Korporasi Perusak Lingkungan Dipastikan Tak Dapat Kredit Bank

CNNRosmiyati Dewi Kandi & Safyra Primadhyta , CNN Indonesia
Selasa, 24/11/2015 01:09 WIB
Jakarta, CNN Indonesia — Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad menegaskan, perusahaan yang kerap merusak lingkungan dalam menjalankan bisnis bakal kesulitan memperoleh kredit pinjaman modal usaha. OJK memastikan, perbankan akan selektif mengucurkan kredit kepada korporasi perusak tersebut.
Muliaman meminta perbankan menyeleksi setiap korporasi yang mengajukan kredit pinjaman, dengan indikator diterapkan prinsip risiko dan mitigasi kerusakan lingkungan dan sosial.
“Jadi ke depan perusahaan yang merusak lingkungan jangan harap bisa dibiayai (oleh industri keuangan),” kata Muliaman dalam diskusi di Jakarta hari ini, Senin (23/11).
“Bank juga harus hati-hati kalau memberikan kredit kepada perusahaan yang mencemari lingkungan, nanti kualitas kreditnya bisa langsung jelek.”
Muliaman mencontohkan, perusahaan yang mengajukan kredit, minimal harus sudah memiliki dokumen Analisis Dampak Lingkungan seperti yang tercantum dalam Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan.
OJK akan memberi panduan agar pengusaha dapat meningkatakn fungsi intermediasi ke sektor ekonomi prospektif seperti infrastruktur, manufaktur, pertanian, dan UMKM, namun juga tetap mempertahankan prinsip keuangan berkelanjutan.
“Jadi perusahaan pandai mengelola aspek lingkungan, sosial dan tata kelola (LST) dalam keputusan bisnisnya,” tutur Muliaman.
Muliaman mengatakan, akan mengawasi sepenuhnya kualitas kredit untuk sektor keuangan berkelanjutan ini. Sektor pertama yang akan menjadi kajian penerapan industri keuangan berkelanjutan ini adalah sektor industri kepala sawit.

“Sektor kelapa sawit dipilih untuk dipelajari lebih dalam karena sektor ini kerap kali diasosiasikan dengan isu lingkungan. Bank dapat mengambil peran dalam memperbaiki profil industri ini agar komoditi ini dapat terus menjadi andalan ekonomi nasional,” ujar Deputi Direktur Arsitektur Perbankan Indonesia OJK Edi Setijawan. (rdk)
Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20151123162348-20-93536/korporasi-perusak-lingkungan-dipastikan-tak-dapat-kredit-bank/
 

OJK: Perusahaan yang Rusak Lingkungan Jangan Harap Dibiayai

183407320151007-170107780x390Senin, 23 November 2015 | 12:31 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong pentingnya implementasi program keuangan berkelanjutan atau sustainable financing. Sehingga, program-program industri jasa keuangan dapat sejalan dengan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Indonesia dan Sustainable Development Goals (SDGs).
Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad menjelaskan, langkah awal menuju ekonomi yang berkelanjutan dapat dimulai pada pelaksanaan pembiayaan pada industri-industri yang telah menerapkan manajemen risiko lingkungan hidup dan sosial.
Untuk itu, industri jasa keuangan harus melakukan 
screening atau pemeriksaan kepada setiap industri yang dibiayainya.
“Ke depan, perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan jangan harap dibiayai. Pembangunan yang akan kita sasar harus benar-benar berkelanjutan. Jangan sampai apa-apa maunya buru-buru dan serba cepat lalu akhirnya merusak lingkungan,” ujar Muliaman di Jakarta, Senin (23/11/2015).
Lebih lanjut, Muliaman memaparkan, lembaga keuangan memiliki peranan yang sentral untuk dapat membantu pembiayaan. Agar program keuangan berkelanjutan dapat berjalan dengan langgeng, ia menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan yang merusak lingkungan sebaiknya tidak perlu diberikan pembiayaan.
Meski demikian, Muliaman mengatakan, bukan berarti lembaga keuangan tidak mentah-mentah menolak memberi pembiayaan bagi perusahaan perusak lingkungan. Ia menjelaskan, regulator mendorong lembaga keuangan untuk mempelajari profil perusahaan terlebih dahulu dan beragam upaya yang ditempuh untuk pengelolaan lingkungan.
“Yang potensi ada mitigasi pengelolaan limbah yang baik itu tidak masalah. Perusahaan yang penting punya mekanisme mengelola kemungkinan yang terkait masalah lingkungan. Kredit terbuka bagi siapa saja,” ungkap Muliaman.
Di samping itu, Muliaman mengaku pihaknya juga mendorong agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan secara berkala memperbarui data dan informasi terkait upaya pengelolaan limbah dan manajemen lingkungan yang dilakukan masing-masing perusahaan. Sehingga, perusahaan dapat mengaksesnya sebelum memberikan pembiayaan.
Sebagai informasi, lembaga jasa keuangan perbankan yang telah menandatangani green banking pilot project, antara lain PT Bank Artha Graha Internasional Tbk, PT Bank Central Asia Tbk, PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank BRI Syariah, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Mualamat Indonesia, dan PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk.

Penulis : Sakina Rakhma Diah Setiawan
Editor : Erlangga Djumena

 
Link:
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/23/123100426/OJK.Perusahaan.yang.Rusak.Lingkungan.Jangan.Harap.Dibiayai

Perbankan Turut Serta Membakar Hutan

kebakaran-hutanNovember 9, 2015

FORUMHIJAU.COM – Transformasi untuk Keadilan (TUK) menilai hadirnya para perusahaan kelapa sawit Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara.
Mereka adalah pemegang saham kendali di perusahaan tersebut, meski telah go public. Kendati demikian, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam aksi kebakaran lahan, yaitu Sinar Mas dan Wilmar Grup.
Direktur Eksekutif TUK Norman Jiwan mengatakan, bukti bahwa perusahaan kelapa sawit dikuasai oleh dua grup diperkuat dari total landbank yang dikuasai Sinar Mas sebesar 788,907 hektare (ha) dan Wilmar Grup sebesar 342,850 ha.
Di Indonesia, 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit memiliki afiliasi pada perusahaan induk terbesar di Singapura, Kuala Lumpur, dan London.
Kehadiran taipan dalam bisnis ini mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan jumlah besar dalam ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, tapi juga lembaga finansial, khususnya perbankan. Perbankan semestinya ikut bertanggung jawab dengan tidak memberikan kredit kepada perusahaan pembakar lahan dan menunda Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek,” kata Norman di Jakarta kemarin.
“Tindakan itu untuk memberi efek jera finansial kepada perusahaan.”
Bukti bahwa perbankan nasional turut andil dalam pembakaran terlihat dari pembiayan utama yang diberikan pinjaman kepada taipan pada 2009-2013. Bank asing yang paling besar membiayai taipan adalah HSBC (United Kingdom) sekitar US$ 1,7 miliar.
Sedangkan perbankan nasional yang pertama adalah Bank Mandiri sekitar US$ 950 juta, disusul Bank Negara Indonesia sekitar US$ 450 juta, dan Bank Rakyat Indonesia sekitar US$ 380 juta.
Norman juga menjelaskan sejak bencana kabut asap melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang dikendalikan para taipan.
Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan sejak pemerintah zaman Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan taipan, lanjut dia, bukan tanpa masalah. Seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan bermasalah itu terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Hal itu bisa dilihat dari proses hukum perusahaan pembakar lahan yang belum tuntas. Bahkan pemerintah enggan mengungkap nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin. Kepala negara harus juga menindak tegas secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat atas lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik.
Kemudian, apabila perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas.
Di antaranya dengan penyitaan, denda disertai pengambilalihan manajemen perusahaan, sanksi terkait kegiatan perusahaan di Bursa Efek, publikasi perusahaan pembakar hutan, dan penangguhan atau pembatalan pinjaman untuk IPO.
Dengan adanya publikasi atas nama perusahaan pembakar hutan dan lahan, IPO bisa ditangguhkan atau dibatalkan.
Salah satu tujuan IPO menghimpun dana dari masyarakat. Ini adalah sanksi yang sangat logis mengingat bank maupun pasar modal adalah lembaga intermediary yang menghimpun dana dari masyarakat luas.
Ini bentuk komitmen OJK dan seluruh lembaga keuangan dalam mengimplementasikan finansial yang berkelanjutan di Indonesia.
[Forumhijau.com | FHI/TUK/Geotimes]
Link: http://forumhijau.com/perbankan-turut-serta-membakar-hutan/

Perbankan Dituding Ikut Andil dalam Pembakaran Hutan

3 November 2015

Credit: GEO TIMES

Credit: GEO TIMES


MEDIA MALANG – Transformasi untuk Keadilan (TUK) menilai hadirnya para perusahaan kelapa sawit Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka adalah pemegang saham kendali di perusahaan tersebut, meski telah go public. Kendati demikian, ada dua grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam aksi kebakaran lahan, yaitu Sinar Mas dan Wilmar Grup.
Direktur Eksekutif TUK Norman Jiwan mengatakan, bukti bahwa perusahaan kelapa sawit dikuasai oleh dua grup diperkuat dari total landbank yang dikuasai Sinar Mas sebesar 788,907 hektare (ha) dan Wilmar Grup sebesar 342,850 ha. Di Indonesia, 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit memiliki afiliasi pada perusahaan induk terbesar di Singapura, Kuala Lumpur, dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan jumlah besar dalam ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, tapi juga lembaga finansial, khususnya perbankan. Perbankan semestinya ikut bertanggung jawab dengan tidak memberikan kredit kepada perusahaan pembakar lahan dan menunda Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek,” kata Norman di Jakarta kemarin. “Tindakan itu untuk memberi efek jera finansial kepada perusahaan.”
Bukti bahwa perbankan nasional turut andil dalam pembakaran terlihat dari pembiayan utama yang diberikan pinjaman kepada taipan pada 2009-2013.  Bank asing yang paling besar membiayai taipan adalah HSBC (United Kingdom) sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan perbankan nasional yang pertama adalah Bank Mandiri sekitar US$ 950 juta, disusul Bank Negara Indonesia sekitar US$ 450 juta, dan Bank Rakyat Indonesia sekitar US$ 380 juta.
Norman juga menjelaskan sejak bencana kabut asap melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan sejak pemerintah zaman Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan taipan, lanjut dia, bukan tanpa masalah. Seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan bermasalah itu terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau. Hal itu bisa dilihat dari proses hukum perusahaan pembakar lahan yang belum tuntas. Bahkan pemerintah enggan mengungkap nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin. Kepala negara harus juga menindak tegas secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat atas lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik.
Kemudian, apabila perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Di antaranya dengan penyitaan, denda disertai pengambilalihan manajemen perusahaan, sanksi terkait kegiatan perusahaan di Bursa Efek, publikasi perusahaan pembakar hutan, dan penangguhan atau pembatalan pinjaman untuk IPO.
Dengan adanya publikasi atas nama perusahaan pembakar hutan dan lahan, IPO bisa ditangguhkan atau dibatalkan. Salah satu tujuan IPO menghimpun dana dari masyarakat. Ini adalah sanksi yang sangat logis mengingat bank maupun pasar modal adalah lembaga intermediary yang menghimpun dana dari masyarakat luas. Ini bentuk komitmen OJK dan seluruh lembaga keuangan dalam mengimplementasikan finansial yang berkelanjutan di Indonesia. (*)
Editor : Puspito Hadi
Link: http://mediamalang.com/perbankan-dituding-ikut-andil-dalam-pembakaran-hutan/

Siaran Pers Bersama: Menjelang Pertemuan Kepala Negosiator AIIB: Indonesia diantara Kepentingan Amerika dan Kepentingan Cina

Print1Untuk Disiarkan Segera


Menjelang Pertemuan Kepala Negosiator AIIB:

Indonesia diantara Kepentingan Amerika dan Kepentingan Cina


Jakarta, 1 November 2015.
Indonesia telah bergabung sebagai anggota pendiri Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan tujuan mendapat dana proyek-proyek infrastruktur. AIIB merupakan inisiatif Cina dan kemudian mendapatkan respon dari 57 negara yang bersedia menjadi anggota pendirinya baik dari Asia maupun luar Asia. Indonesia kini menjadi pemegang saham ke 8 terbesar di AIIB dengan investasi sebesar US$ 672,1 atau sekitar Rp 8,74 trilyun. AIIB digagas Cina dengan orientasi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur, dan bukan untuk tujuan pembangunan. Mengingat pengalaman kerusakan lingkungan, penggusuran maupun kekerasan serta pelanggaran HAM lainnya selama ini dengan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, sumber pembiayaan proyek tanpa aturan perlindungan yang kuat, jelas berpotensi menimbulkan berbagai persoalan baru. Persoalan semakin bertambah dengan bergabungnya Indonesia dengan TPP (Trans Pacific Partnership) pada bulan ini, yang akan membuka ruang investasi dan perdagangan bebas seluas-luasnya.

AIIB di bulan September 2015 mengeluarkan sebuah draft Environmental and Social Framework(ESF) yang merupakan kisi-kisi perlindungan lingkungan dan sosial dari proyek-proyek AIIB. Namun ESF ini masih belum mampu menjadi kerangka perlindungan karena mengandung banyak kelemahan. Setidaknya ada tujuh kelemahan dalam ESF tersebut, yaitu:

Pertama, pendekatan bertahap (phased approach) memungkinkan persetujuan pembiayaan proyek tanpa menunggu kajian dampak lingkungan dan sosialnya selesai. Jika ternyata proyek tidak memenuhi standar AIIB, tidak disebutkan pembiayaan akan dibatalkan. Kedua, kategorisasi resiko proyek tidak memperhitungkan dampak dan resiko jangka panjang proyek. Padahal banyak dampak proyek infrastruktur terhadap lingkungan, situasi ekonomi dan sosial masyarakat baru teridentifikasi dalam jangka panjang. Ketiga, tidak ada pengaturan tentang transparansi proyek -proyek yang dibiayanya. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui dampak apa yang akan terjadi pada diri, sumber penghasilan dan lingkungannya, serta tidak punya kesempatan untuk berpendapat terhadap rencana proyek terutama sebelum disetujui oleh AIIB.

Keempat, AIIB tidak membuka ruang partisipasi pemangku kepentingan untuk hal yang terkait pengambilan keputusan. Kelima, tidak ada ketentuan untuk menyediakan informasi dan data terpisah secara gender (gender segregated information and data) terutama untuk analisis dampak dan resiko, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang proyek, ketersediaan informasi secara sensitif gender, dan mekanisme pengaduan yang sensitif dan responsif gender. Padahal perempuan merupakan bagian yang besar (biasanya separuh lebih) dalam masyarakat terkena dampak dan perempuan mempunyai kebutuhan khusus jika terjadi penggusuran dan kehilangan mata pencarian seperti yang sering terjadi pada proyek infrastruktur. Keenam, proyek dengan emisi karbon tinggi (termasuk penggunaan batubara) tidak dikecualikan dalam pembiayaan proyek, dan jelas ini kontradiktif dengan kesepakatan konvensi perubahan iklim untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, di mana Indonesia menjadi bagiannya.

Masifnya program pengembangan dan pembangunan infrastruktur di Indonesia, akan berimplikasi dengan pendanaan yang besar. Dana pinjaman dari AIIB dinilai pemerintah dapat mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun demikian, standar lingkungan dan sosial AIIB yang masih lemah, akan semakin meningkatkan persoalan lingkungan, sosial, kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran hak-hak perempuan dan anak.

Berbagai ancaman resiko tersebut tentunya sangat bertentangan dengan Visi Nawacita Pemerintahan Jokowi JK. Upaya menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara terancam oleh agresifnya rencana investasi tanpa memperkirakan dampak sosial, ekonomi, lingkungan hidup dan potensi kekerasan serta pelanggaran HAM.

Pada tanggal 3-4 November 2015 mendatang akan berlangsung Chief Negotiators Meeting (CNM) di Jakarta yang merupakan sebuah rangkaian proses pengembangan kelembagaan AIIB. Untuk itu, sebagai salah satu pemegang saham terbesar, Pemerintah Indonesia harus memastikan.

  1. Penggunaan dana AIIB tidak melanggar hak masyarakat, perempuan dan laki-laki, serta tidak merusak lingkungan, dengan menetapkan aturan perlindungan sosial, lingkungan dan gender yang kuat.

  2. Akses dan ruang partisipasi, serta keterlibatan masyarakat sipil, termasuk masyarakat potensi terkena dampak proyek infrastruktur, dalam setiap perencanaan dan pembahasan kebijakan dan proyek yang didanai oleh AIIB, diantaranya Environment dan Social Framework, termasuk gender policy.

Kami juga menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk turut memantau secara kritis perkembangan kelembagaan dan kebijakan perlindungan dari AIIB, termasuk implementasi proyek-proyeknya ke depan, terutama di Indonesia.

Hormat Kami

Solidaritas Perempuan (SP), Aksi for Gender, Social and Ecological Justice, Yayasan Pusaka, TuK Indonesia, WALHI DKI Jakarta, KNTI, IGJ, WALHI, SP Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh, SP Komunitas Palembang, SP Komunitas Sebay Lampung, SP Komunitas Jabotabek, SP Komunitas Sumbawa, SP Kinasih- Yogyakarta, SP Komunitas Mataram, SP Komunitas Kendari, SP Komunitas Angging Mammiri-Makassar, SP Komunitas Palu, SP Komunitas Sintuwu Raya-Poso

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

CP : Nisaa Yura (0813 8070 9637)

CP : Risma Umar (0812 9165 5459)