Respon TuK INDONESIA terhadap Pernyataan Sime Darby mengenai TuK Factsheet: “Perampasan Tanah oleh Sime Darby di Indonesia”

Jakarta, 14 Desember 2016 – Kami merujuk pada Pernyataan tentang Lembar fakta TuK INDONESIA oleh Sime Darby pada tanggal 8 November 2016. Masyarakat adat Dayak dari Kerunang dan Entapang telah lama melibatkan Sime Darby untuk menyelesaikan hak tanah adat mereka.
Sebagai anggota RSPO, Sime Darby plantation, seharusnya mengupayakan penyelesaian konflik tanah yang melibatkan PT MAS dengan mematuhi Prinsip dan Kriteria RSPO 2013.
Sejak 1995/1996, perusahaan [PT MAS] tidak pernah memberitahukan masyarakat Kerunang dan Entapang bahwa hak tanah/adat mereka telah dijadikan sebagai jaminan perjanjian antara Sime Darby Plantation dan Pemerintah Indonesia.

Masyarakat dusun Kerunang dan dusun Entapang percaya bahwa pemerintah Indonesia akan menegakkan dan menjalankan kewajiban Negara untuk melindungi, mengakui dan memenuhi hak konstitusi dan HAM setiap warga Negara Indonesia.
Sime Darby Plantation memiliki tanggung jawab untuk menghormati, melindungi dan memulihkan dampak-dampak kegiatan perusahaan terhadap HAM masyarakat yang terkena dampak di wilayah-wilayah kegiatan mereka sebagaimana tercantum dalam Kriteria 6.13 RSPO dan UNGP.
Apa yang disampaikan Sime Darby dalam pernyataan tertulis 8 November justru menambahkan uraian terhadap lembar fakta tersebut:
1. Masyarakat Kerunang dan Entapang menyampaikan dengan dengan jelas dalam pengaduan kepada RSPO bahwa pengaduan ditujukan kepada Sime Darby group sebagai anggota RSPO yang memiliki kendali kepemilikan dan keputusan atas PT MAS II. Disisi lain, kepemimpinan dan perwakilan PT MAS dalam TKPP memiliki benturan kepentingan sebab beliau terlibat langsung dalam pembebasan lahan yang menjadi pokok persoalan pengaduan masyarakat kepada RSPO. Dengan mundur dari TKPP, dusun Kerunang dan dusun Entapang tetap menghormati hak kampung-kampung lain untuk meneruskan proses tim TKPP. Selain itu, keluhan-keluhan yang disampaikan utusan Kerunang dan Entapang tidak pernah ditangani oleh TKPP dan proses pengambilan keputusan TKPP tidak cermat dan kurang partisipatif. Proses TKPP membiarkan masyarakat dusun Kerunang dan dusun Entapang ‘ngambang’ dengan istilah bahwa diatas kertas tuntutan dinyatakan ‘selesai’ atau ‘ditutup’ padahal kenyataan implementasinya tidak benar- benar dijalankan.

Dusun Kerunang dan Entapang menyerahkan tanah hak/adat yang sangat luas dibandingkan kampung-kampung tetangga lainnya. Sime Darby melaporkan bahwa 12 tuntutan telah diselesaikan per Juli 2015 tanpa terlebih dahulu memahami dengan jelas perihal tuntutan tentang hak tanah/adat. Dengan kata lain, sebelum menangani tuntuta- tuntutan lainnya, Sime Darby harus memastikan PT MAS mendata dan melakukan pemetaan partisipatif tentang luas lahan yang disengketakan sebagaimana disyarakatkan oleh standar RSPO.
2. Masyarakat dusun Kerunang dan Entapang juga telah melibatkan PT MAS sejak 1995/11996. Bahkan pertemuan terakhir dengan perwakilan Sime Darby Plantation dilaksanakan di Kuala Lumpur pada saat konferensi tahunan RT13 RSPO bulan November 2015. Masyarakat banyak belajar dari berbagai urusan dengan PT MAS II dan dengan sabar terus mencoba jalan keluar penyelesaian termasuk aksi damai pada tahun 2007 yang berakhir kriminalisasi pemenjaraan terhadap 4 anggota masyarakat. Ada persoalan sistemik dengan PT MAS yang hanya dapat diselesaikan dengan baik dan memuaskan dengan mematuhi standar RSPO, dan komitmen kelompok oleh Sime Darby Plantation.
Masyarakat dusun Kerunang dan dusun Entapang menyambut baik Sime Darby Plantation yang tidak hanya membantu tetapi juga proaktif berkerjasama dengan masyarakat Kerunang dan Entapang untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengembalikan tanah masyarakat, setidak-tidaknya dengan mematuhi Prinsip dan Kriteria RSPO.
Untuk lebih jelasnya, silahkan unduh lembaran fakta perampasan tanah oleh Sime Darby di Indonesia pada tautan dibawah ini:
http://www.tuk.or.id/fact-sheet-sime-darby-bahasa/
 
Untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi:
Edi Sutrisno (Advocacy Director TuK INDONESIA)
Telp: +62877-1124-6094
Email: [email protected] 
http://www.tuk.or.id
 
Hadiya Rasyid (Communication Officer TuK INDONESIA)
Telp: +6285355631430
Email: [email protected] 
www.tuk.or.id 

Petani Dipaksa Hidup Tanpa Tanahnya, Dikriminalkan Oknum Aparat Kepolisian di Rezim Jokowi–JK

Di penghujung November 2016, seorang petani Bohotokong Kab. Banggai Prov. Sulawesi Tengah kembali menjadi tersangka atas tuduhan pencurian oleh pemegang Hak Guna Usaha (HGU) PT. Anugerah Saritama Abadi. Aparat kepolisian melakukan penangkapan di Desa Bohotokong pada tanggal 30 November 2016 tepat di lokasi Syafrudin Madili, 43 tahun, melakukan aktivitas kesehariannya sebagai petani yang mengolah buah kelapa menjadi kopra.
Kami mengecam keras tindakan aparat kepolisian yang melakukan penangkapan tersebut. Sumber kami mengidentifikasi bahwa beberapa aparat yang melakukan penangkapan tersebut, adalah oknum yang diduga kuat memang menjadi “peliharaan” pemilik HGU. Dari rentetan kejadian penangkapan petani Bohotokong sejak tahun 2002, oknum aparat kepolisian Polres Banggai Teddy Polii, SH yang saat ini berpangkat IPDA dan Raini Laato saat ini berpangkat AIPDA diduga kuat adalah pelaku yang sejak awal kejadian tidak pernah absen dalam proses penangkapan, hingga petani yang ke-23 ini masih menjadi aktor utama penangkapan.
Penangkapan/kriminalisasi ini kami duga sebagai bentuk intimidasi terhadap perjuangan petani Batohokong yang menuntut hak-hak atas tanahnya, yang telah diserobot oleh PT. Anugerah Saritama Abadi pada tahun 1997. Padahal sejak tahun 1984 hingga 1996, sudah terhitung 4 kali petani mengajukan hak baru kepada BPN di atas tanah negara tersebut.
Tak ada bedanya dengan rezim-rezim sebelumnya. Pemerintahan Jokowi – JK masih menjadi rezim yang memperlakukan petani sebagai “musuh” negara dan tidak menganggap petani sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional serta telah memberikan sumbangsih besar terhadap perbaikan perekonomian bangsa. Petani seharusnya dijamin kehidupannya oleh negara karena turut berjasa atas pemenuhan pangan nasional, bukan justru dipaksakan terpisah dari sumber-sumber penghidupannya.
Pelaksanaan reforma agraria sebagaimana dijanjikan oleh pemerintah, tidak akan pernah berhasil jika petani masih terus direpresi, terus dipaksa mengaku bersalah atas penguasaan tanahnya, dan terus menerus ditakut-takuti dengan surat penangkapan yang belum tentu sesuai dengan ketentuan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP), yang berlaku di Indonesia. Kejadian seperti ini juga dilakukan di banyak wilayah di Republik Indonesia.
Kami akan terus menerus mengingatkan rezim Jokowi – JK untuk tidak memperlakukan petani sebagai “musuh” negara. Kapolri juga harus lebih tegas dalam melakukan pengawasan terhadap jajarannya saat menjalankan tugasnya sebagai pelindung rakyat. Kapolri juga harus memastikan untuk berlaku adil dan memberikan sanksi tegas kepada jajarannya jika terbukti menjadi “peliharaan” pemilik HGU di Kab. Banggai Prov. Sulawesi Tengah.
Kami menegaskan kepada Pemerintah untuk secara konsisten menjalankan janji reforma agraria berupa redistribusi tanah 9 juta hektar dan menyelesaikan konflik-konflik agraria. Termasuk di dalamnya melakukan peninjauan kembali, sekaligus menertibkan HGU-HGU yang terbit tanpa memperhatikan hak atas tanah dari masyarakat, sehingga menimbulkan potensi-potensi konflik agraria serupa.
Kami juga mendesak Presiden Joko Widodo dan Kapolri untuk segera membebaskan petani Syafrudin Madili yang sampai hari ini masih ditahan oleh Polres Banggai, Prov. Sulawesi Tengah. Harus menghentikan upaya penangkapan terus-menerus terhadap Petani Bohotokong oleh Polres Banggai. Harus juga segera menurunkan Tim Propam Mabes Polri untuk memeriksa oknum aparat kepolisian Polres Banggai yang diduga kuat menjadi “peliharaan” pemilik HGU. Perlu ada pemulihkan  kehidupan petani Bohotokong dengan mengembalikan tanah mereka serta menjamin keberlangsungan kehidupan pertaniannya.
WALHI, KPA, HUMA, ELSAM, TUK-Indonesia, KONTRAS
Narahubung:

  1. Dewi Kartika 081394475884 (KPA)
  2. Ahmad, SH  08135431170 (WALHI)

Skor Kosong atas Kebijakan Tenaga Kerja Penyandang dana Wilmar

Laporan terbaru dari Amnesty Internasional telah mengungkapkan bahwa Wilmar terlibat dalam praktek-praktek eksploitasi tenaga kerjanya dengan sistematis di perkebunan kelapa sawitnya di Indonesia. Laporan, yang berjudul “The Great Palm Oil Scandal: Labour Abuses Behind Big Brand Names” diidentifikasi melakukan berbagai pelanggaran termasuk kerja paksa, tenaga kerja anak, diskriminasi gender dan kondisi kerja yang berbahaya dan eksploitatif yang membahayakan kesehatan para pekerjanya.
Menurut website ForestsandFinance.org, antara tahun 2010 dan 2016, Wilmar menerima pembiayaan lebih dari USD 1 milyar, setidaknya dari kurang lebih 49 institusi yang berbeda. Dua dari penyandang dana teratas Wilmar memiliki skor kosong atas penilaian kebijakan tenaga kerja anak dan kerja paksa mereka sementara empat lainnya hanya mendapatkan skor parsial. Hal ini memperlihatkan kurang seriusnya komitmen lembaga penyandang dana utama untuk menegakkan berbagai konvensi International Labor Organization (ILO). TuK Indonesia menyerukan kepada seluruh penyandang dana Wilmar untuk secara aktif terlibat dengan Wilmar mengakhiri berbagai pelanggaran atas hak tenaga kerja dalam perkebunannya.