Aksi Petani Gondang Tapen, Bilitar di Depan Kedubes Swiss dan Kantor Holcim Indonesia

20150420_114736Senin, 20 April 2014, di Depan Gedung Kedutaan Besar Swiss dan Kantor Pusat Holcim Indonesia.
Menindaklanjuti pengaduan atas tindakan PT Holcim Tbk melalui anak perusahaannya PT Semen Dwima Agung (SDA) terhadap para petani yang ada di Gondang Tapen, Blitar terkait dengan keterancaman para petani setelah perusahaan tersebut mendapatkan ijin untuk mengembangkan dan membangun pabrik produksi di wilayah mata pencaharian mereka. Dan setelah melakukan Pernyataan Bersama terkait konflik dan permasalahan antara para petani di Gondang Tapen, Blitar dengan pihak perusahaan semen besar dari negara Swiss PT Holcim pada tanggal 19 April 2015.
Hari ini, para petani melakukan aksi, orasi dan berunjuk rasa di depan gedung Kedutaan Besar Swiss di kawasan Kuningan dan kantor pusat Holcim Indonesia di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Rangkaian kegiatan yang dimulai mulai dari Konferensi Pers pada anggal 19 April 2015 hingga unjuk rasa ini dikawal dan didampingi oleh kawan-kawan jaringan yang memang selama ini mendampingi kasus tersebut, diantaranya ELSAM, TuK INDONESIA, PIL-Net, AURIGA, KPA, Sitas Desa dan Fransiscans International.
Para petani sendiri sudah bergerak dari Blitar Jawa Timur menuju Jakarta pada tanggal 18 April 2015 melalui jalur darat, dan tiba di Jakarta Senin pagi 20 April 2015. Masa aksi yang dipimpin oleh saudara Qori dan Irwan ini kemudian langsung bergerak menuju Kedubes Swiss, yang merupakan negara asal dari perusahaan Holcim Tbk tersebut, dengan harapan dapat bertemu dan berdialog dengan pimpinan di Kedubes Swiss dan memastikan bahwa ini kasus ini juga menjadi perhatian serius oleh Pemerintah Swiss. Tapi sayang, massa aksi gagal menemui dan berdialog dengan pihak Kedubes Swiss dikarenakan semua pimpinan sedang menghadiri undangan pembukaan acara Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Jakarta.
Setelah berunjuk rasa di depan gedung Kedubes Swiss kurang lebih satu jam lamanya, pukul 11.00 wib massa aksi bergerak menuju kantor pusat Holcim Indonesia di daerah Cilandak, dan mulai berunjuk rasa di depan gedung Talavera yang merupakan domisili kantor pusat Holcim Indonesia. Pada kesempatan kali ini, perwakilan dari petani dan LSM yakni ELSAM dan TuK INDONESIA, berhasil bertemu dan berdialog langsung dengan pihak perusahaan untuk mengadukan apa yang menjadi permasalahan yang terjadi. Setelah bertemu dengan pihak perusahaan, diantara hasil dari pertemuan tersebut adalah bahwa perusahaan akan datang ke Gondang Tapen, Blitar untuk bertemu dan berdialog langsung dengan petani dan masyarakat setempat, perusahaan juga akan membentuk tim khusus yang akan melakukan verifikasi kembali terhadap tanah dan para petani yang berada di wilayah tersebut.
Unjuk rasa berakhir tepat pukul 13.00 wib, massa membubarkan diri dan para petani melanjutkan perjalanan kembali menuju Blitar, Jawa Timur.

Pernyataan Pers Bersama: Menuntut Tanggung Jawab Holcim Ltd. Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo

siaran persPernyataan Pers Bersama
ELSAM – Fransiscans International – Sitas Desa – Paguyuban Petani Aryo Blitar – TuK Indonesia – Konsorsium Pembaruan Agraria – AURIGA

Menuntut Tanggung Jawab Holcim Ltd. Atas Pengambilalihan Hak Kelola Masyarakat Ringinrejo
Jakarta, 19/04 – Masyarakat sipil di Indonesia telah melaporkan Holcim Ltd Group, PT. Holcim Indonesia, ke National Contact Point Switzerland, karena operasi Holcim tersebut berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat setempat.
Pengaduan kami sampaikan merupakan jalur yang disediakan OECD Guidelines for Mulltinational Enterprises (OECD Guidelines for MNE’s). Di mana, ini merupakan panduan wajib yang berasal dari Negara anggota OECD untuk diterapkan di manapun mereka beroperasi.
Di Blitar, lahan seluas ± 724,23 Hektar yang dikelola ± 826 Kepala Keluarga ditanami jagung, ketela & semangka di Desa Ringinrejo, Blitar, Jawa Timur, Indonesia telah menjadi sumber penghidupan warga selama 19 (Sembilan belas) tahun lamanya, kini terancam digusur. Karena, lahan yang dikelola warga tersebut, sejak tahun 2013 telah ditunjuk sebagai kawasan hutan oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Lahan yang dikelola warga tersebut tanpa diketahui warga, telah dibeli PT. Holcim Indonesia dan dijadikan sebagai lahan pengganti (dijadikan hutan), karena Holcim menggunakan kawasan hutan di Tuban untuk penambangan dan pabrik semen.
Penunjukan areal kelola warga Ringinrejo sebagai kawasan hutan, telah dilakukan dengan proses yang tidak transparan. Karena Holcim tidak mempertimbangkan riwayat kelola warga selama 17 (tujuh belas) tahun lamanya. Bahkan proses ganti rugi atau kompensasi dilakukan Holcim justru kepada warga pendatang, bukan warga asli Desa Ringinrejo, yang notabene mengalami dampak langsung dari penunjukkan kawasan hutan tersebut. Selain itu, dalam hukum Indonesia, penunjukan kawasan hutan yang berasal dari lahan kompensasi sebagaimana Holcim lakukan di Blitar, melanggar peraturan Menteri Kehutanan, karena syarat lahan kompensasi (lahan yang diberikan Holcim untuk dijadikan kawasan hutan) wajib clear and clean secara de facto dan de jure.
Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) dalam pemberian lahan kompensasi kepada Kementerian Kehutanan dapat dinyatakan sebagai berikut:
1. Lahan kompensasi atas usaha perusahaan menyalahi peraturan perundang-undangan Indonesia. Yakni, Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.18/Permenhut–II/2011 dan Nomor P.14/Menhut-II/2013 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Karena Karena berdasarkan Pasal 16 ayat (3) huruf a P.14/Menhut-II/2013, pemegang persetujuan prinsip wajib menyediakan lahan kompensasi yang tidak bermasalah di lapangan (de facto) dan hukum (de jure). Karena, fakta di lapangan masih terdapat ±826 Kepala Keluarga yang menggarap lahan tersebut dan menggantungkan hidupnya selama 19 tahun.
2. Melakukan musyawarah dengan warga yang tidak representatif. Pihak PT. Holcim Indonesia Tbk. (Holcim Ltd. Group) telah melakukan sosialisasi/musyawarah dengan para penggarap yang ada di atas lahan yang akan menjadi lahan kompensasi, namun musyawarah/sosialisasi tersebut tidak dilakukan terhadap warga yang memiliki legitimasi mewakili kepentingan Desa Ringinrejo. Bahkan demi memenuhi persyaratan clear and clean di atas tanah yang sudah digarap warga tersebut, PT. Holcim Indonesia Tbk. melakukan negosiasi atau musyawarah dengan para penggarap yang justru bukan berasal dari Desa Ringinrejo, yang merupakan wilayah terdekat dengan lahan tersebut.
3. Persetujuan Atau Kesepakatan Bersama Dibuat Secara Tidak Transparan. Dalam proses negosiasi untuk membebaskan lahan kompensasi dari pendudukan yang dilakukan warga Ringinrejo, telah terbentuk panitia Permohonan Tanah di Desa Ringinrejo, dan sampai memiliki buah kesepakatan bersama (Pernyataan Bersama) yang menyatakan bahwa masyarakat Desa Ringinrejo menerima pemberian lahan seluas 40Ha dari PT. Holcim Indonesia Tbk pada tahun 2008. Namun ternyata dalam memperoleh tandatangan untuk pernyataan tersebut Panitia Permohonan Tanah tidak memberikan informasi dan mekanisme yang transparan bagi warga Desa Ringinrejo tentang isi pernyataan tersebut.
Tindakan Holcim di Blitar bertentangan dengan semua kewajiban dari panduan OECD pada bab tentang Hak Asasi Manusia; bertentangan dengan konsep dan asas-asas yang harus diterapkan perusahaan di mana mereka beraktivitas, yakni pada Bab I dari Panduan OECD angka 2, yang mewajibkan perusahaan untuk mematuhi undang-undang domestik. Serta bentuk pelanggaran terhadap ketentuan nomor 14 dari Bab II Kebijakan Umum. Bahwa perusahaan harus melibatkan para pemangku kepentingan yang relevan untuk memberikan peluang yang memadai untuk mempertimbangkan pandangan-pandangan mereka yang terkait dengan perencanaan dan pengambilan keputusan bagi proyek-proyek atau kegiatan-kegiatan yang dapat berdampak besar bagi masyarakat lokal.
Dengan mengajukan pengaduan dengan mekanisme yang disediakan OECD Guidelines for MNE’s, kami berharap, National Contact Point di Switzerland dapat memperhatikan masalah antara masyarakat Ringinrejo dengan Holcim, dan dengan difasilitasi NCP, dapat dicapai putusan agar Holcim mencari lahan pengganti yang tidak mengganggu hak-hak masyarakat Desa Ringinrejo; atau setidak-tidaknya terjadi kesepakatan final antara Holcim dengan warga Desa Ringinrejo melalui musyawarah yang efektif dan partisipatif. Sehingga dampak kerugian yang dialami warga sepenuhnya dapat dipulihkan.
Dalam memastikan pengaduan yang saat ini disampaikan ke National Contact Point di Switzerland diproses secara independen, sebanyak 100an warga Desa Ringinrejo akan mendatangi kantor Holcim Indonesia dan Kedutaan Besar Swiss di Jakarta
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan
Jakarta, 19 April 2015
Hormat kami,
Kontak:
Andi Muttaqien 08121996984 (ELSAM)
Farhan Mahfudzi 081555859984 (Sitas Desa, Blitar)
Yusriansyah (KPA)

Aksi Solidaritas Untuk Rembang

RembangKPA/Jakarta: Pada 16 April 2015 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, Jawa Tengah menolak gugatan warga Rembang. Alasan Ketua Majelis Hakim Susilowati Siahaan adalah gugatan yang diajukan oleh warga Rembang sudah kadaluarsa. Tentu hal ini membuat warga Rembang kecewa karena izin yang dikeluarkan pada 7 Juni 2012 yang lalu tidak melibatkan warga, bahkan tidak ada sosialisasi mengenai pembangunan pabrik semen di wilayah pemukiman warga.
Di Jakarta lembaga sosial masyarakat seperti Kontras, Elsam, Kerja Pembebasan, Jatam, Politik Rakyat, Tuk Indonesia, KPA, Kiara, KP-FMK, Sajogyo Institute, SIPP-Kendeng, Perempuan Mahardika, Desantara melakukan aksi solidaritas (16/04/15) di depan Istana Negara untuk mendukung perjuangan warga Rembang. Aksi ini bergabung dengan aksi kamisan “menolak lupa” tragedi penculikan aktivis 98.
Menurut Kent Yusriansyah dari KPA, Pegunungan Karst Kendeng Utara di kelilingi oleh Kabupaten Pati, Kudus, Grobogan, Blora, Rembang hingga ke Tuban di Jawa Timur. Jika Cekungan Air Tanah Watuputih digunakan untuk pabrik Semen Indonesia maka keenam (6) kabupaten tersebut akan kehilangan sumber air bersih untuk hidup, seperti minum, mandi dan pertanian.
Ijin Usaha Pertambangan di Peggunungan Kendeng Utara yang mengantongi Putusan Gubernur Jawa Tengah No.660.1/17/2012 tentang Izin Pertambangan Karst Semen Indonesia di Kabupaten Rembang bertentangan dengan Peraturan Daerah Jawa Tengah No.6/2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun 2010-2030 jo.Keputusan Presiden Republik Indonesia No.26/2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah.
Munir dari Kontras mengatakan bahwa “Nawacita” Jokowi hanya memberikan mimpi kosong kepada petani Indonesia. Membangun ekonomi melalui sektor pertanian hanya janji kampanye untuk mengantarkannya ke dalam istana”. Munir menyerukan agar petani Indonesia bersatu untuk menghadapi hukum yang pro terhadap pemilik modal dan represifitas aparatus negara. AGP.

[The Jakarta Post] Nyawa manusia adalah yang paling penting di kawasan perkebunan

31 Maret 2015
Penyiksaan dan pembunuhan yang baru-baru ini terjadi pada Indra Pelani merupakan tragedi yang mengejutkan. Ini adalah tragedi bagi keluarga dan masyarakatnya, bagi semua orang yang mempertaruhkan hidupnya untuk membela hak dan keadilan, dan bagi perusahaan yang anak usahanya mempekerjakan para penjaga yang dilaporkan telah membunuh korban.
Pembunuhan ini bukan sekadar kebetulan, dan tidak pula sebatas konflik lokal untuk memperebutkan hak atas tanah; melainkan, hal yang melibatkan sistem perkebunan ala industri yang telah merampas petak-petak tanah rakyat pedesaan secara sepihak.
Perusahaan telah mempersenjatai para penjaga yang melindungi perkebunan mereka, dan penjaga tersebut kebal hukum dan biasa melakukan kekerasan.
Akibat dari kriminalisasi yang telah lama dilakukan terhadap masyarakat lokal dalam mengakses lahan dan hutan adat mereka sendiri adalah pelanggaran yang tragis, konflik berdarah, pembunuhan, dan penghancuran masyarakat selama puluhan tahun lamanya di seluruh Indonesia.
Sebenarnya masyarakat adat dan petani telah sejak lama menyerukan dihentikannya tindakan ketidakadilan yang luar biasa ini. Namun Pemerintah dan perusahaan perkebunan hanya menanggapi dengan lambat dan bersikap semena-mena.
Tragisnya, fokus dunia internasional terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat di dalamnya justru diarahkan pada aspek lingkungan dan bukannya pelanggaran HAM yang terjadi.
Penerapan kebijakan konservasi hutan oleh perusahaan merupakan langkah awal yang patut diapresiasi, akan tetapi tetap belum juga berfokus pada HAM dan hak atas tanah.
Organisasi-organisasi lingkungan hidup dan mereka yang mendukungnya jelas-jelas lebih berfokus pada perlindungan keanekaragaman hayati dan cadangan karbon ketimbang nyawa manusia, hak atas tanah, mata pencaharian atau pemenuhan kebutuhan budaya.
Dan bagi kita fakta tragis ini semestinya sama meresahkannya dengan pemberitaan tentang penyiksaan dan pembunuhan korban, seorang pria usia 22 tahun, yang kebetulan berada dalam perjalanan untuk memanen padi di sawah masyarakatnya sendiri pada hari Jumat siang di bulan Februari.
Keanekaragaman hayati, karbon dan perubahan iklim adalah hal yang penting, akan tetapi nyawa manusia tentu jauh lebih penting.
Kalaupun ada hal positif yang menjadi pelajaran dari tragedi ini, maka itu adalah agar perusahaan dan kelompok-kelompok lingkungan hidup mau terlibat dalam memprioritaskan nyawa dan hak asasi manusia.
Ada tiga langkah yang dibutuhkan untuk mewujudkan pergeseran ini dan agar perusahaan yang terlibat dapat menunjukkan keseriusan komitmen mereka untuk memperbaiki pelanggaran terhadap hak-hak rakyat Indonesia dan tanahnya yang sudah berlangsung lama.
Yang pertama, para pemimpin perusahaan perlu mengembangkan secara rinci kebijakan korporat untuk HAM dan hak atas tanah secara konsisten sesuai standar-standar internasional jika hal ini belum dilakukan, dan kemudian dengan sigap menerapkannya dari level atas ke bawah, serta memberikan pelatihan ulang bagi semua staf di semua lini perusahaan, anak usaha dan perusahaan rekanannya.
Selain itu, para pemimpin perusahaan juga harus meminta pertanggungjawaban para staf, anak usaha dan kontraktornya atas kinerja yang mereka lakukan terkait kebijakan baru ini.
Kedua, perusahaan (beserta LSM-LSM lingkungan internasional yang bekerja bersama mereka) perlu berkomitmen untuk melaksanakan program-program yang memberikan pengakuan formal terhadap hak tanah adat yang dimiliki masyarakat adat dan setempat serta memprioritaskannya, dan harus memilih antara mengembalikan lahan-lahan dimaksud atau menegosiasikannya kembali sesuai dengan apa yang dikehendaki masyarakat yang bersangkutan.
Perusahaan perlu mengubah tradisi mereka dalam mempraktikkan ketidakadilan dan perlu memahami standar-standar internasional yang berlaku bagi semua lahan yang mereka dapatkan. Panduan Sukarela yang telah disepakati secara internasional untuk Tata Kelola Penguasaan Lahan, Perikanan dan Hutan secara Bertanggung Jawab, di mana Indonesia menjadi pihak penandatangannya, merupakan kerangka kerja yang baik untuk diterapkan. Selain itusudah ada panduan operasional untuk perusahaan yang sedang dikembangkan oleh suatu kelompok perusahaan besar dan organisasi masyarakat sipil.
Ketiga, perusahaan perlu berkomitmen untuk bisa diaudit secara berkala, independen dan sepenuhnya transparan untuk kinerja mereka terkait HAM dan hak atas tanah oleh organisasi-organisasi HAM internasional. Beberapa perusahaan besar yang bergerak di bidang kehutanan, makanan dan pertanian telah melakukan kajian tersebut terhadap aset-aset multi nasional yang mereka miliki selama beberapa tahun terakhir, sehingga membuktikan bahwa hal ini tidak hanya mungkin untuk dilakukan, akan tetapi juga menguntungkan.
Langkah-langkah di atas, jika dilakukan oleh perusahaan dan organisasi lingkungan, akan menjadi suatu poros sejarah menuju keadilan dan penghormatan bagi warga negara Indonesia. Meski demikian, langkah-langkah ini tidak akan cukup tanpa tindakan Pemerintah yang lebih besar dari yang saat ini dilakukan.
Dengan tidak dapat ditegakkannya hukum yang dibuatnya sendiri atau mematuhi standar-standar internasional yang sudah menjadi komitmennya, dan terus mempermudah pemberian segala jenis konsesi industri tanpa terlebih dahulu memberikan pengakuan dan penghormatan bagi hak atas tanah masyarakat lokal, Pemerintah Indonesia hanya akan mempersiapkan sendiri ruang bagi pelanggaran, konflik besar dan kematian yang sudah sangat biasa terjadi di seluruh penjuru negeri ini.
Janji Presiden Jokowi untuk menghormati hak-hak atas tanah yang dimiliki masyarakat lokal, dengan menjadikannya sebagai salah satu dari sembilan prioritas kabinetnya (Nawacita), memberikan harapan bahwa sejarah ketidakadilan ini pada akhirnya dapat mulai diakhiri untuk kembali menuju arah yang semestinya.
Meskipun Indra Pelani bukanlah pemuda pertama yang mati sia-sia di tangan industri perkebunan, dia bisa menjadi yang terakhir.
Selama beberapa tahun terakhir, sudah ada sejumlah perusahaan yang telah mengambil langkah-langkah penting untuk mulai menyelesaikan beberapa konflik lokal.
Akan tetapi baik Pemerintah maupun kelompok lingkungan yang mengusung agenda reformasinya belum memprioritaskan pemulihan akibat dari perampasan lahan dan kekerasan terhadap masyarakat lokal. Ini harus berubah. Karena nyawa manusia adalah yang paling penting.
Abetnego Tarigan adalah Direktur Eksekutif Walhi, LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Iwan Nurdin adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Siaran Pers: Tentang Kasus Pembunuhan Indra Pelani, Bukan Sekedar Kejahatan Biasa

Credit: Poster oleh WALHI Jambi

Credit: Poster oleh WALHI Jambi


Pembunuhan Indra Pelani, Bukan Sekedar Kejahatan Biasa
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), bersama dengan Walhi, TUK, KPA, dan Elsam, mendesak sejumlah pihak terkait untuk melakukan pengusutan secara lebih mendalam terhadap peristiwa penganiayaan dan perampasan hak hidup terhadap sdr. Indra Pelani (23), Aktivis organisasi Serikat Petani Tebo (SPT) Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Hilir, Kabupaten Tebo, Jambi, pada 27 Februari 2015 lalu.
Kami menduga kuat persitwa menimpa Indra Pelani (alm) bukan merupakan peristiwa pembunuhan biasa atau kriminal murni, namun merupakan kelanjutan tindak kejahatan korporasi (corporate crime) yang marak belakangan ini, dan secara jelas telah melanggar prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia (bussines and human rights) yang dipromosikan PBB.[1] Terlebih profile korban yang merupakan pembela HAM (human rigts defender)[2] semakin menguatkan dugaan adanya skenario besar dibalik peristiwa tersebut.
Terkait hal tersebut, kami juga telah melakukan investigasi bersama pada 18-25 Maret 2015 di Provinsi Jambi, dan mendapati sejumlah temuan yang melengkapi dugaan itu. Sejumlah temuan tersebut natara lain;
a) Sejak kehadiran PT. WKS di Provinsi Jambi telah menimbulkan banyak masalah terkait konflik sosial dalam pengeloalaan Sumber Daya Alam di Jambi. Sementara itu, peristiwa tersebut juga bukan merupakan peristiwa pertama yang melibatkan PT. WKS. Sebelumnya, pada tahun 2007, masyarakat sempat menghadang Traktor persahaan yang berakhir dengan pembakaran traktor. Peristiwa ini menyebabkan 9 orang masyarakat di pidana selama 9 bulan Penjara. Sementara pada Senin tanggal 08 November 2010, dua orang petani ditembak pada saat melakukan aksi untuk merebut kembali hak atas tanahnya seluas 7.224 ha yang telah dirampas oleh PT. WKS. Peristiwa penembakan ini dipicu oleh tindakan PT. WKS yang membawa aparat keamanan (Brimob dan security perusahaan) dan berusaha membubarkan secara paksa aksi massa para petani.
b) Hingga tahun 2013, sebagian masyarakat memutuskan untuk mengambil alih kembali lahan seluas 1500 hektar yang yang telah dikuasai PT. Wirakarya Sakti (WKS) yang berlokasi di daerah Bukit Rinting2 Dusun Pelayang Tebat, desa lubuk Mandarsah. Sejak saat itu persitiwa intimidasi dan sampai pada penangkapan petani terus dilakukan oleh pihak perusahaan WKS. Selain itu juga ditemukan sejumlah fakta-fakta bahwa ada gangguan dan intimidasi dari URC WKS terhadap masyarakat sebelum terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap (alm) Indra Pelani. Bahkan menurut keterangan saksi, juga terdapat rencana untuk merebut kembali lahan yang bersengketa dengan masyarakat, Lubuk Mandarsah setelah kegiatan Panen Raya 27 Februari 2015.
c) Untuk keamanan kebun HTI, PT WKS menggunakan tenaga kerja Outsourcing dari PT MCP. Sesuai Perkap Kapolri No.24 tahun 2007, Pasal 8 ayat 3.b.1 maka PT MCP merupakan Badan Usaha Jasa Pengamanan (BUJP) yaitu para anggota Satpam diorganisir dalam satu badan usaha yang bergerak di bidang industri jasa pengamanan. Namun berdasarkan klarifikasi pihak Kepolisian Setempat, mengakui bahwa tidak mengenal Tim URC, tidak melakukan koordinasi, tidak menjalankan standart pelatihan, sebagaimana yang dijabarkan dalam Perkap tersebut. Kami juga menemukan ada serangkaian persiapan operasi dan materi pelatihan tidak lazim yang diberikan kepada tim URC. Lebih dari itu, keberadaan Tim URC didekat lokasi lahan yang dikuasai masyarakat telah memicu keresahan, dan kecurigaan dikalangan masyarakat, sebelum peristiwa pengeroyokan dan pembunuhan Sdr. IndraPelani.
d) Bahwa pada tanggal 27 Februari 2015, telah terjadi penganiayaan secara bersama-sama (pengeroyokan), dan pembunuhan keji terhadap Sdr. Indra Pelani yang diduga dilakukan oleh para 5 orang tersangka yang merupakan  1 regu TIM URC  (terdiri dari Danton, Danru, dan 3 orang Anggota TIM URC). Bahkan ditemukan senjata-senjata tajam berupa parang, dan Tongkat yang ditancapkan paku-paku, dan ranjau paku di Markas Tim URC yang terletak di wilayah Bukit Rinting, yang diduga sengaja disiapkan untuk melakukan aksi-kekerasan. Sementara kami juga menemukan sejumlah komunikasi tak lazim yang dilakukan antara pelaku dan sejumlah pihak lainnya saat peristiwa terjadi.
Dari fakta, informasi dan keterangan saksi diatas maka kami memberikan Hipotesis sebagai berikut :
I. Terkait pembentukan TIM URC:

  • Sejak dibentuknya TIM URC tahun 2010, merupakan kelompok pengamanan yang di bawah koordinasi dan tanggung jawab langsung manajer PT. MCP. Dari dokumen terungkap Tim URC dicurigai bertentangan dengan PERKAPOLRI No. 24 Tahun 2007.
  • Pada Oktober 2014, telah terjadi pemusatan kekuatan orang, aktifitas, dengan ditempatkannya Camp URC Sector Kilis didekat lokasi lahan yang dikuasai masyarakat, yang berakibat terjadi gangguan privasi, gangguan aktivitas yang intimidatif terhadap masyarakat khususnya ketika menggunakan sungai sebagai kebutuhan hidup.

II. Terkait Kegiatan Panen Raya masyarakat:

  • Pada tanggal 25, 26 februari 2015, telah terjadi usaha, tindakan yang terindikasi dilakukan secara terencana, sistematis, dan terkoordinasi untuk memata-matai kegiatan masyarakat sehubungan dengan Rencana Kegiatan Panen Raya.
  • Pada tanggal 27 Februari 2015, terindikasi terencana, sistematis, dan terkoordinasi untuk memperkuat penjagaan dengan tujuan menghalangi aktivitas warga melewati jalan di POS 803, dan patut dicurigai yang hendak untuk merekayasa sehingga masyarakat yang akan dianggap menerobos, atau masuk tanpa izin dengan penolakan dari “Atasan” untuk berkomunikasi.
  • Pada tanggal 27 Februari 2015, telah terjadi usaha, tindakan yang secara sistimatis, terkoordinasi untuk menunjukan eksistensi yang terkesan propokatif melalui latihan lari-lari oleh TIM URC di jalan tempat lokasi Panen Raya.

III. Terkait Pengeroyokan dan Pembunuhan Sdr. Indra Pelani :

  • Pada tanggal 27 februari 2015, telah terjadi pengeroyokan oleh 7 orang anggota TIM URC terhadap Sdr. Indra Pelani tanpa alasan yang jelas.
  • Terjadi Penculikan, yang dilakukan oleh 3 Orang Tim URC terhadap Sdr. Indra Pelani.
  • Terjadi eksekusi pembunuhan yang keji terhadap Sdr. Indra Pelani dengan kondisi jasat korban dengan leher terikat tali, lubang bekas tusukan benda tajam di bagian leher, luka di sekujur tubuh, tangan patah, serta terlihatnya tulang ibujari kaki.

Oleh karnanya kami mendesak:
Pertama, Pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam terkait peristiwa tersebut untuk dapat mengungkap peristiwa tersebut secara lebih utuh, yang tidak menutup kemungkinan terputus pada ke-lima orang pelaku dilapangan.
Kedua, kami juga mendesak pihak Kepolisian untuk melakukan evaluasi terhadap prosedur keamanan yang ada dalam PT. WKS, sesuai dengan Perkap  Kapolri No. 24 tahun 2007 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Organisasi, Perusahaan, dan/ Instansi atau Lembaga Pemerintah.
Ketiga, Pemerintah Daerah, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Kehutanan, dan sejumlah pihak terkait untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap PT. WKS, untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi diantara masyarakat dan perusahaan terkait.
Keempat, Komnas HAM untuk dapat melakukan penyelidikan lebih mendalam dalam bingkai kejahatan korporasi sesuai dengan prinsip-prinsi Bisnis dan Hak Asasi Manusia sesuai mandat dan fungsi berdasarkan UU 39 Tahun 1999 tentang HAM, untuk dapat memberikan pemulihan bagi sejumlah korban dalam konflik tersebut. Kami juga mendukung upaya Komnas HAM pembentukan Tim Pro  Justicia  terkait konflik agraria di Desa Lubuk Mandarsah, Kecamatan Tengah Hilir, Kapubaten Tebo, Jambi.
Kelima, LPSK untuk memberikan perlindungan terhadap sejumlah saksi-saksi terkait peristiwa tersebut agar tidak terjadi intimidasi dan tekanan terhadap saksi-saksi dalam kasus itu.
 
Jakarta, 8 April 2015
KontraS, Walhi, KPA, TUK, Elsam
[1] A/HRC/RES/21/5
[2] A/HRC/RES/25/18

[Tempo.co] Pengakuan Zulkifli Hasan Soal Skandal Korupsi Hutan

RABU, 08 APRIL 2015 | 15:45 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Mantan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengakui pernah bertemu bos PT Duta Palma, Surya Darmadi, di kantor Kementerian Kehutanan. Ia mengatakan kedatangan Surya ke kantornya terkait dengan pembukaan izin hutan Provinsi Riau. Hal itu diakui Zulkifli saat menjadi saksi untuk terdakwa eks Gubernur Riau, Annas Maamun, dalam sidang dugaan korupsi alih fungsi lahan sawit di Kabupaten Kuantan Singingi, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Rabu, 8 April 2015.
Menurut Zulkifli, kedatangan Surya ke kantor Kementerian Kehutanan saat itu bertujuan meminta izin mengembangkan usahanya pada sektor kehutanan. Ketua MPR itu pun memperbolehkan dengan alasan sesuai peraturan. “Saat itu saya katakan silakan karena memang pemerintah mengutamakan perusahaan nasional. Apalagi kalau di sumber daya alam. Sebisa mungkin sumber daya alam itu bisa dikembangkan oleh perusahaan nasional,” kata Zulkifli saat dicecar jaksa.
Hubungan Surya Darmadi dengan kasus korupsi alih fungsi lahan kebun kelapa sawit di Kabupaten Kuantan Sengingi itu berdasarkan fakta persidangan terpidana Gulat Manurung, penyuap Annas Maamun. Dalam sidang, Gulat menyebutkan ia turut memfasilitasi perusahaan sawit PT Duta Palma milik Surya untuk bicara dengan Annas agar lahan seluas 18 ribu hektare milik mereka juga dialihfungsikan. Namun Surya Darmadi dalam kasus ini hanya dijadikan sebagai saksi.
Direktur Perencanaan Kawasan Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Masyhud, pun membenarkan adanya pertemuan Surya dengan Zulkifli. Masyhud, yang juga menjadi saksi dalam persidangan Annas Maamun, mengatakan saat itu ia diperintahkan Zulkifli untuk menemui Surya Darmadi. “Saya dipanggil oleh menteri (Zulkifli Hasan). Pada waktu itu beliau menginstruksikan untuk menemui Surya Darmadi,” kata Masyhud saat memberikan kesaksian.
Menurut Masyhud, maksud kedatangan Surya Darmadi ke kantor tersebut untuk meminta izin perluasan lahan. “Tapi tidak diizinkan karena tidak sesuai peraturan,” ujarnya.
IQBAL T. LAZUARDI S.
Link/tautan:
http://www.tempo.co/read/news/2015/04/08/058656266/Pengakuan-Zulkifli-Hasan-Soal-Skandal-Korupsi-Hutan