[SUARA PEMBARUAN] Menelusuri Jejak Taipan Kelapa Sawit di Indonesia

Perkebunan kelapa sawit. [Istimewa]

Perkebunan kelapa sawit. [Istimewa]

Sabtu, 28 Februari 2015 | 2:33
Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.
Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.
“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta.
Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih mereka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan, 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahun,” tuturnya.
Berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatera sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.
“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.
Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Uang Ilegal
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp 2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta.
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp 45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. [Ant/N-6]

Link:
http://sp.beritasatu.com/home/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia/79651

[ANTARA News] Menelusuri jejak taipan kelapa sawit di Indonesia

Sabtu, 28 Februari 2015 00:48 WIB | 6.124 Views

Oleh Benardy Ferdiansyah

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya.”

Jakarta (ANTARA News) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.

Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.

“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta, Kamis (12/2).

Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang akan berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih merrka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan bahwa sebanyak 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya,” tuturnya.
Kemudian, berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatra sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.


“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.

Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta, Kamis (12/2).
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.

(T.B020/B/D007/D007)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © ANTARA 2015

Link:
http://www.antaranews.com/berita/482508/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia

40 Persen Kelapa Sawit Taipan Belum Dikembangkan

Jakarta, (Antara Sumbar) – Direktur Program Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni mengatakan, 40 persen lahan kelapa sawit milik 25 grup bisnis yang dikendalikan oleh para taipan belum dikembangkan. “Ini berarti, dua juta hektare lahan yang dikuasai oleh 25 grup tersebut belum ditanami kelapa sawit. Sedangkan ada 3,1 juta hektare lahan yang sudah ditanam,” kata Rahmawati di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan, total lahan Indonesia yang dikendalikan 25 grup milik para taipan menjadi 5,1 juta hektare, baik yang telah ditanam maupun yang belum ditanam. “Itu setara dengan 51 persen total area tanam perkebunan sawit saat ini,” katanya.
Menurut Rahmawati, jika 2 juta hektare lahan yang belum ditanami para taipan tersebut akan dikembangkan pada tahun-tahun mendatang maka lahan yang ditanami kelapa sawit di Indonesia akan meningkat sebesar 20 persen menjadi 12 juta hektare. “Nantinya, kebun kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis tersebut akan meningkat dari 31 persen menjadi 43 persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, grup bisnis terpenting dalam hal penguasaan lahan yang belum ditanami di Indonesia antara lain Sinar Mas, Triputra, Musim Mas, Surya Dumai, dan Jardine Matheson. Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.
TUK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bekerja pada isu lingkungan, SDA, dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia pembangunan. TUK Indonesia melakukan advokasi untuk pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan integritas manusia. (*/sun)
Sumber: ANTARA Sumbar, 21 Februari 2015.

TUK: Bank dan Investor Mudahkan Taipan Berinvestasi Besar

Jakarta, (Antara Sumbar) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka. “Konsekuensinya, pertumbuhan ini menimbulkan aliran kas yang kuat sehingga bisa digunakan oleh taipan tersebut untuk berinvestasi dan mengembangkan perusahaan mereka,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni di Jakarta, Sabtu.
Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” katanya.
Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. “Artinya, mereka sudah menarik dan akan terus menarik modal dengan melakukan emisi saham untuk investor institusi dan pribadi.
Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank. Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.
TUK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bergerak pada isu lingkungan, SDA, dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia pembangunan.
TUK Indonesia melakukan advokasi untuk pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan integritas manusia. (*/sun)
Sumber: ANTARA Sumbar, 21 Februari 2015.
 

Industri CPO Tak Sumbang PAD, Gubernur Se-Sumatera Geram

Selasa, 24 Februari 2015 | 13:17 WIB
BENGKULU, KOMPAS.com – Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengeluhkan industri minyak sawit crude palm oil (CPO) tak memberikan kontribusi ke kas daerah.
“Kami gubernur se-Sumatera cukup kecewa karena perusahaan CPO tak memberikan kontribusi setetes pun bagi daerah, sementara jalan negara rusak akibat pengangkutan ratusan ton kelapa sawit,” kata Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah, Selasa (24/2/2015).
Dia menambahkan bahwa secara nasional hampir 23 persen hasil CPO Indonesia berasal dari Sumatera. Namun, cukup menyedihkan, kata dia, tak satu tetes pun produksi itu masuk ke kas daerah. Di Bengkulu sendiri, kata dia, dari 1,9 juta hektar luas provinsi itu, 600.000 hektar luas daerah telah dikuasai oleh perkebunan kelapa sawit.
“Regulasinya ada di pusat, dua kali saya menyurati Kementerian Keuangan agar aturan tersebut dibuat, namun ditolak, CPO wajib menyumbang ke kas daerah, masih mending tambang batubara mereka dikenai pajak dan royalti, kalau CPO tak ada aturannya, regulasinya harus diubah,” kritik gubernur.
Sebelumnya, semua gubernur di Pulau Sumatera berencana melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait tidak adanya aturan hukum yang menegaskan penjualan minyak mentah kelapa sawit wajib berbagi dengan daerah.
Para gubernur ini berencana menggugat UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. UU itu antara lain mengatur masalah dana bagi hasil sumber daya alam. Namun, UU itu tak memasukkan sub-sektor perkebunan, termasuk minyak mentah sawit atau CPO.
Tautan: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/24/131736926/Industri.CPO.Tak.Sumbang.PAD.Gubernur.se-Sumatera.Geram?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Hapus UU Privatisasi Air, MK Tunjukan Pemerintah Simpangi UU SDA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10637#.VPAAdHWUfDE
Senin, 23 Februari 2015 | 09:59 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Padahal UU yang juga dikenal dengan sebutan UU Privatisasi Air itu dinyatakan berlaku oleh MK pada tahun 2004. Mengapa putusan MK berubah?
\”Meskipun pengujian UU SDA yang diputuskan di tahun 2015 menggunakan dasar konstitusional yang sama dengan pengujian di tahun 2004, hal tersebut tidak melanggar Pasal 60 UU MK karena sifat putusan 2004 yang konstitusional bersyarat tersebut,\” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
Berdasarkan Pasal 60 UU MK menyebutkan terhadap UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem) kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Namun putusan MK tahun 2004 sifatnya conditionally constitusional(konstitusional bersyarat).
\”Yaitu apabila UU SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka terhadap UU SDA tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali,\” ujar Bayu.
Putusan MK kali ini juga menunjukan pemerintah selama 10 tahun terakhir menyimpangi putusan MK tahun 2004 lalu. Secara jelas putusan MK tahun 2004 menyebutkan pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak utama.
\”Namun nyatanya selama 10 tahun terakhir, pemerintah selama ini telah menafsirkan pelaksanaan UU SDA secara berbeda bahkan menyimpangi putusan MK tentang UU SDA,\” ujar pengajar Universitas Jember itu.
Penyimpangan ini tergambar dalam PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang lebih condong kepada kepentingan swasta secara berlebihan
\”Dengan dibatalkannya UU SDA oleh MK, untuk mengisi kekosongan hukum sambil dibentuk UU SDA yang baru,\” cetus Bayu.
Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Untuk itu pemerintah sebaiknya segera menyusun UU SDA yang baru dengan benar-benar memperhatikan 6 pembatasan MK terkait pengusahaan air di Indonesia, yaitu:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;
3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD; 6. Apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
\”Putusan MK kali ini harus benar-benar diperhatikan oleh DPR sebagai pembentuk UU dan Pemerintah sebagai pelaksana UU, karena jika dilanggar kembali diyakini MK tidak segan akan membatalkannya kembali,\” cetus Bayu.
Putusan ini juga menunjukkan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan tidak disebar di MK dan MA melainkan sebaiknya diletakkan di satu atap yaitu di MK
\”Mengingat dalam putusan ini MK tidak secara langsung telah mempraktekkan menguji Peraturan pelaksana UU meskipun pintu masuknya adalah pengujian UU,\” cpungkas Bayu.
==================================
Nasakah Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dapat diunduh di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2131_85_PUU_2013-UU_SumberDayaAir-Dikabulkan-telahucap-18Feb2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf

Hapus UU Privatisasi Air, MK Tunjukan Pemerintah Simpangi UU SDA

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Berita&id=10637#.VPAAdHWUfDE
Senin, 23 Februari 2015 | 09:59 WIB
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan UU Sumber Daya Air (SDA). Padahal UU yang juga dikenal dengan sebutan UU Privatisasi Air itu dinyatakan berlaku oleh MK pada tahun 2004. Mengapa putusan MK berubah?
\”Meskipun pengujian UU SDA yang diputuskan di tahun 2015 menggunakan dasar konstitusional yang sama dengan pengujian di tahun 2004, hal tersebut tidak melanggar Pasal 60 UU MK karena sifat putusan 2004 yang konstitusional bersyarat tersebut,\” kata ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono kepada detikcom, Senin (23/2/2015).
Berdasarkan Pasal 60 UU MK menyebutkan terhadap UU yang telah diuji tidak dapat dimohonkan pengujian kembali (nebis in idem) kecuali jika materi muatan dalam UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda. Namun putusan MK tahun 2004 sifatnya conditionally constitusional(konstitusional bersyarat).
\”Yaitu apabila UU SDA dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam pertimbangan MK, maka terhadap UU SDA tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali,\” ujar Bayu.
Putusan MK kali ini juga menunjukan pemerintah selama 10 tahun terakhir menyimpangi putusan MK tahun 2004 lalu. Secara jelas putusan MK tahun 2004 menyebutkan pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak utama.
\”Namun nyatanya selama 10 tahun terakhir, pemerintah selama ini telah menafsirkan pelaksanaan UU SDA secara berbeda bahkan menyimpangi putusan MK tentang UU SDA,\” ujar pengajar Universitas Jember itu.
Penyimpangan ini tergambar dalam PP Nomor 16 tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum dan PP Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air yang lebih condong kepada kepentingan swasta secara berlebihan
\”Dengan dibatalkannya UU SDA oleh MK, untuk mengisi kekosongan hukum sambil dibentuk UU SDA yang baru,\” cetus Bayu.
Sebelum ada UU baru, maka UU 11/1974 tentang Pengairan diberlakukan kembali. Untuk itu pemerintah sebaiknya segera menyusun UU SDA yang baru dengan benar-benar memperhatikan 6 pembatasan MK terkait pengusahaan air di Indonesia, yaitu:
1. Setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air;
2. Negara harus memenuhi hak rakyat atas air;
3. Harus mengingat kelestarian lingkungan hidup;
4. Pengawasan dan pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak;
5. Prioritas utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah BUMN atau BUMD; 6. Apabila semua pembatasan diatas sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air, pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.
\”Putusan MK kali ini harus benar-benar diperhatikan oleh DPR sebagai pembentuk UU dan Pemerintah sebagai pelaksana UU, karena jika dilanggar kembali diyakini MK tidak segan akan membatalkannya kembali,\” cetus Bayu.
Putusan ini juga menunjukkan perlunya pengujian peraturan perundang-undangan tidak disebar di MK dan MA melainkan sebaiknya diletakkan di satu atap yaitu di MK
\”Mengingat dalam putusan ini MK tidak secara langsung telah mempraktekkan menguji Peraturan pelaksana UU meskipun pintu masuknya adalah pengujian UU,\” cpungkas Bayu.
==================================
Nasakah Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 dapat diunduh di:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_2131_85_PUU_2013-UU_SumberDayaAir-Dikabulkan-telahucap-18Feb2015-FINAL-%20wmActionWiz.pdf

EnergiToday.com

EnergiToday.com

Jakarta, EnergiToday– Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka.


Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, seperti dikutip Republika Online, Minggu (22/2) .

Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. (fd/ro)

Link:

http://m.energitoday.com/2015/02/22/bank-dan-investor-eksternal-mudahkan-taipan-percepat-pertumbuhan-bisnis-kelapa-sawit/

EnergiToday.com

EnergiToday.com

Jakarta, EnergiToday– Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka.


Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, seperti dikutip Republika Online, Minggu (22/2) .

Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. (fd/ro)

Link:

http://m.energitoday.com/2015/02/22/bank-dan-investor-eksternal-mudahkan-taipan-percepat-pertumbuhan-bisnis-kelapa-sawit/

[KOMPAS.com] Pengadilan Pajak Kembali Tolak Banding Grup Asian Agri

Jumat, 20 Februari 2015 | 08:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Pengadilan Pajak kembali menolak banding anak usaha Asian Agri. Kali ini hakim menolak banding PT Andalas Intiagro Lestari. Sebelumnya, lima perusahaan anak usaha Asian Agri Group yang mengajukan keberatan pajak juga harus gigit jari.
Dalam proses banding, Andalas Intiagro Lestari mengajukan delapan berkas keberatan pajak. Total nilai keberatan atas tagihan pajak yang diajukan Andalas Intiagro sekitar Rp 58,9 miliar.
Nah, perusahan itu menyatakan masih mempelajari putusan pengadilan. “Asian Agri akan tetap mencari keadilan, sebagaimana diatur dalam undang-undang” ujar Freddy Wijaya, General Manager Asian Agri Group, Kamis (19/2/2015).
Freddy menilai putusan banding kali ini tidak mencerminkan keadilan karena perusahaan tidak pernah didakwa, disidang, dan diberi hak untuk membela diri selama persidangan. “Perusahaan dikenakan denda serta diwajibkan membayar kekurangan pajak dengan penentuan angka final yang perhitungannya ditentukan tanpa adanya pemeriksaan pajak sesuai ketentuan yang ada” lanjutnya.
Dalam sidang putusan yang digelar Rabu (18/2/2015), hakim berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni antara hakim ketua Sigit Henryanto dan hakim anggota Nany Wartiningsih, dengan hakim anggota Entis Sutisna. 
Menurut Entis Sutisna, keberatan pajak yang diajukan bukan objek yang dapat ditangani Pengadilan Pajak. Karena surat ketetapan pajak yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pajak berdasarkan putusan peradilan sebelumnya di Mahkamah Agung. 
Merujuk pada Undang-undang Tata Usaha Negara No 5/1986 pasal 2 (e), Entis menilai ketetapan pajak yang diajukan banding adalah putusan tata usaha negara yang tak bisa diteruskan ke pengadilan manapun. Sedangkan, dua hakim lain berpendapat putusan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dapat diproses di Pengadilan Pajak sehingga langkah Direktorat Jenderal Pajak sudah benar dan hakim memproses keberatan pajak PT Andalas Intiagro Lestari. 
Direktur Keberatan dan Banding Ditjen Pajak Catur Rini Widosari menyebut, selama ini Asian Agri Group khususnya Andalas Intiagro Lestari sudah memiliki itikad baik. “Mungkin melihat pengalaman perusahaan sebelumnya, sebelum diputus kekurangan pajak sudah dibayar seluruhnya oleh PT Andalas Intiagro Lestari” katanya.
Sebelumnya Asian Agri Group dinyatakan memiliki kekurangan pajak periode 2002-2005 senilai Rp 1,25 triliun oleh Mahkamah Agung (MA). Perusahaan milik taipan Soekanto Tanoto ini harus membayar kekurangan pajak plus denda Rp 2,5 triliun. 
Hingga kini masih ada delapan anak usaha Asian Agri dalam proses banding. Proses banding ini ditempuh oleh Asian Agri untuk menghindari denda. Sejauh ini dewi fortuna belum memihak Asian Agri dalam proses banding ini. (Jane Aprilyani)

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/20/085100526/Pengadilan.Pajak.Kembali.Tolak.Banding.Grup.Asian.Agri

=====================

Dirjen Pajak: Mudah-mudahan Asian Agri Kalah..

Senin, 17 Maret 2014 | 17:15 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany berharap pengadilan pajak memenangkan pemerintah dalam kasus dugaan penggelapan pajak yang dilakukan oleh korporasi milik Soekanto Tanoto, Asian Agri Group.
Menurut Fuad, saat ini Asian Agri telah menyepakati membayar denda pajak sebesar Rp 2,5 triliun. Pembayaran pertama sudah dilakukan sebesar lebih dariRp 700 miliar, demikian pula dengan cicilan pertama Rp 200 miliar. 
“Yang sama kami (dia sudah bayar) Rp 900an miliar. Dia juga tunggu pengadilan pajak. Kalau dia kalah, bayar. Mudah-mudahan kalah,” kata Fuad ditemui di Balaikota, Jakarta, Senin (17/3/2014).
Sementara itu, penasihat hukum Asian Agri Group, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan, masalah pajak Asian Agri tidak semata-mata masalah putusan kasasi Mahkamah Agung (MA). Masalah itu kini tengah diperkarakan di pengadilan pajak dan belum usai.
Ia pun mempertanyakan putusan kasasi MA No.2239K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012, lantaran di dalamnya Asian Agri disebut harus membayar denda sebesar dua kali pajak terutang, senilai Rp 2,5 triliun. Padahal, pengadilan pajak saja belum memutuskan berapa kurang bayar pajak oleh Asian Agri.
“Sampai hari ini berapa jumlah kurang bayar pajak Asian Agri belum diputuskan. Mahkamah Agung dalam putusannya menghukum Suwir Laut dan menghukum Asian Agri dua kali pajak terutang. Sementara, pajak terutangnya belum diputuskan pengadilan pajak,” kata Yusril, di Jakarta, Kamis (30/1/2014).
Menyusul putusan MA, Yusril menegaskan, kliennya akan melakukan upaya hukum, demi mendapatkan keadilan. “Kepastian hukum sudah, denda dibayar. Bagaimana dengan keadilan? Menurut hukum tidak dapat orang dihukum tanpa diadili. Oleh karena itu badan hukum berhak menempuh upaya hukum biasa maupun luar biasa. Apa detilnya, kami bahas bersama,” kata dia.
Ia mengatakan, hak peninjauan kembali (PK) tidak bisa dihalang-halangi pihak manapun karena dilindungi undang-undang. Kendati demikian, pihaknya belum memutuskan langkah apa yang akan diambil paska eksekusi Putusan Kasasi MA tersebut.

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/03/17/1715465/Dirjen.Pajak.Mudah-mudahan.Asian.Agri.Kalah.?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

=====================

Asian Agri Akhirnya Lunasi Denda Rp 2,5 Triliun

Selasa, 23 September 2014 | 20:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Asian Agri Group (AAG) melunasi denda Rp 2,5 triliun per 17 September 2014. Denda tersebut wajib dibayarkan oleh AAG berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) pada 18 Desember 2012 terkait perkara penyimpangan pajak yang dilakukan 14 perusahaan yang tergabung dengan AAG. 
Dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (23/9/2014) disebutkan bahwa pihak kejaksaan mengapresiasi pihak AAG yang membayar pada waktunya. 
Sebelumnya pada akhir Januari 2014, pihak Asian Agri menyatakan kesiapannya untuk dieksekusi pihak Kejaksaan dengan sistem pelunasan secara bertahap atau mencicil setiap bulan hingga tanggal 15 Oktober 2014. Akan tetapi, perusahaan milik Sukanto Tanoto itu melunasinya secara total pada 17 September 2014.
Pada akhir Januari 2014, pihak Kejaksaan dan pihak Asian Agri sepakat membayar terlebih dahulu sebesar Rp 719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan. 
Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Bank Mandiri dan tiap bulan dapat dicairkan.
Kami mempertimbangkan nasib puluhan ribu para pekerja serta petani plasma yang selama ini menggantungkan nasibnya pada 14 perusahaan yang tergabung di Asian Agri. Karena itulah Kejaksaan memberikan tenggang waktu pembayaran dan hal ini tentu saja dimungkinkan oleh perundang-undangan yang ada,” kata Datas Ginting, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat.

Link:

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/09/23/201126026/Asian.Agri.Akhirnya.Lunasi.Denda.Rp.2.5.Triliun?utm_campaign=related_left&utm_medium=bp&utm_source=bisniskeuangan

====================

[merdeka.com] Kejagung amankan aset 14 perusahaan kelapa sawit Asian Agri

Merdeka.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) dibantu Ditjen Pajak, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM), Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta Pusat Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) akan mengamankan aset 14 perusahaan kelapa sawit yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG).
Hal itu dilakukan setelah perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto diputuskan harus membayar tunggakan pajak sebesar Rp 2,5 triliun kepada negara.
“Kita diberi jangka waktu setahun, karena waktunya lumayan panjang kita harus antisipasi (awasi aset AAG),” kata Jaksa Agung Basrief Arief, Jumat (7/6).
Pihaknya meminta BPN mengawasi lahan yang dimiliki 14 perusahaan Asian Agri Group supaya tidak dijual ke pihak lain.
“BPN mengawasi asetnya agar tak beralih ke pihak lain, status quo pemblokiran,” ujar dia.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan telah mengeluarkan surat tagihan pajak terhadap perusahaan pengolahan sawit, Asian Agri.
Ada sekitar 48 persen dari total tagihan tersebut sehingga Ditjen pajak mencatat nominal tunggakan yang harus dilunasi sebesar Rp 1,8 triliun. Plus, karena ada denda dari kejaksaan, sehingga seluruh kewajiban pembayaran Asian Agri mencapai Rp 4,3 triliun.
“Dalam waktu sebulan Asian Agri harus segera dibayarkan. Kan itu belum termasuk denda dari Kejaksaan, kalau ditotalkan Asian Agri harus membayar Rp 4,3 triliun karena Kejaksaan sebesar Rp 2,5 triliun dan kita Rp 1,8 triliun,” ujar Dirjen Pajak Fuad Rahmany saat acara Silahturahmi Pimpinan Redaksi dengan Ditjen Pajak di Kantor Pusat Pajak, 
Jakarta, Rabu malam (5/6).
Mahkamah Agung (MA) menghukum Asian Agri, anak perusahaan milik taipan Sukanto Tanoto. Perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut harus membayar denda Rp 2,5 triliun atas kasus penggelapan pajak.
Putusan perkara penggelapan pajak diputuskan sebagai corporate liability (pertanggungjawaban kolektif) yaitu Fucarious Liability (perusahaan bertanggung jawab atas perbuatan pidana karyawannya).
Terkait respon perusahaan terhadap denda dari Ditjen Pajak, General Manager Asian Agri Freddy Widjaya menuturkan, perusahaan belum mengambil sikap. “Kita masih pikir-pikir dan pelajari petikan putusannya,” ujar Freddy saat berkunjung ke kantor redaksi merdeka.com beberapa waktu lalu.

[dan]

Link:

http://www.merdeka.com/peristiwa/kejagung-amankan-aset-14-perusahaan-kelapa-sawit-asian-agri.html