Pos

Perbankan Turut Andil dalam Pembakaran Hutan

Credit: GEO TIMES

Credit: GEO TIMES


Jumat, 30 Oktober 2015 – 06:45
Transformasi untuk Keadilan (TUK) menilai hadirnya para perusahaan kelapa sawit Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas negara. Mereka adalah pemegang saham kendali di perusahaan tersebut, meski telah go public. Kendati demikian, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia yang terlibat dalam aksi kebakaran lahan, yaitu Sinar Mas dan Wilmar Grup.
Direktur Eksekutif TUK Norman Jiwan mengatakan, bukti bahwa perusahaan kelapa sawit dikuasai oleh dua grup diperkuat dari total landbank yang dikuasai Sinar Mas sebesar 788,907 hektare (ha) dan Wilmar Grup sebesar 342,850 ha. Di Indonesia, 25 grup bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit memiliki afiliasi pada perusahaan induk terbesar di Singapura, Kuala Lumpur, dan London. Kehadiran taipan dalam bisnis ini mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan jumlah besar dalam ekspansi bisnis.
“Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, tapi juga lembaga finansial, khususnya perbankan. Perbankan semestinya ikut bertanggung jawab dengan tidak memberikan kredit kepada perusahaan pembakar lahan dan menunda Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek,” kata Norman di Jakarta kemarin. “Tindakan itu untuk memberi efek jera finansial kepada perusahaan.”
Bukti bahwa perbankan nasional turut andil dalam pembakaran terlihat dari pembiayan utama yang diberikan pinjaman kepada taipan pada 2009-2013.  Bank asing yang paling besar membiayai taipan adalah HSBC (United Kingdom) sekitar US$ 1,7 miliar. Sedangkan perbankan nasional yang pertama adalah Bank Mandiri sekitar US$ 950 juta, disusul Bank Negara Indonesia sekitar US$ 450 juta, dan Bank Rakyat Indonesia sekitar US$ 380 juta.
Norman juga menjelaskan sejak bencana kabut asap melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan sejak pemerintah zaman Soeharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono.
Perusahaan taipan, lanjut dia, bukan tanpa masalah. Seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan bermasalah itu terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau. Hal itu bisa dilihat dari proses hukum perusahaan pembakar lahan yang belum tuntas. Bahkan pemerintah enggan mengungkap nama-nama perusahaan pembakar hutan dan lahan.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin. Kepala negara harus juga menindak tegas secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi rakyat atas lingkungan yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, pihaknya juga mendorong Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik.
Kemudian, apabila perusahaan terbukti membakar hutan dan lahan, pemerintah harus memberikan sanksi yang tegas. Di antaranya dengan penyitaan, denda disertai pengambilalihan manajemen perusahaan, sanksi terkait kegiatan perusahaan di Bursa Efek, publikasi perusahaan pembakar hutan, dan penangguhan atau pembatalan pinjaman untuk IPO.
Dengan adanya publikasi atas nama perusahaan pembakar hutan dan lahan, IPO bisa ditangguhkan atau dibatalkan. Salah satu tujuan IPO menghimpun dana dari masyarakat. Ini adalah sanksi yang sangat logis mengingat bank maupun pasar modal adalah lembaga intermediary yang menghimpun dana dari masyarakat luas. Ini bentuk komitmen OJK dan seluruh lembaga keuangan dalam mengimplementasikan finansial yang berkelanjutan di Indonesia.
Penulis: Reja Hidayat
Link: http://geotimes.co.id/perbankan-nasional-turut-andil-dalam-pembakaran-hutan/

[rri.co.id] Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK di Sektor Sumber Daya Alam

berita_214036_800x600_KABUT_ASAP29 October, 19:40 2015
KBRN, Jakarta -Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK INDONESIA.
Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. (Ridwan Z/AKS)
Link:
http://www.rri.co.id/post/berita/214036/ruang_publik/satu_tahun_evaluasi_kerja_kabinet_jokowijk_di_sektor_sumber_daya_alam.html

[KOMPAS.com] Pemerintah Diminta Tegas Tertibkan Perusahaan Pembakar Lahan

2000372KelapaSawit101442750790-preview780x390Selasa, 27 Oktober 2015 | 07:21 WIB
JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad mendorong agar Presiden Joko Widodo tidak lagi mengundang investor-investor berbasis sumber daya alam (SDA) agar tidak terjadi lagi ketimpangan dalam penguasaan SDA, seperti yang terjadi terhadap lahan-lahan kelapa sawit.
Chalid menyebutkan, berdasarkan data yang dirilis Transparansi untuk Keadilan Indonesia (TUK Indonesia), sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit di Indonesia menguasai 5,1 juta hektar lahan atau setara dengan setengah Pulau Jawa. Menurut data tersebut, kata dia, hanya 29 “pemain besar” yang menguasai lahan tersebut.
“Sungguh sebuah ketimpangan agraria yang sangat luar biasa,” ujar Chalid pada sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (26/10/2015).
Ia menilai, seharusnya pemerintah segera mencabut izin-izin perusahaan kelapa sawit yang melakukan pembakaran lahan, dan memulihkan kondisi lahan tersebut untuk dikelola oleh rakyat.
“Serahkan ke desa untuk mengelola. Rakyat diberdayakan. Kalau desa berdaya, pasti rakyat sejahtera,” katanya.
Chalid juga mengingatkan Jokowi agar tidak takut dengan ancaman-ancaman perusahaan tersebut.
“Ancamannya seperti ini, kami menguasai triliunan rupiah per putaran uang. Kalau kami dikenakan sanksi, maka ekonomi akan melambat, dua juta tenaga kerja akan menganggur. Itu ancaman yang selalu diberikan ketika perusahaan-perusahaan besar mau ditindak,” kata Chalid.
Ia menyarankan agar pemerintah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memeriksa keuangan pajak perusahaan-perusahaan tersebut, terutama dalam membayar pajak.
“KPK dan Dirjen Pajak seharusnya bekerja ekstra keras untuk memeriksa semua grup perusahaan tanaman sawit dan hutan tanaman industri (HTI) agar bisa terlihat apakah mereka patuh membayar pajak? Apakah ada relasi income yang mereka dapat dengan kejadian kebakaran hutan dan lahan?” kata Chalid.

Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:

Penulis : Nabilla Tashandra
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary

Link:
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/27/07212791/Pemerintah.Diminta.Tegas.Tertibkan.Perusahaan.Pembakar.Lahan

[SUARA PEMBARUAN] Menelusuri Jejak Taipan Kelapa Sawit di Indonesia

Perkebunan kelapa sawit. [Istimewa]

Perkebunan kelapa sawit. [Istimewa]

Sabtu, 28 Februari 2015 | 2:33
Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.
Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.
“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta.
Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp 1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih mereka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan, 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahun,” tuturnya.
Berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatera sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.
“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.
Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Uang Ilegal
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp 2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta.
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp 45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. [Ant/N-6]

Link:
http://sp.beritasatu.com/home/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia/79651

[ANTARA News] Menelusuri jejak taipan kelapa sawit di Indonesia

Sabtu, 28 Februari 2015 00:48 WIB | 6.124 Views

Oleh Benardy Ferdiansyah

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya.”

Jakarta (ANTARA News) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.

Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.

“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta, Kamis (12/2).

Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang akan berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih merrka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan bahwa sebanyak 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya,” tuturnya.
Kemudian, berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatra sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.


“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.

Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta, Kamis (12/2).
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.

(T.B020/B/D007/D007)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © ANTARA 2015

Link:
http://www.antaranews.com/berita/482508/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia

40 Persen Kelapa Sawit Taipan Belum Dikembangkan

Jakarta, (Antara Sumbar) – Direktur Program Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni mengatakan, 40 persen lahan kelapa sawit milik 25 grup bisnis yang dikendalikan oleh para taipan belum dikembangkan. “Ini berarti, dua juta hektare lahan yang dikuasai oleh 25 grup tersebut belum ditanami kelapa sawit. Sedangkan ada 3,1 juta hektare lahan yang sudah ditanam,” kata Rahmawati di Jakarta, Sabtu.
Ia menjelaskan, total lahan Indonesia yang dikendalikan 25 grup milik para taipan menjadi 5,1 juta hektare, baik yang telah ditanam maupun yang belum ditanam. “Itu setara dengan 51 persen total area tanam perkebunan sawit saat ini,” katanya.
Menurut Rahmawati, jika 2 juta hektare lahan yang belum ditanami para taipan tersebut akan dikembangkan pada tahun-tahun mendatang maka lahan yang ditanami kelapa sawit di Indonesia akan meningkat sebesar 20 persen menjadi 12 juta hektare. “Nantinya, kebun kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis tersebut akan meningkat dari 31 persen menjadi 43 persen,” ujarnya.
Ia menambahkan, grup bisnis terpenting dalam hal penguasaan lahan yang belum ditanami di Indonesia antara lain Sinar Mas, Triputra, Musim Mas, Surya Dumai, dan Jardine Matheson. Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.
TUK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bekerja pada isu lingkungan, SDA, dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia pembangunan. TUK Indonesia melakukan advokasi untuk pemenuhan hak-hak konstitusional rakyat Indonesia untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan integritas manusia. (*/sun)
Sumber: ANTARA Sumbar, 21 Februari 2015.

EnergiToday.com

EnergiToday.com

Jakarta, EnergiToday– Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka.


Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, seperti dikutip Republika Online, Minggu (22/2) .

Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. (fd/ro)

Link:

http://m.energitoday.com/2015/02/22/bank-dan-investor-eksternal-mudahkan-taipan-percepat-pertumbuhan-bisnis-kelapa-sawit/

EnergiToday.com

EnergiToday.com

Jakarta, EnergiToday– Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyatakan bank dan investor eksternal memudahkan taipan berinvestasi lebih besar untuk memodali bisnis kelapa sawit sehingga mempercepat pertumbuhan grup bisnis mereka.


Ia mengatakan, saat para taipan mengendalikan proses ekspansi sektor kelapa sawit, dana bank dan investor eksternal yang digelontorkan kepada mereka memungkinkan untuk mempercepat laju ekspansinya. “Meskipun, 25 grup bisnis kelapa sawit yang kami analisis sepenuhnya dikendalikan oleh para taipan, mereka tidak hanya bergantung pada kekayaan sendiri untuk membiayai ekspansinya,” kata Direktur Program TUK Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, seperti dikutip Republika Online, Minggu (22/2) .

Menurut Rahmawati, dari 25 induk perusahaan, ada 21 yang sudah terdaftar di pasar modal. Menurutnya, beberapa perusahaan juga mengeluarkan obligasi, terutama ke investor institusi sehingga perusahaan-perusahaan tersebut bisa menarik pinjaman bank.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta. Selanjutnya ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco. (fd/ro)

Link:

http://m.energitoday.com/2015/02/22/bank-dan-investor-eksternal-mudahkan-taipan-percepat-pertumbuhan-bisnis-kelapa-sawit/

[Investor Daily] "Potential Loss" Industri Sawit Capai Rp 127 Triliun

Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011.
Juru bicara Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).
Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melalui Inpres No 6 Tahun 2013.
Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.
Pernyataan Gapki itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520.000 hektare (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha, namun pada 2013 sudah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki dua juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini. (Investor Daily; Edisi Jumat, 13 Februari 2015).
Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia?” ungkap Tofan.
Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, Gapki menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (Tbk). Dalam catatan Gapki, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan di antaranya yang menjadi anggota Gapki. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 25 kelompok perusahaan itu data dari mana? Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.
Gapki menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas sembilan juta ha, seluas 35% di antaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN dan PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.
Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang bersifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori. “Kalau melakukan itu (perampasan lahan) tentu tidak akan mendapat sertifikat karena sertifikat ini bersifat legal yang membuktikan perusahaan sawit memnuhi standar yang berlaku,” kata dia.
Penulis: Tri Listiyarini/PCN
Sumber: Investor Daily
Link: http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html

[beritasatu.com] Potential Loss Industri Sawit Capai Rp 127 T

Selasa, 17 Februari 2015 | 05:04

JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui inpres No 10 Tahun 2011.

Juru bicara GAPKI Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).

Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melaui Inpres No 6 Tahun 2013.

Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.

Pernyataan GAPKI itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transpormasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu ha (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan kalimantan Timur.

Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke 25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.

Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia,” ungkap Tofan.

Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, GAPKI menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (tbk). Dalam cataan GAPKI, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan diantaranya yang menjadi anggota GAPKI. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 255 kelompok perusahaan itu data dari mana” Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.

GAPKI menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas 9 juta ha, seluas 35% diantaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN da PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.

Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikat RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang ebrsifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori.

Link:

http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html