Pos

[ANTARA News] Menelusuri jejak taipan kelapa sawit di Indonesia

Sabtu, 28 Februari 2015 00:48 WIB | 6.124 Views

Oleh Benardy Ferdiansyah

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

Sebagian Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau, yang mulai ditanami kelapa sawit setelah dibakar oleh perambah pada foto (9/9/2013). (ANTARA FOTO/Iskandar)

area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya.”

Jakarta (ANTARA News) – Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia mengadakan riset terhadap 25 grup usaha kelapa sawit yang dikendalikan oleh para taipan berdasarkan lahan kelapa sawit yang dikuasai oleh mereka di Indonesia.

Taipan berasal dari kata dalam bahasa Jepang “taikun” yang secara harfiah berarti “tuan besar”.

“Riset ini dilakukan untuk membahas bagian mana dari sektor minyak sawit Indonesia yang didominasi oleh kelompok usaha yang dikendalikan oleh taipan serta siapa saja yang mengendalikan grup-grup bisnis tersebut,” kata Direktur Program TUK Indonesia Rahmawati Retno Winarni dalam Workshop Media atas Kajian TUK Indonesia “Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia” di Jakarta, Kamis (12/2).

Ia menjelaskan, dari 25 induk perusahaan sawit tersebut, sebanyak 21 perusahaan telah terdaftar di bursa saham, antara lain 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London.
“Hanya empat perusahaan yang dimiliki secara pribadi, salah satunya adalah Triputra Agro Persada yang akan berencana untuk mendaftar di bursa saham,” katanya.
Menurut Rahmawati, meskipun kebanyakan 21 perusahaan tersebut telah terdaftar di bursa saham, tidak berarti bahwa perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki publik.
“Dalam arti bahwa kepemilikan mereka tersebar di sejumlah besar investor swasta dan kelembagaan,” tuturnya.
Berdasarkan penelitiannya, menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan tersebut sebenarnya dikendalikan oleh taipan dan keluarga meraka, bisa satu atau beberapa orang di setiap perusahaan.
“Taipan tersebut belum tentu memiliki saham mayoritas, tetapi mereka selalu memiliki saham terbesar yang memberikan kemampuan untuk mengendalikan manajemen dan strategi perusahaan,” tuturnya.
Selain itu, kata Rahmawati berdasarkan data dari Forbes dan Jakarta Globe, total kekayaan dari 25 grup bisnis tersebut diperkirakan mencapai 69,1 miliar dolar AS.
“Bahkan, bila dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 878 miliar dolar AS pada tahun 2012, jelas bahwa taipan-taipan tersebut mengontrol kekayaan yang sangat besar,” tuturnya.
Apabila dibandingkan dengan APBN 2014 sebesar Rp1.800 triliun, kata dia, kekayaan bersih merrka setara dengan 45 persen APBN Indonesia, sesuai dengan kurs yang berlaku Juli 2014.
Kontrol Lahan
Rahmawati mengatakan bahwa sebanyak 25 grup usaha kelapa sawit juga telah mengontrol 3,1 juta hektare lahan kebun kelapa sawit di Indonesia.
“Data tersebut berdasarkan statistik yang disajikan oleh grup bisnis kelapa sawit itu sendiri, antara lain dalam laporan tahunannya,” kata Rahmawati.
Ia menjelaskan areal seluas 3,1 juta hektare tersebut sama dengan 31 persen total area yang ditanami kelapa sawit di Indonesia saat ini sebesar 10 juta hektare.
“Grup kelapa sawit yang paling mendominasi dalam luasan wilayah tanam adalah Sinar Mas, Salim, Jardine Matheson, Wilmar, dan Surya Dumai,” katanya.
Menurut Rahmawati, dalam lima tahun terakhir, daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35 persen dari 7,4 juta hektare pada tahun 2008 menjadi 10 juta hektare pada tahun 2013.
“Ini setara dengan peningkatan sebesar 520.000 hektare per tahun. Artinya, area dengan luas mendekati Pulau Bali diubah menjadi perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya,” tuturnya.
Kemudian, berdasarkan riset dari TUK Indonesia, dari seluruh wilayah Indonesia, sekitar 62 persen lahan kelapa sawit yang dikendalikan 25 grup bisnis berada di Kalimantan dikuasai.
“Kalimantan Barat adalah provinsi dengan penguasaan lahan terbesar para taipan sebesar 1,2 juta hektare. Kemudian ada Kalimantan Tengah satu juta hektare, Kalimantan Timur 594.000 hektare, dan Kalimantan Selatan 158.000 hektare,” katanya.
Sementara itu, untuk daerah lain berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain terletak di Sumatra sebesar 32 persen, Sulawesi 4 persen, dan 2 persen di Papua.
Menarik Pinjaman Bank
TUK Indonesia, lembaga swadaya masyarakat bidang isu lingkungan dan sumber daya alam,  menyebutkan dari 2009 sampai 2013, bank-bank memberikan pinjaman dengan nilai 11,3 miliar dolar AS untuk 25 kelompok bisnis kepala sawit di Indonesia.


“Lembaga keuangan dalam dan luar negeri juga perlu mengakui bahwa proses konsentrasi bank tanah dan kekuasaan di sektor kelapa sawit di tangan sekelompok elite. Selanjutnya, difasilitasi oleh dana dari bank dan investor eksternal untuk mempercepat ekspansi mereka,” kata Rahmawati.

Menurut dia, bank-bank tersebut juga telah menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi grup bisnis tersebut dengan nilai total 2,3 miliar dolar AS.
“Bank Mandiri sebagai bank domestik terbesar yang memberikan pinjaman atau pembiayaan tersebut, sedangkan untuk bank asing, antara lain HSBC (Inggris), OCBC (Singapura), dan CIMB (Malaysia),” katanya.
Bank-bank penting lain yang memberikan jaminan adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat), dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Sementara itu, Peneliti Kebijakan Ekonomi Forum Pajak Berkeadilan (FPB), Wiko Saputro mengatakan Indonesia merupakan negara peringkat ketujuh dalam aliran uang ilegal sebesar Rp2.254 triliun dalam 10 tahun terakhir.
“Aliran uang ilegal tersebut salah satu penyebabnya karena praktik pengemplangan pajak dan penghindaran pajak,” kata Wiko di Jakarta, Kamis (12/2).
Ia menjelaskan praktik-praktik tersebut sering terjadi pada sektor kelapa sawit yang merugikan negara sebesar Rp45,9 triliun.
“Salah satu indikatornya adalah maraknya praktik tax evasion dan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit,” katanya.
Berikut 25 grup kelapa sawit yang dikendalikan para taipan berdasarkan riset TUK Indonesia, antara lain Wilmar, Sinar Mas, IOI, Raja Garuda Mas, Batu Kawan, Salim, Jardine Matheson, Musim Mas, Surya Damai, Genting, Darmex Agro, dan Hanta.
Selanjutnya, ada Tiga Pilar Sejahtera, DSN, Sungai Budi, Kencana Agri, Triputra, Sampoerna Agro, Anglo-Eastern, Bakrie, Tanjung Lingga, Austindo, Rajawali, Provident, dan Gozco.

(T.B020/B/D007/D007)

Editor: Aditia Maruli

COPYRIGHT © ANTARA 2015

Link:
http://www.antaranews.com/berita/482508/menelusuri-jejak-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia

Wah! 29 Taipan Kuasai 5 Juta Hektar Lebih Lahan Sawit

Data teranyar, Kementerian Pertanian, kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 juta hektar. Dari penelitian TuK Indonesia, memperlihatkan, dari 29 taipan yang menguasai 25 grup perusahaan, masih ada dua juta hektar belum ditanami. Kala ekspansi berjalan, berpotensi merusak alam dan menciptakan konflik sosial sangat besar, seperti yang selama ini terjadi. Foto: Sapariah Saturi

Data teranyar, Kementerian Pertanian, kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 juta hektar. Dari penelitian TuK Indonesia, memperlihatkan, dari 29 taipan yang menguasai 25 grup perusahaan, masih ada dua juta hektar belum ditanami. Kala ekspansi berjalan, berpotensi merusak alam dan menciptakan konflik sosial sangat besar, seperti yang selama ini terjadi. Foto: Sapariah Saturi


Sebuah studi dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo,  memperlihatkan betapa 29 taipan pemilik 25 kelompok bisnis sawit menguasai lahan lima juta hektar lebih, dengan 3,1 juta hektar sudah ditanami. Pengembangan sisa lahan sawit seluas dua juta hektar, terbuka lebar karena dukungan lembaga keuangan sangat kuat kepada mereka. Kondisi ini, berpotensi memicu kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Total kekayaan 29 taipan ini diperkirakan US$69,1 miliar. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) 2012, sebesar US$878 miliar,  jelas para taipan ini mengontrol kekayaan begitu besar. Kala dibandingkan dengan APBN Indonesia 2014, sebesar Rp1.800 triliun, kekayaan segelintir orang ini setara 45% APBN!
Dari 29 itu, taipan terpenting dalam penguasaan lahan ini adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group. Wilmar Group dan Surya Dumai Group.
Penelitian itu menyebutkan, selama 2008-2013, terjadi kenaikan lahan perkebunan sawit dari 7,4 juta hektar menjadi 10 juta hektar. Peningkatan ini,  sebesar 520 ribu hektar atau setara luas Bali lahan berubah menjadi kebun sawit per tahun!
Dari 25 grup perusahaan sawit ini, memiliki 5,1 juta hektar, dan baru ditanami 3,1 juta hektar. Berarti masih 40% lahan 25 grup bisnis belum ditanami, antara lain milik Sinar Mas Group, Triputra Group, Musim Mas Group, Surya Dumai Group dan Jardine Matheson Group. Lahan-lahan sawit ini tersebar di beberapa provinsi seperti Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dan lain-lain.
Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK Indonesia mengatakan, kondisi saat ini saja, pengembangan sawit telah menciptakan banyak masalah, dari konversi hutan, pencemaran sampai konflik-konflik sosial di masyarakat.
“Jika 2 juta hektar itu ditanami tahun-tahun mendatang, konsekuensi sosial dan lingkungan bisa sangat besar,” katanya dalam workshop di Jakarta, Kamis (12/2/15).
Areal yang telah ditanami sawit di Indonesia. Sumber: laporan TuK Indonesia
Sumber: laporan TuK Indonesia
Peluang ekspansi sawit sangat besar ke depan, katanya, karena pendanaan mendukung. Tak hanya dari taipan atau modal sendiri juga dukungan besar dari perbankan maupun lembaga keuangan lain.
Dari riset ini terlihat, periode 2009-2013, teridentifikasi pinjaman total US$11,3 miliar oleh bank kepada 25 kelompok sawit milik taipan ini. Bank paling utama penyedia pinjaman kepada taipan sawit adalah HSBC (United Kingdom), OCBC (Singapura ) dan CIMB (Malaysia).
Tak hanya itu, bank investasi juga menjadi penjamin (underwriter) penerbitan saham dan obligasi dari 25 grup bisnis sawit ini senilai US$2,3 miliar. “Artinya, bank membantu perusahaan menarik dana dari investor senilai itu.”Adapun underwriter penting adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat) dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Jadi, kata Wiwin, begitu biasa disapa, tampak jelas konsentrasi kepemilikan lahan sektor sawit difasilitasi lembaga keuangan domestik dan asing. Bank, katanya,  menyediakan pinjaman, bank investasi menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi. Lalu, dana pensiun dan investor lain membeli obligasi dan saham.  “Lembaga keuangan menawarkan para taipan sarana mempercepat ekspansi bisnis.”
Ambil peran dan arah kebijakan
Guna mereformasi sektor ini, katanya, ‘penyandang dana’ dari berbagai sumber itu, harus memegang tanggung jawab bersama atas problem sosial dan lingkungan yang terjadi. Dengan begitu, jika dipandang dari peluang perbaikan, mereka ini bisa berperan besar dalam mereformasi sektor sawit ini.
Untuk itu, ada beberapa rekomendasi dari riset ini, antara lain, pertama, lembaga keuangan dalam dan luar negeri harus memperkuat kebijakan risiko sosial dan lingkungan serta meningkatkan penilaian risiko dan mekanisme akuntabilitas.
Dengan begitu, lembaga keuangan, katanya, menghindari memfasilitasi pertumbuhan sawit dari pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah, konflik sosial, eksploitasi pekerja dan petani kecil.
Kedua, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bisa memainkan peran sangat penting dengan memastikan lembaga keuangan mengembangkan mekanisme akuntabilitas yang baik dan mengadopsi kebijakan keberlanjutan.
Ketiga, para pihak perlu mempromosikan pembangunan ekonomi berkeadilan. “Kaji ulang pemanfaatan lahan sangat besar untuk ketahanan pangan, tanaman pangan buat dalam negeri daripada terus ekspor.” Lalu, perkuat konservasi hutan dan usaha pariwisata serta mengembangkan tanaman komoditas lain yang bisa mengintegrasikan hulu ke hilir.
Areal yang sudah dan belum tanam sawit milik taipan. Sumber: laporan TuK Indonesia
Areal belum tanam miik taipan. Sumber: laporan TuK Indonesia
Keempat, perlu menciptakan kaitan antara peningkatan produktivitas kebun, pengelolaan pekebun dan perizinan. “Diharapkan, dalam pemberian izin, misal ada syarat, perusahaan tak akan mendapat izin kalau produktivitas tak naik, juga hubungkan bagaimana perusahaan bangun hubungan baik dengan masyarakat.”
Kelima, industri sawit memerlukan investasi lebih integral, meliputi sektor hilir, tidak hanya penyulingan minyak tetapi sampai pengolahan bahan makanan dan produk-produk oleokimia.
Menanggapi ini Edi Setijawan, Deputi Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, pinjaman dari lembaga keuangan, porsi sawit kira-kira sekitar 60-70%. “Memang bank-bank banyak masuk ke sawit dibanding sektor pertanian lain. Itu kelihatan dari portopolio mereka. Ini indikasi bisnis sawit menguntungkan,” katanya.
Namun, dana-dana dari berbagai lembaga keuangan itu banyak dari luar bukan bank-bank di Indonesia hingga OJK tak bisa mengawasi. “Ini pola sama di sektor energi. Jadi kita tak tahu modal yang berseliweran itu berapa? Investor langsung bawa ke Indonesia.”
Hal menarik lagi dari laporan itu, katanya, lembaga keuangan yang memberikan pendanaan kepada 25 grup bisnis itu adalah mereka yang sudah mengadopsi pinsip-prinsip berkelanjutan global.  “Pertanyaannya, apa itu diterapkan di Indonesia? Apakah (kala) induk terapkan, misal Rabbo Bank, anak usaha di Indonesia juga menerapkan standar ‘hijau’ yang sama dengan induk?”
OJK, katanya, melakukan peningkatan pengawasan dan koordinasi dalam implementasi keuangan berkelanjutan. Dia menyadari, pelaksanaan pengawasan belum optimal. Untuk itu, lembaga ini akan menyempurnakan pedoman buat pengawasan. “Bagi yang tak paham lingkungan mulai dikenalkan.”
Namun Edi menyadari, OJK memiliki keterbatasan dalam pemahaman lingkungan.  Untuk itu, perlu dukungan dari luar, seperti organisasi lingkungan dan masyarakat sipil lain. “Kami ada batas karena bukan ahli. Jadi support dari luar itu penting.”
Yang green dari OJK
OJK, kata Edi, tahun lalu meluncurkan roadmap of sustainable finance (roadmap jasa keuangan berkelanjutan). “Ini jangka panjang dan desain lima sampai tujuh tahun ke depan. Ini perlu kerja sama dengan semua pihak. Ia bisa jadi pedoman jasa keuangan termasuk stakeholder lain, guna dorong sustainable finance di Indonesia” kata Edi.
Lembaga ini  juga mengembangkan green product, seperti green insurance, green bond, green index dan lain-lain. Tujuannya, bagaimana dorong penyediaan pendanaan berkelanjutan, baik bank maupun non bank. Tak hanya memciptakan produk tetapi bagaimana menciptakan permintaan produk keuangan ramah lingkungan. “Misal, green bond, siapa yang mau beli? Tabungan ramah lingkungan siapa yang mau beli? So creating demand. Saat ini baru ada potential demand.”
Areal di bawah kendali taipan berdasarkan provinsi. Sumber: laporan TuK
Sumber: laporan TuK Indonesia