Pos

[Investor Daily] "Potential Loss" Industri Sawit Capai Rp 127 Triliun

Jakarta-Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011.
Juru bicara Gapki Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).
Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melalui Inpres No 6 Tahun 2013.
Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.
Pernyataan Gapki itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520.000 hektare (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha, namun pada 2013 sudah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki dua juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini. (Investor Daily; Edisi Jumat, 13 Februari 2015).
Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia?” ungkap Tofan.
Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, Gapki menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (Tbk). Dalam catatan Gapki, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan di antaranya yang menjadi anggota Gapki. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 25 kelompok perusahaan itu data dari mana? Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.
Gapki menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas sembilan juta ha, seluas 35% di antaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN dan PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.
Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) yang bersifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori. “Kalau melakukan itu (perampasan lahan) tentu tidak akan mendapat sertifikat karena sertifikat ini bersifat legal yang membuktikan perusahaan sawit memnuhi standar yang berlaku,” kata dia.
Penulis: Tri Listiyarini/PCN
Sumber: Investor Daily
Link: http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html

[beritasatu.com] Potential Loss Industri Sawit Capai Rp 127 T

Selasa, 17 Februari 2015 | 05:04

JAKARTA – Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan bahwa penghentian sementara (moratorium) perizinan di atas hutan alam primer dan lahan gambut membuat tidak ada lagi ekspansi lahan perkebunan sawit di Tanah Air. Akibatnya, industri sawit kehilangan potensi pendapatan (potential loss) sebesar US$ 10 miliar atau setara Rp 127 triliun sejak kebijakan moratorium tersebut diberlakukan pada Mei 2011 melalui inpres No 10 Tahun 2011.

Juru bicara GAPKI Tofan Mahdi mengungkapkan, potensi kehilangan pendapatan tersebut dengan asumsi perolehan devisa ekspor yang tidak maksimal karena tidak bertambahnya luas lahan sawit. Itu belum memasukkan besarnya penyerapan tenaga kerja yang ditimbulkan dengan adanya ekspansi lahan sawit. “Industri sawit begitu strategis, pada 2014 misalnya sumbangan devisa dari sawit mencapai US$ 21 miliar, nomor satu dari sektor nonmigas,” kata dia kepada Investor Daily di Jakarta, Senin (16/2).

Kebijakan moratorium tersebut keluar saat pemerintahan SBY dan akan berakhir pada Mei 2015, hingga saat ini belum jelas apakah akan diperpanjang masa berlakunya. Kebijakan moratorium pertama kali keluar pada Mei 2011 melalui Inpres No 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut dan berlaku sampai Mei 2013. Aturan itu kembali diperpanjang dua tahun atau sampai Mei 2015 melaui Inpres No 6 Tahun 2013.

Menurut Tofan, sejak adanya kebijakan itu, tidak ada ekspansi lahan sawit di Tanah Air. Kalaupun ada ekspansi, itu hanya bisa dilakukan di lahan terdegradasi yang saat ini pengusaha tidak tahu bagaimana peta dan regulasinya. Atau kalau ada perusahaan sawit yang bertambah lahannya, bisa jadi itu karena perusahaan bersangkutan mengambil alih lahan dari perusahaan lain. “Potential loss yang dialami industri sawit sejak adanya kebijakan moratorium itu mencapai US$ 10 miliar,” ungkap dia.

Pernyataan GAPKI itu sekaligus menjadi penyeimbang atas hasil penelitian Transpormasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang menyebutkan bahwa ekspansi perkebunan sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu ha (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan kalimantan Timur.

Di sisi lain, penelitian TuK juga menyebutkan, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke 25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.

Menurut Tofan Mahdi, bisa jadi penelitian TuK Indonesia tidak memasukkan asumsi tentang adanya kebijakan moratorium perizinan di atas hutan alam dan lahan gambut. Padahal, kebijakan moratorium tersebut membuat tidak ada ekspansi lahan yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan sawit nasional. “Apakah TuK Indonesia sudah tahu kalau masih ada kebijakan moratorium yang membuat tidak ada ekspansi lahan sawit di Indonesia,” ungkap Tofan.

Terkait kepemilikan lahan oleh 25 kelompok usaha, GAPKI menilai TuK Indonesia hanya mengambil dari laporan keuangan perusahaan, terutama yang sudah terbuka (tbk). Dalam cataan GAPKI, saat ini ada 3.600 perusahaan sawit dan 700 perusahaan diantaranya yang menjadi anggota GAPKI. “Lalu angka 31% lahan sawit yang dikuasai 255 kelompok perusahaan itu data dari mana” Metodenya bagaimana?” ungkap Tofan.

GAPKI menyatakan bahwa dari total kebun sawit di Tanah Air seluas 9 juta ha, seluas 35% diantaranya dimiliki oleh perusahaan negara (PTPN da PT RNI), lalu seluas 30% dimiliki perusahaan besar swasta, termasuk asing, dan 40% lainnya dimiliki oleh perkebunan rakyat. “Jadi, lahan sawit di Indonesia itu mayoritas dimiliki oleh rakyat,” kata dia.

Dia juga mengungkapkan, hasil penelitian TuK Indonesia yang menyatakan bahwa perkebunan sawit telah merampas lahan masyarakat juga tidak benar. Perusahaan sawit di Indonesia umumnya telah memenuhi standar pengelolaan perkebunan yang baik dengan mengantungi sertifikat RSPO (Roundtable Sustainable Palm Oil) yang ebrsifat sukarela dan ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) yang bersifat mandatori.

Link:

http://www.beritasatu.com/ekonomi/249806-potential-loss-industri-sawit-capai-rp-127-triliun.html

[SAWITINDONESIA] PERKEBUNAN SAWIT DOMINAN MILIK RAKYAT BUKAN TAIPAN

JAKARTA, SAWITINDONESIA – Data LSM Transformasi untuk Keadilan (TuK) bahwa perkebunan sawit dikuasai 25 taipan dipertanyakan keabsahannya. Pasalnya, luas lahan yang dikuasai petani mencapai 4,2 juta hektare.

Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, mengatakan  komposisi struktur kepemilikan lahan sekitar 42% dimiliki oleh petani dan sisanya milik perusahaan swasta serta negara. Pasalnya, bisnis sawit ini memang membutuhkan sumber daya, teknologi dan modal yang kuat.

Dia  menyayangkan riset NGO yang semestinya dibuat menyeluruh dan semua pemangku kepentingan sehingga bukan melihat dari satu aspek saja.  Berkaitan dengan lahan, menurutnya, jalan ditempuh melalui jalur hukum.

Prosedur dapat melalui dialog bilateral lewat negosiasi apabila tak berhasil dapat dilakukan  mediasi oleh pemerintah,” katanya.

Sebelumnya, muncul laporan yang dibuat Transformasi untuk Keadilan (TuK) bahwa perkebunan sawit nasional didominasi 25 grup bisnis kelapa sawit. Luas lahan ini yang didominasi mencapai 5,1 juta hektare terdiri dari 3,1 juta hektare sudah ditanami dan sisanya belum tertanam. Selain itu, disebutkan pula konsentrasi lahan sangat kuat di Kalimantan atau setara 98% dari luas saat ini ditanami kelapa sawit di Kalimantan.

Tungkot Sipayung, Direktur Eksekutif PASPI, menjelaskan laporan NGO tersebut bagian dari skenario anti sawit. Kalau perusahaan memperoleh lahan sesuai dengan regulasi artinya tidak ada masalah. Tetapi kalau mereka melanggar silakan saja ditindak sesuai hukum.

Saat ini, gerakan anti sawit melalui beberapa saluran dengan alasan keadilan, masyarakat adat, lingkungan, dan HAM. LSM harus fair juga kalau ada masalah besar ya aturan diubah. Jangan karena sawit semua menjadi salah,” tegas Tungkot.

Link:

http://sawitindonesia.com/berita-terbaru/perkebunan-sawit-dominan-milik-rakyat-bukan-taipan

25 Grup Bisnis Sawit ini Dituding Rampas Lahan untuk Ekspansi

sawit-14

Sebuah Riset berjudul “Tycoon in the Indonesian Palm Oil” menyatakan sekelompok kecil konglomerat menjadi penentu bagi pengembangan sektor kelapa sawit di Indonesia


Bisnis.com, JAKARTA – Riset terbaru mengungkapkan 25 grup bisnis di sektor perkebunan sawit turut bertanggung jawab atas terjadinya dugaan perampasan lahan, pelanggaran hak ekonomi masyarakat di Indonesia seiring ekspansi perusahaan di sektor tersebut.
Riset berjudul Tycoon in the Indonesian Palm Oil menyatakan ekspansi luar biasa perkebunan kelapa sawit di Tanah Air menciptakan masalah lingkungan dan sosial secara serius. Riset itu dikerjakan secara bersama oleh Profundo, yang berbasis di Amsterdam dan Transformasi untuk Keadilan Indonesia di Jakarta.
Penelitian itu memaparkan area yang dijadikan perkebunan sawit meningkat sekitar 35% dari 7,4 juta hektare pada 2008 menjadi sekitar 10 juta hektar pada 2013. Sebanyak 25 grup bisnis milik taipan itu memiliki kendali atas 5,1 juta ha  kebun sawit—dengan 3,1 juta hektar telah ditanami—berdasarkan laporan tahunan perusahaan. Perusahaan itu sebagian besar tercatat di Bursa Efek, baik di Jakarta, Kuala Lumpur, London maupun Singapura.
“Sekelompok kecil konglomerat menjadi penentu bagi pengembangan sektor kelapa sawit,” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK Indonesia dalam peluncuran riset itu, Kamis (12/02/2015). “Mereka ikut bertanggung jawab atas pelanggaran HAM, perampasan lahan, konflik sosial petani kecil.”
Dia menuturkan pemerintah harus mengakui bahwa kerusakan hutan secara berkesinambungan dan hilangnya hak tanah oleh masyarakat, disebabkan oleh ekspansi perkebunan sawit.
Hal yang kontras, sambungnya, para pemilik perusahaan justru diduga memarkir dana kekayaan mereka di negara surga pajak dan memperkuat cengkraman bisnis sawit di Tanah Air. Indonesia saat ini adalah produsen minyak sawit mentah pertama dunia dengan total produksi mencapai 26 juta ton, yang diperkirakan meningkat hingga 32 juta ton pada 2015.
Riset itu juga memaparkan peranan penting lembaga keuangan nasional maupun asing yang memperkuat ekspansi perusahaan. Oleh karena itu, sambung Winarni, lembaga keuangan harus memperkuat kebijakan risiko sosial dan lingkungan sebelum memberikan fasilitas pendanaan ke perusahaan kelapa sawit.
Wilayah yang dikontrol perusahaan-perusahaan itu mencakup Kalimantan (62%), Sumatra (32%), Sulawesi (4%) dan Papua (2%). Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau dan Kalimantan Timur adalah provinsi dengan penguasaan cadangan lahan terbesar para taipan.
Bisnis grup yang diteliti dalam riset itu mencakup Anglo Eastern Group; Austindo Group; Bakrie Group; Batu Kawan Group; BW Plantation Group; Darmex Agro Group; DSN Group; Genting Group; Gozco Group; Harita Group; IOI Group; Jardline Matheson Group; Kencana Agri Group; Musim Mas Group; Provident Agro Group; Raja Garuda Mas Group; Salim Group.
Lainnya adalah Sampoerna Group; Sinar Mas Group; Sungai Budi Group; Surya Dumai Group; Tanjung Lingga Group; Tiga Pilar Sejahtera Group; Triputra Group dan Wilmar Group.
PROSEDUR HUKUM
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Jendral Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriono mengatakan masalah penguasaan lahan tidak sama sekali berhubungan dengan masalah HAM, melainkan prosedur hukum. Menurutnya, perusahaan yang memiliki lahan sudah memiliki aturan tersendiri.
“Tidak ada hubungannya dengan HAM, karena aturan lahan untuk kepemilikan lahan sudah jelas,” paparnya ketika dikonfirmasi melalui telepon, Kamis (12/2/2015). “Ketika ada yang keberatan, perusahaan pun memiliki prosedur sendiri untuk menyelesaikan masalah itu, misalnya dengan dialog dan negosiasi untuk kompensasi.”
Dia mengatakan struktur kepemilikan lahan sekitar 42%  dimiliki oleh petani, sedangkan 58% itu dimiliki perusahaan negara maupun swasta. Joko mengungkapkan perusahaan besar kelapa sawit dibutuhkan karena memiliki sumber daya, teknologi dan modal yang kuat.
Menurut Joko, riset yang dilakukan seharusnya juga dilakukan secara menyeluruh dan melibatkan semua pemangku kepentingan sehingga tak melihat dari satu sisi tertentu saja. Terkait dengan lahan, paparnya, jalan yang bisa ditempuh terakhir adalah melalui jalur hukum.
“Prosedurnya adalah dialog bilateral untuk negoisasi, jika tak berhasil maka dilakukan mediasi oleh pemerintah,” katanya. “Namun jika ini gagal, maka yang bisa ditempuh adalah melalui jalur hukum.”
Dia menuturkan ekspansi perusahaan sawit berkaitan dengan penggunaan minyak nabati untuk kebutuhan pangan. Masalahnya, minyak nabati juga menjadi produk kompetisi dari produsen minyak serupa tetapi yang bukan berasal dari sawit.
Sumber/tautan:
http://industri.bisnis.com/read/20150212/99/402107/25-grup-bisnis-sawit-dituding-rampas-lahan-untuk-ekspansi#.VNzJsQtPqLA.twitter