Pos

Surat Terbuka untuk Presiden Bank Dunia dan IFC

Dear World Bank President Kim and IFC President Le Houérou,
We are writing to you with deep concerns about a number of World Bank and IFC-supported Indonesian Infrastructure funds, financial intermediaries, and projects, including on-going investments and support (including for coal mega-power plants), as well as projects in the pipeline and planned for Board vote, as early as 25 April 2016, according to documents posted on the World Bank website.
The projects of concern include:

  • PT. Indonesian Infrastructure Finance (IIF)
  • PT. Indonesian Infrastructure Guarantee Fund (IIGF)

Projects in the pipeline:

  • Indonesian Infrastructure Finance Development project (IIFD:Board vote originally scheduled March, now postponed to 25 April 2016.
  • Indonesian Regional Infrastructure Development Fund (RIDF): $500 million; WB + Switzerland – project in pipeline;Board vote scheduled March 2016; postponed to September 2016?
  • Indonesia Infrastructure Finance Development Trust Fund (IIFDTF)

Overarching concerns about existing and proposed World Bank and IFC support for a range of Indonesian infrastructure funds and initiative include:

  • The lack of public disclosure of documents pertaining to current projects and those in the pipeline;
  • The lack of materials in Indonesian language;
  • The lack of public consultation, including mandatory public consultation on environmental and social assessments prior to appraisal (approximately 120 days prior to Board vote);
  • Violations of and failure to implement WB, IFC environmental and social safeguard requirements, including those pertaining to information disclosure and consultation processes for social and environmental assessments, forced resettlement, Indigenous rights, due diligence requirements prior to the use of Country Systems (CSS), etc.
  • Mis-categorization of environmental and social risks. Please see the appended letter from the undersigned NGOs and appended briefing materials for details.

Thank you for your attention to this matter.
Ecological Justice Indonesia
Indonesian Legal Resource Center (ILRC)
TUK Indonesia
WALHI – Friends of the Earth Indonesia
WALHI West Java
Indonesia Corruption Watch (ICW)
ELSAM Institute for Policy Research and Advocacy (Indonesia)
Ulu Foundation (USA)
Urgewald (Germany)
Gender Action (USA)
debtWATCH Indonesia
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA)
BiotaniBahari Indonesia
CAPPA Ecological Justice Foundation (Indonesia)
SolidaritasPerempuan – Women’s Solidarity for Human Rights (Indonesia)
YayasanPusaka (Indonesia)
Indonesia for Global Justice
KonsorsiumPembaruanAgraria (Indonesia)
SajogyoInsititute (Indonesia)
PeTA – Perkumpulan Tanah Air (Indonesia)
PILNet – Public Interest Lawyer Network (Indonesia)
JaringanAdvokasi Tambang -JATAM (Indonesia)
LembagaBantuanHukum (LBH) Semarang (Indonesia)
Lembaga Gemawan, West Kalimatan, Indonesia
Swandiri Institute (Indonesia)
BothENDS (Netherlands)
Japan Center for a Sustainable Environment and Society
Friends of the Earth-Japan
Friends of the Earth – USA
Forest People’s Programme (UK)
Center for International Environmental Law – CIEL (USA)
Labour, Health and Human Rights Development Centre (Nigeria)
Social Justice Connection, Canada
Carbon Market Watch (Belgium)
11.11.11- Coalition of the Flemish North-South Movement (Belgium)
CC:
Executive Directors of the World Bank and IFC
U.S. Appropriations Committees of the House of Representatives and Senate
U.S. Senate Foreign Relations Committee
U.S. Treasury Department
U.S. Environmental Protection Agency

Workshop Internasional: HAM dan Agribisnis di Asia Tenggara

Group photo of the international workshop on human rights and agribusiness in Southeast Asia. Credit: Organiser

Group photo of the international workshop on human rights and agribusiness in Southeast Asia. Credit: Organiser

Montien Hotel Bangkok, 7-9 Agustus 2013. Ini merupakan pertemuan tahunan putaran ketiga sejak Bali Declaration on Human Rights and Agribusiness in Southeast Asia disyahkan di Bali, 1 Desember 2011. Workshop kali ini diselenggarakan Komnas HAM Thailand sebagai tuan rumah dan didukung oleh Forest Peoples Programme dan Rights and Resources Initiative.
Peserta workshop ada 64 orang – perwakilan lembaga HAM dari Philippines, Indonesia, Thailand, Malaysia, Timor Leste dan Myanmar dan NGO pendukung. Workshop tersebut berhasil merumuskan rencana aksi agar penegakkan HAM bisa berjalan dengan baik oleh Negara pihak dan sektor agribisnis.
Pembukaan workshop dibuka oleh ketua Komnas HAM Thailand, Prof. Amara yang menekankan pentingnya memperkuat aspek 'remedy' dalam kerangka kerja PBB untuk sektor agribisnis. Pelapor Khusus PBB untuk persoalan hak dan kebebasan dasar masyarakat adat, Prof. James Anaya memberikan sambutan dan dukungan positif atas upaya pertemuan. Prof. James Anaya menyampaikan catatan beliau perihal tidak ada mekanisme yang memadai dan bertanggung jawab untuk konsultasi dengan masyarakat adat sebelum pembangunan agribisnis, dan bangga dengan peserta workshop atas usaha mendorong pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka dibawah hukum internasional.
Pada kesempatan sesi pembukaan, utusan dari Perwakilan Thailan untuk Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN (ASEAN Inter-Governmental Commission on Human Rights/AICHR) bahwa saat ini merupakan momentum yang tepat untuk memperkuat kerangka kerja hak asasi manusia melalui mekanisme hak asasi manusia ASEAN.
Kemudian untusan anggota Forum Tetap PBB untuk Persoalan Masyarakat Adat (UNPFii), Raja Devasish Roy menyambut hangat Outcome Statement from Alta yang dibuat oleh masyarakat adat dalam persiapan menuju Pertemuan Tingkat Tinggi Majelis Umum PBB yang dikenal sebagai Konferensi Dunia tentang Masyarakat Adat (World Conference on Indigenous Peoples). Dalam pemaparan materi beliau menyampaikan peran penting lembaga keuangan internasional menghargai hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk memberikan atau tidak memberikan keputusan bebas, didahulukan dan diinformasikan atas segala tindakan yang mungkin berdampak buruk terhadap hak-hak mereka, dan negara harus menegakkan pengawasan hak asasi manusia oleh korporasi.
Peserta forum workshop menyambut baik Resolusi Dewan HAM untuk membentuk satu kelompok kerja untuk menyusun sebuah Deklarasi PBB tentang hak-hak petani dan masyarakat lainnya yang berkerja di wilayah-wilayah pedesaan.
Pada kesempat itu juga utusan dari UN Global Compact, Adrienne Gardaz memaparkan satu inisiatif baru tentang Pertanian Berkelanjutan yang mencari jawaban atas masalah global tentang bagaimana cara mendamaikan agribisnis dengan ketahanan pangan dan penghormatan bagi hak asasi manusia. Global Compact mendorong perusahaan melaporkan secara terbuka niat mereka untuk mempertahankan prinsip hak asasi manusia dalam perkembangan pelaksanaan usaha mereka. Inisiatif Global Compact adalah sukarela dan tidak mengantikan peraturan Negara dan penegakan hukum.
Pertemuan juga menyambut baik pernyataan oleh Presiden Bank Dunia, Dr Jim Yong Kim yang mengakui pentingnya peran tanah dalam pembangunan berkelanjutan, mengakui bahaya dari pembebasan lahan besar-besaran dan menjanjikan Kelompok Bank Dunia mendukung Pedoman Sukarela tentang Tata Kelola Penguasaan Bertanggung Jawab Tanah, Perikanan dan Kehutanan dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional (Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests in the Context of National Food Security).
Selama workshop, peserta mengulas dan menilai kecenderungan terkini diwilayah Asia Tenggara sebagaimana diringkas dalam sebuah laporan baru Agribusiness, Large-Scale Land Acquisitions and Human Rights in Southeast Asia. Laporan ini menjunjukan ada perbedaan nasional yang penting, tetapi tekanan atas lahan semakin meningkat diseluruh diwilayah ASEAN akibat perluasan usaha industri pertanian terjadi dimana-mana, tetapi upaya reformasi hukum dan tata kelola masih belum ada atau kurang memadai untuk memastikan eskspansi berlangsung dengan cara-cara yang menghargai dan melindungi hak asasi manusia, dan memberikan pemulihan apabila hak-hak tersebut dilanggar. Penelitian tersebut menunjukan bahwa ada masalah tidak ada jaminan kepemilikan tanah terjamin, tata kelola lahan yang aman dan perlindungan hak asasi manusia, ekspansi agribisnis besar-besaran menyebabkan masalah bahaya sosial dan lingkungan.
Sementara itu para utusan dari lembaga hak asasi manusia (National Human Rights Institutions) beberapa Negara ASEAN termasuk Timor Leste, pola pembangungan skala besar termasuk agribisnis tetapi juga tambang, minyak, gas, pembangkit listrik tenaga air dan pola pembangunan jalan, menyebabkan konflik semakin meluas. Aspek positif sisi yang menonjol adalah bahwa lembaga pemerintah semakin sadar akan banyak masalah tersebut tetapi upaya untuk perubahan dan mediasi konflik dilakukan melalui komisi yang dibanjiri membludaknya jumlah dan skala konflik. Jelaslah bahwa begitu penting menyeimbangkan tujuan pembangunan ekonomi tetapi penting untuk segera dilakukan adalah reformasi hukum dan kebijakan serta implementasi disemua negara untuk melindungi hak asasi manusia dari potensi dampak negatif agribisnis dan investasi lainnya.
Pertemuan juga mencatat dengan keprihatinan mendalam terkait beberapa laporan banyak negara aparat militer dan keamanan negara juga terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia dan langsung didalam perusahaan mengambil tanah-tanah dari masyarakat lokal dan masyarakat adat tanpa persetujuan mereka. Selain itu peserta juga mendengarkan laporan bagaimana investasi tanah lintas perbatasan negara agribisnis dan perusahaan lainnya menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia yang merajalela, sehingga mendesak diperlukan adanya koordinasi antar-pemerintah regional, kolaborasi antara lembaga hak asasi manusia nasional (NHRI) dan NGO untuk mengangkat masalah ini.
Satu penilaian terhadap kinerja hak asasi manusia perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit kendati banyak kemajuan dicapai dalam menyusun standar sukarela yang mewajibkan penghormatan bagi hak asasi manusia tetapi dalam praktek banyak perusahaan masih melakukan pembebasan lahan tanpa mematuhi FPIC dan tidak menghormati hak hukum atau hak adat mereka. Ini kemudian memicu konflik tanah dan pelanggaran hak asasi manusia. Studi-studi kasus tersebut menunjukan kekurangan pada kerangka kerja peraturan Negara yang membiarkan proses-proses tersebut sehingga sulit bagi perusahaan berusaha menjalankan peraturan dengan baik.
Peserta juga membahas catatan penting mengenai kondisi buruk yang menimpa pekerja perkebunan diseluruh Asia Tenggara, khususnya para pekerja migran yang kerapkali diupah murah, kadang-kadang berkerja dalam kondisi yang menyedihkan dan banting tulang tetapi hak-hak mereka tidak dilindungi dengan memadai,khususnya apabila mereka ilegal atau tanpa status warga negara.
Dengan pertimbangan persoalan diatas, peserta forum mengusung satu rencana aksi sampai tahun depan. Rencana aksi tersebut termasuk:
Sesuai dengan Paris Principles, peserta workshop mendesak semua negara Asia Tenggara untuk membentuk Komisi Hak Asasi Manusia independen di negara masing-masing dengan anggaran dan mandat yang memadai untuk memantau dan menegakkan pernghormatan hak asasi manusia di negara masing-masing, seusai dengan kesepakatan internasional, secara khusus saat ini Singapura, Brunei Darussalam, Laos, Vietnam dan Kamboja belum ada.
Memperhatikan mandat Komisi HAM Antar-Pemerintah ASEAN saat ini sedang dikaji-ulang dan direvisi tahun depan, peserta mendesak agar cakupan kerja diperluas dengan memasukan pemantauan kecukupan tindakan/upaya nasional untuk melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat lokal, pekerja, perempuan dan anak-anak dari bahaya pembebasan lahan besar-besaran.
Peserta kembali menyampaikan desakan kepada Negara untuk membentuk kerangka kerja yang efektif yang menjamin hak masyarakat atas tanah, wilayah dan sumber daya serta mewajibkan agribisnis untuk menghormati hak-hak tersebut sesuai dengan standar hukum hak asasi manusia internasional, termasuk Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat, dan Pedoman Sukarela tentang Tata Kelola Bertanggung Jawab Tanah, Perikanan dan Kehutanan dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional (Voluntary Guidelines on the Responsible Governance of Tenure of Land, Fisheries and Forests in the Context of National Food Security).
Peserta menyambut positif upaya oleh kalangan swasta untuk menghapus perdagangan komoditas yang dihasilkan dengan merusak (Tropical Forest Alliance) minyak sawit dan bubur dan serta kertas hingga tahun 2020, peserta mendesak rantai pasok dapat dilacak seluruhnya yang didalamnya perlindungan lingkungan sesuai dengan perlindungan komprehensif hak asasi manusia.
Pesrta juga menambahkan perlu mencari dan mendorong sistem produksi alternatif didasarkan pada jaminan hak sehingga masyarakat lokal, masyarakat adat dan petani dapat mengendalikan sumber produksi lahan dengan beragam jenis pemanfaatan.
Mencatat investasi dan pola pembangunan lahan lintas batas skala besar dan cepat dapat menambah beban lembaga nasional dan lokal untuk memastikan langkah-langkah untuk mengatur dan mengendalikan investasi-investasi sejenis dan menggalakan kerjasama erat antara lembaga hak asasi manusia dan kelompok masyarakat sipil untuk memantau kegiatan-kegiatan serupa untuk memastikan mereka memperhatikan norma hak asasi manusia internasional.
Upaya-upaya bersama diperlukan dari semua pihak untuk menyusun uji tuntas yang memadai bagi perusahaan dan investor serta bagi perusahaan untuk mengambil kebijakan hak asasi mnanusia, menjalankan penilaian dampak hak asasi manusia dan menerapkan rencana untuk memastikan penghormatan hak asasi manusia dalam agribisnis yang mereka dukung, tanam modal dan sumber asal dari mana mereka memperoleh produk.
Peserta workshop juga mendesak aksi terkoordinasi antara perusahaan dan pemerintah untuk menghentikan eksploitasi pekerja, khususnya pekerja migran, perempuan dan anak-anak dalam perkebunan skala besar, dan pemerintah membuat upaya-upaya tegas untuk menghapus semua bentuk kerja paksa dan praktek perbudakan agribisnis di Asia Tenggara.
Oleh
TuK INDONESIA/Norman Jiwan