Pertemuan G20 dan Keuangan Berkelanjutan: Apa yang Perlu Disampaikan Presiden Jokowi di Hamburg?

Pertemuan pimpinan keuangan negara-negara G20 telah berakhir di pada Sabtu 18 Maret 2017. Hasilnya ‘mengejutkan’ seluruh pihak karena benar-benar menunjukkan bahwa proteksionisme Amerika Serikat memang bisa mengubah banyak kesepakatan yang sudah dicapai bertahun-tahun. Steven Mnuchin, Menteri Keuangan Amerika Serikat, secara terang-terangan menyatakan bahwa pendekatan G20 yang selama ini menentang proteksionisme telah menjadi “not really relevant.”
Perwakilan Tiongkok, Jepang, dan Uni Eropa sudah menyatakan kekecewaannya yang mendalam atas sulitnya memertahankan perdagangan bebas, saling menguntungkan dan lebih adil di antara negara-negara G20. Mereka semua telah berupaya keras untuk mencapai kesepakatan dengan mengakomodasi kepentingan Amerika Serikat tanpa mencederai tujuan dan pendekatan yang selama ini dipercaya sebagai yang terbaik. Tetapi sikap non-kompromistik perwakilan Amerika Serikat membuat kesepakatan tak bisa dicapai.
Selain proteksionisme, Amerika Serikat juga benar-benar menunjukkan perlawanan terhadap ilmu pengetahuan dalam bentuk penentangan terhadap upaya pengendalian perubahan iklim. Kalau di dalam negeri sendiri Amerika Serikat memotong 31% anggaran perlindungan lingkungan dan mulai menghidupkan kembali industri batubara dan mendorong pertumbuhan industri minyak secara besar-besaran, dalam pertemuan G20 Amerika Serikat bersama-sama dengan Arab Saudi bahkan mengutuk sekadar referensi terhadap pendanaan untuk pengendalian perubahan iklim di dalam teks perjanjian.
Ketidaksetujuan kedua negara kemudian benar-benar menghilangkan referensi itu, lantaran teks perjanjian haruslah hanya yang disetujui oleh seluruh pihak. Dengan Donald Trump sebagai presiden yang secara terbuka menyatakan bahwa perubahan iklim adalah hoax buatan Tiongkok untuk merugikan ekonomi Amerika Serikat, dan pembiayaan untuk menanganinya adalah pemborosan belaka, menjadi mustahil bagi Amerika Serikat untuk berpartisipasi di dalam pengendaliannya.
Dengan hilangnya pernyataan tentang perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil, serta pernyataan tentang pendanaan untuk penanganan perubahan iklim, maka pertemuan tersebut dinyatakan gagal oleh banyak pihak. Untungnya, kesepakatan mengenai stabilisasi nilai tukar dan penghentian kompetisi devaluasi mata uang bisa masuk ke dalam perjanjian. Tetapi, dengan kegagalan di dua isu kunci tersebut, seluruh negara—selain Amerika Serikat, dan Arab Saudi, tentu saja—berharap perbaikan luar biasa bisa terjadi pada pertemuan kepala negara G20 di Hamburg.
Oleh karena itu, kehadiran Presiden Jokowi di Hamburg pada bulan Juli mendatang perlu dipersiapkan dengan baik. Pesan-pesan Presiden Jokowi perlu menjadi bagian penting dari upaya untuk mengembalikan dua isu tadi ke dalam teks perjanjian yang disepakati para kepala negara. Sementara, di sisi lain, Indonesia juga perlu mendapatkan keuntungan berjangka panjang dari pertemuan tersebut. Bukan saja dari perdagangan, namun juga dari investasi dan pendanaan untuk kepentingan rehabilitasi/restorasi lingkungan Indonesia yang juga menguntungkan bagi dunia. Beberapa pesan yang perlu disampaikan adalah:
Pertama, menunjukkan keuntungan-keuntungan model perdagangan yang selama ini diperjuangkan oleh G20. Perdagangan bebas, saling menguntungkan dan adil adalah apa yang dinyatakan sebagai salah satu raison d’etre dibentuknya G20. Kemajuan perekonomian telah dicapai melalui model tersebut, dan hal ini perlu disokong oleh bukti-bukti nyata berupa statistik perdagangan dan lainnya. Selama ini Presiden Trump ‘terkenal’ dengan kesalahan-kesalahan data yang sangat elementer. Tanpa harus menyatakan kesalahan dalam apa yang dipercaya oleh Trump, penekanan terhadap kemajuan bersama perlu disampaikan secara gamblang.
Kedua, memberikan gambaran kompehensif mengenai kemungkinan dampak proteksionisme terhadap ekonomi Amerika Serikat. Proteksionisme memiliki daya tarik jangka pendek, yang mungkin saja merupakan satu-satunya hal yang dihitung oleh Trump. Namun, dunia memiliki sejumlah besar contoh bahwa dalam jangka panjang proteksionisme tidaklah menguntungkan. Kerugian dalam jangka panjang, yang akan dirasakan oleh rakyat Amerika Serikat jauh setelah Donald Trump tidak lagi menjabat sebagai presiden perlu disampaikan, agar menjadi bahan pertimbangan tim ekonomi Trump yang dipastikan akan hadir di Hamburg.
Ketiga, menekankan tentang penting dan urgennya penanganan perubahan iklim bagi seluruh dunia. Sejumlah 97% ilmuwan mumpuni dalam seluruh cabang ilmu pengetahuan terkait iklim telah sepakat bahwa perubahan iklim itu terjadi, penyebabnya adalah antropogenik, upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim perlu dilakukan segera, serta dunia akan mengalami dampak yang semakin buruk bila penanganannya diperlambat. Amerika Serikat, sebagai negara penghasil emisi nomor dua tertinggi di dunia setelah Tiongkok, tidak bisa mengabaikan hal ini, lantaran rakyatnya sendiri yang akan menderita, selain juga akan membahayakan negara-negara lain. Dampak terhadap Amerika Serikat sendiri perlu menjadi penenkanan.
Keempat, memberikan gambaran mengenai keuntungan ekonomi-sosial-lingkungan yang telah dan bisa diperoleh bagi negara-negara yang telah mulai menjalankan new climate economy. Menangani perubahan iklim dengan sungguh-sungguh bukan sekadar membawa konsekuensi biaya, melainkan juga membawa keuntungan ekonomi. Seluruh ekonom lingkungan sepakat bahwa semakin awal perubahan iklim ditangani, maka biayanya semakin kecil; selain keuntungan yang bisa diperoleh dari investasi itu semakin besar. Contoh-contohnya bisa ditemukan di banyak negara G20, namun terutama bisa ditunjukkan contoh sukses dari kota dan negara bagian Amerika Serikat sendiri yang banyak di antaranya sudah menerapkan ekonomi yang kompatibel dengan tujuan pengelolaan perubahan iklim.
Kelima, menyatakan dukungan kepada investasi untuk pencapaian SDGs. Bukan saja terkait dengan perubahan iklim, seharusnya seluruh investasi pemerintah dan swasta diarahkan kepada pembiayaan yang sesuai dengan pencapaian SDGs di tahun 2030. Inilah yang dinyatakan sebagai pengertian keuangan berkelanjutan (sustainable financing) yang mutakhir. Amerika Serikat sendiri masih memiliki kesenjangan yang tinggi dalam banyak Tujuan SDGs, sehingga perlu untuk mengarahkan pembiayaan publik yang bisa menutup kesejangan itu. Seluruh negara lain juga demikian. Presiden Jokowi juga bisa menekankan bahwa SDG17 menekankan pada kerjasama intra- dan antarnegara dalam pencapaiannya, sehingga investasi dalam pencapaian SDGs juga perlu dilakukan di negara-negara berkembang yang lebih membutuhkan.
Keenam, menyatakan dukungan terhadap GreenInvest Platform di bawah kepemimpinan Jerman. Pada Januari 2017telah disepakati bahwa salah satu program penting G20 di bawah kepemimpinan Jerman adalah menjalankan GreenInvest Platform, bukan hanya untuk negara-negara G20, melainkan juga untuk negara-negara berkembang yang membutuhkannya. Dalam perhitungan GreenInvest Platform, untuk membuat dunia benar-benar bisa masuk ke dalam ekonomi hijau—rendah karbon, memiliki resiliensi atas perubahan iklim, tidak menghasilkan polusi—dibutuhkan USD90 triliun, yang sebagian besarnya diinvestasikan di negara-negara berkembang. Presiden Jokowi perlu menyatakan dukungan terhadap platform ini untuk menunjukkan pemihakan kepada ekonomi hijau dan negara-negara berkembang. Selain, tentu saja, hal ini akan menguntungkan Indonesia sendiri.
Ketujuh, mendesak diberlakukannya safeguards sosial dan lingkungan bagi investasi yang dilaksanakan oleh dan di negara-negara G20. Kebanyakan lembaga keuangan dari negara-negara G20 telah memiliki kebijakan perlindungan sosial dan lingkungan di dalam investasi mereka. Namun, seluruhnya bersifat voluntari dan/atau terbatas keberlakuannya. Kiranya pendekatan voluntari tersebut sudah tidak lagi memadai, mengingat berbagai permasalahan sosial dan lingkungan terkait dengan investasi sudah semakin mengemuka, dan banyak di antaranya yang malah membuat negara-negara sasaran investasi menjadi dirugikan, sementara keuntungan ekonomi tetap diperoleh negara asal investasi. Pemberlakuan safeguards sosial dan lingkungan di seluruh negara-negara G20, yang merupakan negara asal sekaligus sasaran investasi yang utama akan menguntungkan negara-negara G20 sendiri lantaran menjamin dampak bersih positif dari investasi, baik bagi negara asal maupun sasaran.
Terakhir, mengundang berbagai investasi berkelanjutan untuk masuk ke Indonesia. Indonesia adalah negara tujuan investasi yang sangat menarik untuk berbagai sektor ekonomi. Apalagi, peringkat ease of doing business di Indonesia terus meningkat. Presiden Jokowi perlu menekankan pada sektor-sektor ekonomi yang memang bisa menarik minat investasi asing, namun dengan menegaskan bahwa investasi yang diinginkan Indonesia adalah investasi yang memerhatikan keberlanjutan dengan dimensi ekonomi-sosial-lingkungan yang kokoh. Indonesia sudah banyak menderita karena investasi domestik maupun asing yang secara ekonomi bisa mendatangkan keuntungan bagi investor namun keuntungan ekonomi bagi Indonesia sendiri jauh lebih kecil; sementara dampak negatif sosial dan lingkunganya ditanggung oleh Indonesia. Hal ini perlu diakhiri, dengan hanya menerima investasi berkelanjutan.
Agar pesan-pesan tersebut bisa dianggap serius oleh negara-negara G20 lainnya, Indonesia perlu menunjukkan bahwa berbagai kebijakan dan program pembangunannya memang mengarah ke sana. Di antara yang terpenting adalah memastikan bahwa Indonesia memiliki regulasi tentang keuangan berkelanjutan. Hingga sekarang, bentuk yang dimiliki barulah soft regulation berupa peta jalan yang sudah dibuat Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang diluncurkan pada Desember 2014. Ada baiknya, sebelum ke Hamburg Presiden Jokowi memastikan terlebih dahulu bahwa peta jalan tersebut telah diresmikan menjadi Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK). Ini sungguh penting untuk menunjukkan keseriusan Indonesia.

Rahmawati Retno Winarni – Direktur Eksekutif

Jalal – Penasihat Keuangan Berkelanjutan

Pernyataan Pers Bersama

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia

Tolak Hutang Baru Untuk Pembangunan Infrastruktur

[Jakarta, 2 Maret 2017] Melanjutkan serangkaian kebijakan Pinjaman Bank Pembangunan Multilateral di dunia, World Bank, IFC, ADB dan berbagai pendana bilateral yang memberikan pinjaman dan investasi mendukung rekomendasi mereka bahwa Pemerintah Indonesia meluncurkan perantara keuangan infrastruktur penuh kontroversi dan resiko tinggi. Secara umum, telah ditemukan bahwa risiko lingkungan dan sosial yang terkait dengan “financial intermediaries” cukup tinggi, sementara uji tuntas lingkungan, sosial dan fidusia dan kinerjanya secara keseluruhan cukup rendah.

Pendanaan dari Bank Pembangunan Multilateral ini telah menjadi subyek dari pengawasan publik selama beberapa tahun, dan berbagai analisis besar risikonya bagi masyarakat dan lingkungan, serta potensi pelanggaran terhadap safeguard World Bank, IFC dan ADB telah diidentifikasi dalam konteks PT. IIF dan RIDF misalnya, serta perantara keuangan infrastruktur Indonesia lainnya. Kelemahan yang mencolok terdapat di uji tuntas lingkungan, sosial dan keuangan telah ditemukan serta risiko yang tinggi berdampak pada masyarakat yang terkena dampak dan lingkungan, dampak pada wanita, kelompok rentan, hak atas tanah, akses ke informasi, kurangnya konsultasi dan/atau konsultasi palsu, dari investasi atau jaminan yang ada dan direncanakan.

Buruknya financial intermediaries ini adalah kini mereka bergerak ke arah penggunaan “sistem peminjam” untuk kerangka perlindungan social dan lingkungannya. Publik pun akhirnya melihat pada masalah aturan AMDAL, undang-undang pembebasan lahan, aturan tentang partisipasi masyarakat dan konsultasi; melemahnya peran AMDAL, aturan baru yang mempercepat perampasan tanah, melemahkan hukum tanah yang ada dan mengurangi jangka waktu komentar publik; selain itu terdapat juga masalah dengan mekanisme pengaduan; perlindungan keanekaragaman hayati; tanah adat dan hak-hak; proses perijinan lingkungan dll

Hutang baru untuk pendanaan infrastruktur Indonesia akan segera diputuskan. Gabungan pendanaan untuk RIDF sebesar USD 400 juta, yang terdiri dari USD 100 juta berasal dari pinjaman dari AIIB, USD 100 juta berasal dari pinjaman dari WB, dan USD 200 juta berasal dari kontribusi ekuitas PT SMI. Pinjaman Proyek tambahan untuk PT. IIF mencapai 200 juta dollar dari Bank Dunia. Para Eksekutif Direktur Bank Dunia dan AIIB merencanakan akan memutuskan RIDF sekitar 10 Maret 2017, sedangkan suntikan dana untuk PT. IIF direncanakan akan diputuskan Bank Dunia pada 22 Maret.

Asia Infrastructure Investment Bank (AIIB) banyak memberi pinjaman ke Indonesia pada beberapa proyek, yang juga bergandengan dengan Bank Dunia. Dia didirikan pada 2016 oleh pemerintah RRC, dengan keanggotaan dari banyak negara, untuk mengatasi kebutuhan pembangunan infrastruktur di Asia. Selain RIDF, di Indonesia, AIIB telah menyetujui satu proyek co-finance bersama dengan Bank Dunia (IBRD) yaitu National Slum Upgrading Project (NSUP) bagian dari program Kotaku (Kota Tanpa Kumuh).

Regional Infrastructure Development Fund Project (RIDF)

Salah satu proyek yang akan dibahas persetujuannya oleh AIIB pada bulan Maret 2017 adalah RIDF. Proyek ini sendiri merupakan keberlanjutan dari hutang yang diberikan Bank Dunia kepada PT SMI, sebagai bentuk kepersertaan modal melalui PT IIF, yang menggunakan model KSP / PPP untuk pembangunan infrastruktur. Dan setelah proyek ini selesai dilanjutkan dengan usulan co-finance bersama AIIB.

Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan akses pembiayaan infrastruktur di tingkat daerah melalui perantara keuangan. Penerima manfaat proyek utama adalah penduduk daerah-daerah yang akan dilayani oleh subproyek infrastruktur yang didanai oleh sub-pinjaman di bawah proyek. RIDF yang diusulkan sebagai solusi pembiayaan untuk infrastruktur perkotaan, yang meliputi serangkaian investasi sektor nasional vertikal dan program bantuan teknis untuk: (i) sistem transportasi perkotaan; (ii) penyediaan air perkotaan dan sanitasi; (iii) drainase, banjir dan risiko bahaya; (iv) perbaikan permukiman kumuh dan risiko bahaya; dan (v) sistem pengelolaan sampah. Proyek ini akan dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero). Dan proyek RIDF ini juga terdapat dalam informasi yang diunggah PT SMI sebagai proyek dalam proses persetujuan.

Proyek ini terdiri dari dua komponen, yaitu :

  1. Dukungan Modal untuk RIDF sebesar USD 400 juta, yang terdiri dari USD 100 juta berasal dari hutang AIIB, USD 100 juta berasal dari hutang WB, dan USD 200 juta berasal dari kontribusi ekuitas PT SMI. RIDF melalui PT.SMI akan memberikan pinjaman langsung kepada pemerintah daerah yang fokus di tingkat kabupaten (kota dan kabupaten), dan ke perusahaan lokal tingkat milik negara (misalnya PDAM (utilitas publik tingkat lokal), dan Perusahaan Daerah (PD) atau perusahaan pemerintah tingkat Regional). Juga, RIDF akan mendanai sub-proyek untuk infrastruktur produktif, lingkungan, dan sosial yang menjadi tanggung jawab dari pemerintah daerah di bawah sistem desentralisasi di Indonesia.
  2. Fasilitas Pengembangan Proyek RIDF senilai USD 6 juta yang terdiri dari USD 3 juta pembiayaan hibah bilateral berasal dari Swiss dan USD 3 juta sebagai kontribusi peminjam. Dukungan Fasilitas Pengembangan Proyek (PDF) ini akan membantu memastikan bahwa sub-proyek yang konsisten dengan standar penilaian teknis, keuangan, ekonomi, sosial dan lingkungan dari RIDF. Kegiatan yang memenuhi syarat untuk dukungan PDF meliputi: identifikasi proyek dan penataan awal; studi persiapan proyek, termasuk 3 studi kelayakan dan desain rekayasa rinci; desain dan pengawasan bantuan; jasa konsultasi yang terkait dengan pengelolaan keuangan, penilaian lingkungan dan sosial, dll .dan persiapan pengadaan dan kontrak dokumen

Dan AIIB telah memutuskan untuk menggunakan ESSP Bank Dunia (WB)  dan di bawah ESSP, proyek ini dikategori FI, karena melibatkan investasi dari Dana Bank melalui perantara keuangan, PT. SMI.

Menurut Green Climate Fund (GCF), sebuah lembaga internasional yang menilai kepatutan PT. SMI untuk terima dana dari GCF, anehnya bukan hanya bahwa PT. SMI tidak memiliki kebijakan keterbukaan [disclosure policy] yang memang biasa tetapi juga “tidak membuktikan bukti “track record” dalam procurement skala besar”.[1]

Indonesia Infrastructure Finance (IIF)

Indonesia Infrastructure Finance (IIF) didirikan pada tanggal 15 Januari 2010 sebagai inisiatif Pemerintah Indonesia. IIF terstruktur sebagai lembaga keuangan swasta non-bank bekerja sama dengan Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan lembaga-lembaga multilateral internasional lainnya di bawah regulasi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 100 / PMK.010 / 2009 tanggal 27 Mei 2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur[2] dengan fokus pada investasi di proyek-proyek infrastruktur yang layak secara komersial di Indonesia dan untuk mendorong keterlibatan sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur negara.

Pendirian PT IIF diharapkan dapat mendukung akselerasi pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Swasta /Public Private Partnership (KPS/PPP) di bidang infrastruktur, melengkapi program penyediaan dana land capping, program penyediaan dana bergulir untuk pembebasan tanah (land revolving fund), dan memperkuat sinergi dengan institusi institusi yang telah dibentuk sebelumnya yaitu PT SMI dan PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) (PT PII).

PT.IIF didukung oleh Pemerintah  Indonesia dan Lembaga-Lembaga multilateral dunia yang tercermin dalam kepemilikan saham. Dan karena PT.IIF sumber dananya melalui salah satu group Bank Dunia yaitu IFC, dan ADB, maka berlaku praktik terbaik berstandar internasional dalam hal perlindungan sosial dan lingkungan (ESMF) dan tata kelola perusahaan yang baik dalam rangka untuk mempromosikan pengembangan proyek infrastruktur yang lebih berkelanjutan di Indonesia.

Terdapat beberapa pinjaman WB dan IFC dan investasi, termasuk pinjaman WB $ 100 juta ke dana infrastruktur yang dimiliki Kementerian Keuangan (Kategori FI, Disetujui 2009; Tanggal penutupan 2016.) Kemungkinan Bank Dunia berencana untuk memberikan tambahan dana sebesar $ 250 juta kepada IIF, namun hal ini belum jelas. Terlepas dari kenyataan bahwa awal proyek Bank Dunia dimulai pada tahun 2009, sebagian besar dana dari proyek pertama ($ 97 juta) terutama baru dikeluarkan pada tahun 2014 untuk “proyek-proyek infrastruktur yang memenuhi syarat”.

Pada 2015, IIF telah mencairkan pinjaman subordinasi dari Bank Dunia sebesar US$ 2,7 juta sehingga jumlah pinjaman subordinasi total adalah US$ 199,4 juta dari total fasilitas US$ 200 juta. Selain itu, IIF mendapatkan fasilitas pinjaman baru dari Bank Mandiri senilai Rp 150 miliar dari total fasilitas pinjaman Rp 1 triliun.

Menurut laman PT IIF, proyek infrastruktur yang menjadi sasaran pembiayaan PT IIF adalah :

  1. Infrastruktur Transportasi, meliputi pelayanan jasa ke bandar-udaraan, penyediaan dan/atau pelayanan jasa ke pelabuhanan, sarana dan prasarana perkereta-apian.
  2. Infrastruktur Jalan, meliputi jalan tol dan jembatan tol.
  3. Infrastruktur Pengairan, meliputi saluran pembawa air baku.
  4. Infrastruktur Air Minum, yang meliputi bangunan pengambilan air baku, jaringan transmisi, jaringan distribusi, instalasi pengolahan air minum.
  5. Infrastruktur Air Limbah, meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan.
  6. Infrastruktur Komunikasi dan Informatika, meliputi jaringan telekomunikasi dan infrastruktur e-government.
  7. Infrastruktur Ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, termasuk pengembangan tenaga listrik yang berasal dari energi terbarukan, transmisi, atau distribusi tenaga listrik.
  8. Oil And Gas Infrastructure, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak dan gas bumi.

Berdasarkan release yang disampaikan PT IIF, telah mencakup hampir 20 proyek termasuk jalan tol, pengelola bandara dan bengkel perawatan pesawat, operator pelabuhan, infrastruktur telekomunikasi, pembangkit listrik (PLTA besar, kecil, PLTU, pembangkit listrik tenaga matahari), produsen gas dan pipa gas. Pada bidang layanan advisory, Indonesia Infrastructure Finance juga telah berhasil menjadi konsultan pendamping proyek jalan tol Trans Sumatera dan proyek pengadaan air bersih di Semarang Barat.

  1. Pinjaman kepada PT Angkasa Pura II (Persero) untuk pengembangan Bandara Internasional Soekarno-Hatta (Terminal 3 Ultimate) dan bandara lain di bawah lingkungan perusahaan
  2. Penyertaan setoran modal sebesar Rp 300.000.000.000 (tiga ratus miliar rupiah) dalam bentuk Mandatory Convertible Bond dengan jangka waktu selama 5 tahun kepada PT. Sumberdaya Sewatama, untuk membiayai pembangunan proyek-proyek pembangkit tenaga listrik menggunakan bahan bakar energi bersih dan baru terbarukan yang disiapkan Perseroan.
  3. Pembiayaan proyek Konstruksi Pipa Gas Bawah Laut sepanjang 13,5Km dari Pulau Pemping ke Tanjung Uncang, Batam.
  4. Pembiayaan Proyek Tol Cipali.
  5. Bekerjasama dengan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) untuk program pembiayaan proyek infrastruktur di daerah.
  6. Sebagai MandatedLead Arranger, pembiayaan pembangunan jaringan tulang punggung serat optik nasional Palapa Ring Paket Tengah untuk  PT Len Telekomunikasi Indonesia (PT LTI)
  7. Pembiayaan bersama (co-financing) untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia bersama PT Kopelindo Infrastruktur Indonesia (Kopel Infrastruktur)
  8. Konsultan pendamping proyek jalan tol Trans Sumatera dan
  9. Proyek pengadaan air bersih di Semarang Barat.

Tuntutan

1) Dewan Pengurus AIIB dan BD mesti Menolak RIDF dan IIF

Pada bulan Maret, Dewan Pengurus AIIB dan BD merencanakan ambil keputusan tentang apakah BD dan AIIB patut mendanai RIDF dan PT IIF. Tapi oleh karena pelanggaran Safeguards BD dan risiko tinggi untuk lingkungan dan masyrakat, Koalisi menuntuk Dewan Pengurus AIIB dan BD untuk menolak RIDF dan IIF yang sangat berisiko.

 Jika melihat waktu disetujuinya RIDF II ini oleh World Bank – AIIB, maka Kerangka Pengelolaan Lingkungan dan Sosial dalam proyek RIDF II ini adalah Safeguards Bank Dunia, bukan ESF World Bank yang tahun lalu disahkan. Sehingga sepatutnya, kalau dalam sebuah proyek BD, kalau ada proposal untuk penggunaan sebuah “sistem peminjam” – yaitu undang-undang, PP dll dari negara peminjam dari pada Safeguards BD, harus ikuti syarat Country Safeguards System (CSS) yang mewajibkan pembuktian bahwa perlindungan atas lingkungan dan masyraka di “sistem peminjam” sama kuatnya dibandangkan dengan syarat BD. Misalnya ada syarat BD bahwa harus ada proses konsultasi yang berarti [meaningful consultation] selama sekitar 120 hari sebelum ada keputusan tengang proyek; penggusuran perlu dihindari dan kalau tidak bisa dihindari harus ada proses konsultasi jelas, adil dan tanpa koersi atau kekerasaan untuk membangun sama rakyat yang kena dampak sebuah Rencana Pemindahan yang menjamin pendapatan rakyat yang dipindahkan tidak akan jatuh, mala naik.  Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa standard national memberi pelindungan yang sama, dilarang memakai standard nasional kalau lebih lemah dari perlindungan BD. Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan isi dari ESMF RIDF. Disebutkan bahwa ESMF ini disusun berdasarkan peraturan Pemerintah Indonesia, ESS (Environmental and Social Standards) PT. SMI dan Standar Internasional termasuk Kebijakan Safeguards Bank Dunia (OP 4.01, OP 4.04, OP 4.09, OP 4.36, OP 4.11, OP 4.37 dan OP 4.10 and OP 4.12).[3] Jika demikian adanya, Kerangka Perlindungan dalam proyek RIDF ini justru mendasarkan pada penggunaan system perlindungan Negara peminjam, yang tidak equivalen dengan Safeguards Bank Dunia yang adalah melanggar ketentuan Bank Dunia sendiri.

 RIDF dan IIF merupakan fasilitas pembiayaan untuk pembangunan berbagai sarana infrastruktur yang akan dilakukan di daerah. Deklarasi tentang Hak untuk Pembangunan, yang disahkan Sidang Umum PBB 41/128 tanggal 4 Desember 1986 telah menyatakan bahwa Hak atas pembangunan merupakan Hak Asasi Manusia, yang juga mengandung arti diwujudkannya sepenuhnya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, yang mencakup, tunduk pada ketentuan berkaitan dari kedua Persetujuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia, pelaksanaan hak mereka yang tak terpisahkan terhadap kedaulatan sepenuhnya atas semua kekayaan alam dan sumberdaya. Hal ini patut menjadi perhatian bagi Negara dalam melaksanakan pembangunan.[4]

Selain tuntutan di atas, Koalisi juga menuntut:

  1. Mengingat sampai kini dokumen proyek (yg mana? Keduaduanya?)hanya ada dalam Bahasa Inggris, maka Bank Dunia dan AIIB wajib memberikan informasi seluas-luasnya, mengkonsultasikan terkait proyek ini, serta memberikan berbagai dokumen proyek dalam bahasa Indonesia;
  2. Memastikan negara Indonesia menaati keseluruhan ketentuan perlindungan sosial dan lingkungan (safeguards) Bank Dunia, guna meminimalisasi pelanggaran atas hak-hak warga yang terdampak dari pelaksanaan proyek RIDF da PT. IIF di daerah;
  3. Pelemahan system perlindungan social dan lingkungan harus dihindari, sehingga penggunaan system perlindungan yang diatur Negara peminjam harus dihindari;
  4. Proyek pembangunan infrastruktur di daerah merupakan proyek yang kerap menggunakan pengamanan dan pemaksaan oleh polisi atau militer. Maka harus ada larangan eksplisit mengikat secara hukum pada penggunaan pasukan keamanan bersenjata, ancaman dan kekerasan terhadap masyarakat dengan klausul yang mengikat secara hukum, bahwa setiap ancaman tersebut atau penggunaan kekerasan terhadap masyarakat atau organisasi masyarakat sipil akan mengakibatkan pembatalan proyek;
  5. Bank Dunia dan AIIB harus bertanggungjawab penuh terhadap pembebasan lahan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; Pertama, penggusurah harus dihindari; Kedua, semua syarat BD untuk pemindahan perlu diimplementasikan 100%.
  6. Bank Dunia dan AIIB mendorong penyelesaian hukum terhadap setiap penyalahgunaan anggaran proyek, dan membangun mekanisme  pengawasan yang ketat  guna  menghindari  terjadinya  korupsi  proyek;

Hormat kami,

Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Pemantauan Pembangunan Infrastruktur Indonesia

(WALHI – ILRC – ELSAM – The Ecological Justice – TuK INDONESIA)

 

Kontak:

Zenzi Suhadi (WALHI)                                                : 081289850005

Siti Aminah Tardi (ILRC)                                            : 081908174177

Andi Muttaqien (ELSAM)                                           : 08121996984

Rio Ismail (The Ecological Justice)                           : 081290230558

Vera Falinda (TuK INDONESIA)                              : 082177889183

[1] GCF, Consideration of accreditation proposals, 12/2/16: “Moreover, the applicant has not provided evidence of its track record for large-scale procurement”.  Ini luar biasa karena PT SMI telah bertahun2 terlibat procurement untuk proyek skala besar dimana ada risiko tinggi untuk korupsi.

 
[2] Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 /Pmk.010/2009 Tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur
[3] Ibid, hal 3
[4] Selengkapnya lihat Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UN Declaration on the Right to Development A/RES/41/128, 4 December 1986
 
 

Fakta Terkini Petani Sawit di Kabupaten Kampar dan Siak Provinsi Riau

Vera Falinda
(Staff Penguatan Jaringan dan Organisasi – TuK Indonesia)

Tulisan berupaya untuk memberikan gambaran tentang fakta terkini tentang petani kelapa sawit di Kabupaten Kampar dan Siak Provinsi Riau berdasarkan kajian yang dilakukan oleh TuK Indonesia sepanjang Desember 2015-April 2016 di dua kabupaten tersebut. Tulisan selanjutnya akan membahas analisa skema pembiayaan oleh perbankan terhadap petani sawit, akses ke petani sawit perbankan dan pembiayaannya itu sendiri.

Fakta empirik dari Kabupaten Siak dan Kampar Provinsi Riau, menyebutkan umumnya petani sawit menghadapi kendala untuk mengoptimalkan produktivitas dan menghasilkan TBS yang berkualitas sebagai berikut:

Pertama, petani sawit tidak menggunakan bibit unggul. Mayoritas petani sawit di desa menggunakan bibit Mariles atau Marihat Leles. Mariles merupakan ungkapan untuk bibit yang tidak jelas asalnya karena bibit didapatkan dari buah sawit yang jatuh dan tumbuh, lalu ditanam oleh petani sawit. Alasannya, tentu masalah kesulitan akses dan harga bibit bersertifikat yang tidak terjangkau.

Khusus untuk bibit, pemerintah daerah tahun 2013-2014 mengawali program penggantian bibit palsu. Pemerintah, melalui Dinas Kehutanan dan Perkebunan melakukan penyediaan atau pembibitan kelapa sawit. Program ini diperuntukkan kepada petani sawit melalui Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) untuk memastikan petani membangun kelapa sawit dengan baik dan benar. Program ini tidak mampu diakses oleh petani sawit dengan skema mandiri; program tersebut mengharuskan petani harus berkelompok sedangkan petani sawit di Desa Sungai Tengah Kabupaten Siak menjalankan usaha kelapa sawit secara mandiri yang tidak tergabung kepada siapapun, baik organisasi tani di tingkat desa, koperasi dan perusahaan. Kondisi ini berbeda dengan petani sawit dengan skema plasma (PIR) dan KKPA karena pada saat pembangunan kebun, koperasi dan perusahaan sudah mempersiapkan bibit unggul untuk petani sawit dengan persyaratan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh pihak tersebut harus diganti oleh petani sawit.

Kedua, murahnya harga jual TBS. Hal tersebut disebabkan panjangnya rantai distribusi yang harus dilalui oleh petani sawit dengan skema mandiri. Berdasarkan ciri-cirinya, petani sawit tidak mempunyai keterikatan dengan siapapun sehingga petani sawit lebih memilih menjual TBS kepada pengumpul kecil, karena petani dapat menerima langsung uang dari hasil penjualan TBS. Rantai distribusi TBS tidak berhenti pada pengumpul kecil, mereka kembali menjual TBS tersebut kepada pengumpul besar dan pengumpul besar menjual kepada pemegang DO karena pengumpul tidak mempunyai akses penjualan TBS langsung ke pabrik.

Alur yang cukup panjang berpengaruh pada harga yang ditetapkan oleh pengumpul kecil, yang tidak sesuai dengan penetapan harga patokan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan di level provinsi. Dalam hal ini, posisi petani sawit harus menerima karena tidak memiliki akses terhadap pembuatan keputusan tentang penetapan harga; penetapan harga tersebut berpengaruh pada pendapatan dan biaya produksi yang dikeluarkan petani sawit.

Hal tersebut senada dengan pengakuan Yusrizal, Kepala Bidang Bina Produksi dari Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Siak, bahwa terdapat perbedaan harga yang diterima oleh petani sawit dengan skema mandiri dan plasma. Petani sawit dengan skema mandiri mendapatkan harga yang lebih rendah, sedangkan petani sawit dengan skema plasma mendapatnya harga yang lebih tinggi. Perbedaan harga tersebut terjadi karena faktor panjangnya mata rantai penyaluran hasil TBS dan petani sawit dengan skema mandiri tidak berkelompok.

Ketiga, pupuk atau pestisida mahal dan tidak tersedia. Masih menurut Yusrizal, terkait dengan pupuk, pemerintah tidak bisa intervensi banyak untuk perkebunan rakyat yang dikelola oleh petani sawit, karena harga pupuk mahal. Akhirnya, petani sawit banyak yang memilih untuk tidak melakukan perawatan kebun dengan rutin. Namun, pemerintah memiliki program bantuan pupuk ke GAPOKTAN dalam bentuk subsidi di mana petani sawit hanya membayar ongkos kirim dari pabrik ke GAPOKTAN. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa, bantuan pupuk bersubsidi tidak bisa diakses oleh petani dengan skema mandiri karena harus berkelompok; yang bisa mengakses bantuan pupuk bersubsidi tersebut adalah petani sawit dengan skema plasma, yang tergabung dalam GAPOKTAN.

Keempat, cuaca tidak mendukung akibat kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di penghujung tahun 2015 membuat mereka tidak bisa mengurusi kebunnya dengan baik. Kekeringan yang disusul asap kebakaran membuat produksi mereka jatuh. Dan masih banyak melaporkan bahwa di tahun 2016 pun mereka masih berhadapan dengan produktivitas yang lebih rendah dibandingkan tahun kebakaran hutan dan lahan yang terkenal di seluruh dunia itu.

Kelima, faktor lainnya adalah tidak adanya pendampingan. Para petani juga punya kesadaran bahwa mereka itu bukanlah petani yang canggih. Mereka terbiasa membandingkan hasil panenan mereka sendiri dengan hasil kebun besar, hasil petani besar, dan rerata produksi lainnya. Mereka kemudian tahu, bahwa pengetahuan dan keterampilan mereka sangat perlu dikuatkan. Mereka sendiri yang menyatakan bahwa pendampingan adalah keniscayaan bila mereka bertekad meningkatkan kesejahteraan melalui perkebunan kelapa sawit.

Keenam, keterbatasan akses terhadap pembayaan yang disediakan lembaga jasa keuangan karena persyaratan kredit sulit dipenuhi oleh petani dan analisis resiko oleh perbankan.

Tidak hanya itu, saat ini tanaman kelapa milik petani di Kabupaten Kampar, mayoritas masuk masa replanting. Petani sawit tidak bisa melakukan peremajaan kebun karena tidak adanya modal, tidak memiliki pengetahuan dalam peremajaan kebun, tidak ada komitmen dari perusahaan inti dan tidak adanya akses bibit yang berkualitas.

Kondisi ini kian diperparah di saat pemerintah telah menghentikan alokasi bantuan perkebunan kelapa sawit di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang jumlahnya mencapai Rp.100-200 miliar setiap tahun. Berdasarkan kutipan berita di majalah Tempo pada tanggal 20 November 2016, Gamal Nasir, mantan Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, mengatakan, meski bantuan perkebunan kelapa sawit melalui APBN dihentikan, alokasi bantuan untuk sawit rakyat tidak boleh terputus. Pertimbangannya karena banyak tanaman gagal berbuah pada masa panen. Kegagalan panen ini mencapai 30%. “Gagal berbuah karena petani membeli sawit sembarangan yang tidak berlabel dan memiliki sertifikasi”, katanya.

Setelah bantuan perkebunan kelapa sawit melalui APBN dihentikan, alokasi bantuan bibit diserahkan kepada badan layanan umum yang mengurusi perkebunan, yakni Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), yang dibentuk pada Juli 2015. BPDPKS bertugas melaksanakan pengelolaan dana perkebunan kelapa sawit, baik dana pengembangan maupun dana cadangan pengembanga, sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pembentukan BPDPKS di antaranya mengacu pada PP No 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan dan Perpres No 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Kunci keberhasilan pemanfaatan dana sawit, dari sawit untuk sawit, yaitu: (1) substansi dan pengembagan pasar sawit; (2) peremajaan; (3) sarana dan prasarana; (4) pengembangan SDM/pendidikan; (5) penelitian dan pengembanga; (6) promosi dan advokasi. Peruntukan dana sawit ini belum bisa dimanfaatkan oleh petani sawit khususnya untuk melakukan peremajaan kebun karena alokasi dana hanya untuk peremajaan kebun hanya 1%. Pemanfaatan dana sawit, hanya terfokus pada subsidi biofuel karena alokasi dana yang diperuntukan sebesar 89%, seperti tabel dibawah ini:

Daftar Perusahaan Penerima Subsidi Biofuel (Rp miliar)

Perusahaan Subsidi
Wilmar Bionergi Indonesia 779
Wilmar Nabati Indonesia 1.023
Musim Mas 534
Eterindo Wahanatama 30
Anugerahinti Gemanusa 38
Darmex Biofuels 330
Pelita Agung Agrindustri 193
Primanusa Paima Energi 37
Cilaandra Perkasa 133
Cemerlang Energi Perkasa 134
Energi Baharu Lestari 23

Bila dilihat alokasi dana sawit, artinya adanya ketimpangan alokasi penyaluran dana sawit antara biodisel dan replanting, yang sebenarnya dapat merugikan petani kelapa sawit. Merespon kondisi yang dihadapi oleh petani sawit, TuK INDONESIA mendesain konsep skema pembiayaan alternatif untuk petani sawit. Konsep ini adalah bersifat terintegrasi antara petani kelapa sawit, koperasi, pembeli, para ahli dan NGO, BPDPKS dan institusi keuangan. Oleh sebab itu, penting bagi BPDPKS perlu mengakselerasi pemikiran dan sumberdayanya untuk secara riil menunjukkan keberpihakannya membantu para petani sawit, khususnya petani mandiri.

Penyelesaian Bertanggung Jawab dan Jangka Panjang Konflik Hak Tanah Adat antara Sime Darby dan Masyarakat

Oleh: Norman Jiwa*.
Pendahuluan
Mengapa Sime Darby Plantation harus pengembalian tanah hak adat masyarakat adat Dayak Ribun dari Dusun Kerunang dan Dusun Entapang adalah hal strategis dan harus segera dilakukan? Sebab anak perusahaan Sime Darby sebagai anggota dan pendiri RSPO, PT Mitra Austral Sejahtera berjanji meminjam tanah hak adat masyarakat Kerunang dan Entapang untuk ditanami kelapa sawit sesuai dengan janji pada saat sosialisasi, yaitu pinjam-pakai 25 tahun.
Restitusi hak tanah adat ini bukan saja sangat memungkinkan tetapi juga dalam jangka panjang menguntungkan investasi Sime Darby dan PT MAS sebagai pelopor keberlanjutan, memperkokoh kepercayaan masyarakat, menunjang nilai saing industri sawit Indonesia di pasar internasional, dan meningkatkan kredibilitas RSPO sebagai lembaga yang mendorong produksi minyak sawit berkelanjutan.
Sime Darby menanamkan modal dan mengendalikan 64% saham di PT Mitra Austral Sejahtera (PT MAS). PT MAS, sebelumnya adalah PT Ponti Makmur Sejahtera, telah beroperasi di tanah masyarakat Dayak Ribun di kampung Kerunang dan kampung Entapang sejak tahun 1995/1996 dengan luas 1.462 hektar.
Penyebab konflik
Pada saat sosialisasi tahun 1995/1996, PT MAS menjanjikan akan membangun kebun plasma, membangun jalan, sarana dan prasarana, perumahan, rumah sakit, tempat ibadah, lapangan olah raga, sekolah, beasiswa, penerangan, dan mengutamakan lapangan pekerjaan bagi anggota masyarakat dari Kerunang dan Entapang. Setelah mempertimbangkan janji-janji tersebut, masyarakat Kerunang dan Entapang setuju untuk meminjamkan tanah adat untuk ditanam kelapa sawit.
Namun, tanpa konsultasi dan persetujuan masyarakat Kerunang dan Entapang, PT MAS mengajukan permohonan Hak Guna Usaha atas tanah tersebut dan mendapatkan Hak Guna Usaha pada tahun 2000. Itu artinya PT MAS telah mengkhianati perjanjian sebelumnya dan menghilangkan hak atas tanah masyarakat adat Dayak Ribun di Kerunang dan Entapang. Masyarakat tetap berpegang teguh dengan apa yang telah disepakati bersama dan dijanjikan pada tahun 1995/1996 bahwa tanah hak adat masyarakat Kerunang dan Entapang dipinjam untuk ditanami kelapa sawit hanya 25 tahun.
Kerugian masyarakat akibat konflik
Konflik antara masyarakat Kerunang and Entapang dan PT Mitra Austral Sejahtera (MAS), khususnya di wilayah Perkebunan PT MAS II di Sanggau telah berlangsung lama. Konflik tersebut bahkan pecah terbuka pada tahun 2007 dimana 5 orang warga kampung ditangkap dan 4 diantara mereka diganjar hukuman menjalani 2 tahun penjara. Konflik tersebut disebabkan tanah yang dikuasai oleh perusahaan tanpa persetujuan masyarakat; yang kemudian berkembang menjadi masalah kemitraan antara perusahaan sebagai perusahaan inti dan masyarakat sebagai petani plasma, disertai dengan pengingkaran jani-janji dan intimidasi serta ancaman/teror. Masyarakat telah berusaha menyelesaikan konflik tersebut melalui upaya-upaya litigasi dan non litigasi. Sejak 2007, masyarakat telah menjadikan RSPO sebagai salah satu strategi untuk penyelesaian konflik. Setiap pertemuan tahunan RSPO, masyarakat membawa kasus konflik ini dan memberitahukan parapihak pemangku kepentingan bahwa konflik tersebut masih belum diselesaikan.
Sime Darby Mampu Memilih yang Terbaik?
Untuk menjadi pelopor dan pemimpin dalam inisiatif keberlanjutan Dunia, Sime Darby dapat mempertimbangkan berbagai pilihan. Masyarakat tentu percaya Sime Darby dapat mengambil langkah penyelesaian yang secara moral bertanggung jawab, etis dalam dunia usaha dan investasi, dan dapat diterima dalam koridor keberlanjutan hak ekonomi, sosial, dan budaya bagi generasi yang akan datang di Kerunang dan Entapang.
Saat ini ada empat skenario yang ada, atau mungkin dapat muncul sepanjang masa konflik tersebut:
Skenario 1: Dimana situasi konflik masih ada dalam status quo. Konflik berkepanjangan telah mencapai pada situasi ketidak-percayaan antara masyarakat Kerunang dan Entapang dan PT MAS II. Jika keadaan ini tidak ditangani dengan solusi yang disepakati bersama, keadaan dapat berkembang menjadi konflik-konflik baru dimasa mendatang dan berkembang menjadi iklim investasi yang tidak kondusif untuk jangka panjang. Hubungan industrial perusahaan-masyarakat tidak akan stabil sebab masalah-masalah yang tidak terselesaikan, dan bahkan mungkin lebih buruk.
Skenario 2: Skenario kegiatan usaha-seperti-biasa (business as usual/BAU) sesuai peraturan. PT MAS II berhasil mengendalikan kekacauan akibat keberatan dan ketidak-puasan masyarakat saat perusahaan menempuh jalur hukum pada tahun 2007. Empat anggota masyarakat dinyatakan bersalah dan dipenjara akibat melanggar Pasal (21 & 47) Undang-Undang Perkebunan. Pada tahun 2011, Pasal 21 & 47 Undang-Undang Perkebunan dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Meskipun begitu, proses pengujian materi oleh Mahkamah Konstitusi dan penegakan hukum melalui sistem pengadilan sama sekali belum menyentuh akar penyebab dari konflik lahan yang melahirkan tuntutan-tuntutan dari masyarakat masih ada hingga saat ini.
Skenario 3: Sebagai anggota RSPO. Sebagai anggota dari RSPO, Sime Darby terikat pada Kode Etik, Prinsip dan Kriteria, Statuta dan Anggaran Rumah Tangga RSPO. Sime Darby menyusun rencana program sertifikasi terikat waktu dan beberapa unit operasi perusahaan telah menikmati hak-hak istimewa dari minyak sawit yang lolos sertifikasi di pasar. Persyaratan Sertifikasi Bertahap RSPO mewajibkan Sime Darby untuk menangani ketidak-patuhan dan menyelesaikan konflik di dalam unit yang belum lolos sertifikasi dari kebun dan pabrik. Dalam situasi ini, Sime Darby telah memberikan mandat kepada manajemen PT MAS II untuk menangani 14 tuntutan masyarakat menggunakan prosedur operasional internal penyelesaian konflik PT MAS II (SOPs). Hal ini telah berjajan sejak 2007 dan saat ini ditangani oleh PT MAS II dengan peran pengawasan Sime Darby.
Skenario 4: Skenario menang-menang untuk semua. Diusulkan dibawah skenario ini, Sime Darby dan masyarakat bersama menempuh upaya-upaya yang harus dilakukan untuk memastikan pengembalian hak tanah/adat kepada masyarakat Kerunang dan Entapang. Dalam proses yang transparan dan bertanggung jawab, kedua belah pihak menempuh cara-cara proaktif untuk mengutamakan dan menyelesaikan tuntutan 1, tanpai mengabaikan tuntutan-tuntutan lainnya yang belum selesai. Semua hal tersebut akan dilakukan dengan kerjasama erat dengan PT MAS II. Keadaan ini akan membentuk dan menjadi dasar yang kuat membangun rasa saling percaya dan keyakinan bagi Sime Darby Plantation dan masyarakat. Dalam jangka panjang, skenario ini mendukung dan memperbaiki pola hubungan industri yang lebih baik dalam kegiatan-kegiatan perkebunan dan pabrik PT MAS.
Masyarakat masih percaya Sime Darby dan RSPO!
Ketika pertemuan konferensi tahunan RSPO tahun 2012, masyarakat sekali lagi mengutus perwakilan mereka untuk menyampaikan tuntutan kepada RSPO agar ikut terlibat di dalam upaya-upaya penyelesaian konflik, dan menekankan bahwa tuntutan-tuntutan masyarakat sebelumnya sudah pernah disampaikan. Pengaduan tertulis kepada Complaints Panel RSPO mendapat tanggapan yang baik dan menghasilkan beberapa tindak lanjut dan rekomendasi. Sebagai tindak lanjut, PT MAS membentuk Tim Kerja Perwakilan Petani (TKPP) untuk dialog membahas penyelesaian tuntutan masyarakat.
Sayangnya, TKPP dalam perjalanannya kurang efektif menjadi lembaga dialog upaya penyelesaian konflik sebab PT MAS sebagai sumber dan faktor masalah cenderung memaksakan solusi dengan cara-cara yang anti-demokrasi dan tidak sportif; perwakilan masyarakat dipaksa menerima dan menanda-tangani risalah dialog tanpa memberikan waktu yang memadai untuk membahas secara internal capaian dan hasil dialog TKPP; dan PT MAS gagal memenuhi dan menerapkan syarat-syarat mendasar yang telah diwajibkan RSPO dalam proses dan pengambilan keputusan TKPP khususnya menghormati prinsip FPIC.
Langkah segera dan solusi jangka panjang
Sebagai anggota dan pendiri Roundtable on Sustainable Palm Oil, Sime Darby dapat dan bisa melakukan tahapan dan proses akhirnya membantu fasilitasi proses pengembalian hak masyarakat Kerunang dan Entapang dengan cara minimal: (a) Setuju memastikan proses solusi hak tanah adat masyarakat sesuai dengan Prinsip & Kriteria RSPO; (b) memastikan dan menjalankan keterbukaan dalam proses penyelesaian; (c) saling menghormati satu sama lain; (d) Setiap keputusan disepakati bersama oleh Masyarakat dan Sime Darby; (e) Sime Darby bersedia dan patuh dengan jadwal batas waktu yang jelas dan mengikat; (f) setuju bahwa proses resolusi konflik adalah antara masyarakat dan Sime Darby; (g) setuju RSPO menjadi fasilitator proses fasilitasi penyelesaian sengketa; dan (h) semua keputusan yang disepakati bersama oleh Sime Darby dan masyarakat mengikat kedua belah pihak.
Kini bola penyelesaian konflik ada ditangan Sime Darby dan PT MAS sebagai anggota RSPO dan korporasi yang bertanggung jawab. Masyarakat telah menyampaikan surat kepada Perdana Menteri Malaysia dan ditembuskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Kantor Staf Presiden agar memberikan perhatian nyata dalam mendorong dan membantu Sime Darby untuk melakukan percepatan pengembalian hak adat tanah masyarakat Kerunang dan Entapang. Selain itu, masyarakat menyerahkan sepenuhnya dan berharap agar RSPO memainkan peran lebih nyata sebagai fasilitator proses restitusi hak tanah adat masyarakat Kerunang dan Entapang.Direktur Eksekutif, TuK INDONESIA 2013-2016. Anggota Executive Board RSPO 2008-2012 mewakili Sawit Watch. Artikel ini disiapkan dan didedikasikan sebagai bagian dari upaya membantu masyarakat Kerunang dan Entapang dalam upaya menyelesaikan konflik secara umum, dan khususnya untuk bulletin TuK INDONESIA edisi Maret 2017.
*Direktur Eksekutif, TuK INDONESIA 2013-2016. Anggota Executive Board RSPO 2008-2012 mewakili Sawit Watch. Artikel ini disiapkan dan didedikasikan sebagai bagian dari upaya membantu masyarakat Kerunang dan Entapang dalam upaya menyelesaikan konflik secara umum, dan khususnya untuk bulletin TuK INDONESIA edisi Maret 2017.

Mengisi Ruang Perbaikan Roadmap Keuangan Berkelanjutan

Apa yang jelas terlihat pada Roadmap Keuangan Berkelanjutan?  Setelah membaca dokumen tersebut beberapa kali, sangat tampak bahwa dokumen itu masih bisa diberi masukan yang konstruktif.  Tetapi, bagaimanapun, kita perlu terlebih dahulu menyampaikan rasa kagum kepada mereka yang telah berjasa menyusunnya; dan rasa bangga karena menjadi salah satu negara yang paling awal memiliki roadmap semacam itu.
Kalau kita baca dokumen-dokumen yang diproduksi UNEP Inquiry sepanjang 2015 dan 2016 sebetulnya jelas sekali terbaca bahwa keuangan berkelanjutan maksudnya adalah sistem keuangan yang ditujukan untuk mencapai Sustainable Development Goals (SDGs).  Roadmap Keuangan Berkelanjutan kita diluncurkan bahkan sebelum dokumen The Financial System We Need diluncurkan UNEP Inquiry.  Padahal, dokumen yang disebut terakhir ini yang dianggap paling otoritatif dalam keuangan berkelanjutan.
Akibatnya banyak.  Roadmap kita memanfaatkan model keberlanjutan pilar yang sudah kuno.  Kalau misalnya pengertian yang dikaitkan dengan SDGs itu dipergunakan, maka model keberlanjutan nested itu yang seharusnya dimanfaatkan.  Demikian juga, dengan melihat SDGs sebagai tujuan, maka mitigasi dan adaptasi perubahan iklim seharusnya hanya menjadi salah satu saja komponen yang menjadi dasar perhitungan kebutuhan keuangan berkelanjutan.
Roadmap menyatakan kebutuhan keuangan berkelanjutan antara 2015-2019 adalah Rp314 triliun per tahun.  Mengingat anggaran publik di Indonesia yang mencapai lebih dari Rp2000 triliun per tahun, rasanya jumlah itu kelewat kecil.  Apalagi, anggaran swasta sesungguhnya lebih besar lagi.  Ketika Ulrich Volz menghitungnya di tahun 2015, nilai yang masuk akal adalah Rp3.990-7.049 triliun per tahun untuk seluruh sektor yang perlu segera dibuat berkelanjutan.  Mengapa demikian?  Karena Roadmap hanya menghitung kebutuhan untuk menurunkan emisi.  Itupun dihitung dengan data biaya penurunan emisi yang lama.  Belum ada perhitungan untuk adaptasi, juga belum ada perhitungan untuk Tujuan-Tujuan SDGs lainnya.
Seperti yang dinyatakan Mark Carney, Direktur Bank of England, “green finance cannot be a niche,” melainkan harus menjadi arus utama.  Karenanya, perbaikan Roadmap harus ditujukan agar keuangan berkelanjutan diberlakukan untuk seluruh sektor.
Penulis: Jalal