Golden Agri Resources di Kapuas Hulu, Ada Perbaikan tetapi Masih Abaikan Prinsip RSPO

January 19, 2014 Andi Fachrizal, Pontianak

Meskipun sudah ada beberapa perbaikan, namun Forest Peoples Programme (FPP) dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia masih menemukan PT Kartika Prima Cipta (KPC) di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), mengabaikan prinsip-prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Ini luka lama yang terkuak kembali di tubuh anak perusahaan sawit terbesar Indonesia, Golden Agri Resources (GAR), grup Sinar Mas ini.

Awalnya, kajian lapangan ini dengan tujuan membangun alat lebih baik untuk memastikan metode zonasi dan pengelolaan lahan yang diterapkan perusahaan,” kata Norman Jiwan, Exsecutif Director TuK Indonesia saat menggelar media breafing di Pontianak, Jumat (17/1/14).

Laporan kajian independen ini bertumpu pada dua survei dan wawancara lapangan pada Juli dan September 2013. Wawancara dengan masyarakat terkena dampak dalam konsesi KPC, staf GAR dan KPC, serta interaksi dengan perusahaan dan lembaga non pemerintah berikut konsultan-konsultan yang memberi nasehat kepada GAR.

Kinerja perusahaan di bawah payung Sinar Mas Group itu dinilai secermat mungkin, khusus standar RSPO di mana GAR adalah anggota. Begitu pula kebijakan sosial dan lingkungan GAR. Temuan lapangan ini sangat mengejutkan kita,” kata Norman.

Fakta lapangan mempelihatkan, kendati KPC mulai beroperasi 2007, sampai Oktober 2013, perusahaan itu belum menyelesaikan penilaian terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi yang diwajibkan RSPO. Perusahaan juga mengabaikan kewajiban saat studi kepemilikan lahan atau pemetaan partisipatif hak-hak tanah adat.

Selain itu, masyarakat tidak bebas memilih kelembagaan perwakilan mereka sendiri. Kompensasi murah dibayarkan kepada anggota-anggota masyarakat untuk memperoleh penyerahan lahan selamanya melalui proses tak jelas. Artinya, memberi kesan keliru bahwa warga dapat memperoleh tanah kembali setelah 30 tahun. Tak satupun dari ratusan petani menjual tanah mereka kepada KPC punya salinan kontrak penyerahan tanah.

Beberapa komunitas menolak menyerahkan tanah tetapi terus mengalami tekanan dan bujukan dari perusahaan dengan mengabaikan persyaratan RSPO bahwa masyarakat bisa mengatakan ‘tidak.’ Juga tak ada pembicaraan dengan masyarakat untuk membantu mereka memutuskan berapa banyak lahan harus disisakan sebagai sumber penghidupan mereka. Sebaliknya, warga diiming-imingi kebun plasma sawit dan pekerjaan baru yang akan membawa keuntungan besar.

Kenyataan, kebanyakan pekerjaan dibayar dengan upah murah. Sedangkan, kebun plasma yang dikelola perusahaan, terlambat dipenuhi hanya separuh lebih dari luas yang diharapkan. Itupun disertai beban utang dan biaya operasional yang belum dijelaskan memadai.

Masyarakat Dayak yang terkena dampak langsung, di mana lahan makin sempit sementara masyarakat Melayu yang mayoritas nelayan mengeluh akibat pencemaran sungai. Tangkapan ikan menurun dan masalah bagi usaha-usaha penangkaran ikan mereka.

Meskipun tak semua anggota masyarakat menolak sawit bahkan ada yang melihat keuntungan nyata dari sana, pemaksaan pola kemitraan bermasalah hampir semua masyarakat.

Sejak 2007, ketika kali pertama konsesi diumumkan, sudah ada keberatan dan demonstrasi menolak ketidakadilan ini. Bahkan berlanjut hingga 2013. Perusahaan membayar polisi untuk membubarkan aksi massa.

Temuan-temuan itu menunjukkan kegagalan penting atas kepatuhan KPC dan GAR terhadap prinsip dan kriteria RSPO. Terhadap usulan mengeluarkan cadangan karbon tinggi (high carbon stocks) sesuai kebijakan Konservasi Hutan GAR, sangat tak populer, baik bagi masyarakat yang menolak keberadaan perusahaan, maupun bagi mereka yang sudah menggantungkan harapan pada sawit.

Kategorisasi lahan hutan yang dipaksakan sesuai kandungan karbon itu, mengabaikan sistem milik masyarakat, kepemilikan lahan dan klasifikasi lahan serta membatasi mata pencarian dan pilihan sumber penghasilan.

Langkah Maju

Menurut Norman, semua persoalan ini sudah dilaporkan kepada GAR pada Juli 2013. Namun, perusahaan dan konsultan-konsultan yang mendukung GAR lamban memperbaiki di lapangan.

Kendati demikian, katanya, perusahaan dan para konsultan mulai menggagas suatu program bagi penyelesaian konflik lahan dan mengurus keluhan-keluhan lain. Perusahaan juga sudah terbuka menyatakan tekad mewujudkan perbaikan-perbaikan. “Perusahaan sudah menunjukkan diri terbuka atas dialog dan menjalankan nasehat serta kritikan-kritikan.”

Penilaian HCV saat ini baru selesai namun belum diberikan dan diteliti bersama masyarakat. Berkaitan dengan masyarakat yang kukuh menolak penyerahan tanah-tanah mereka, perusahaan juga tidak mengambil lahan dengan paksaan.

Begitu pula dengan hal lain, perusahaan sudah menyatakan komitmen verbal berhenti membujuk masyarakat menyerahkan tanah mereka dan tak membuka hutan dan lahan gambut serta kawasan HCV.

Hermawansyah dari Lembaga Gemawan mengapresiasi hasil kajian independen FPP dan TuK Indonesia terhadap KPC. “Praktik-praktik buruk seperti itu jamak terjadi di konsesi perkebunan sawit di Kalbar,” katanya.

Dia menambahkan, hasil kajian Swandiri menemukan 31 hektar kawasan KPC masuk dalam kawasan hutan. Ini menunjukkan, perusahaan akan selalu memperluas kawasan, sebab makin luas lahan pasti ada raupan keuntungan.

Hal sama dikemukakan Ian Hilman dari WWF-Indonesia Program Kalbar. Dia menilai, hasil kajian FPP dan TuK Indonesia di Kapuas Hulu, ibarat luka lama yang tak kunjung sembuh. “Seingat saya, ada sembilan perusahaan milik Sinar Mas Group yang beroperasi di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum. Dari sembilan perusahaan itu, tujuh di antaranya tumpang tindih dengan kawasan hutan, bahkan hutan lindung.”

Sedangkan Arief Munandar dari Swandiri menambahkan, dari total perkebunan sawit di Kalbar, 70 persen hanya menyisakan konflik. “Pro kontra di tingkat masyarakat sangat tinggi. Masyarakat yang kontra selalu dikalahkan oleh masyarakat pro sawit.”

Referensi/link:

http://www.mongabay.co.id/2014/01/19/golden-agri-resources-di-kapuas-hulu-ada-perbaikan-tetapi-masih-abaikan-prinsip-rspo/

[TRIBUNPONTIANAK] TuK Indonesia Sesalkan Pembukaan Lahan Sawit Meluas di Kapuas Hulu

Sabtu, 18 Januari 2014 06:19 WIB

PerkebunanTribun

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Transformasi untuk Keadilan Indonesia, mengkritik masuknya perusahaan kelapa sawit yang merusak hutan dan lahan gambut di Kabupaten Kapuas Hulu semakin meluas.

Menurut Executive Director TuK Indonesia, Norman Jiwan, dengan perusahaan mengeluarkan kawasan hutan dan gambut di dalam konsesi merupakan cara yang masuk akal untuk mengurangi masalah di atas.

Hal itu disampaikannya dihadapan beberapa NGO seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar, WWF Kalbar, Gemawan dan wartawan, dalam acara Kajian Independen Dampak Sosial Kebijakan Konservasi Hutan Golden Agri Resources di Kabupaten Kapuas Hulu, di Sekretariat WALHI, Jl. Husni Thamrin Komplek Untan, Pontianak. Jumat (17/1/2014).

“Kapuas Hulu terkenal dengan danau-danaunya, lahan gambut yang luas dan perikanan darat yang melimpah, perusahaan kelapa sawit, mengabaikan kewajiban melakukan studi kepemilikan lahan atau pemetaan partisipatif hak-hak tanah adat. Belum lagi kompensasi murah dibayarkan kepada anggota masyarakat untuk memperoleh penyerahan lahan selamanya melalui proses yang tidak jelas,” ujarnya, kepada wartawan.

Lebih miris lagi, kata Norman, tidak ada satupun dari ratusan petani yang menjual tanah mereka kepada perusahaan sawit tertentu dan memiliki salinan kontrak penyerahan tanah mereka. Masyarakat yang terkena dampak mengalami lahan semakin sempit, bagi masyarakat nelayan mengeluh pencemaran sungai yang menyebabkan tangkapan ikan menurun.

Tapi menurut Norman, perusahaan terbuka untuk melakukan perbaikan dan telah menunjukkan keinginan baik di tingkat internasional, nasional dan lokal. Masyarakat pun mengakui adanya penghasilan tunai, pekerjaan meski upah murah, jalan, dan jasa layanan,” ucapnya. TuK merekomendasi adanya jaminan hak-hak masyarakat dan mencari pemulihan atas setiap pelanggaran. Apabila masyarakat menolak kelapa sawit, seluruh tanah-tanah desa tersebut harus dipetakan.

Sumber/tautan:

http://pontianak.tribunnews.com/2014/01/18/tuk-indonesia-sesalkan-pembukaan-lahan-sawit-meluas-di-kapuas-hulu

 

Siaran Pers Bersama: Gugatan Warga Ringinrejo, Blitar Melawan Kemenhut & PT. Holcim Indonesia Tbk.

Penunjukkan Kawasan Hutan Dari Lahan Pengganti PT. Holcim di Blitar Harus Dibatalkan
(Jakarta – 16/01/2014) Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] DKI Jakarta kembali sidangkan gugatan masyarakat desa Ringinrejo yang ditujukan kepada instansi Kementrian Kehutanan. Adapun yang menjadi objek gugatan tersebut adalah Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 367/Menhut-II/2013 yang menunjuk ± 724,23 Ha lahan yang kini ditempati dan digarap oleh 826 KK warga Ringinrejo sejak 16 tahun lalu sebagai lahan pengganti dari lahan yang dikelola PT. Holcim Indonesia Tbk. di Tuban.
Dalam persidangan hari ini, 8 warga Ringinrejo sebagai Penggugat mengajukan berbagai bukti, diantaranya adalah Laporan Tim Pertanahan Kabupten Blitar tahun 2011 yang menyatakan bahwasanya proses peralihan lahan pengganti dari PT. Semen Dwima Agung (Grup Holcim) tidak clear and clean karena secara faktual telah ada masyarakat yang mengelola lahan tersebut, sehingga harus diadakan musyarawah untuk menemukan solusinya.
Keputusan Menhut tersebut mengancam keberadaan 826 KK masyarakat Ringingrejo yang telah mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut dengan menanam palawija, buah semangka, melon, dan berbagai tanaman lainnya, yang merupakan sumber penghidupan mereka sejak tahun 1996. Kami juga mengindikasikan praktik yang tidak baik dalam proses pertukaran lahan antara PT. Holcim Indonesia Tbk. dengan Perhutani, karena lahan seluas 724,23 ha yang dijadikan pertukaran sudah beralih status menjadi tanah negara bebas sejak tahun 2009, setelah hak guna usaha PT. Semen Dwima Agung telah habis masa pakainya.
Setelah proses akuisisi tahun 2012, PT. Semen Dwima Agung (kini berada di bawah kepemilikan PT. Holcim Indonesia Tbk.), salah satu perusahaan produksi semen terbesar di Indonesia. Di bawah bendera Holcim, pada tahun 2013 PT. Semen Dwima Agung menyerahkan lahan seluas 796,93 ha. kepada Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan di desa Ringinrejo, Wates, Kabupaten Blitar. Permasalahan ini yang mendorong Paguyuban Petani Gondang Tapen untuk menggugat keputusan tersebut, mengingat belum jelasnya nasib 826 KK yang telah hidup dari tanah tersebut.
Kami mendesak agar PTUN DKI Jakarta dapat membatalkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 367/Menhut-II/2013 yang akan gusur  dan merampas kehidupan 826 KK di Ringinrejo, Blitar.
Demikian pernyataan pers ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, 16 Januari 2014
Hormat kami,
ELSAM – KPA – Sitas Desa – Sawit Watch – WALHI – Silvagama – Paguyuban Petani Gondangtapen – TuK INDONESIA.