OJK Diminta Ambil Langkah Strategis Ke Perusahaan Yang Diduga Membakar Hutan

Muliaman Hadad

Credit: Kabar24.bisnis.com


Anugerah Perkasa Sabtu, 31/10/2015 07:12 WIB
Kabar24.com, JAKARTA — Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada Ketua Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad terkait untuk menyetop pembiayaan sektor perbankan kepada  perusahaan yang diduga membakar hutan.
TUK Indonesia menyatakan OJK dapat berperan untuk mengambil langkah-langkah strategis pencegahan dan kebijakan strategis perbankan. Hal itu dilakukan untuk pencegahan bank–BUMN, swasta domestik maupun asing–terlibat dalam pembiayaan perusahaan yang diduga membakar hutan di Indonesia.
“TUK Indonesia mendukung OJK untuk mengambil langkah-langkah strategis pencegahan,” demikian surat terbuka yang dikirimkan oleh Direktur Eksekutif TUK Indonesia, Norman Jiwan, yang diperoleh Bisnis.com, Sabtu (31/10/2015).
TUK Indonesia bersama tanki pemikir Profundo yang berbasis di Amsterdam, Belanda, merilis riset bersama pada tahun ini terkait dengan pembiayaan sektor perbankan maupun lembaga investasi lainnya kepada perusahaan besar sawit di Tanah Air. Riset itu juga menyebutkan 25 grup bisnis menguasai separuh lahan konsesi sawit dari total sekitar 10 juta hektare.
Surat itu juga menyatakan pihaknya mendesak agar perbankan baik domestik maupun asing untuk mencabut kontrak pinjaman mereka terhadap perusahaan sawit yang terlibat dalam pembakaran hutan. Dalam risetnya ditemukan, tak hanya pinjaman, namun skema penjaminan melalui saham dan surat berharga pun dilakukan lembaga investasi domestik dan asing kepada grup raksasa sawit tersebut.
Mereka di antaranya dari RHB Banking Group (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), Goldman Sachs (Amerika Serikat), Bank of Communications (China), Danatama Makmur (Indonesia), CIMB Group (Malaysia), Credit Suisse (Switzerland), HSBC (Inggris), Citibank (Amerika Serikat), AMMB Holdings (Malaysia), BNP Paribas (Perancis), DBS (Singapore), Malayan Banking (Malaysia), Danareksa Sekuritas (Indonesia), Mitsubishi UFJ Financial Group (Jepang), Bank Mandiri (Indonesia), Deutsche Bank (Jerman), UBS (Switzerland), Bahana Group (Indonesia), dan Indo Premier Securities (Indonesia).
Selain kepada OJK, TUK Indonesia pun mengirimkan surat itu ke otoritas jasa keuangan di negara-negara anggota OECD dan Uni Eropa.
“Asap dari api pembakaran hutan dan lahan sudah tidak bisa diterima dengan alasan apapun baik atas nama pembangunan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan pendapatan negara,” demikian TUK Indonesia.
Editor : Andhika Anggoro Wening
Link:
http://kabar24.bisnis.com/read/20151031/15/487588/ojk-diminta-menyetop-kucuran-dana-ke-perusahaan-yang-diduga-membakar-hutan

SURAT TERBUKA: Keprihatinan atas Pendanaan bagi Perusahaan Pembakar Hutan, Lahan dan Gambut di Indonesia

PrintJakarta, 30 Oktober 2015

Nomor

:

01/DE-TuK/X/2015

Subjek

:

Keprihatinan atas Pendanaan bagi Perusahaan Pembakar Hutan, Lahan dan Gambut di Indonesia

Kepada Yth.

Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Indonesia

Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Negara-Negara Uni Eropa

Ketua Otoritas Jasa Keuangan, Negara-Negara Anggota OECD

Di Tempat

Dengan hormat,

TuK INDONESIA menyampaikan rasa prihatin yang mendalam kepada warga negara Indonesia yang telah mengalami penderitaan dan menjadi korban pencemaran udara akibat pembakaran hutan dan lahan. Pembakaran hutan dan lahan gambut tahun 2015 terus terjadi di Acehi, Sumatera Utaraii, Riauiii, Jambiiv, Sumatera Selatanv, Bengkuluvi, Kalimantan Baratvii, Kalimantan Tengahviii, Kalimantan Timurix, Kalimantan Selatanx, Sulawesi Tengahxi, Malukuxii, Papuaxiii dan Papua Baratxiv.

TuK INDONESIA mempelajari dan memandang kerugian akibat kesehatan publik khususnya kelompok rentan terutama balita, anak-anak, perempuan, lansia dan warga berkebutuhan khusus dipaksa menghirup udara kotor – asap dari api pembakaran hutan dan lahan sudah tidak bisa diterima dengan alasan apapun baik atas nama pembangunan ekonomi, lapangan pekerjaan, pengentasan kemiskinan dan pendapatan negara.xv

Asap dan pencemaran udara dari kebakaran hutan dan lahan tidak hanya mencemari Malaysia dan Singapura tetapi juga korban nyawa (19 orang)xvi, penyakit saluran nafas (ISPA), penutupan sekolah, fasilitas umum, gangguan penerbangan domestik, regional dan internasional, dll. Emisi emisi karbon akibat kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut membuat Indonesia telah melampaui rata-rata emisi karbon harian Amerika Serikat selama 26 hari dari 44 hari sejak awal September 2015.xvii

TuK INDONESIA mendukung upaya pemerintah Indonesiaxviii memberlakukan moratorium izin baru dikawasan hutan dan lahan gambut, penegakan hukum, dan upaya pemadaman api dan pengurangan asap akibat pembakaran hutan dan lahan. Pemerintah bahkan tercatat telah berhasil mendaftar 413 perusahaan yang diindikasi melakukan pembakaran hutan di lahan seluas 1,7 juta hektar.xix

Hikmah 18 Tahun Pembelajaran

Wahana Lingkungan Hidup Indonesiaxx merinci nama group perusahaan hutan dan lahan, di Kalimantan Tengah Sinar Mas tiga anak perusahaan dan Wilmar 14 anak perusahaan. Di Riau, anak usaha Asia Pulp and Paper (APP) ada 6 anak perusahaan, Sinar Mas (6), APRIL (6), Simederby (1), First Resources/Surya Dumai (1) dan Provident (1). Di Sumsel (8) Sinar Mas dan 11 Wilmar, (4) Sampoerna, (3) PTPN, (1) Simederby, (1) Cargil dan (3) Marubeni. Kalbar Sinar Mas (6), RGM/ APRIL (6). Di Jambi Sinar Mas (2) dan Wilmar (2).

Selain data WALHI, World Resources Institute telah memonitor kebakaran di tahun 2014xxi dan bahkan Greenpeace juga merilis data kebakaran hutan dan lahan dimana sejak 2013 konsesi milik anggota RSPO bertanggung jawab atas 39% dari total titik api perkebunan sawit di Riau.

Pinjaman Aktif oleh Lembaga Pembiayaan dan Bankxxii

Antara tahun 2009-2013, TuK INDONESIA mencatat sekitar US$17.8 miliar pinjaman diberikan kepada 25 kelompok sawit yang dikuasai oleh taipan. Pinjaman-pinjaman tersebut berasal dari HSBC (Inggris), OCBC (Singapore), CIMB (Malaysia), Mitsubishi UFJ Financial Group (Jepang), DBS (Singapura), Sumitomo Group (Jepang), Bank Mandiri (Indonesia), ANZ (Australia), United Overseas Bank (Singapore), Mizuho Financial Group (Jepang), Commonwealth Bank of Australia (Australia), Rabobank (Belanda), BNI 46 (Indonesia), BNP Paribas (Perancis), BRI (Indonesia), Citibank (Amerika Serikat), Credit Suisse (Switzerland), National Bank Australia (Australia), Westpac Banking Corporation (Australia), dan Industrial and Commercial Bank of China (China).

Penjamin Aktif dalam Sektor Minyak Sawitxxiii

Total jaminan berupa saham dan surat berharga oleh taipan yang menguasai 25 group kelapa sawit mencapai US$ 10.6 miliar. Dana besar skema underwriter berupa saham dan surat berharga tersebut bersumber dari RHB Banking Group (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), Goldman Sachs (Amerika Serikat), Bank of Communications (China), Danatama Makmur (Indonesia), CIMB Group (Malaysia), Credit Suisse (Switzerland), HSBC (Inggris), Citibank (Amerika Serikat), AMMB Holdings (Malaysia), BNP Paribas (Perancis), DBS (Singapore), Malayan Banking (Malaysia), Danareksa Sekuritas (Indonesia), Mitsubishi UFJ Financial Group (Jepang), Bank Mandiri (Indonesia), Deutsche Bank (Jerman), UBS (Switzerland), Bahana Group (Indonesia), dan Indo Premier Securities (Indonesia).

Peran Strategis OJK dan Lembaga Pembiayaan

TuK INDONESIA mendukung Otoritas Jasa Keuangan Republik Indonesia dan internasional untuk mengambil langkah-langkah strategis pencegahan dan mengambil kebijakan strategis jangka panjang untuk mencegah lembaga pembiayaan, bank BUMN dan swasta komersial baik domestik dan internasional terlibat secara langsung dan melalui pihak kedua dan ketiga yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan di Indonesia.

TuK INDONESIA mendesak lembaga pembiayaan dan bank komersil khusus domestik dan internasional untuk segera mengambil langkah untuk meninjau dan mencabut kontrak pinjaman dan fasilitas investasi lainnya terhadap perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan di Indonesia.

Hormat kami,


Norman Jiwan

Executive Director

Tembusan:

Rakyat Indonesia

iv Kebakaran Hutan dan Lahan di Jambi Masih Membara. Akses di http://jambi.tribunnews.com/2015/10/23/kebakaran-hutan-dan-lahan-di-jambi-masih-membara

v Satu juta hektar lahan gambut Sumsel terbakar. Akses di

http://www.antaranews.com/berita/515778/satu-juta-hektar-lahan-gambut-sumsel-terbakar

viAktivis Lingkungan Bengkulu Sebut Malaysia dan Singapura Biang Kebakaran Hutan. Akses di http://regional.kompas.com/read/2015/09/16/18312381/Aktivis.Lingkungan.Bengkulu.Sebut.Malaysia.dan.Singapura.Biang.Kebakaran.Hutan

xJokowi Mendadak Cek Ulang Lokasi Kebakaran Lahan Gambut di Kalsel. Akses di

http://news.liputan6.com/read/2324786/jokowi-mendadak-cek-ulang-lokasi-kebakaran-lahan-gambut-di-kalsel

xiiiKebakaran hutan mencapai Sulawesi, Maluku dan Papua. Akses di http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151019_indonesia_asap_sulawesi

xv Romo Magnis: Semua Kepala Daerah di Wilayah Kebakaran Hutan Harus Dipecat. http://kaltim.tribunnews.com/2015/10/26/romo-magnis-semua-kepala-daerah-di-wilayah-kebakaran-hutan-harus-dipecat; lihat juga Ada korupsi di balik kabut asap Indonesia. Akses di http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151017_indonesia_korupsi_asap

xvi 5 orang dari Kalimantan Tengah, 5 orang dari Sumatera Selatan, dan 5 orang dari Riau, 1 orang dari Jambi, dan 3 orang dari Kalimantan Selatan. (nasional.kompas.com)

xviiGara-gara kabut asap, Indonesia kalahkan AS soal emisi karbon. Akses di http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151021_indonesia_emisi_as

xviiiJokowi Mendadak Cek Ulang Lokasi Kebakaran Lahan Gambut di Kalsel. Akses di http://news.liputan6.com/read/2324786/jokowi-mendadak-cek-ulang-lokasi-kebakaran-lahan-gambut-di-kalsel

xix Penyebab Kebakaran Hutan Terungkap?. Akses di http://www.dw.com/id/penyebab-kebakaran-hutan-terungkap/a-18801135

xxiTabel titik api 2014 HTI, Sawit, HPH. Akses di http://www.wri.org/sites/default/files/uploads/picture5_0.png

xxiiTuK INDONESIA 2015. Executive Summary: Tycoon-controlled oil palm groups in Indonesia. Access at http://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2015/02/Tycoons-in-the-Indonesian-palm-oil-sector-140828-Tuk-Summary.pdf

xxiiiTuK INDONESIA 2015. Executive Summary: Tycoon-controlled oil palm groups in Indonesia. Access at http://www.tuk.or.id/wp-content/uploads/2015/02/Tycoons-in-the-Indonesian-palm-oil-sector-140828-Tuk-Summary.pdf

PEMBAKARAN LAHAN: OJK Diminta Klarifikasi Keterlibatan Bank

Kabar28 OJK BIAnugerah Perkasa: Jum’at, 30/10/2015 05:01 WIB
Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk mengklarifikasi sektor perbankan yang memberikan fasilitas pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan di Sumatra serta Kalimantan sehingga berdampak pada masyarakat.
Hal itu mencuat dalam diskusi Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK Sektor Sumber Daya Alam di Jakarta. Norman Jiwon, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, mengatakan OJK dapat menanyakan terkait dengan perbankan yang berada di bawahnya mengenai kliennya yang terlibat dalam pembakaran hutan.
“OJK dapat mengklarifikasi soal perbankan, apakah benar. OJK dapat mendorong perlindungan lingkungan dan sosial,” kata Norman dalam diskusi tersebut, Kamis (29/10/2015).
Dia menuturkan pihak perbankan menjadi penting karena sektor itulah yang memberikan dana bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansinya. Hal itu, sambung Norman, juga terkait dengan upaya OJK dalam mendorong Pembiayaan Berkelanjutan di sektor perbankan.
Riset Profundo dan TUK Indonesia pada awal tahun ini menemukan sedikitnya 20 bank yang terdiri dari bank asing dan bank domestik terlibat dalam pembiayaan besar grup bisnis kelapa sawit. Semua bank itu memberikan pembiayaannya kepada perusahaan-perusahaan yang mengontrol separuh lahan sawit di Indonesia, dari total sekitar 10 juta hektare. Perusahaan sawit dan kertas diduga terlibat dalam pembakaran hutan.
Selain itu, Norman menuturkan bank juga dapat memberikan sanksi kepada kliennya dengan menilai kembali fasilitas investasi maupun pinjaman yang diberikan kepada perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan. Setelah terbukti di pengadilan, kata dia, bank pun dapat mencabut semua fasilitasnya kepada korporasi tersebut.
“TUK Indonesia mendesak agar perbankan mencabut seluruh kontrak pinjaman dan fasilitas lainnya kepada perusahaan yang terbukti dalam kasus pembakaran hutan dan lahan,” katanya.
KORUPSI PERTAMBANGAN
Sementara itu, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengungkapkan konflik lahan di sektor pertambangan menjadi catatan merah bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dia menuturkan konflik lahan justru semakin meningkat di area yang berdekatan dengan aktivitas pertambangan.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih lahan masih terjadi dengan tidak adanya peta indikatif pemerintah. Selain itu, masalah pemberantasan korupsi di sektor pertambangan belum maksimal.
“Pemberantasan korupsi di sektor pertambangan masih minim,” kata Maryati dalam diskusi tersebut.
Direkorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM mencatat masih banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tak memiliki status CnC hingga kini, yakni sekitar 4.563 izin. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sebelumnya meminta Kementerian ESDM untuk segera mencabut seluruh perizinan tersebut.
Walaupun demikian, Maryati mengungkapkan, pihaknya masih belum menemukan kemauan yang kuat oleh Kementerian ESDM untuk melakukan pencabutan terhadap izin bermasalah tersebut. “Kami tidak melihat kemauan politik yang kuat untuk menindak IUP non-CNC,” tegasnya.
Editor : Linda Teti Silitonga
Link:
http://finansial.bisnis.com/read/20151030/90/487230/pembakaran-lahan-ojk-diminta-klarifikasi-keterlibatan-bank

[Greeners] Pemerintah Belum Tegas Berikan Sanksi pada Korporasi Pembakar Lahan

Pemerintah_Belum_Tegas_Berikan_Sanksi_pada_Korporasi_Pembakar_LahanJakarta (Greeners) – Setiap memasuki musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius seperti kekeringan dan kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap. Kabut asap yang terjadi tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia.
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, menyatakan, berdasarkan laporan dari BBC Indonesia, sejak awal September 2015, emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika. Kualitas udara yang tidak sehat ini hasil dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, Sumatera Utara 593.000 hektar dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
TuK Indonesia, kata Norman, menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public.
Berdasarkan riset, lanjutnya, kendali pengusaha besar atas 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam kasus pembakaran lahan terbagi menjadi dua grup besar. Perusahaan ini adalah Sinar Mas dan Wilmar Group.
“Laporan ini diperkuat dari total land bank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 hektare dan Wilmar sebesar 342,850 hektare,” ujar Norman, Jakarta, Kamis (29/10).
Menurut Norman, sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan pun belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah. Norman menilai banyak masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus beroperasi dan mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
“Di sinilah komitmen Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja, hingga saat ini, kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas,” pungkasnya.
Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK Indonesia juga mengungkapkan kalau di Indonesia sendiri tercatat ada 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini ternyata mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan saja. Lembaga finansial khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan dan tunda IPO di bursa efek,” ujar Vera.
Penulis: Danny Kosasih
Link: http://www.greeners.co/berita/pemerintah-belum-tegas-berikan-sanksi-pada-korporasi-pembakar-lahan/

BI dan OJK Berperan Besar Tangani Pembakaran Hutan

OJK129 Oktober 2015.  Breaking News | Reja Hidayat
JAKARTA. Direktur Eksekutif Transparansi untuk Keadilan (TUK) Norman Jiwan mengatakan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan berperan penting menangani masalah pembakaran hutan dan asap. Pasalnya, dua lembaga tersebut bisa mendorong perbankan untuk selektif dalam memberi pendanaan berkelanjutan kepada perusahaan.
“OJK sudah memiliki mekanisme komplain terhadap keluhan masyarakat yang dirugikan. Akan tetapi mekanisme itu belum lengkap sampai ke peraturan bawah,” kata Norman di Cikini, Jakarta, Kamis (29/10). “Kita apresiasi langkah OJK dan kita dorong untuk melengkapi aturannya sehingga perbankan nasional mempunyai pedoman dalam pendanaan berkelanjutan.”
Dia menjelaskan, konsep mekanisme komplain OJK sama seperti di Bank Dunia. Namun, kalau di Indonesia perangkatnya belum ada sehingga belum bisa dilaksanakan. Sedangkan di Bank Dunia perangkatnya sudah lengkap, sehingga segera ditindaklanjuti ketika masyarakat menggunakan mekanisme komplain tersebut.
Masyarakat Sumatera dan NGO Indonesia pernah menggunakan mekanisme komplain di Bank Dunia. Pada tahun 2007, tambah Norman, perusahaan Wilmar Grup melakukan belasan pelanggaran sehingga masyarakat menggunakan mekanisme tersebut. Dengan adanya aduan itu, Bank Dunia selaku pemberi pinjaman terhadap Wilmar Grup memproses aduan dengan melibatkan perangkatnya dan  membuat putusan yang tepat.
“Dampak dari pengaduan masyarakat itu sangat besar. Hampir semua pendanaan untuk sektor sawit dihentikan di seluruh dunia,” ujar Norman. Hal serupa pernah terjadi pada Bank HSBC asal Hongkong. Pada 2010 ada komplain dari masyarakat sehingga HSBC memutuskan mengurangi pendanaan investasi di bidang kehutanan sebesar 40%.
“Ini bukti bahwa perbankan memiliki kekuatan besar untuk mengurangi atau memutuskan kontrak sepihak karena melanggar perjanjian,” kata Norman. Dia juga menyoroti pemerintah soal penanganan dampak pembakaran hutan dan asap. Pihaknya menilai pemerintah banyak menghabiskan energi di penanganan saja. Padahal, jika mau lihat lebih luas, pemerintah bisa mencari siapa pemberi pinjaman ke perusahaan pembakar lahan itu.
Karena itu, pihaknya meminta perbankan untuk meninjau kembali kontrak atau kerja sama investasi para perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Jika perlu cabut dan hentikan kontrak pinjaman dan fasilitas investasi lainnya.
Seperti diketahui, setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda musibah serius yang sampai sekarang tak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pertama, kekeringan dan kedua kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, tapi juga pada aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia.
Link:
http://geotimes.co.id/bi-dan-ojk-berperan-besar-tangani-pembakaran-hutan/

Perbankan Turut Andil dalam Pembakaran Hutan

Credit: GEO TIMES

Credit: GEO TIMES


Jumat, 30 Oktober 2015 – 06:45
Transformasi untuk Keadilan (TUK) menilai hadirnya para perusahaan kelapa sawit Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka adalah pemegang saham kendali di perusahaan tersebut, meski telah go public. Kendati demikian, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam aksi kebakaran lahan, yaitu Sinar Mas dan Wilmar Grup.
Direktur Eksekutif TUK Norman Jiwan mengatakan, bukti bahwa perusahaan kelapa sawit dikuasai oleh dua grup diperkuat dari total landbank yang dikuasai Sinar Mas sebesar 788,907 hektare (ha) dan Wilmar Grup sebesar 342,850 ha. Di Indonesia, 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit memiliki afiliasi pada perusahaan induk terbesar di Singapura, Kuala Lumpur, dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan jumlah besar dalam ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, tapi juga lembaga finansial, khususnya perbankan. Perbankan semestinya ikut bertanggung jawab dengan tidak memberikan kredit kepada perusahaan pembakar lahan dan menunda Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek,” kata Norman di Jakarta kemarin. “Tindakan itu untuk memberi efek jera finansial kepada perusahaan.”
Bukti bahwa perbankan nasional turut andil dalam pembakaran terlihat dari pembiayan utama yang diberikan pinjaman kepada taipan pada 2009-2013.  Bank asing yang paling besar membiayai taipan adalah HSBC (United Kingdom) sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan perbankan nasional yang pertama adalah Bank Mandiri sekitar US$ 950 juta, disusul Bank Negara Indonesia sekitar US$ 450 juta, dan Bank Rakyat Indonesia sekitar US$ 380 juta.
Norman juga menjelaskan sejak bencana kabut asap melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan sejak pemerintah zaman Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan taipan, lanjut dia, bukan tanpa masalah. Seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan bermasalah itu terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau. Hal itu bisa dilihat dari proses hukum perusahaan pembakar lahan yang belum tuntas. Bahkan pemerintah enggan mengungkap nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin. Kepala negara harus juga menindak tegas secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat atas lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik.
Kemudian, apabila perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Di antaranya dengan penyitaan, denda disertai pengambilalihan manajemen perusahaan, sanksi terkait kegiatan perusahaan di Bursa Efek, publikasi perusahaan pembakar hutan, dan penangguhan atau pembatalan pinjaman untuk IPO.
Dengan adanya publikasi atas nama perusahaan pembakar hutan dan lahan, IPO bisa ditangguhkan atau dibatalkan. Salah satu tujuan IPO menghimpun dana dari masyarakat. Ini adalah sanksi yang sangat logis mengingat bank maupun pasar modal adalah lembaga intermediary yang menghimpun dana dari masyarakat luas. Ini bentuk komitmen OJK dan seluruh lembaga keuangan dalam mengimplementasikan finansial yang berkelanjutan di Indonesia.
Penulis: Reja Hidayat
Link: http://geotimes.co.id/perbankan-nasional-turut-andil-dalam-pembakaran-hutan/

Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK di Sektor Sumber Daya Alam

RRIKBRN, Jakarta -Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation OfficerTuK INDONESIA.
Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. (Ridwan Z/AKS)
Sumber: RRI.CO.ID, 29 Oktober 2015

[bijaks] Kebakaran Hutan dan Lahan, Bank BUMN Disebut Sponsori

Kebakaran-Hutan-kabut-asap-551x35329 Oct 2015 06:41 PM

JAKARTA, BIJAKS – Kasus kebakaran Hutan dan Lahan kini masih bermasalah, LSM Transformasi untuk Keadilan (TuK), menyebut empat bank besar memberikan pinjaman dana ke perusahaan yang diduga terlibat membakar hutan dan lahan. Satu di antaranya Bank Pelat Merah.
“Sebagian besar dari total pinjaman antara 2009-2013 masih bank asing yang paling besar. Tapi ada bank BUMN yang menyandang dana,” jelas Direktur Eksekutif TuK, Norman Jiwan saat diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (29/10).
Norman meminta, lembaga finansial dan perbankan menghentikan kontrak atau kerja sama investasi dengan perusahaan yang terlibat membakar hutan dan lahan.
Karena itu, lembaga finansial dan perbankan mesti bertanggung jawab atas kebakaran hutan. “Lembaga finansial dan perbankan jangan memberikan kredit perusahaan yang membakar lahan dan tunda IPO di bursa efek,” kata Norman. (iz/mn/dh)
Link: http://www.bijaks.net/news/article/1221-230799/kebakaran-hutan-dan-lahan-bank-bumn-disebut-sponsori

[kupasbengkulu] Komitmen Nawacita dalam Kepungan Asap dan Eksploitasi Sumber Daya Alam

Posted by: Firmansyah; 29 Oktober 2015
Ilustrasi-Kabut-Asap

Jakarta, kupasbengkulu.com – 29 Oktober 2015 – Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap.

Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.

Muncul pertanyaan, siapa dan untuk apa membakar lahan dalam jumlah cukup luas? Benarkah petani yang membuka lahan secara tradisional itu yang menyebabkan kabut asap?

Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit.

BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.

Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public.

Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.

“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.

Lalu bagaimana dengan peran pemerintah?
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.

Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.

“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation OfficerTuK INDONESIA.

Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.

Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.

Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.

Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.

“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.

Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.

Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.(rls)

Link: http://kupasbengkulu.com/komitmen-nawacita-dalam-kepungan-asap-dan-eksploitasi-sumber-daya-alam

[riaueditor] Menakar Komitmen Nawa Cita di Tengah Kepungan Asap dan Eksploitasi SDA

riaueditor_Menakar-Komitmen-Nawa-Cita-di-Tengah-Kepungan-Asap-dan-Eksploitasi-SDAKamis, 29 Oktober 2015 | 16:39:58
JAKARTA, Riaueditor.com – Setiap tahun Indonesia selalu dilanda masalah serius yang hingga saat ini tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Muncul pertanyaan, siapa dan untuk apa membakar lahan dalam jumlah cukup luas? Benarkah petani yang membuka lahan secara tradisional itu yang menyebabkan kabut asap?
Data sejumlah NGO yang konsen dengan isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor kehutanan dan perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar agar siap tanam.
Belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Lalu bagaimana dengan peran pemerintah?
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar lahan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK INDONESIA.
Sementara itu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya.  Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka  akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun, Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan.(rls/xxx)
Link: http://www.riaueditor.com/view/Opini/28202/Menakar-Komitmen-Nawa-Cita-di-Tengah-Kepungan-Asap-dan-Eksploitasi-SDA.html#.VmKwTYQyo_N