Pos

PEMBAKARAN LAHAN: OJK Diminta Klarifikasi Keterlibatan Bank

Kabar28 OJK BIAnugerah Perkasa: Jum’at, 30/10/2015 05:01 WIB
Bisnis.com, JAKARTA— Otoritas Jasa Keuangan (OJK) diminta untuk mengklarifikasi sektor perbankan yang memberikan fasilitas pinjamannya kepada perusahaan-perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan di Sumatra serta Kalimantan sehingga berdampak pada masyarakat.
Hal itu mencuat dalam diskusi Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK Sektor Sumber Daya Alam di Jakarta. Norman Jiwon, Direktur Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, mengatakan OJK dapat menanyakan terkait dengan perbankan yang berada di bawahnya mengenai kliennya yang terlibat dalam pembakaran hutan.
“OJK dapat mengklarifikasi soal perbankan, apakah benar. OJK dapat mendorong perlindungan lingkungan dan sosial,” kata Norman dalam diskusi tersebut, Kamis (29/10/2015).
Dia menuturkan pihak perbankan menjadi penting karena sektor itulah yang memberikan dana bagi perusahaan-perusahaan untuk melakukan ekspansinya. Hal itu, sambung Norman, juga terkait dengan upaya OJK dalam mendorong Pembiayaan Berkelanjutan di sektor perbankan.
Riset Profundo dan TUK Indonesia pada awal tahun ini menemukan sedikitnya 20 bank yang terdiri dari bank asing dan bank domestik terlibat dalam pembiayaan besar grup bisnis kelapa sawit. Semua bank itu memberikan pembiayaannya kepada perusahaan-perusahaan yang mengontrol separuh lahan sawit di Indonesia, dari total sekitar 10 juta hektare. Perusahaan sawit dan kertas diduga terlibat dalam pembakaran hutan.
Selain itu, Norman menuturkan bank juga dapat memberikan sanksi kepada kliennya dengan menilai kembali fasilitas investasi maupun pinjaman yang diberikan kepada perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan. Setelah terbukti di pengadilan, kata dia, bank pun dapat mencabut semua fasilitasnya kepada korporasi tersebut.
“TUK Indonesia mendesak agar perbankan mencabut seluruh kontrak pinjaman dan fasilitas lainnya kepada perusahaan yang terbukti dalam kasus pembakaran hutan dan lahan,” katanya.
KORUPSI PERTAMBANGAN
Sementara itu, Koordinator Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengungkapkan konflik lahan di sektor pertambangan menjadi catatan merah bagi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Dia menuturkan konflik lahan justru semakin meningkat di area yang berdekatan dengan aktivitas pertambangan.
Menurutnya, persoalan tumpang tindih lahan masih terjadi dengan tidak adanya peta indikatif pemerintah. Selain itu, masalah pemberantasan korupsi di sektor pertambangan belum maksimal.
“Pemberantasan korupsi di sektor pertambangan masih minim,” kata Maryati dalam diskusi tersebut.
Direkorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM mencatat masih banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tak memiliki status CnC hingga kini, yakni sekitar 4.563 izin. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri sebelumnya meminta Kementerian ESDM untuk segera mencabut seluruh perizinan tersebut.
Walaupun demikian, Maryati mengungkapkan, pihaknya masih belum menemukan kemauan yang kuat oleh Kementerian ESDM untuk melakukan pencabutan terhadap izin bermasalah tersebut. “Kami tidak melihat kemauan politik yang kuat untuk menindak IUP non-CNC,” tegasnya.
Editor : Linda Teti Silitonga
Link:
http://finansial.bisnis.com/read/20151030/90/487230/pembakaran-lahan-ojk-diminta-klarifikasi-keterlibatan-bank

BI dan OJK Berperan Besar Tangani Pembakaran Hutan

OJK129 Oktober 2015.  Breaking News | Reja Hidayat
JAKARTA. Direktur Eksekutif Transparansi untuk Keadilan (TUK) Norman Jiwan mengatakan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan berperan penting menangani masalah pembakaran hutan dan asap. Pasalnya, dua lembaga tersebut bisa mendorong perbankan untuk selektif dalam memberi pendanaan berkelanjutan kepada perusahaan.
“OJK sudah memiliki mekanisme komplain terhadap keluhan masyarakat yang dirugikan. Akan tetapi mekanisme itu belum lengkap sampai ke peraturan bawah,” kata Norman di Cikini, Jakarta, Kamis (29/10). “Kita apresiasi langkah OJK dan kita dorong untuk melengkapi aturannya sehingga perbankan nasional mempunyai pedoman dalam pendanaan berkelanjutan.”
Dia menjelaskan, konsep mekanisme komplain OJK sama seperti di Bank Dunia. Namun, kalau di Indonesia perangkatnya belum ada sehingga belum bisa dilaksanakan. Sedangkan di Bank Dunia perangkatnya sudah lengkap, sehingga segera ditindaklanjuti ketika masyarakat menggunakan mekanisme komplain tersebut.
Masyarakat Sumatera dan NGO Indonesia pernah menggunakan mekanisme komplain di Bank Dunia. Pada tahun 2007, tambah Norman, perusahaan Wilmar Grup melakukan belasan pelanggaran sehingga masyarakat menggunakan mekanisme tersebut. Dengan adanya aduan itu, Bank Dunia selaku pemberi pinjaman terhadap Wilmar Grup memproses aduan dengan melibatkan perangkatnya dan  membuat putusan yang tepat.
“Dampak dari pengaduan masyarakat itu sangat besar. Hampir semua pendanaan untuk sektor sawit dihentikan di seluruh dunia,” ujar Norman. Hal serupa pernah terjadi pada Bank HSBC asal Hongkong. Pada 2010 ada komplain dari masyarakat sehingga HSBC memutuskan mengurangi pendanaan investasi di bidang kehutanan sebesar 40%.
“Ini bukti bahwa perbankan memiliki kekuatan besar untuk mengurangi atau memutuskan kontrak sepihak karena melanggar perjanjian,” kata Norman. Dia juga menyoroti pemerintah soal penanganan dampak pembakaran hutan dan asap. Pihaknya menilai pemerintah banyak menghabiskan energi di penanganan saja. Padahal, jika mau lihat lebih luas, pemerintah bisa mencari siapa pemberi pinjaman ke perusahaan pembakar lahan itu.
Karena itu, pihaknya meminta perbankan untuk meninjau kembali kontrak atau kerja sama investasi para perusahaan yang terlibat dalam pembakaran hutan dan lahan. Jika perlu cabut dan hentikan kontrak pinjaman dan fasilitas investasi lainnya.
Seperti diketahui, setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda musibah serius yang sampai sekarang tak bisa diselesaikan oleh pemerintah. Pertama, kekeringan dan kedua kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, tapi juga pada aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia.
Link:
http://geotimes.co.id/bi-dan-ojk-berperan-besar-tangani-pembakaran-hutan/

[rri.co.id] Satu Tahun Evaluasi Kerja Kabinet Jokowi-JK di Sektor Sumber Daya Alam

berita_214036_800x600_KABUT_ASAP29 October, 19:40 2015
KBRN, Jakarta -Setiap tahun dalam musim kemarau, Indonesia selalu dilanda masalah serius yang sampai sekarang tak kunjung bisa dituntaskan oleh pemerintah, pertama kekeringan dan kedua adalah bencana kabut asap. Kabut asap yang melanda Indonesia tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan warga, namun juga berdampak negatif terhadap aktivitas pendidikan, ekonomi, lalu lintas bahkan juga hubungan internasional Indonesia, bagaimana tidak, pasalnya negara tetangga seperti Malaysia, Singapura bahkan Australia mendapatkan dampak dari kabut asap ini.
Data sejumlah NGO yang konsen dalam isu-isu lingkungan menyimpulkan bahwa kabut asap terjadi karena adanya pembakaran lahan secara massal oleh korporasi yang bergerak dalam sektor perkebunan sawit. Lahan sengaja dibakar untuk membuka lahan agar siap ditanami, belum lama ini Walhi menemukan fakta bahwa bekas lahan yang terbakar di wilayah Kalimantan sudah ditanami sawit. BBC Indonesia melaporkan bila sejak awal September emisi karbon di Indonesia telah melampaui emisi karbon di Amerika yang menyebabkan kualitas udara di Indonesia tidak sehat yang dihasilkan dari terbakarnya 1,7 juta hektar lahan yang tersebar di Kalimantan seluas 770.000 hektar, 35,9% di lahan gambut. Sedang Sumatera Utara 593.000 hektar terbakar, dengan 45,5% lahan gambut dan Sumatera Selatan 221.704 hektar.
Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA menganggap bahwa hadirnya perusahaan-perusahaan kelapa sawit di Indonesia didominasi oleh taipan yang tergabung dalam konglomerasi lintas-negara. Mereka menjadi pemegang saham pengendali di perusahaan-perusahaan tersebut, meskipun telah go-public. Berdasarkan riset “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”, ada 2 grup dari 25 grup perusahaan kelapa sawit terbesar di Indonesia terlibat dalam aksi kebakaran lahan yaitu Sinar Mas dan Wilmar Group. Hal itu diperkuat dari total landbank yang dikuasai oleh Sinar Mas sebesar 788,907 ha dan Wilmar sebesar 342,850 ha.
“Di Indonesia tercatat ada 25 group bisnis yang bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit ini dan memiliki afiliasi pada perusahaan induk yang tersebar di Singapura, Kuala Lumpur dan London. Kehadiran Taipan dalam bisnis ini ternyata juga mendorong pihak perbankan memberikan kredit dengan mudah dan dalam jumlah besar untuk ekspansi bisnis. Jadi, kebakaran lahan tidak hanya domain perusahaan perkebunan, lembaga finansial dan khususnya perbankan mesti ikut bertanggung jawab dengan cara tidak memberikan kredit kepada perusahaan-perusahaan yang telah melakukan pembakaran lahan – dan tunda IPO di bursa efek” tutur Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan (TuK) INDONESIA.
Sejak bencana kabut asap mulai melanda Indonesia, pemerintah belum sepenuhnya mengambil langkah tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang dikendalikan para taipan. Sanksi pencabutan izin, denda atau pemenjaraan belum dilakukan pemerintah sejak zaman Suharto hingga Soesilo Bambang Yudhoyono. Perusahaan yang dikuasai para taipan bukan tanpa masalah, seabrek masalah menyelimuti korporasi ini, hanya saja pemerintah seperti menutup mata dan membiarkan perusahaan-perusahaan bermasalah ini terus menancapkan kukunya mengulang bencana setiap tahun di musim kemarau.
Komitmen Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres, Jusuf Kalla (JK) terhadap kelestarian lingkungan dan penanganan bencana kabut asap dinanti seluruh rakyat Indonesia. Ditetapkannya beberapa perusahaan perkebunan nasional dan perusahaan asing asal Malaysia menjadi tersangka pembakar hutan menjadi harapan dimulainya penghentian dominasi dan destruksi lahan dan lingkungan oleh korporasi. Hanya saja hingga saat ini kelanjutan dari proses hukum perusahaan-perusahaan itu belum juga tuntas.
“Dibutuhkan komitmen dan ketegasan kepala negara dalam masalah ini, tidak hanya dalam pencabutan izin namun juga dalam penindakan secara hukum demi kelestarian lingkungan dan melindungi hak rakyat atas lingkungan yang sehat. Dukung Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar dapat memainkan peran yang lebih kuat untuk mengembangkan pedoman uji tuntas bagi kredit korporasi menuju mekanisme akuntabilitas yang baik,” seru Vera Falinda, Stakeholder Relation Officer TuK INDONESIA.
Sementaraitu, Publish What You Pay (PWYP) Indonesia sebuah koalisi masyarakat sipil yang fokus terhadap isu tata kelola migas dan tambang, menilai masih banyak pekerjaan rumah yang masih tertunda pada rezim Jokowi-JK selama satu tahun ini.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PWYP Indonesia menyebutkan, di sektor migas, Nawa Cita sebagai pedoman pengelolaan Migas di Indonesia, terutama terkait strategi ketahanan energi dan semakin tipisnya cadangan migas nasional masih belum menunjukan hasil signifikan, upaya eksplorasi dinilai belum maskimal untuk memperoleh cadangan baru. Percepatan revisi UU Migas dan memastikan seluruh subtansinya sesuai dengan konstitusi dan memiliki keberpihakan yang kuat terhadap kepentingan rakyat juga masih dipertanyakan kelanjutannya.
Selama setahun terakhir, upaya mencegah praktik-praktik mafia migas yang diduga bermain dalam setiap rantai nilai industri migas dari hulu maupun hilir telah dilakukan. “PWYP Indonesia masih menunggu hasil audit investigasi soal Petral.Hasil audit itudiharapkan menjadi acuan untuk ditindak lanjuti dalam ranah hukum,” tegas Maryati.
Untuk sektor minerba yang harus menjadi fokus perhatian antara lain terkait hilirisasi dan peningkatan nilai tambah pertambangan, renegosiasi Kontrak Karya (KK), serta penataan ijin-ijin pertambangan dan penegakan standar dlingkungan dan social dari kegiatan pertambangan. Di sektor minerba proses yang tertunda adalah KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Sampai dengan batas waktu renegosiasi yang diberikan UU No 4/2009 tentang Minerba, ternyata baru 1 KK yang menandatangani amandemen dan 10 PKP2B yang telah menandatangi amandemen masih ada 96 KK dan PKP2B yang masih perlu ditindaklanjuti.
“Renegosiasi tersebut terutama terkait 6 isu strategis: luas wilayah kerja; kelanjutan operasi pertambangan; penerimaan negara; kewajiban pengolahan dan pemurnian; kewajiban divestasi; kewajiban penggunaan tenaga kerja, barang dan jasa pertambangan dalam negeri,” ujarnya. Soal renegosiasi Freeport, PWYP Indonesia mendesak pemerintah untuk transparan dalam proses renegosiasinya. Dan memastikan posisi kedaulatan dan kepentingan bangsa Indonesia di dalamnya sebagai prioritas utama.
Terkait dengan problem tata kelola pertambangan, PWYP Indonesia mengatakan, pemerintah harus segera menuntaskan penataan izin. Hingga awal Agustus 2015 lalu, izin usaha pertambangan (IUP) yang belum berstatus clear and clean (CnC) masih sebanyak 4.563 (42%) dari IUP yang tercatat di ditjen minerba yakni sebanyak 10.922 IUP. Dirjen Minerba berjanji sebelumnya di bulan Juli 2015 lalu, jika masih ada IUP yang belum CnC mereka akan mengambil alih untuk mencabutnya. Namun, kami tidak melihat adanya kemauan politik yang kuat dari Dirjen Minerba untuk menindak IUP non-CnC.
Tumpang tindih kawasan pertambangan dengan kawasan hutan dan perkebunan sampai dengan pengawasan terhadap pelaksanaan jaminan reklamasi dan pasca tambang. Belum optimalnya penerimaan Negara bukan pajak (PNBP) sector pertambangan baik dari royalty maupun iuran tetap (land rent) juga harus mendapatkan perhatian. “berdasarkan perhitungan Publish What You Pay Indonesia total potential lost untuk sewa tanah atau land rent (IUP eksplorasi U$ 2 per hektar dan operasi produksi US$ 4 per hektar) di 30 provinsi penghasil minerba di seluruh Indonesia sejak 2010-2013 mencapai Rp 1,55 triliun,” tegas Maryati.
Salah satu fokus lagi adalah memastikan kembali pelaksanaan komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) sebagaimana dinyatakan dalam Perpres No 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Penerimaan Negara dan Daerah yang Diterima dari Sektor Industri Ekstraktif Migas dan Pertambangan. (Ridwan Z/AKS)
Link:
http://www.rri.co.id/post/berita/214036/ruang_publik/satu_tahun_evaluasi_kerja_kabinet_jokowijk_di_sektor_sumber_daya_alam.html

[kontan.co.id] Kinerja Jokowi-JK di sektor SDA jeblok

Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Rimbo Panjang Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (9/10). Presiden meminta penanganan untuk pencegahan kebakaran lahan dan hutan ke depan yang paling efektif adalah dengan memperbanyak sekat kanal dan embung penampung air. ANTARA FOTO/FB Anggoro/nz/15.

Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat meninjau penanganan kebakaran lahan di Desa Rimbo Panjang Kabupaten Kampar, Riau, Jumat (9/10). Presiden meminta penanganan untuk pencegahan kebakaran lahan dan hutan ke depan yang paling efektif adalah dengan memperbanyak sekat kanal dan embung penampung air. ANTARA FOTO/FB Anggoro/nz/15.


Kamis, 29 Oktober 2015 / 18:38 WIB.
JAKARTA. Potret kinerja pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di sektor sumber daya alam (SDA) terkait pertanian, kehutanan dan pertambangan dinilai masih jeblok.
Hal tersebut mencuat dalam diskusi catatan masyrakat sipil dalam setahun kinerja Jokowi-JK yang digelar Publish What You Pay (PYWP) bersama Transformasi untu Keadilan (TuK) Indonesia di Jakarta, Kamsi (29/10).
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif TuK Indonesia mengatakan, langkah pemerintah dalam penanganan kebaran hutan hingga saat ini masih belum optimal.
Bahkan, kebakaran lahan yang menyebabkan bencana asap justru semakin meningkat.
Padahal, peran pemerintah untuk penanggulangan kebarakan hutan sudah jelas dalam peraturan.
Yakni, ada dalam UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 19/2014 terkait Perppu UU Kehutanan, serta UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Menurut Norman, seharusnya pemerintah memberikan sanksi maksimal pada pelaku pembarakan hutan agar bisa menimbulkan efek jera mulai dari penyitaan aset, denda, maupun sanksi pidana.
“Pemerintah juga harus menerapkan sanksi khusus misalnya perusahaan yang terdaftar dalam bursa efek,” ujar dia.
Maryati Abdullah, Koordinator Nasional PYWP Indonesia mengatakan, kinerja pemerintah dalam sektopr pertambangan baik minyak dan gas bumi maupun mineral dan batubara juga masih minim.
“Misalnya, aspek regulasi seperti revisi UU Migas belum selesai sampai sekarang,” kata dia.
Pekerjaan rumah lainnya berupa renegosiasi kontrak tambang yang diwariskan pemerintahan sebelumnya juga masih jalan ditempat.
Bahkan penataan 4.000-an izin usaha pertambangan (IUP) bermasalah sampai saat ini berlum terselesaikan.
Maryati bilang, catatan positif di sektor SDA dan energi dalam satu tahun kinerja Jokowi-JK yakni telah berhasil menurunkan beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan upaya peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT).
Link: http://nasional.kontan.co.id/news/kinerja-jokowi-jk-di-sektor-sda-jeblok