Pos

Temu Marga Memperkuat Wilayah Kehidupan Ekonomi Masyarakat Hukum Adat

WorkshopTEMU MARGA MEMPERKUAT WILAYAH KEHIDUPAN EKONOMI MASYARAKAT HUKUM ADAT

Muting, 09-10 September 2015

Hari ini, Kamis, Tanggal Sepuluh Bulan September Tahun Dua Ribu Lima Belas, di Gedung Gereja Muting.

Setelah mendengar, membahas dan menganalisa tentang persoalan Hak Ulayat Tanah Adat di Wilayah Distrik Subur Kabupaten Boven Digoel, Ulilin dan Muting Kabupaten Merauke dalam Pertemuan Lokakarya Fasilitator: Temu Marga Memperkuat Wilayah Kehidupan Ekonomi Masyarakat Adat di Distrik Muting dan Ulilin yang dihadiri oleh perwakilan Marga di Kampung Subur, Aiwait, Kaisa (Distrik Subur) Kabupaten Boven Digoel, dan Selauw, Boha, Pachas, Kolam dan Muting (Distrik Muting), Selil dan Kindiki (Distrik Ulilin) Kabupaten Merauke. Pertemuan ini menjadi tindak lanjut Musyawarah Masyarakat Hukum Adat yang dilakukan pada tanggal 29-30 Agustus 2015 di Kampung Boha di Kabupaten Merauke dan Kampung Subur dengan melibatkan Kampung Aiwat dan Kaisa di Kabupaten Boven Digoel.

Pertemuan ini sungguh mengakomodir dan memperjuangkan tentang hak ulayat tanah adat atas persoalan riil dan konkret yang dialami oleh seluruh masyarakat adat di wilayah Distrik Muting, Ulilin Kabupaten Merauke dan Distrik Subur di Kabupaten Boven Digoel tentang perkembangan kebijakan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di wilayah Muting, Ulilin dan Subur. Maka dengan ini, kami, masyarakat adat menyatakan bahwa telah terjadi penipuan dan pengabaian wilayah kehidupan tanah dan hutan adat; kerusakan wilayah hidup dan kehidupan masyarakat adat itu sendiri, perjanjian sepihak, perampasan tanah adat, proses sosialisasi, negoisasi sampai penandatangan MoU tidak transparan, intimidasi, manipulasi adat dan ritual adat, “divide et impera”, potensi konflik sesama marga dan antar etnis Mandobo di Distrik Subur, golongan Imoch dan golongan Ezam di Distrik Muting Kabupaten Merauke.

Maka, kami, perwakilan seluruh Masyarakat Adat di Wilayah Distrik Muting dan Distrik Ulilin di Kabupaten Merauke serta Distrik Subur di Kabupaten Boven Digoel menyatakan tentang pernyataan sikap, komitmen dan keputusan bersama, sebagai berikut:

  1. Kami sungguh MENOLAK semua bentuk perusahaan-perusahaan yang akan masuk beroperasi di wilayah kehidupan masyarakat adat dari Kampung Aiwait, Kaisa, Subur, Selil, Kindiki, Muting, Pachas, Boha, Kolam, Waan dan Kampung Selauw.

  2. Kami mendesak kepada pihak perusahaan yang sudah beroperasi di wilayah Distrik Subur di mana tanah adat dan hutan adat sudah dibongkar oleh pihak perusahaan TANPA perjanjian dan kesepakatan yang jelas dan transparan untuk dikembalikan kepada pemilik hak ulayat tanah adat dari suku Mandobo.

  3. Kami MEMINTA kepada pihak Perusahaan untuk mengeluarkan informasi yang terbaru terkait dengan status izin operasi di atas tanah adat kami; Izin Lokasi, Izin Usaha Perkebunan (IUP) dan Izin Hak Guna Usaha (HGU).

  4. Kami mendesak penghentian SEGERA seluruh aktivitas perusahaan yang beroperasi di wilayah tanah adat Kampung Subur suku Mandobo di Kabupaten Boven Digoel, termasuk pendonor (bank) kepada perusahaan tersebut sambil menyelesaikan potensi konflik dan kerusakan lingkungan di wilayah tanah adat suku Mandobo Kabupaten Boven Digoel.

  5. Kami MENOLAK segala bentuk intimidasi, teror dan kekerasan secara langsung dan tidak langsung yang melanggar atas hak atas rasa aman dan bebas dalam seluruh masyarakat hukum adat di wilayah Distrik Muting dan Distrik Ulilin Kabupaten Merauke dan Distrik Subur di Kabupaten Boven Digoel.

  6. Kami memahami dan menghayati bahwa TANAH adalah mama dan sumber penghidupan serta kehidupan masyarakat adat yang berbudaya dalam tingkat keluarga, marga dan suku di wilayah Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke.

  7. Kami tetap mempertahankan wilayah kehidupan yakni tanah adat, hutan adat serta sumber penghidupan secara kuat, kompak dan bersatu melalui MUSYAWARAH ADAT pada tingkat keluarga, marga dan suku untuk mencapai MUFAKAT. Apabila di kemudian hari, ada pribadi atau anggota marga yang mengatasnamakan marga pemilik Hak Ulayat Tanah Adat untuk membuat perjanjian dengan perusahaan, maka kami menyatakan dengan TEGAS bahwa perjanjian itu TIDAK SAH.

  8. Kami MENDESAK tentang pengakuan dan pengesahan secara hukum tentang wilayah tanah adat dan hutan adat di wilayah Kampung Subur, Aiwat, Kaisa, Selil, Kindiki, Muting, Pachas, Kolam, Waan dan Kampung Selauw yang memiliki hubungan kekerabatan, mitos, totem dan sejarah moyang baik secara lisan dan tertulis secara utuh dan berkesinambungan.

  9. Kami MEMINTA dukungan penuh kepada pihak-pihak yang berkehendak baik dalam hal ini team advokasi untuk memperjuangkan dan merealisasikan tentang wilayah tanah dan hutan adat dalam peta tanah dan hutan adat yang sah menurut tradisi nenek moyang, yang dibuat melalui musyawarah masyarakat hukum adat di Kampung Subur, Aiwat, Kaisa, Selil, Kindiki, Muting, Pachas, Boha, Kolam, Waan dan Kampung Selauw di wilayah pemerintahan Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke.

  10. Kami MEMBUTUHKAN dukungan dan solidaritas yang utuh atas kedaulatan pangan; sagu, kelapa, karet, seluruh pepohonan dan binatang yang hidup di wilayah tanah adat dan air di sungai, kali dan rawa mendapat pengakuan dan pengesahan hukum yang jelas dan tepat di Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa mempersempit wilayah tanah adat setiap marga dalam suku Mandobo dan Malind Mbyan Anim Muting dari golongan Imoch dan Ezam.

  11. Kami mempertegas untuk TIDAK JUAL TANAH ADAT dan membuat pelepasan tanah dengan ritual adat dalam bentuk apa pun, termasuk penguburan/penanaman kepala babi kepada perusahaan mana pun juga.

  12. Kami mempertegas hak kedaulatan pangan dan hidup aman dengan semangat “SAYANGILAH TANAH DAN KAMI: GERAKAN EKONOMI KREATIF” dalam kesatuan masyarakat adat di wilayah Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel.

  13. Kami MENDESAK kepada seluruh masyarakat adat di wilayah Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel untuk melakukan Musyawarah Adat pada tingkat Marga di wilayah Kampung masing-masing untuk melanjutkan aksi dan komitmen tentang kedaulatan pangan menurut hukum adat masing-masing etnis atau suku dalam Marga.

 Dowload file PDF.

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.

Diskusi Terbatas: Pendekatan Adaptif untuk Partisipasi dan Kepemimpinan Perempuan dalam Pemerintahan Desa di Merauke, Papua

Foto FGD PapuaKamis, 13 November 2014, Hotel Morrissey, Menteng, Jakarta.
Keterlibatan perempuan dalam politik memiliki kontribusi atas peningkatan kesejahteraan kaum perempuan yang selama ini termarginalkan, terlebih dengan adanya usaha pengarusutamaan gender dalam pembangunan yang mengangkat wacana kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Pada banyak situasi dan kondisi di ruang publik, jenis kelamin masih sering dilihat sebagai faktor yang paling menentukan kredibilitas seseorang dalam keberhasilan memimpin. Ketika berperan sebagai seorang pemimpin, perempuan cenderung mengalami stereotyping bahwa karakteristik yang dimilikinya tidak tepat untuk menempati posisi sebagai pemimpin yang berhasil
Implikasi dari hal ini adalah bukan tidak mungkin akan adanya pesan terselebung yang membuat masyarakat bahkan perempuan itu sendiri mempertanyakan kredibilitasnya untuk terlibat dalam kepemimpinan organisasi.  Alasan pertama adalah kemungkinan bahwa mereka kurang memiliki kecakapan tertentu, misalnya dalam pengambilan keputusan, kemampuan interpersonal dan sebagainya. Namun hal ini dapat dipelajari dari pelatihan dan pengalaman, bukan ditentukan oleh jenis kelamin. Alasan lain adalah seorang perempuan yang menjadi pemimpin terkadang masih dipandang kurang memiliki kuasa dan pengaruh. Menghadapi situasi ini, perempuan perlu melakukan upaya untuk meningkatkan daya dan pengaruhnya dalam struktur yang ada saat ini. Perempuan pedesaan dan masyarakat adat Papua menghadapi tiga beban rezim yakni pembangunan eksklusif, diskriminasi pelaksanaan peraturan dan ekonomi, sosial dan perbedaan budaya. Situasi tersebut terus terjadi di Merauke, Papua.
Penyelenggaraan diskusi terbatas ini menghadiri beberapa narasumber, diantaranya; Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (Maria Ruwiastuti), dosen Universitas Cenderawasih Papua (Edward Kocu), Direktur Eksekutif SKP-KAME (Pastor Anselmus Amo) dan Direktur Eksekutif Yayasan Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) Laili Zailani.
Diskusi ini juga dihadiri oleh teman-teman dari LSM nasional dan Papua, yakni ELSAM, Eknas WALHI, PIL-Net, Kapal Perempuan, KPA, Pusaka, SKP-KAME dan Asosiasi Antropolog Indonesia, serta dipandu oleh wartawan senior Harian Tempo.
“TuK-INDONESIA meyakini bahwa problem mendasar perempuan adalah karena tidak dilibatkannya mereka dalam pengambilan keputusan dalam unit yang terkecil maupun terbesar sehingga diskusi kali ini ingin menggali lebih dalam pendapat segenap narasumber dan hadirin akan hal-hal terkait partisipasi, dan kemudian, kepemimpinan perempuan.Hal urgen lain adalah implementasi UU Pemerintahan Desa yang baru dan bagaimana posisi perempuan dan apa tahapan yang harus dilalui agar perempuan mampu berpartisipasi aktif dan menunjukkan kepemimpinannya dalam konteks ini,”tutur Rahmawati Retno Winarni.
Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, Norman Jiwan menuturkan, “bahwa diskusi ini sebagai media untuk dapat bertukar pikiran dan pengalaman sehingga akan muncul gagasan tentang langkah-langkah transformatif ke depan dalam rangka mendorong terjadinya pemberdayaan dan partisipasi perempuan, khususnya di Merauke”.
Lebih lanjut dijelaskan, “diskusi ini juga dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan kunci yang menjadi tujuan TuK INDONESIA dan memberikan rekomendasi soal design strategi yang bisa diformulasikan untuk kemudian masuk ke dalam tahap penyusunan strategi, model pendekatan, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi”, pungkas Norman Jiwan.

Merauke Integrated Food and Energy Estate: Melanggar Hak-hak Masyarakat Adat di Merauke dan Meruntuhkan Nilai-nilai Sosial, Ekonomi dan Budaya

Implementasi UU No. 21 tahun 20101 tentang Otonomi Khusus Papua belum memberikan keadilan dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat asli Papua. Berbagai proyek pembangunan, khususnya yang dilakukan di Merauke tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat adat untuk mengetahui proses pembangunan dan menikmati hasil-hasilnya. Sebaliknya, malah mengakibatkan tercabutnya hak-hak masyarakat asli Papua dan maraknya pelanggaran hak asasi manusia.
Padahal, permintaan masyarakat Papua untuk memiliki Undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai Papua ini ditujukan untuk mengkoreksi ketidakadilan dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama pemerintahan orde baru.
Melalui UU Otsus Papua, diharapkan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih memenuhi rasa keadilan, memberikan kesejahteraan rakyat, lebih memperhatikan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia. Pengelolaan dan pemanfaatan hasil kekayaan dan sumber daya alam Papua diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua.
Penyimpangan terhadap maksud otonomi khusus Papua tersebut disebabkan, salah satunya, oleh dilaksanakannya mega proyek MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) yang mulai dilaksanakan sejak 2010 telah mengakibatkan terjadinya perampasan hak-hak atas tanah dan pelanggaran hak asasi  manusia masyarakat adat di Merauke.
MIFEE yang secara resmi diluncurkan Pemerintah Indonesia 11 agustus 2010 di Merauke, sebelumnya, Mifee berawal dari MIRE ( Merauke Integrated Rice Estate ). yang di gagas oleh Bupati Merauke, John Gluba Gebze, sebelumnya, tahun 1939-1958 dikenal program Padi Kumbe di wilayah itu.
Pemerintah daerah Merauke menyediakan dan mencadangkan lahan seluas 2,5 juta hektar dan badan perencanaan tata ruang (BKPRN) merekomendasikan areal potensial yang efektif untuk proyek MIFEE seluas 1,2 juta hektar. Lahan tersebut sebagian besar adalah kawasan hutan (91 %) dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas. Hingga tahun 2013, pemerintah telah mengeluarkan puluhan izin lokasi dengan luas lahan melebihi 2,5 juta ha kepada 47 perusahaan transnasional dan nasional yang mengendalikan bisnis dan mempunyai jaringan hingga di tingkat lokal Papua.
Proyek MIFEE ini telah berdampak dan mengancam keberadaan hak-hak masyarakat adat. Perusahaan-perusahaan besar terus melakukan ekspansi dan dan menggusur tanah-tanah masyarakat adat untuk dialihkanfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan pembalakan kayu. Akibatnya, terjadi penyingkiran terhadap para masyarakat adat. Penduduk setempat semakin minoritas di atas tanahnya sendiri; membludaknya pekerja dari luar Merauke, dan hancurnya ekonomi tradisonal masyarakat adat yang selama ini mengandalkan hidupnya pada hutan mereka.
Ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia dimulai ketika proses pelepasan tanah dari masyarakat adat Malind Anim kepada perusahaan-perusahaan. Pelepasan tanah umumnya terjadi melalui manipulasi kata dan makna dari mekanisme adat. Manipulasi “pengangkatan anak adat”, “toki babi”, atau pengorbanan hewan babi, yang menurut hukum adat memiliki makna sakral untuk mengesahkan perputaran hak dan kewajiban di antara sesama warga suku dan marga-marga dalam masyarakat Malind, oleh pihak perusahaan justru dipakai sebagai upaya dan tanda pengesahan peralihan hak dari marga pemilik tanah ke pihak perusahaan. Dan itu berarti penghilangan hak kepemilikan orang Malind atas tanah mereka selama-lamanya!!!
Proses manipulasi ini dilakukan melalui penciptaan istilah-istilah yang membingungkan masyarakat. Masing-masing perusahaan mempunyai pola yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan istilah “pelepasan tanah adat” (contoh di Domande), “kompensasi” di Boepe dan Tagaepe, yang lain memakai istilah “pemberdayaan masyarakat kampung” (contoh di Kaliki), yang lain lagi, “tali asih” dan “uang penghargaan” (contoh di kampung Zanegi), “ketok pintu” di Muting. Semuanya mempunyai muara yang sama, yaitu hilangnya hak kepemilikan masyarakat adat Malind Anim.
Kehilangan hak atas tanah untuk selamanya itu sudah membawa akibat yang tidak terbayangkan oleh orang Malind Anim sendiri; sangat mengejutkan mereka. Seluruh bangunan kebudayaan mereka, termasuk hukum adat dan hubungan sosial, serta pola produksi pangan yang selama ini dibangun dan berkembang  di atas landasan kebudayaan yang berbasiskan tanah dan alam, sekarang lenyap  atau porak poranda. Kehidupan sebelumnya yang dekat dengan alam, menjadi bagian dari alam yang menyediakan semua kebutuhan hidup mereka, kini berubah.
Serbuan ekonomi uang membuat segala sesuatu yang tadinya dihargakan dengan simbol adat seperti wati, babi, sagu, tebu, pisang buti berubah. Nilai-nilai religius, moral, sosial dan budaya  dari simbol-simbol adat itu dikalahkan oleh nilai uang. Contohnya, dalam transaksi tanah yang dilakukan oleh perusahaan sejumlah uang yang bernilai milyaran rupiah dianggap sudah cukup untuk mengganti tanah yang dilepaskan. Padahal kehilangan nilai-nilai religius, moral, sosial, dan budaya tidak sebanding dengan berapa pun nilai uang.
Masyarakat adat di Merauke kini dihadapkan pada sebuah bangunan ekonomi industri baru,  yang disokong oleh sistem-sistem hukum, hubungan sosial, pola kepemilikan, dan produksi yang kapitalistik, atau dengan kata lain sistem-sistem yang sepenuhnya mengandalkan uang dan bertujuan menimbun kekayaan sebesar-besarnya bagi pemilik perusahaan.
Perubahan ini menyebabkan :

  1. masyarakat adat Malind Anim mengalami kekurangan pangan, gizi buruk, hilangnya tanaman-tanaman yang menjadi sumber-sumber obat, dan lenyapnya tempat-tempat sakral;
  2. hilangnya manifestasi atau perwujudan nilai-nilai luhur masyarakat adat Malind Anim. Totem-totem tidak lagi dihargai karena tanah di mana totem itu hidup, ‘mama’ yang mengandung dan melahirkan totem itu sudah hilang. Hubungan antara manusia dan Alam serta antara manusia dan manusia yang pada mulanya hidup dalam kedamaian dan persaudaraan sedang dan akan terus terkikis.

 
Seluruh situasi ini membuat orang-orang Malind Anim mulai bertanya-tanya: “mama di mana saya punya tanah?” atau “mama donde nok en makan?”. Ungkapan ini dalam tradisi Malind Anim sesungguhnya bermakna pertanyaan seorang anak atas warisan tanah yang menjadi haknya secara turun-temurun. Kini makna pertanyaan itu menjadi “sa pu tanah hilang kamana”?
Secara hukum adat masyarakat adat Malind Anim tidak mengenal adanya transaksi pelepasan hak atas tanah karena tanah merupakan “mama”. Tanah dalam kosmologi orang Marind adalah mahkluk hidup, bukan benda mati. Kepemilikan tanah bersifat kolektif dan bukan kepemilikan secara pribadi. Ada ungkapan untuk itu di kalangan masyarakat Malind Anim, yang berbunyi “ina anem makan anem”, atau “tanah ini kita sama-sama punya”. Kolektifitas ini digambarkan oleh ungkapan “Kondo – Digul”, ruang hidup yang membentang dari Kondo sampai Digul. Nilai ini yang membuat hasil dari tanahpun dibagi secara merata tanpa membeda-bedakan kedudukan dan pangkat secara adat. Sifat kolektifitas hak itu lahir dari filosofi ‘tanah adalah mama’. Sebagaimana seorang ibu adalah ‘milik’ dari semua anak-anaknya, bukan hanya ‘milik’ satu anak saja, demikian pula ‘makan’ atau tanah adalah ‘punya kita’ atau ‘ina anem makan anem’
Potensi pelanggaran hak asasi manusia dan eksploitasi dan perampasan hak-hak dan sumber daya alam masyarakat adat di Papua, Merauke khususnya akan semakin besar dengan adanya Peraturan Menteri Pertanian No 98 tahun 2013 tentang Izin Usaha Pertanian. Dalam Permentan 98/2013 dinyatakan bahwa “apabila izin usaha perkebunan dimohonkan di Provinsi Papua dan Papua Barat, maka dapat diberikan 2 (dua) kali dari batas paling luas”. Misalnya, perkebunan sawit dibolehkan mencapai 20.000 ha per-provinsi, maka pada kedua provinsi tersebut dapat mencapai 40.000 Ha.
 
Untuk itu, kami meminta agar:

  1. Presiden SBY mencabut dan menghentikan proyek MIFEE;
  2. Presiden segera melakukan evaluasi terhadap izin-izin terkait pemanfaatan sumber daya alam di Merauke;
  3. Presiden SBY, Gubernur Papua, dan Bupati Merauke agar menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan yang memenuhi rasa keadilan masyarakat Papua, khususnya Merauke; menciptakan dan memberikan kesejahteraan rakyat, menghormati dan melindungi hak asasi manusia dan hak-hak masyarakat adat di Merauke;

 
Jakarta, 11 Juni 2014