akan semakin besar dengan adanya Peraturan Menteri Pertanian No 98 tahun 2013 tentang Izin Usaha Pertanian. Dalam Permentan 98/2013 dinyatakan bahwa “apabila izin usaha perkebunan dimohonkan di Provinsi Papua dan Papua Barat, maka dapat diberikan 2 (dua) kali dari batas paling luas”. Misalnya, perkebunan sawit dibolehkan mencapai 20.000 ha per-provinsi, maka pada kedua provinsi tersebut dapat mencapai 40.000 Ha.
 
Untuk itu, kami meminta agar:

  1. Presiden SBY mencabut dan menghentikan proyek MIFEE;
  2. Presiden segera melakukan evaluasi terhadap izin-izin terkait pemanfaatan sumber daya alam di Merauke;
  3. Presiden SBY, Gubernur Papua, dan Bupati Merauke agar menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat Papua, khususnya Merauke; menciptakan dan memberikan kesejahteraan rakyat, menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat di Merauke;

 
Jakarta, 11 Juni 2014