[ICW] Ini 11 Modus Korupsi Selama Semester I 2015

1145474-ags-poster-menolak-korupsi--780x390Selasa, 29 September 2015 | 12:16 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui hasil risetnya menemukan 11 modus tindak pidana korupsi yang paling kerap dilakukan dalam semester 1 tahun 2015.
“Kita lakukan kodifikasi atas modus-modus yang sering digunakan, di semester pertama 2015 ada 11 modus yang dilakukan tersangka korupsi,” kata peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah di Jakarta, Selasa (29/9/2015), seperti dikutipAntara.
Dia menjelaskan, modus yang paling banyak ialah berupa penggelapan dan dinilai menjadi cara yang paling sering digunakan oleh pelaku korupsi, dengan 82 kasus dan kerugian negara mencapai Rp 227,3 miliar. (baca: ICW: Koruptor Terbanyak Pegawai Kementerian)
“Hal ini terbukti jika dibandingkan dengan semester 1 tahun lalu. Modus penggelapan sampai 99 kasus, ternyata juga menjadi modus yang paling banyak dilakukan,” ucapnya.
Untuk modus terbanyak selanjutnya ialah penyalahgunaan anggaran yang mencapai 64 kasus. Lalu modus penyalahgunaan wewenang sebanyak 60 kasus, “mark up” 58 kasus, laporan fiktif 12 kasus, suap atau gratifikasi 11 kasus, kegiatan fiktif sembilan kasus, pemotongan enam kasus, “mark down” tiga kasus.
Modus selanjutnya ialah pemerasan dua kasus dan pungutan liar satu kasus.
Selain itu, ICW juga memaparkan bahwa kinerja penyidikan kasus tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum pada semester pertama 2015 mengalami penurunan.
“Sampai awal tahun ini hanya mampu menaikkan 50,6 persen dari total 2.447 kasus korupsi dari penyidikan ke penuntutan,” kata Wana.
Kasus korupsi yang telah masuk tahap penyidikan pada periode 2010-2015 tersebut apabila dinominalkan mencapai Rp 29,3 triliun.
Hasil pemantauan membuktikan bahwa aparat hanya mampu menaikkan 1.254 (50,6 persen) kasus dari tingkat penyidikan ke penuntutan, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 18,3 triliun.
Sedangkan sisanya, atau 1.223 kasus (49,4 persen) tidak mengalami perkembangan positif atau dengan kata lain masih dalam tahap penyidikan, dengan nilai Rp 11,04 triliun.
“Jadi aparat penegak hukum hanya mampu menaikkan setengah dari kasus korupsi berstatus penyidikan ke penuntutan atau P21,” ujarnya.

Editor : Sandro Gatra
Sumber Antara

Link: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/12163211/Ini.11.Modus.Korupsi.Selama.Semester.I.2015
 
Xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
ICW: Koruptor Terbanyak Pegawai Kementerian
Selasa, 29 September 2015 | 11:45 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com – Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui hasil risetnya menyatakan bahwa pelaku korupsi terbanyak berasal dari kalangan pejabat atau pegawai kementerian dan pemerintah daerah.
“Di sisi aktor yang terlibat korupsi, sebanyak 212 pelaku berlatar pejabat negara. Latar belakang tersebut adalah yang paling banyak terjerat korupsi,” tutur peneliti Divisi Investigasi ICW Wana Alamsyah di Jakarta, Selasa (29/9/2015), seperti dikutip Antara.
Dia menjelaskan, pada penelitian yang dilakukan dalam konteks periode semester 1 tahun 2015 itu, ICW telah mengidentifikasi 10 latar belakang pekerjaan yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi.
Pada urutan selanjutnya yang paling banyak melakukan korupsi adalah pegawai swasta, mulai dari tingkat direktur, komisaris dan pegawai sebanyak 97 orang.
Selanjutnya, latar belakang berupa kepala desa, camat, dan lurah menempati posisi ketiga dengan jumlah pelaku mencapai 28 orang.
Sedangkan posisi selanjutnya secara berurutan ialah kepala daerah 27 orang, kepala dinas 26 orang, anggota DPR/DPRD/DPD 24 orang, pejabat atau pegawai lembaga negara lain 12 orang, direktur/pejabat/pegawai BUMN atau BUMD 10 orang.
“Dua posisi terakhir ialah kelompok masyarakat dengan pelaku sebanyak 10 orang, dan pejabat atau pegawai bank juga 10 orang,” ujar Wana.
Selain itu, ICW juga memaparkan bahwa kinerja penyidikan kasus tindak pidana korupsi oleh aparat penegak hukum pada semester pertama 2015 mengalami penurunan.
“Sampai awal tahun ini hanya mampu menaikkan 50,6 persen dari total 2.447 kasus korupsi dari penyidikan ke penuntutan,” kata Wana.
Ia menambahkan, kasus korupsi yang telah masuk tahap penyidikan pada periode 2010-2015 tersebut apabila dinominalkan mencapai Rp 29,3 triliun.
Hasil pemantauan membuktikan bahwa aparat hanya mampu menaikkan 1.254 kasus (50,6 persen) dari tingkat penyidikan ke penuntutan, dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 18,3 triliun.
Sedangkan sisanya, atau 1.223 kasus (49,4 persen) tidak mengalami perkembangan positif atau dengan kata lain masih dalam tahap penyidikan, dengan nilai Rp 11,04 triliun.
“Jadi aparat penegak hukum hanya mampu menaikkan setengah dari kasus korupsi berstatus penyidikan ke penuntutan atau P21,” ujarnya.

Editor : Sandro Gatra
Sumber Antara

Link: http://nasional.kompas.com/read/2015/09/29/11453171/ICW.Koruptor.Terbanyak.Pegawai.Kementerian

Konflik Tambang Memakan Korban

komnas_ham_lumajangPejuang lingkungan Tolak Tambang dibunuh di Kabupaten Lumajang
Jakarta, 28/9/2015. Pada hari sabtu 26 September 2015 pagi hari, telah terjadi penganiayaan dan pembunuhan terhadap petani penolak tambang di Desa, Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Korban yang mati terbunuh yakni Salim Kancil (46 th). Dia dijemput oleh sejumlah preman dari rumahnya dan dibawa ke Kantor Desa Selok Awar-Awar. Dia dianiaya secara beramai-ramai dengan kedua tangan terikat. Kemudian disiksa dengan cara, dipukul dengan batu dan benda keras lainnya. Setelah meninggal, mayatnya dibuang di tepi jalan dekat areal pemakaman.
Tidak cukup dengan itu, petani yang lain juga mengalami hal yang sama yaitu Tosan. Dia juga dianiaya didkeat rumahnya walaupun dia sempat melakukan perlawanan tetapi akhirnya roboh juha oleh puluhan orang yang tidak kenal. Saat ini dengan bantuan masyarakat lain Tosan dibawa dan dirawat di Rumah sakit dengan kondisi kritis.
Penolakan atas kegiatan penambangan sudah sejak lama mereka lakukan mulai dari melakukan aksi di DPRD, melakukan pengaduan ke Pemerintah pusat sampai daerah tetapi belum ada tanggapan sama sekali. Yang terjadi sebaliknya warga di desa Selok awa-awar diintimidasi oleh Kepala Desa dan kroni – kroninyanya. Karena menolak penambangan didesanya.
Kedua korban (Salim Kancil dan Tosan) adalah bagian dari petani yang dari awal sudah bersuara lantang menolak penambangan pasir di desa mereka. Karena penambangan telah mengakibatkan kerusakan dan mengancam produksi pertanian warga khususnya di Desa Selok awar-awar.
Kegiatan penambangan terjadi pada awalnya tahun 2014, ketika warga mendapat undangan dari Kepala Desa untuk sosialisasi mengenai pembuatan kawasan wisata tepi pantai obyek wisata watu pecak. Namun hingga kini hasil sosialisasi tersebut belum pernah terealisasi. Yang terjadi justru maraknya pertambangan pasir di area tersebut. Konsesi tambang pasir tersebut diduga atas nama PT. Indo Multi Mining dan lahan tersebut secara hukum merupakan hutan milik Perhutani.
Sampai hari ini penolakan terhadap tambang terus dilakukan oleh petani khususnya Desa Selok awar-awar. Petani merasa gerah karena sebagian lahannya dijadikan jalan perlintasan untuk truk pengangkut pasir. Rumah mereka pun banyak yang mengalami karat akibat terkena pasir pantai. Pada tanggal 26 September 2015, Forum Petani Anti Tambang Desa Selo Awar-Awar mengajukan pemberitahuan untuk aksi unjuk rasa menolak tambang. Aksi belum dimulai tapi yang terjadi malah pembunuhan pejuang lingkungan yang menolak penambangan pasir yang merusak lingkungan dan lahan pertanian mereka.
Kami dari organisasi masyarakat sipil menyampaikan duka yang mendalam sekaligus rasa keprihatinan atas terjadinya peristiwa ini. Bagi kami, peristiwa ini menambah deret panjang kejatahan tambang di Indonesia. Petani menjadi salahsatu aktor yang kerap menjadi korban. Oleh karena itu, Kami menuntut  pemerintah pusat untuk segera:

  1. Menuntut aparat penegak hukum termasuk kepolisian untuk segera mengusut secara tuntas pelaku pembunuhan dan penganiayaan termasuk aktor yang membekingi kejahatan tersebut;
  2. Menuntut Kementrian LHK dan Pemerintah Daerah melakukan audit perizinan tambang yang diduga berada dilahan Perhutani.
  3. Melakukan audit lingkungan dan menghentikan segala kegiatan pertambangan pasir di Lumajang;
  4. Melakukan upaya untuk melindungi hak-hak petani atas lahan produktif dan ruang kelola rakyat dari ancaman kegiatan pertambangan.

Demikian siaran pers ini disampaikan atas perhatian dan kerjasamanya terimakasih.
Kontak Person :
Muhnur Satyahaprabu/ Walhi (081326436437)
Kibagus/ Jatam (085781985822)
Ananto/ KontraS (081908871477)
Ken yusriansyah/ KPA (081210704454)
Andi Muttaqien/ Pilnet (081211996984)
Link: http://www.kpa.or.id/news/blog/konflik-tambang-memakan-korban/
 

Opini: Asap Dan Sengsara

Oleh Jalal*

http://www.mongabay.co.id/2015/09/25/opini-asap-dan-sengsara/
Indonesia tengah menghadapi dua bencana asap sekaligus.  Yang pertama merupakan bencana ‘hibrida’, kombinasi antara campur tangan manusia dengan alam. Yang kedua sepenuhnya buatan manusia. Yang pertama merupakan bencana yang punya semacam ulang tahun, kecuali di waktu-waktu tertentu ia bisa tak hadir.  Yang kedua terus menerus terjadi, tak putus-putus, dan cenderung menjadi semakin buruk.
Yang pertama tampaknya sedang tampak diurusi dengan serius oleh Pemerintah.  Yang kedua sedang diperburuk situasinya oleh Parlemen.  Keduanya melibatkan aktor dalam dan luar negeri, dengan pembagian peran yang tampak sangat jelas.
Kebakaran Hutan dan Lahan
Mari kita bicarakan bencana asap yang pertama.  Betul!  Asap kebakaran hutan dan lahan.  Biasa disingkat karhutla.  Banyak pihak yang menyatakan bahwa bila belahan dunia sedang mengalami musim kering, lalu diperparah dengan El Nino, maka peluang kebakaran hutan dan lahan menjadi meningkat.  Bisa jadi begitu, namun penting untuk diingat bahwa si bocah nakal bernama El Nino itu tak pernah membawa korek. ‘Sang bocah’ tidak memantik api. Mungkin ada kebakaran hutan yang dipicu oleh kilat, tapi itu tak berapa banyak.  Apalagi kilat itu tak sering-sering muncul di musim kering.
Promosi Riau, sebagai lokasi potensial investasi perkebunan diselimuti kabut asap. Benar-benar daerah yang sudah merasakan 'hasil' investasi perkebunan, seperti sawit, dengan suguhan kebakaran hutan/lahan dan asap setiap tahun. Foto: Riko Kurniawan
Partisipasi manusia dalam kebakaran hutan dan lahan jelas lebih tinggi proporsinya.  Manusia modernlah yang membuka hutan dengan ceroboh.  Dahulu, ketika masyarakat adat tinggal di hutan-hutan mereka melakukan perladangan berotasi.  Mereka membakar hutan untuk membuka lahan, dan memanen rabuk buat tanaman mereka.  Tak pernah terdengar kasus hutan terbakar lantaran mereka.  Tetapi, ketika modernisasi pengelolaan hutan dilakukan, HPH masuk ke tanah-tanah adat maupun tanah yang tak bertuan, transmigrasi merambah hutan, bencana kebakaran mulai terjadi.  Lebih buruk lagi, ketika hutan-hutan dibuka untuk pencetakan sawah, untuk pertambangan, dan untuk perkebunan, bencana kebakaran semakin sering terdengar.
Tampaknya sejak hutan Kalimantan terbakar hebat di tahun 1997, karhutla jadi tamu tahunan, kecuali ketika La Nina yang datang.  Perempuan kecil ini membawa banyak air, dan hutan serta lahan kitapun aman dari api.  Pernah suatu ketika seorang Menteri Kehutanan di kabinet yang lampau mengklaim keberhasilan menurunkan titik api, dengan membandingkan kondisi tahun itu (yang basah) versus tahun sebelumnya (yang kering).  Sontak saja banyak pihak yang paham memberi pelajaran yang berharga kepada si Menteri.  Bukan dia atau atasannya—yang ia sebut-sebut ketika itu—yang pantas menerima pujian, melainkan Allah atau alam, yang memang membuat kondisi kita jadi lebih baik.  Mengakui hasil karya Allah atau alam sebagai hasil kerja kementeriannya tentu tak elok.
Kebakaran lahan gambut di Kalbar. Walhi, menilai, dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan yang berulang, pemerintah hanya ribut pada soal pemadaman, bukan pada pokok persoalan, seperti penting review perizinan, bahkan pencabutan izin bagi perusahaan-perusahaan yang konsesi mereka mengalami kebakaran. Foto: Sapariah Saturi
Yang mengesalkan banyak pihak adalah bahwa kejadian ini terus saja terjadi.  Seperti tak ada pelajaran yang bisa diambil dalam 18 tahun yang menyengsarakan ini.  Tampaknya, semua hal dilupakan ketika hujan telah mulai turun, sampai kemudian hal itu terjadi lagi di musim kering tahun berikutnya.  Begitu yang terjadi terus menerus.  Penanganannya sendiri tampak sporadis, berfokus pada pemadaman ketika titik api sudah banyak, dan asap sudah mencekik seluruh sistem pernafasan masyarakat.  Kalau belum seperti itu, tampaknya semua pihak adem ayem saja.
Tetapi itu sebetulnya tak tepat betul.  Presiden SBY telah membuat banyak kemajuan dengan menegakkan moratorium penebangan hutan. Di masa kepemimpinannya pula rehabilitasi lahan yang rusak banyak dilakukan lewat berbagai program seperti ‘penanaman 1 milyar pohon’ yang melibatkan beragam pemangku kepentingan.  Satgas REDD+, lalu berubah menjadi BP REDD+, juga dibentuk dan menjalankan banyak upaya memperbaiki kondisi hutan yang telah centang perenang.
Presiden Jokowi juga demikian.  Salah satu blusukan pertamanya adalah ke lokasi langganan karhutla di Riau, dan beliau memerintahkan berbagai tindakan konkret.  Sayangnya, aparatnya belum tampak cukup sigap melaksanakan apa yang Sang Komandan perintahkan, bahkan beberapa kali terekam berita mereka melakukan sandiwara seolah bekerja.  Untungnya, di sisi hukum kita lihat kemajuan yang sangat dahsyat.  Kallista Alam dinyatakan terbukti membakar hutan dan dihukum denda Rp366 milyar oleh MA.  Ini adalah hukuman terberat bagi kejahatan lingkungan yang pernah kita catat.
Presiden Jokowi didampingi Abdul Manan dan masyarakat Desa Sei Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Riau. secara simbolis menutup dam kanal air untuk melindungi lahan gambut dari kebakaran hutan. Tebing Tinggi merupakan penghasil sagu terbesar di Indonesia. Foto : Ardiles rante / Greenpeace
Yang sedang antre di sistem pengadilan lebih dahsyat lagi tuntutannya.  National Sago Prima (NSP) telah dinyatakan bersalah dan dihukum membayar denda Rp1 trilyun.  Tapi mereka masih melakukan kasasi ke MA. Kita lihat saja kelanjutannya.  Semoga kita bisa melihat secercah keadilan, dan hasilnya akan membuat korporasi tidak lagi bertindak ceroboh atas hutan dan lahan kita.
Asap Rokok yang Tak Pernah Padam
Tak ada yang alamiah dari soal asap rokok ini.  Tentu tembakau berasal dari alam, namun pemanfaatannya sepenuhnya adalah buatan manusia.  Budidaya tembakau serta pengolahannya menjadi rokok jenis apapun adalah keputusan dan tindakan manusia.  Usianya belum terlampau lama pula.  Walaupun menggunakan tembakau itu sudah cukup lama dilakukan oleh masyarakat-masyarakat tradisional, namun budidayanya secara massif datang bersama-sama dengan imperialisme dan kolonialisme.   Tembakau adalah tanaman bernilai ekonomi tinggi yang memicu penjajahan manusia atas manusia lain.
Di Indonesia, sejarah mencatat, tembakau dibudidayakan untuk melayani kepentingan pemerintah kolonial Belanda.  Tanam paksa atau cultuurstelsel—yang sebetulnya bermakna netral ‘sistem kultivasi’—adalah jalan masuk merebaknya penanaman tembakau di Indonesia.  Tanam paksa yang berorientasi ekspor itu kemudian diikuti dengan penanaman untuk konsumsi lokal oleh para pengusaha keturunan Tiongkok yang menjadi pemilik perusahaan-perusahaan rokok di Pulau Jawa.  Setelah jumlah perokok menjadi sangat besar di negeri ini, para pemodal asing kemudian kembali  berdatangan.  Ini membuat Indonesia yang belum memiliki visi perlindungan yang kokoh bagi warganya menjadi surga terakhir industri rokok global.
Berbeda dengan karhutla yang asapnya datang pada waktu-waktu tertentu, asap rokok terus menerus ada.  Bukan hanya di tempat-tempat tertentu juga, melainkan di seluruh tempat di Indonesia.  Silakan kunjungi tempat-tempat terpencil, dan kita akan melihat asap mengepul dari mulut para perokok, dengan merk-merk yang juga kita bisa dapati di kota-kota besar.
Kami Rindu Langit Biru. Anak-anak menggunakan masker di lingkungan buruk kabut asap. Foto: Domiyanto
Karena perilaku merokok terjadi terus-menerus, dampak produksi dan konsumsinya juga demikian.  Produksi rokok global telah diketahui bertanggung jawab atas deforestasi sebanyak 200 ribu hektare setiap tahun.  Ratusan juta pohon hilang karena hutan dibabat untuk budidaya dan pengeringan tembakau yang banyak menggunakan kayu bakar.
Bagaimana dengan Indonesia? Di salah satu provinsi penghasil tembakau, Nusa Tenggara Barat (NTB), telah terjadi deforestasi yang sangat parah lantaran hal ini.  Dalam catatan WALHI NTB, sekitar 1,6 juta pohon ditebang setiap tahunnya untuk melanjutkan budidaya dan pengeringan tembakau.  Kalau kecenderungan ini berlanjut, WALHI NTB mengkhawatirkan provinsi ini akan benar-benar tak memiliki hutan dalam luasan yang cukup untuk menopang kehidupan masyarakat dalam satu dekade ke depan.
Di sisi konsumsi, sudah banyak diketahui orang dampak kesehatannya.  Beragam penyakit tidak menular, kecuali kecelakaan, terkait dengan konsumsi rokok.  Tobacco Atlas 2015 mencatat konsumsi rokok membunuh sekurang-kurangnya 217.400 orang Indonesia di tahun 2014, dengan setidaknya 25.000 di antaranya adalah perokok pasif.  Kalau dihitung dengan ekonomi kesehatan, pada tahun 2013 biaya kesehatan yang timbul mencapai sedikitnya Rp378,75 triliun.  Sementara, pada tahun yang sama, cukai—alias pajak dosa atau sin tax—yang dibayarkan kepada Pemerintah hanyalah Rp103 triliun.  Tahun itu Pemerintah dan masyarakat Indonesia tekor Rp275,75 triliun!
Belum lagi biaya-biaya sosial dan lingkungan lain yang timbul.  Kalau kita berselancar di Googledengan menggunakan kata kunci ‘rokok kebakaran hutan’, kita akan menemukan banyak sekali kasus.  Ini juga menambahi parahnya bencana asap.  Belum lagi soal puntungnya yang merupakan bahan non-biodegradable dan mengandung banyak racun.  Negeri kita sudah lama menetapkan nikotin sebagai bahan beracun dan berbahaya (B3), tapi puntung rokok tetap bisa dibuang sembarangan tanpa konsekuensi apapun bagi pembuatnya maupun pembuangnya.
Kondisi itu semua akan menjadi semakin buruk kalau kita membiarkan Parlemen bermain mata dengan industri rokok.  Dahulu, Presiden SBY sudah menetapkan bahwa seharusnya di tahun 2015 ini jumlah rokok yang diproduksi di Indonesia dibatasi pada angka 260 milyar batang per tahun, dan itu diberlakukan hingga tahun 2020.  Dalam Perpres bertajuk Roadmap Industri Hasil Tembakau itu juga dinyatakan bahwa mulai tahun 2015 pertimbangan utamanya adalah kesehatan.  Namun, yang sedang dilakukan oleh parlemen benar-benar tidak menghormatinya.
Lewat RUU Pertembakauan dan RUU Kebudayaan, parlemen sedang merancang epidemi tembakau yang jauh lebih dahsyat dibandingkan masa lalu.  Kini produksi rokok telah mencapai 362 milyar batang—alias 102 milyar di atas ambang batas yang dibuat oleh Presiden SBY—tapi produksi akan digenjot terus.  Di sisi lain, petani dan pekerja tidak mendapatkan perlindungan apa-apa.
Retorika pembelaan terhadap petani dan pekerja terus diluncurkan oleh anggota Parlemen yang mengajukan kedua RUU, namun bila diperiksa satu persatu pasalnya, tak ada sama sekali yang bisa dikatakan sebagai pembelaan itu.  Yang ada malahan adalah rancangan untuk memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan di Indonesia menjadi pelayan kepentingan industri rokok, dengan menjamin perusahaan rokok bisa terus meningkatkan produksinya, dan seluruh pihak lain akan menanggung semua ekstrenalitas negatif dari produksi dan konsumsi rokok.
Kepentingan Asing dan Para Komprador
Kita punya kepentingan yang sangat kuat dan mendesak untuk memastikan kondisi keberlanjutan di Indonesia.  Untuk itu, kecenderungan destruktif yang menyebabkan dua jenis bencana asap yang menyengsarakan bangsa Indonesia itu harus dibalik.  Kondisi yang menyebabkan bencana karhutla telah membuat kita gagal mencapai tujuan 7 dari Millennium Development Goals (MDGs) di tahun ini; sementara produksi dan konsumsi yang menyebabkan bencana asap rokok telah menghambat kita mencapai tujuan 1, 2, 4, 5 dan 7 dari MDGs sekaligus!
Foto Hanum Angriawati, di dinding rumahnya. Dia meninggal dunia karena gagal pernafasan. Foto: Made Ali
Kalau kita cermati tujuan-tujuan dan target Sustainable Development Goals (SDGs), maka kedua bencana asap ini akan membuat kita kesulitan mencapainya lagi di tahun 2030.  Tujuan 13 dan 15 jelas akan sangat sulit dicapai bila masalah di belakang karhutla tidak kita selesaikan dengaan tuntas.  Tapi, itu tak ada apa-apanya dibandingkan dengan bencana asap rokok.  Dua peneliti dari Jerman, van Eichborn dan Tanzmann telah menguliti kaitan antara produksi dan konsumsi rokok dengan tujuan dan target SDGs dengan sangat terperinci.
Hasilnya?  Setidaknya 11 dari 17 Tujuan dari 68 dari 169 Target SDGs tak akan bisa dicapai dengan mudah, kalau malah bukan mustahil, bila produksi dan konsumsi rokok tidak dikendalikan.  Hal itu dituangkan dalam dokumen yang tajuknya mencerminkan kesimpulan mereka, Tobacco: Antisocial, Unfair, Harmful to the Environment (van Eichborn dan Tanzmann, 2015).
Kalau kemudian kita cermati, seluruh ancaman itu bahkan tidak sepenuhnya datang dari perilaku kita sendiri, warga negara Indonesia.  Studi yang dilakukan oleh Transformasi untuk Keadilan Indonesia menemukan bahwa para pemodal asing berada di balik kebun-kebun sawit Indonesia, sektor yang ditengarai  banyak terkait dengan kebakaran hutan.  Hasil studi yang diberi judul Kuasa Taipan Kelapa Sawit di Indonesia (TUK Indonesia, 2015) menemukan bahwa bank-bank dan investor asing lainnya adalah pemodal besar di balik operasi kebun-kebun dan pabrik pengolahan kelapa sawit di negeri ini.  Memang belum tentu kelompok-kelompok besar yang membakar atau membiarkan lahannya terbakar, namun di antara yang sedang berada di proses hukum jelas ada perusahaan-perusahaan sawit yang pemodalnya asing.
Dalam hal ini, lagi-lagi bencana asap rokok lebih berbau kepentingan asing.  Pemilik Sampoerna sekarang adalah Philip Morris, dan Bentoel dikuasai oleh BAT.  Keduanya sudah lama diketahui sebagai perusahaan dengan pemodal asing yang menguasai pangsa pasar yang cukup besar.  Kombinasi keduanya saja sudah mencakup sekitar 43% pangsa pasar rokok Indonesia.  Tetapi, pencarian di dunia maya secara selintasan juga memberikan petunjuk-petunjuk awal bahwa sesungguhnya Gudang Garam dan Djarum juga bukanlah lagi merupakan perusahaan nasional.  Beberapa situs menunjukkan bahwa sudah lebih dari satu dekade Gudang Garam sebetulnya dimiliki oleh Imperial Tobacco.  Sementara, pada periode yang kurang lebih sama, Djarum dibeli oleh Gallaher Group.  Gallaher Group sendiri kemudian dibeli oleh Japan Tobacco Internasional (JTI) di tahun 2007.  JTI sendiri sudah membeli Wismilak.  Kalau pangsa pasar kelima perusahaan ini digabung, proporsi 83% produksi rokok sudah terlampaui.
Tentu, kita tak bisa bersikap anti-asing yang gegabah di masa sekarang.  Hubungan dengan pemodal  asing juga sangat banyak menguntungkan kita.  Namun, kalau pemodal asing itu kemudian menghadirkan bencana-bencana kepada kita, sudah sepantasnya kita bersikap tegas.  Demikian juga sikap kita seharusnya kepada para kompradornya yang berkewarganegaraan Indonesia.  Kalau kita ingin Indonesia yang berkelanjutan, perilaku mereka harus dihentikan.  Kalau kita yakin bahwa bencana asap karhutla akan mereda bila korporasi yang terlibat itu dihukum dengan denda yang mahal, tidakkah kita seharusnya mengupayakan hal yang sama untuk bencana asap rokok?

Komite Aksi Hari Tani Nasional: Laksanakan Reforma Agraria dan Tuntaskan Konflik Agraria

Jpeg
Depan Istana Negara, Senin, 21 Sepember 2015. Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September setiap tahunnya, kali ini diperingati pada 21 September 2015 karena berbarengan dengan Perayaan Hari Raya Idhul Adha yang tahun ini jatuh pada tanggal 24 September.
Massa aksi dari berbagai serikat tani, organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa berkumpul di pelataran parkir Masjid Istiqlal lalu kemudian bergerak menuju Istana Negara untuk menyuarakan apa yang menjadi tuntutan mereka selama ini. Aksi dimulai pada pukul 09.30 dan berakhir 13.00 wib. Hari Tani Nasional tahun ini dihadiri kurang lebih 1.000-an orang massa aksi.
Pemerintah Jokowi-Jk berjanji untuk menjalankan Reforma Agraria. Janji itu dituliskan dalam Nawa Cita, diantaranya progran redistribusi tanah 9 juta hektar dan penyelesaian konflik agraria. Janji Nawa Cita tersebut telah tertuang dalam RPJMN 2015-2019. Namun, hampir setahun pemerintahan Jokowi-JK berkuasa, tanda-tanda pelaksanaan program ini belum terlihat.
Malah yang terjadi, setahun ini praktik liberalisasi dan komersialisasi diberbagai sektor agraria terus berjalan di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Masih berlakunya beragam peraturan perundangan yang memberi keleluasaan investasi dalam skala besar, telah menghasilkan prkatik monopoli sumber-sumber agraria dan tingginya angka ketimpangan agraria di Indonesia.
Dampaknya di sektor petanian , tahun 2013 BPS mencatat sekitar 56% penduduk pedesaan merupakan buruh tani atau petani gurem dengan kepemilikan tanah rata-rata di bawah 0,5 Ha. Selain itu, indeks gini tanah nasional mencapai angka 0,72 yang mengindikasikan bahwa struktur kepemilikan dan penguasaan tanah sangat timpang. Di sektor kehutanan, terdapat 452 perusahaan pengelola hutan yang menguasai 35,8 juta hektar. Khusus di Jawa, monopoli atas tanah kawasan hutan dilanggengkan oleh PT.Perhutani yang menguasai lebih dari 2,5 juta hektar. Di sektor perkebunan, korporasi sawit telah menguasai 13,439 juta hektar dan tiap tahunnya bertambah setengah juta hektar. Bahkan, sebagian lahan tersebut merupakan hasil konversi lahan hutan maupun lahan pertanian produktif masyarakat.
Di tengah kondisi demikian, pemerintah dituntut untuk mengmabil jalan yang mampu mendorong perombakan struktur agraria yang monopolistik dan timpang. Sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Maka, desakan dan tuntutan Komite Aksi Hari Tani Nasional 2015 sebagai berikut:

  1. Laksanakan Reforma Agraria
  2. Bentuk Lembaga Pelaksana Reforma Agraria di Bawah Presiden
  3. Menolak Kebijakan-kebijakan Liberalisasi  Sumber Agraria di Bidang Pertanahan, Kehutanan, Perkebunan, Pertanian, dan Pertambangan oleh Pemerintah Jokowi-JK.

Jakarta, Senin, 21 September 2015.
Komite Hari Tani Nasional 2015
(KPA, API, STI Indramayu, SEPETAK Karawang, FPBI, SMI, GPM Majalengka, KIARA, WALHI, ELSAM, KontraS, TuK INDONESIA, Sawit Watch, IHCS, SPKS, SP, SP Jabodetabek, Bina Desa, SainS, PIL-Net, KPOP, JKPP, JATAM, RMI, AMANAT Bogor, Pusaka)
Iwan Nurdin (Koordinator Umum) dan Bonai (Koordinator Lapangan Aksi)
 

Evaluasi Satu Tahun Kementerian ATR/BPN

evaluasi-1th-kemenATR-820x423KPA/Jakarta,15-09-2015; Makin maraknya konflik agraria dari tahun ke tahun dan makin rumitnya persoalan penataan tanah di Indonesia dibahas dalam Diskusi Dialog Nasional dengan tema Evaluasi Satu (1) Tahun Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional  di Ruang Rapat KK-2, Gedung Nusantara, MPR/DPR RI.
Dalam acara tersebut hadir sebagai narasumber Gunawan Wiradi Ketua Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Kepala Panitia kerja Pertanahan Komisi II DPR Arif Wibowo, Direktur Hubungan Masalah Agraria/Pemanfaatan Ruang dan Tanah Kementerian ATR/BPN mewakili Direktorat Jenderal Hubungan Masalah Agraria/Pemanfaatan Ruang dan Tanah ( Bapak Bambang Tri) dan Iwan Nurdin Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Acara dibuka oleh Pimpinan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Bapak Bambang Wuryanto dengan Moderator Dewi Kartika Wakil Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria  dalam pembukaannya Pak Bambang berharap masukan dari diskusi ini dapat memberikan saran dan kritikan terhadap Kementerian ATR/BPN agar bekerja lebih baik ke depannya.
Rasa amat kecewa dilontarkan oleh Pak Arief Wibowo yang mengatakan selama ini ada 435 kasus pertanahan yang diterima oleh Komisi II DPR RI selama periode 2009 – 2014 yang mangkrak tak pernah diselesaikan oleh Kementerian ATR/BPN, ia meminta agar Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dapat menjalankan program – program pokok yang dapat menyelesaiakan permasalahan konflik agraria.
Kritikan tajam juga disampaikan oleh Gunawan Wiradi yang menganggap program kerja yang saat ini dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional bukanlah Reforma Agraria melainkan redistribusi tanah atau bagi – bagi tanah, Iwan Nurdin mengatakan bahwa adalah hasil kerja keras dari berbagai elemen masyarakat sipil agar Badan Pertanahan Nasional menjadi Kementerian agar wewenangnya menjadi lebih tinggi bukan hanya mengurus soal administrasi pertanahan namun juga mengatur penataan tanah agar lebih dapat dimanfaatkan oleh masyarakat namun kenyataannya selama satu tahun berdirinya Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional tidak berubah hanya tetap menjadi tukang menyertifikatkan tanah.
Sebenarnya kami memahami atas kritikan masyarakat terhadap Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional yang bekerja belum optimal bahkan dibilang hanya mengurus persoalan administrasi pertanahan bukan persoalan agraria maupun tata ruang pertanahan, saat ini kami sedang melakukan perbaikan baik dari kebijakan maupun pelayanan terhadap masyarakat, oleh karena kami membutuhkan dukungan dari lembaga maupun organisasi masyarakat sipil agar tetap mengawal Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang baru berumur satu tahun demikian yang disampaikan oleh pihak Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional.
Sebagai penutup Dewi Kartika menyampaikan adalah kewajiban bersama bagi koalisi masyarakat sipil untuk tetap mengawal keberadaan Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Badan Pertanahan Nasional untuk menjalankan fungsi dan wewenangnnya sebagai pengelola dan pengatur kebijakan disektor agraria.
Acara diskusi dialog nasional dihadiri oleh Jaringan Konferensi Nasional Pembaruan Agraria seperti Walhi, IHCS, Solidaritas Perempuan, Elsam, Sawit Watch, JKPP, Tuk Indonesia, Aliansi Gerakan untuk Reforma Agraria, FPBJ, dan kalangan media massa (AS).
Link: http://www.kpa.or.id/news/blog/evaluasi-satu-tahun-kementerian-atrbpn/

Siaran Pers Bersama – Komite Aksi Hari Tani Nasional

siaran persMendesak Jokowi-JK untuk Melaksanakan Reforma Agraria Sejati
Pemerintahan Jokowi-JK melabeli salah satu program di RPJMN sebagai reforma agraria. Program tersebut meliputi redistribusi tanah, legalisasi aset dan bantuan pemberdayaan masyarakat. Sejumlah 9 juta hektar tanah dialokasikan untuk redistribusi dan legalisasi. Pemerintah menetapkan tanah seluas 4,5 juta hektar lewat legalisasi asset (sertifikasi), sementara 4,5 juta hektar tanah lewat redistribusi tanah yang sebagian besar melalui proses pelepasan kawasan hutan.
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN sebagai implementor bagi program tersebut belum menyiapkan berbagai prasyarat implementasi, baik landasan hukum hingga strategi pelaksanaan. Sehingga, hingga saat ini belum terdapat kejelasan pelaksanaan dari program tersebut. Di sisi lain, berbagai organisasi masyarakat sipil yang tergabung kedalam Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) menilai bahwa program yang diklaim sebagai reforma agraria oleh Jokowi-JK bukan sebagai reforma agraria sejati.
Selain masih cenderung terbatas dan sektoral, program yang diklaim sebagai reforma agraria oleh Jokowi-JK belum diorientasikan pada penyelesaian berbagai persoalan agraria secara menyeluruh, mulai dari ketimpangan struktur pemilikan dan penguasaan tanah, konversi lahan-lahan pertanian, penurunan jumlah petani hingga konflik agraria. Tanpa orientasi dari pemerintahan saat ini untuk menyusun langkah-langkah guna menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, maka program dalam RPJMN yang tercatat sebagai reforma agraria, bukan merupakan reforma agraria sejati.
Di tahun 2014, rasio gini tanah tercatat 0,72 yang mana menandakan ketimpangan pemilikan dan penguasaan masih terjadi hingga saat ini. Bahkan, dengan minimnya langkah-langkah pemerintah untuk meminimalisir ketimpangan tidak menutup kemungkinan angka tersebut akan terus membengkak. Kemudian, persoalan penurunan jumlah petani tak kalah mengkhawatirkan, dimana dalam catatan BPS, telah terjadi penurunan sebesar 5 juta rumah tangga petani dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.
Lebih lanjut, persoalan konflik agraria juga belum menemukan titik terang di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Meski dalam catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah terjadi 472 kasus konflik di tahun 2014 yang melibatkan 105.887 kepala keluarga, belum ada keseriusan pemerintah untuk menghentikan peningkatan angka konflik. Di sisi lain, tindakan kekerasan maupun kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, aktivis agraria, dan kelompok masyarakat lainnya masih terjadi, dan KPA mencatat di tahun 2014, terdapat 19 orang tewas, 107 dianiaya, 17 orang tertembak dan 225 orang ditangkap. Adapun, pelaku kekerasan di dominasi oleh aparat kepolisian, preman dan TNI.
Selain itu, berbagai persoalan terkini juga turut menambah pelik kondisi agraria di Indonesia, sebut saja tingginya angka impor produk pangan, kekeringan hingga kebakaran lahan. Dalam kebijakan impor, Jokowi-JK tak berbeda dengan pemerintah terdahulu karena cenderung masih bertopang terhadap impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Terlebih, adanya kekeringan yang melanda berbagai daerah hingga saat ini menambah kuat alasan pemerintah untuk membuka keran impor. Alasan lain, sebagaimana diungkap oleh Gubernur BI, bahwa impor pangan dibutuhkan untuk menjaga inflasi ditengah pelemahan nilai tukar rupiah.
Secara spesifik, persoalan kekeringan yang terjadi di banyak daerah, terutama di sebagian daerah yang menjadi lumbung pangan merupakan indikasi kuat dari ketidaksiapan pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap petani. Tak hanya itu, minimnya perhatian pemerintah terhadap petani dan sektor pertanian menyebabkan tidak adanya langkah-langkah antisipatif dalam menghadapi kekeringan, ataupun ancaman-ancaman lain di sektor pertanian secara khusus, maupun sektor-sektor agraria lain secara umum.
Persoalan lain, dalam kasus kebakaran lahan di beberapa daerah, pemerintah terlihat belum memiliki keseriusan untuk menghentikan praktik pembakaran lahan yang disinyalir dilakukan oleh beberapa perusahaan besar guna melakukan konversi lahan secara massif. Tak hanya itu, kebakaran lahan juga mengindikasikan bahwa pemerintah pusat dan daerah belum mampu mengatur secara tegas peruntukan dan pemanfaatan lahan-lahan di banyak daerah. Sehingga, konversi lahan-lahan produktif terus terjadi, bahkan tak jarang konversi lahan dilakukan tanpa pertimbangan yang cukup, layaknya praktik perluasan perkebunan sawit.
Di tengah kondisi demikian, pemerintah tidak bisa abai dan menutup mata atas realitas yang terjadi. Perubahan secara menyeluruh dalam berbagai sektor agraria mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah, karena tanpa itu, krisis di ragam sektor agraria menjadi tak terhindarkan. Maka, sebagai wujud niat dan komitmen politik pemerintahan Jokowi-JK untuk mendorong dan melaksanakan penyelesaikan persoalan agraria, pembentukan lembaga pelaksana reforma agraria di bawah otoritas Presiden menjadi mendesak untuk diwujudkan. Lembaga tersebut nantinya akan menyusun dan melakukan aksi nasional pelaksanaan reforma agraria sejati di Indonesia yang melibatkan kementerian lintas sektor, masyarakat, dan lainnya.
Berdasarkan paparan dan data diatas, dalam kesempatan ini kami dari Komite Aksi Hari Tani Nasional, sekali lagi menegaskan:
Pemerintahan Jokowi JK harus segera melaksanakan reforma agraria sejati dan menyelesaikan konflik agraria
Bentuk segera badan khusus dibawah Presiden yang bertugas melaksanakan aksi nasional reforma agrarian.
Menyerukan kepada seluruh organisasi rakyat, baik petani, buruh, kaum perempuan, mahasiswa dan masyarakat miskin perkotaan untuk bersatu dan mendukung rangkaian aksi serentak pada momen hari tani nasional 2015.
Demikian siaran pers, kami sampaikan untuk menjadi perhatian bersama.
KPA, API, STI Indramayu, SEPETAK Karawang, FPBI, SMI, GPM Majalengka, KIARA, WALHI, Elsam, KontraS, TuK Indonesia, Sawit Watch, IHCS, SPKS, SP, SP Jabodetabek, Bina Desa, SainS, Pilnet, KPOP, JKPP, JATAM, RMI, AMANAT Bogor, Pusaka
Jakarta, 13 September 2015
Juru Bicara Komite Aksi Hari Tani Nasional
Kent Yusriansyah
Kepala Departemen Penguatan Organisasi Rakyat/ Biro Bantuan Hukum KPA

Panggung Kebudayaan Rakyat “Anti Penggusuran, Perampasan Tanah dan Pelanggaran HAM”

IMG_20150904_153149Penggusuran, perampasan tanah dan pelanggaran HAM, terjadi diberbagai daerah di Indonesia dan terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Proyek-proyek infrastruktur, perluasan perkebunan, pertambangan besar dan konservasi, pada prakteknya telah menyingkirkan rakyat dari tanah dan penghidupannya. Tidak jarang, setiap penggusuran dan perampasan tanah menimbulkan perampasan HAM warga negara, baik secara ekonomi, sosial, kebudayaan maupun hak sipil politiknya.
Pada banyak kasus, penggusuran, perampasan tanah justru menempatkan pemerintah sebagai aktor utama sehingga pelanggaran HAM yang terjadi dapat dikatakan dilakukan oleh negara.
Bagi rakyat, tanah adalah penghidupan mereka, sehingga penggusuran dan perampasan tanah adalah ancaman terhadap keberlangsungan penghidupan rakyat. Monopoli tanah oleh segelintir orang yang mengakibatkan jutaan rakyat kehilangan tanah dan penghidupan justru menjadi agenda utama pemerintahan atas nama pembangunan, atas nama kedaulatan pangan, atas nama krisis energy dan lain sebagainya.
Bagi rakyat, tidak ada tanah maka tidak ada kehidupan, penggusuran, perampasan tanah dan pelanggaran HAM oleh negara harus dihentikan, upaya publikasi dan kampanye atas ancaman keberlanjutan hidup bagi rakyat akibat penggusuran, perampasan tanah dan pelanggaran HAM menjadi penting untuk terus disuarakan melalui berbagai cara.
Panggung kebudayaan “Anti Penggusuran, Perampasan Tanah dan Pelanggaran HAM” menjadi salah satu upaya dalam mengakampanyekan masalah-masalah tersebut. Hal inilah yang melatar belakangi berbagai organisasi massa dan masyarakat sipil berinisiatif untuk menyelenggarakan panggung kebudayaan dan mimbar bebas untuk memberikan ruang kepada berbagai pihak yang berkeinginan untuk menyuarakan aspirasi dan gagasan-gagasannya.
Bentuk Kegiatan :
Kegiatan Panggung Budaya dan Mimbar Bebas yang mengambil tema “Tidak Ada Tanah, Tidak Ada Kehidupan”, akan menampilkan berbagai kegiatan, diantaranya; Pentas Musik, Teater, Puisi, Speak Out dan Testimoni korban, serta pandangan-pandangan tokoh maupun pimpinan organisasi.
Tujuan :
Tujuan diselenggarakannya Panggung Kebudayaan Rakyat ini adalah untuk mengkampanyekan secara luas masalah-masalah yang berkaitan dengan penggusuran, perampasan tanah, pelanggaran HAM, serta berbagai persoalan pokok rakyat Indonesia yang sedang terjadi saat ini.
Waktu Pelaksanaan :
Waktu pelaksaan Panggung Kebudayaan Rakyat Anti Penggusuran, Perampasan Tanah dan Pelanggaran HAM – “No Land No Life”, akan diselenggarakan pada :
Hari/Tanggal : Sabtu, 5 September 2015
Waktu : Pukul 13.00-21.00 WIB
Tempat : Halaman Gedung Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro No. 74, Jakarta Pusat

Polisi dan staf BIN masuk capim KPK, Jimly tak lolos

150714085026_panitia_seleksi_pimpinan_kpk_640x360_bbc1 September 2015
Dari delapan nama calon pimpinan KPK yang diserahkan kepada Presiden Joko Widodo, terdapat unsur BIN, polisi, hakim, dan pejabat lembaga negara.
Presiden Jokowi mengumumkan delapan nama calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi hasil seleksi tim panitia seleksi itu di Istana Negara, Selasa, (1/9/15).
Menurut Presiden, ia tak akan melakukan campur tangan terhadap hasil seleksi itu dan akan mengirimkan ke-delapan nama itu ke DPR, untuk dilakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test)
“Segera, besok saya siapkan suratnya untuk segera saya sampaikan kepada DPR,” kata Jokowi seperti dikutip Kompas.
Dari delapan nama hasil seleksi yang diterima Presiden, tidak terdapat nama Jimly Asshiddiqie -bekas Ketua Mahkamah Konstitusi.
Lepas dari kekuatiran para pegiat anti korupsi tentang kuatnya upaya lembaga-lembaga pemerintah menyodorkan calon, terdapat dua nama di seleksi akhir yang terkait unsur pemerintah.
Yakni Staf ahli Kepala Badan Inteljen Negara, BIN, Saut Situmorang, dan Brigjen (Pol) Basaria Panjaitan. Juga terdapat hakim Ad Hoc Tipikor PN Jakarta Pusat Alexander Marwata, dan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan Agus Rahardjo.

‘Berusaha netral’

Unsur yang tak terkait lembaga pemerintah juga berjumlah empat orang: pengacara publik Surya Tjandra, akademisi Universitas Hasanuddin Makasar, Laode Muhammad Syarif, serta dua tokoh dari KPK: Johan Budi SP (Pelaksana tugas pimpinan KPK), dan Sujanarko (Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antar-Komisi dan Instansi KPK)
Ketua Pansel Destry Damayanti kepada Ging Ginanjar dari BBC Indonesia mengatakan, pemilihan itu sama sekali tak didasarkan pada keterwakilan, melainkan pada, terutama integritas dan kompetensi.
“Kita berusaha senetral mungkin,” papar Destry.
“Kita tak melihat dari unsur mana pun asalnya. Kita melihat benar-benar berdasarkan kemampuan individual,” tegasnya.
Munculnya nama staf ahli Kepala BIN, misalnya “karena dia memiliki kemampuan IT. Dia bisa mengembangkan sistem informasi dan manajemen. Lalu Kepala LKPBJPP -pengadaan barang dan jasa, itu terkait pada fakta bahwa korupsi di Indonesia banyak terkait pengadaan barang dan jasa, ia bisa sangat potensial dalam upaya pencegahan -dia sudah pensiun sekarang ini.”
Tentang kemunculan nama Brigjen (Pol) Basaria Panjaitan, Destry mengatakan: “Basaria kami pilih karena hasil penilaian individual, baik dari hasil tes kesehatan, wawancara dan catatan dari trackers. Kami tidak melihat institusi yang bersangkutan.”
Berlainan dengan tradisi sebelumnya, kali ini Pansel Capim KPK juga membagi delapan nama itu dalam empat kompetensi: kategori pencegahan (Saut Situmorang dan Surya Chandra,) kategori penindakan (Alexander Marwata dan Basariah Panjaitan), kategori manajemen (Agus Rahardjo dan Sujanarko) serta kategori supervisi dan pengawasan (Johan Budi Sapto Prabowo dan Laode Muhammad Syarif.)
Link:
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/09/150901_indonesia_8capim_kpk

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Inilah Delapan Nama Calon Pimpinan KPK yang Diumumkan Presiden Jokowi

Selasa, 1 September 2015 11:43 WIB

 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA Presiden Joko Widodo, Selasa (1/9/2015), mengumumkan delapan nama calon pimpinan KPK yang dinyatakan lolos seleksi wawancara terbuka.

Pengumuman delapan nama Pansel KPK tersebut dilakukan Presiden Jokowi di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, bersama sembilan srikandi anggota pansel KPK.

“Delapan orang itu adalah dibagi menjadi empat, yang berkaitan dengan pencegahan, penindakan, manajemen dan supervisi, koordinasi serta monitoring,” ujar Presiden Jokowi.

Berikut nama-nama yang diumumkan Presiden Jokowi:

Bidang Pencegahan:

Saut Situmorang (Staf Ahli Kepala BIN), Surya Tjandra (Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya)

Bidang Penindakan:

Alexander Marwata (hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta), Basaria Panjaitan (Sespimti Polri)

Bidang Manajemen:

Agus Rahardjo (mantan Kepala LKPP), Sujanarko (Direktur Pembinaan Kerjasama Antar Komisi dan Instansi KPK).

Bidang Supervisi:

Johan Budi Sapto Prabowo (Plt Pimpinan KPK) dan Laode Muhamad Syarif (Dosen Fakultas Hukum Universitas Hassanudin).

Beberapa nama yang sempat diunggulkan, yaitu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqqie tidak lolos

Sementara capim KPK perempuan, Nina Nurlina pun tidak dibacakan Presiden Jokowi.

Link:
http://www.tribunnews.com/nasional/2015/09/01/inilah-delapan-nama-calon-pimpinan-kpk-yang-diumumkan-presiden-jokowi

xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx

Seleksi Calon Pemimpin KPK, 8 Orang Ini Minim Kontroversi

JUM’AT, 28 AGUSTUS 2015 | 10:34 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Sembilan anggota panitia seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini akan berembuk di Kementerian Sekretariat Negara setelah Rabu lalu menuntaskan seleksi tahap akhir berupa wawancara terbuka.
Ketua panitia seleksi, Destry Damayanti, mengatakan rapat akan mengkompilasi hasil verifikasi, rekam jejak, dan tes kesehatan para calon. “Keputusan memilih delapan nama baru akan diambil Ahad besok,” kata Destry dalam wawancara kepada Tempo di Plaza Mandiri, Jakarta, Kamis 27 Agustus 2015.
Dari 19 calon yang ikut seleksi tahap akhir itu, ada delapan nama yang minim mendapat sorotan negatif dari pansel saat menjalani wawancara terbuka, 24-26 Agustus lalu.
Setidaknya, kedelapan calon ini tidak ditanya ihwal harta kekayaan atau dimintai konfirmasi mengenai kedekatannya dengan kekuasaan atau pemilik modal yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Beberapa dari delapan nama itu juga dinilai layak memimpin KPK periode 2015-2019 oleh sebagian kalangan.
Tumpak Hatorangan Panggabean, Ketua KPK periode 2003-2007, misalnya, menyebut salah satu anak didiknya di KPK, Johan Budi Sapto Pribowo. “Integritasnya tak perlu diragukan. Mereka terlatih untuk tidak terpengaruh apa pun selain bekerja,” ujarnya saat dihubungi.
Berikut delapan nama calon pemimpin KPK yang minim kontroversi:
1. Johan Budi Sapto Pribowo, 49 tahun
Pelaksana Tugas Pemimpin KPK
Banyak yang saya lakukan tapi tidak bisa mengklaim itu karena effort pribadi saya, itu kerja tim.”
2. Agus Raharjo, 59 tahun
Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2010-2015)
Koruptor di KPK itu masih ketawa-ketawa, keluar penjara masih kaya dan dihormati. Kalau sudah tertata dengan baik, ada hukuman lingkungan sekitar.”
3. Sujanarko, 54 tahun
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Sama Antarkomisi dan Instansi KPK
Ketika melacak aset-aset pejabat, uangnya habis untuk foya-foya, mabuk, dan perempuan. Ini yang belum bisa dijerat.”
4. Giri Suprapdiono, 41 tahun
Direktur Gratifikasi KPK
Ketika jadi value, lebih baik mencegah dibanding penindakan, karena tidak terjadi kerusakan. Tapi kalau penegak hukum, harus ada pencegahan dan penindakan.”
5. Surya Chandra, 44 tahun
Pengacara Publik, Dosen Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta
Pimpinan harus bekerja serius, enggak usah main publikasi-publikasi. Kita tunjuk empat juru bicara.”
6. Chesna Fizetty Anwar, 54 tahun
Direktur Kepatuhan Bank Standard Chartered
Setiap proses harus selalu ada improvement yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.”
7. Budi Santoso, 51 tahun
Komisioner Ombudsman
Minimnya pegawai KPK bisa bersinergi dengan Ombudsman.”
8. Sri Harijati, 57 tahun
Direktur Perdata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung
Saya setuju penyidik independen, karena jumlah perkara yang ditangani KPK sangat banyak.”
ISTIQOMATUL HAYATI | LINDA TRIANITA | AGOENG WIJAYA 
Link:
http://www.tempo.co/read/fokus/2015/08/28/3244/seleksi-calon-pemimpin-kpk-8-orang-ini-minim-kontroversi