HPRP DAILY NEWS

25 Grup Usaha Kuasai 31% Lahan: Ekspansi Kebun Sawit Capai 520 Ribu Ha Per Tahun

Updated: February 13, 2015
JAKARTA – Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu hektare (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha, namun pada 2013 sudah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Provinsi Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Sementara itu, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan oleh 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.
Ke-25 grup itu adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group, Surya Dumai Group, Raja Garuda Mas Group, Batu Kawan Group, Musim Mas Group, Genting Group, Sam­poerna Agro Group, dan Bakrie Group. Kemudian, Harita Group, IOI Group, Darmex Agro Group, Tiga Pilar Sejahtera Group, DSN Group, Sungai Budi Group, Kencana Agri Group, Triputra Group, Anglo-Eastern Group, Tanjung Lingga Group, Austindo Group, BW Plantation Group, Provident Agro Group, dan Gozco Group.
Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang disampaikan dalamworkshopmedia atas Kajian TuK Indonesia berjudul Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, Kamis (12/2). TuK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bekerja pada isu lingkungan, sumber daya alam (SDA), dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia.
Direktur Program TuK Indonesia Rahmawati Retno Winarni menjamin hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, penelitian yang dilakukan pada semester II-2014 itu didasarkan pada sumber atau informasi yang memang bisa diakses, seper ti laporan perusahaan, riset perusahaan, riset perkebunan, data perkebunan provinsi, dan jugawebsite resmi RSPO. “Seperti data ekspansi lahan, itu bisa dipertanggungjawabkan, ekspansi lahan sawit setiap tahunnya mencapai luas Pulau Bali,” kata dia ketika dikonfirmasi Investor Daily, tadi malam.
Menurut Retno, selama ini peme­ rintah dan pengusaha menyatakan bahwa perkebunan sawit di Tanah Air dikuasai oleh petani. Namun dengan hasil penelitian tersebut pernyataan itu menjadi diragukan. “Karena ternyata lahan perkebunan sawit di Indonesia justru dikuasai oleh segelintir orang, bagaimana itu bisa terjadi, mereka pun didukung oleh perbankan dan juga investor sehingga ekspansi sawit mereka berjalan cepat dan masif,” kata dia.
Dia mengatakan, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari 25 grup usaha tersebut sebanyak 21 di antaranya telah go public atau terdaftar di bursa saham, yakni 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London, hanya empat yang dimiliki pribadi. Dalam Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan, setiap grup usaha dibatasi kepemilikan lahan sawitnya maksimal 100 ribu ha, namun perusahaan terbuka dikecualikan dari aturan itu. “Nampak bahwa pemerintah memberi karpet merah buat investor,” kata dia.
Retno menuturkan, melalui penelitian tersebut, TuK Indonesia merekomendasikan beberapa hal di antaranya bagaimana sebenarnya proses perizinan di Indonesia hingga lahan atau tanah bisa dikuasai oleh segelintir individu. Di sisi lain, dari sisi pajak, apakah kehadiran mereka benar telah memberikan kontribusi pajak yang signifikan karena selama ini pemerintah selalumendengungkan pajak untuk kesejahteraan rakyat dan memberantas kemiskinan.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan, 25 kelompok usaha itu dimiliki oleh 29 keluarga taipan. Di antara mereka hanya satu keluarga taipan yang dipimpin oleh seorang perempuan, Lim Siew Kim Anglo-Eastern Plantations. Sementara 28 keluarga taipan lainnya dikepalai oleh lakilaki, meskipun dalam beberapa kasus anggota keluarga perempuan dari keluarga taipan tersebut terlibat dalam pengelolaan grup bisnis. Taipan-taipan itu di antaranya Lim Hariyanto Wijaya Sarwono (Harita Group), Bachtiar Karim (Musim Mas Group), Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno (Provident Agro Group), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Anthoni Salim (Salim Group), Putera Sampoerna (SampoernaGroup), Eka TjiptaWidjaja (SinarMas Group), Martias dan Ciliandra Fangiono (Surya Dumai Group), Martua Sitorus, Khoon Hong Kuok, dan Robert Kuok (Wilmar Group).
Selain memiliki lahan yang jumbo, kekayaan para taipan tersebut juga sangat fantastis. Total kekayaan mereka mencapai US$ 71,5 miliar atau setara dengan 8% GDP Indonesia yang pada tahun 2013 mencapai US$ 868 miliar dan 42% dari APBN yang pada 2013 sebesar Rp 1.726 triliun.
Investor Daily, Jumat 13 Februari 2015, hal. 8
Link:
http://hprpdailynews.com/2015/02/13/25-grup-usaha-kuasai-31-lahan-ekspansi-kebun-sawit-capai-520-ribu-ha-per-tahun/

HPRP DAILY NEWS

25 Grup Usaha Kuasai 31% Lahan: Ekspansi Kebun Sawit Capai 520 Ribu Ha Per Tahun

Updated: February 13, 2015
JAKARTA – Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Air pada 2008-2013 mencapai 520 ribu hektare (ha) setiap tahunnya. Pada 2008, luas lahan sawit di Indonesia hanya 7,4 juta ha, namun pada 2013 sudah mencapai 10 juta ha. Ekspansi tertinggi terjadi di Provinsi Riau, disusul Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur.
Sementara itu, dari total lahan sawit yang ditanami di Indonesia, sedikitnya 31% atau 3,1 juta ha dikendalikan oleh 25 kelompok perusahaan. Di luar itu, ke-25 grup usaha milik 29 taipan tersebut masih memiliki 2 juta ha lahan yang belum ditanami (land bank). Dengan begitu, 25 grup usaha itu menguasai 5,1 juta ha lahan sawit di Tanah Air atau 51% dari total areal tanam perkebunan sawit saat ini.
Ke-25 grup itu adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group, Wilmar Group, Surya Dumai Group, Raja Garuda Mas Group, Batu Kawan Group, Musim Mas Group, Genting Group, Sam­poerna Agro Group, dan Bakrie Group. Kemudian, Harita Group, IOI Group, Darmex Agro Group, Tiga Pilar Sejahtera Group, DSN Group, Sungai Budi Group, Kencana Agri Group, Triputra Group, Anglo-Eastern Group, Tanjung Lingga Group, Austindo Group, BW Plantation Group, Provident Agro Group, dan Gozco Group.
Demikian hasil penelitian Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia yang disampaikan dalamworkshopmedia atas Kajian TuK Indonesia berjudul Taipan di Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia di Jakarta, Kamis (12/2). TuK Indonesia merupakan NGO yang berbasis di Jakarta dan bekerja pada isu lingkungan, sumber daya alam (SDA), dan dampak pembangunan terhadap hak asasi manusia.
Direktur Program TuK Indonesia Rahmawati Retno Winarni menjamin hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Sebab, penelitian yang dilakukan pada semester II-2014 itu didasarkan pada sumber atau informasi yang memang bisa diakses, seper ti laporan perusahaan, riset perusahaan, riset perkebunan, data perkebunan provinsi, dan jugawebsite resmi RSPO. “Seperti data ekspansi lahan, itu bisa dipertanggungjawabkan, ekspansi lahan sawit setiap tahunnya mencapai luas Pulau Bali,” kata dia ketika dikonfirmasi Investor Daily, tadi malam.
Menurut Retno, selama ini peme­ rintah dan pengusaha menyatakan bahwa perkebunan sawit di Tanah Air dikuasai oleh petani. Namun dengan hasil penelitian tersebut pernyataan itu menjadi diragukan. “Karena ternyata lahan perkebunan sawit di Indonesia justru dikuasai oleh segelintir orang, bagaimana itu bisa terjadi, mereka pun didukung oleh perbankan dan juga investor sehingga ekspansi sawit mereka berjalan cepat dan masif,” kata dia.
Dia mengatakan, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dari 25 grup usaha tersebut sebanyak 21 di antaranya telah go public atau terdaftar di bursa saham, yakni 11 di Jakarta, enam di Singapura, tiga di Kuala Lumpur, dan satu di London, hanya empat yang dimiliki pribadi. Dalam Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan disebutkan, setiap grup usaha dibatasi kepemilikan lahan sawitnya maksimal 100 ribu ha, namun perusahaan terbuka dikecualikan dari aturan itu. “Nampak bahwa pemerintah memberi karpet merah buat investor,” kata dia.
Retno menuturkan, melalui penelitian tersebut, TuK Indonesia merekomendasikan beberapa hal di antaranya bagaimana sebenarnya proses perizinan di Indonesia hingga lahan atau tanah bisa dikuasai oleh segelintir individu. Di sisi lain, dari sisi pajak, apakah kehadiran mereka benar telah memberikan kontribusi pajak yang signifikan karena selama ini pemerintah selalumendengungkan pajak untuk kesejahteraan rakyat dan memberantas kemiskinan.
Hasil penelitian itu juga menyebutkan, 25 kelompok usaha itu dimiliki oleh 29 keluarga taipan. Di antara mereka hanya satu keluarga taipan yang dipimpin oleh seorang perempuan, Lim Siew Kim Anglo-Eastern Plantations. Sementara 28 keluarga taipan lainnya dikepalai oleh lakilaki, meskipun dalam beberapa kasus anggota keluarga perempuan dari keluarga taipan tersebut terlibat dalam pengelolaan grup bisnis. Taipan-taipan itu di antaranya Lim Hariyanto Wijaya Sarwono (Harita Group), Bachtiar Karim (Musim Mas Group), Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno (Provident Agro Group), Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas), Anthoni Salim (Salim Group), Putera Sampoerna (SampoernaGroup), Eka TjiptaWidjaja (SinarMas Group), Martias dan Ciliandra Fangiono (Surya Dumai Group), Martua Sitorus, Khoon Hong Kuok, dan Robert Kuok (Wilmar Group).
Selain memiliki lahan yang jumbo, kekayaan para taipan tersebut juga sangat fantastis. Total kekayaan mereka mencapai US$ 71,5 miliar atau setara dengan 8% GDP Indonesia yang pada tahun 2013 mencapai US$ 868 miliar dan 42% dari APBN yang pada 2013 sebesar Rp 1.726 triliun.
Investor Daily, Jumat 13 Februari 2015, hal. 8
Link:
http://hprpdailynews.com/2015/02/13/25-grup-usaha-kuasai-31-lahan-ekspansi-kebun-sawit-capai-520-ribu-ha-per-tahun/

Wah! 29 Taipan Kuasai 5 Juta Hektar Lebih Lahan Sawit

Data teranyar, Kementerian Pertanian, kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 juta hektar. Dari penelitian TuK Indonesia, memperlihatkan, dari 29 taipan yang menguasai 25 grup perusahaan, masih ada dua juta hektar belum ditanami. Kala ekspansi berjalan, berpotensi merusak alam dan menciptakan konflik sosial sangat besar, seperti yang selama ini terjadi. Foto: Sapariah Saturi

Data teranyar, Kementerian Pertanian, kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 10 juta hektar. Dari penelitian TuK Indonesia, memperlihatkan, dari 29 taipan yang menguasai 25 grup perusahaan, masih ada dua juta hektar belum ditanami. Kala ekspansi berjalan, berpotensi merusak alam dan menciptakan konflik sosial sangat besar, seperti yang selama ini terjadi. Foto: Sapariah Saturi


Sebuah studi dari Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia dan Profundo,  memperlihatkan betapa 29 taipan pemilik 25 kelompok bisnis sawit menguasai lahan lima juta hektar lebih, dengan 3,1 juta hektar sudah ditanami. Pengembangan sisa lahan sawit seluas dua juta hektar, terbuka lebar karena dukungan lembaga keuangan sangat kuat kepada mereka. Kondisi ini, berpotensi memicu kerusakan lingkungan dan konflik sosial.
Total kekayaan 29 taipan ini diperkirakan US$69,1 miliar. Jika dibandingkan dengan produk domestik bruto (PDB) 2012, sebesar US$878 miliar,  jelas para taipan ini mengontrol kekayaan begitu besar. Kala dibandingkan dengan APBN Indonesia 2014, sebesar Rp1.800 triliun, kekayaan segelintir orang ini setara 45% APBN!
Dari 29 itu, taipan terpenting dalam penguasaan lahan ini adalah Sinar Mas Group, Salim Group, Jardine Matheson Group. Wilmar Group dan Surya Dumai Group.
Penelitian itu menyebutkan, selama 2008-2013, terjadi kenaikan lahan perkebunan sawit dari 7,4 juta hektar menjadi 10 juta hektar. Peningkatan ini,  sebesar 520 ribu hektar atau setara luas Bali lahan berubah menjadi kebun sawit per tahun!
Dari 25 grup perusahaan sawit ini, memiliki 5,1 juta hektar, dan baru ditanami 3,1 juta hektar. Berarti masih 40% lahan 25 grup bisnis belum ditanami, antara lain milik Sinar Mas Group, Triputra Group, Musim Mas Group, Surya Dumai Group dan Jardine Matheson Group. Lahan-lahan sawit ini tersebar di beberapa provinsi seperti Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat dan lain-lain.
Rahmawati Retno Winarni, Direktur Program TuK Indonesia mengatakan, kondisi saat ini saja, pengembangan sawit telah menciptakan banyak masalah, dari konversi hutan, pencemaran sampai konflik-konflik sosial di masyarakat.
“Jika 2 juta hektar itu ditanami tahun-tahun mendatang, konsekuensi sosial dan lingkungan bisa sangat besar,” katanya dalam workshop di Jakarta, Kamis (12/2/15).
Areal yang telah ditanami sawit di Indonesia. Sumber: laporan TuK Indonesia
Sumber: laporan TuK Indonesia
Peluang ekspansi sawit sangat besar ke depan, katanya, karena pendanaan mendukung. Tak hanya dari taipan atau modal sendiri juga dukungan besar dari perbankan maupun lembaga keuangan lain.
Dari riset ini terlihat, periode 2009-2013, teridentifikasi pinjaman total US$11,3 miliar oleh bank kepada 25 kelompok sawit milik taipan ini. Bank paling utama penyedia pinjaman kepada taipan sawit adalah HSBC (United Kingdom), OCBC (Singapura ) dan CIMB (Malaysia).
Tak hanya itu, bank investasi juga menjadi penjamin (underwriter) penerbitan saham dan obligasi dari 25 grup bisnis sawit ini senilai US$2,3 miliar. “Artinya, bank membantu perusahaan menarik dana dari investor senilai itu.”Adapun underwriter penting adalah RHB (Malaysia), Morgan Stanley (Amerika Serikat) dan Goldman Sachs (Amerika Serikat).
Jadi, kata Wiwin, begitu biasa disapa, tampak jelas konsentrasi kepemilikan lahan sektor sawit difasilitasi lembaga keuangan domestik dan asing. Bank, katanya,  menyediakan pinjaman, bank investasi menjadi penjamin untuk emisi saham dan obligasi. Lalu, dana pensiun dan investor lain membeli obligasi dan saham.  “Lembaga keuangan menawarkan para taipan sarana mempercepat ekspansi bisnis.”
Ambil peran dan arah kebijakan
Guna mereformasi sektor ini, katanya, ‘penyandang dana’ dari berbagai sumber itu, harus memegang tanggung jawab bersama atas problem sosial dan lingkungan yang terjadi. Dengan begitu, jika dipandang dari peluang perbaikan, mereka ini bisa berperan besar dalam mereformasi sektor sawit ini.
Untuk itu, ada beberapa rekomendasi dari riset ini, antara lain, pertama, lembaga keuangan dalam dan luar negeri harus memperkuat kebijakan risiko sosial dan lingkungan serta meningkatkan penilaian risiko dan mekanisme akuntabilitas.
Dengan begitu, lembaga keuangan, katanya, menghindari memfasilitasi pertumbuhan sawit dari pelanggaran hak asasi manusia, perampasan tanah, konflik sosial, eksploitasi pekerja dan petani kecil.
Kedua, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bisa memainkan peran sangat penting dengan memastikan lembaga keuangan mengembangkan mekanisme akuntabilitas yang baik dan mengadopsi kebijakan keberlanjutan.
Ketiga, para pihak perlu mempromosikan pembangunan ekonomi berkeadilan. “Kaji ulang pemanfaatan lahan sangat besar untuk ketahanan pangan, tanaman pangan buat dalam negeri daripada terus ekspor.” Lalu, perkuat konservasi hutan dan usaha pariwisata serta mengembangkan tanaman komoditas lain yang bisa mengintegrasikan hulu ke hilir.
Areal yang sudah dan belum tanam sawit milik taipan. Sumber: laporan TuK Indonesia
Areal belum tanam miik taipan. Sumber: laporan TuK Indonesia
Keempat, perlu menciptakan kaitan antara peningkatan produktivitas kebun, pengelolaan pekebun dan perizinan. “Diharapkan, dalam pemberian izin, misal ada syarat, perusahaan tak akan mendapat izin kalau produktivitas tak naik, juga hubungkan bagaimana perusahaan bangun hubungan baik dengan masyarakat.”
Kelima, industri sawit memerlukan investasi lebih integral, meliputi sektor hilir, tidak hanya penyulingan minyak tetapi sampai pengolahan bahan makanan dan produk-produk oleokimia.
Menanggapi ini Edi Setijawan, Deputi Direktur Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengatakan, pinjaman dari lembaga keuangan, porsi sawit kira-kira sekitar 60-70%. “Memang bank-bank banyak masuk ke sawit dibanding sektor pertanian lain. Itu kelihatan dari portopolio mereka. Ini indikasi bisnis sawit menguntungkan,” katanya.
Namun, dana-dana dari berbagai lembaga keuangan itu banyak dari luar bukan bank-bank di Indonesia hingga OJK tak bisa mengawasi. “Ini pola sama di sektor energi. Jadi kita tak tahu modal yang berseliweran itu berapa? Investor langsung bawa ke Indonesia.”
Hal menarik lagi dari laporan itu, katanya, lembaga keuangan yang memberikan pendanaan kepada 25 grup bisnis itu adalah mereka yang sudah mengadopsi pinsip-prinsip berkelanjutan global.  “Pertanyaannya, apa itu diterapkan di Indonesia? Apakah (kala) induk terapkan, misal Rabbo Bank, anak usaha di Indonesia juga menerapkan standar ‘hijau’ yang sama dengan induk?”
OJK, katanya, melakukan peningkatan pengawasan dan koordinasi dalam implementasi keuangan berkelanjutan. Dia menyadari, pelaksanaan pengawasan belum optimal. Untuk itu, lembaga ini akan menyempurnakan pedoman buat pengawasan. “Bagi yang tak paham lingkungan mulai dikenalkan.”
Namun Edi menyadari, OJK memiliki keterbatasan dalam pemahaman lingkungan.  Untuk itu, perlu dukungan dari luar, seperti organisasi lingkungan dan masyarakat sipil lain. “Kami ada batas karena bukan ahli. Jadi support dari luar itu penting.”
Yang green dari OJK
OJK, kata Edi, tahun lalu meluncurkan roadmap of sustainable finance (roadmap jasa keuangan berkelanjutan). “Ini jangka panjang dan desain lima sampai tujuh tahun ke depan. Ini perlu kerja sama dengan semua pihak. Ia bisa jadi pedoman jasa keuangan termasuk stakeholder lain, guna dorong sustainable finance di Indonesia” kata Edi.
Lembaga ini  juga mengembangkan green product, seperti green insurance, green bond, green index dan lain-lain. Tujuannya, bagaimana dorong penyediaan pendanaan berkelanjutan, baik bank maupun non bank. Tak hanya memciptakan produk tetapi bagaimana menciptakan permintaan produk keuangan ramah lingkungan. “Misal, green bond, siapa yang mau beli? Tabungan ramah lingkungan siapa yang mau beli? So creating demand. Saat ini baru ada potential demand.”
Areal di bawah kendali taipan berdasarkan provinsi. Sumber: laporan TuK
Sumber: laporan TuK Indonesia

[Tempo.co] 29 Taipan Sawit Kuasai Lahan Hampir Setengah Pulau Jawa

 

Perkebunan kelapa sawit. ANTARA/Zabur Karuru

Perkebunan kelapa sawit. ANTARA/Zabur Karuru


TEMPO.CO, Jakarta – Sebanyak 25 grup perusahaan kelapa sawit menguasai lahan seluas 5,1 juta hektare atau hampir setengah Pulau Jawa yang luasnya 128.297 kilometer persegi. Dari 5,1 juta hektare (51.000 kilometer persegi), sebanyak 3,1 juta hektare telah ditanami sawit dan sisanya belum ditanami. Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sekitar 10 juta hektare.
“Kelompok perusahaan itu dikendalikan 29 taipan yang perusahaan induknya terdaftar di bursa efek, baik di Indonesia dan luar negeri,” kata Direktur Program Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia, Rahmawati Retno Winarni, Jumat, 13 Februari 2015. Lembaga TuK dan Profundo merilis hasil riset dengan judul “Kendali Taipan atas Grup Perusahaan Kelapa Sawit di Indonesia”.
Penelitian yang dilakukan sejak tahun lalu itu mendapatkan data bahwa kekayaan total mereka pada 2013 sebesar US$ 71,5 miliar atau Rp 922,3 triliun. Angka konservatif ini diperoleh dari kajian yang dibuat Forbes danJakarta Globe. Sebagian besar kekayaan tersebut didapat dari bisnis perkebunan sawit, dan beberapa bisnis lainnya.
Menurut Rahmawati Retno Winarni atau Wiwin, pemilihan 25 grup bisnis sawit terbesar itu didasari data dari laporan tahunan, website perusahaan, kajian Thomson dan Bloomberg, serta lembaga lainnya. Ada 11 perusahaan yang terdaftar di bursa efek di Jakarta, lalu 6 di bursa efek Singapura, 3 di Kuala Lumpur, dan satu perusahaan di bursa efek London.
Namun perusahaan terbuka tersebut, kata Wiwin, tidak sungguh-sungguh dimiliki publik, karena taipan adalah pemegang saham yang dominan, dengan penguasaan 20-80 persen saham. “Kepemilikan saham dilakukan melalui ‘perusahaan cangkang’ di negara-negara ramah pajak,” kata dia.
Siapa para taipan–yang dalam bahasa Jepang artinya tuan besar–yang menguasai kelompok perusahaan sawit itu? Mereka adalah Grup Wilmar (dimiliki Martua Sitorus dkk), Sinar Mas (Eka Tjipta Widjaja), Raja Garuda Mas (Sukanto Tanoto), Batu Kawan (Lee Oi Hian asal Malaysia), Salim (Anthoni Salim), Jardine Matheson (Henry Kaswick, Skotlandia), Genting (Lim Kok Thay, Malaysia), Sampoerna (Putera Sampoerna), Surya Dumai (Martias dan Ciliandra Fangiono), dan Provident Agro (Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno).
Lalu Grup Anglo-Eastern (Lim Siew Kim, Malaysia), Austindo (George Tahija), Bakrie (Aburizal Bakrie), BW Plantation-Rajawali (Peter Sondakh), Darmex Agro (Surya Darmadi), DSN (TP Rachmat dan Benny Subianto), Gozco (Tjandra Gozali), Harita (Lim Hariyanto Sarwono), IOI (Lee Shin Cheng, Malaysia), Kencana Agri (Henry Maknawi), Musim Mas (Bachtiar Karim), Sungai Budi (Widarto dan Santosa Winata), Tanjung Lingga (Abdul Rasyid), Tiga Pilar Sejahtera (Priyo Hadi, Stefanus Joko, dan Budhi Istanto), dan Triputra (TP Rachmat dan Benny Subianto).
Di antara mereka, kelompok perusahaan yang paling besar memiliki lahan sawit adalah Grup Sinar Mas, Grup Salim, Grup Jardine Matheson, Grup Wilmar, dan Grup Surya Dumai. Riset yang dilakukan TuK Indonesia dan Profundo menemukan bahwa ke-25 kelompok perusahaan ini menguasai 62 persen lahan sawit di Kalimantan (terluas di Kalimantan Barat, diikuti Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur). Kemudian 32 persen di Sumatera (terluas di Riau diikuti Sumatera Selatan), 4 persen di Sulawesi, dan 2 persen di Papua.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di Tanah Air memang besar-besaran. “Dalam 5 tahun pertumbuhannya 35 persen,” kata Jan Willem van Gelder, Direktur Profundo, lembaga riset ekonomi yang berkedudukan di Amsterdam. Pada 2008, luas perkebunan sawit sebanyak 7,4 juta hektare dan saat ini mencapai 10 juta hektare. “Rata-rata setahun pertambahannya 520.000 hektare atau seluas Pulau Bali.”
Direktur Eksekutif TuK Indonesia, Norman Jiwan, menjelaskan ekspansi dalam skala yang luar biasa tersebut menciptakan masalah lingkungan dan sosial yang serius. Hal itu dimulai dari konversi sejumlah besar hutan yang berharga, terancam punahnya habitat spesies yang dilindungi, dan emisi gas rumah kaca karena pengembangan lahan gambut.
Belum lagi, banyak masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang sangat penting untuk hidupnya. “Padahal tanah itu bagian dari kelangsungan hidup, hak hukum atau adat selama beberapa generasi,” kata Norman. Selain itu, konflik lahan sering kali terjadi antara warga dengan pengelola perkebunan.
UNTUNG WIDYANTO

[KPA] KNRA: Jalan Baru Reforma Agraria

Posted on Dec 9, 2014 in ArtikelBerita 0 comments

KPA/Jakarta: Setelah selesai melakukan konfrensi nasional Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan 36 lembaga lainnya mengadakan workshop. Kegiatan yang berlangsung 4-5 Desember 2014 di Hotel Cemara bertujuan untuk merumuskan langkah baru untuk medorong pemerintah menjalankan agenda reforma agraria.

Dalam acara tersebut dihadiri juga oleh Menteri Agraria, Ferry Mursydan Baldan, dan Dewan Pakar KPA, Noer Fauzi. Mereka hadir sebagai pembicara dalam workshop yang bertemakan “Konsultasi Nasional Buku Putih dan Perumusan Roadmap Jalan Baru Gerakan Reforma Agraria”.

Ketua Organizing Committee (OC) Konfrensi Naional Reforma Agraria (KNRA), Usep Setiawan, Mengatakan tujuan workshop ini diadakan untuk melakukan riview terhadap hasil KNRA dan memfinalisasi buku putih reforma agraria. Kemudian pada hari kedua peserta workshop menyusun rencana tindak lanjut.

Menurut Edi Sutrisno dari Tuk Indonesia, menteri agraria harus segera melakukan pendataan ulang terhadap semua ijin pengelolaan sumber agraria yang diberikan kepada perusahaan. “Semua aktivitas perusahaan yang tidak sesuai ijin sebaiknya diberikan sanksi yang berat, dengan mencabut ijin dan menutup perusahaan tersebut”, tungkas Gun.AGP.

Link:
http://www.kpa.or.id/?p=5001

Penetapan Status Perusahaan Hijau Harus Transparan

Logo Kementerian Lingkungan Hidup

Logo Kementerian Lingkungan Hidup


Farodlilah Muqoddam Selasa, 02/09/2014 18:51 WIB

Bisnis.com, JAKARTA – Penetapan status perusahaan ramah lingkungan yang dijadikan sebagai acuan penyaluran kredit perbankan harus dilakukan secara transparan.

Direktur Eksekutif Transparansi Untuk Keadilan (TUK) Norman Jiwan mengapresiasi langkah OJK untuk membuka aspek transparansi mengenai status perusahaan sebagai dasar diterima atau tidaknya pengajuan kredit yang diajukan oleh perusahaan yang bersangkutan.

Namun demikian, dia mengingatkan perlunya OJK melibatkan publik dalam penentuan status sebuah perusahaan. Sejauh ini, penentuan status hijau perusahaan dilakukan oleh KLH dengan mekanisme yang dinilai tidak cukup transparan.

“Yang harus dijaga adalah akuntabilitas sistem dan kredibilitas prosesnya,” katanya sebagaimana dikutip dari harian Bisnis Indonesia, Selasa (2/9/2014).

Selain itu, lanjutnya, penetapan status perusahaan juga harus dilakukan secara seksama agar benar-benar valid. Sebab, seringkali sebuah perusahaan memanipulasi data dan melakukan berbagai cara untuk mengelabui proses verifikasi oleh regulator.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, OJK akan membuka informasi mengenai status ‘hijau’ perusahaan sebagai acuan bagi bank untuk menyalurkan kredit. Informasi tersebut akan ditampilkan dalam website resmi OJK.

Referensi/link:

http://finansial.bisnis.com/read/20140902/90/254522/penetapan-status-perusahaan-hijau-harus-transparan

[Tempo.co] Peraturan Izin Perkebunan Digugat di MA

JUM’AT, 27 JUNI 2014 | 20:00 WIB
TEMPO.CO, Jakarta – Gabungan lembaga swadaya masyarakat yang menamakan diri Tim Advokasi Keadilan Berkebun berencana mengajukan gugatan pembatalan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan ke Mahkamah Agung, hari ini, Jumat, 27 Juni 2014. Menurut Tim, peraturan tersebut mengakibatkan masyarakat di 13 provinsi terlibat sengketa lahan dengan perusahaan pemegang Izin Usaha Perkebunan. Ini yang terjadi dengan warga dari Sanggau, Kalimantan Barat; Seluma Barat, Bengkulu; Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan; Merauke, Papua; dan Lamandau, Kalimantan Tengah. (Baca: Menteri Pertanian Bisa Cabut Izin Perkebunan)

“Atas persetujuan masyarakat (di daerah-daerah tersebut), kami menjadi tim advokasi untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Agung,” kata staf program Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Andi Muttaqien, yang bergabung dalam Tim Advokasi Keadilan Berkebun, di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis, 26 Juni 2014.

Menurut Andi, Peraturan Mentan Nomor 98 tahun 2013 secara substansi memudahkan dan menguntungkan investor menanamkan modal di sektor perkebunan. Sebagai contoh, terdapat pada pasal 15 yang menyebutkan perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP dengan luas 250 hektar atau lebih wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar dengan luas paling kurang 20 persen dari total lahan yang dikelola perusahaan tersebut. (Baca: Gubernur Aceh Cabut Izin Perusahaan Sawit)
Namun pembangunan kebun masyarakat tersebut harus berada di luar lahan yang digarap perusahaan perkebunan. Walhasil, pembukaan lahan kebun masyarakat malah membebani masyarakat sekitar perusahaan dan pemerintah daerah. “Hal ini malah membuat masalah konflik lahan baru, tanah milik masyarakat terancam diserobot oleh perusahaan,” kata Andi.
Masalah lain, dalam Pasal 18 menyebutkan perusahaan perkebunan pemegang IUP di provinsi Papua dan Papua Barat diberikan izin untuk membuka lahan perkebunan didua kali lebih luas dibanding provinsi lain. Menurut Andi, sudah ada lima warga adat di Merauke, Papua yang didampingi Tim Advokasi Keadilan Berkebun. Kelima warga adat tersebut khawatir rencana perusahaan perkebunan memanfaatkan pasal 18 Permentan 98 tahun 2013 berpotensi menimbulkan konflik. “Bukan hanya konflik antara warga dengan perusahaan tapi antar warga sendiri,” kata Andi.
Edi Sutrisno dari Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia) menambahkan, perusahaan swasta, BUMN, atau pun koperasi diberikan keistimewaan yakni tak ada pembatasan areal izin perkebunan. Edi menganggap keputusan tersebut mampu menimbulkan masalah, sebab pemerintah seakan membebaskan perusahaan asing melakukan ekspansi lahan perkebunan di Indonesia.

Masalah lain, kebebasan terhadap perusahaan swasta berdampak pada koperasi masyarakat. Alasannya, dengan hak yang sama, koperasi diharuskan bersaing langsung dengan perusahaan swasta tanpa diberikan keiistimewaan oleh pemerintah. “Jadi memungkinkan monopoli dan konglomerasi korporasi,” kata dia.
Menteri Pertanian Suswono belum bisa menanggapi rencana gugatan tersebut. Panggilan telepon dan pesan singkat Tempo belum mendapatkan respons dari Suswono.
INDRA WIJAYA

Link:

http://www.tempo.co/read/news/2014/06/27/078588600/Peraturan-Izin-Perkebunan-Digugat-di-MA

Visi Kertas Global

EPN Foto

Visi Kertas Global – EPN

Environmental Paper Network – Maret 2014

Visi Kami
Kami memiliki visi yang sama akan tercapainya industri kehutanan, bubur kertas dan kertas yang berkontribusi bagi masa depan yang bersih, sehat, adil dan berkelanjutan bagi semua kehidupan di bumi.
Kami menginginkan dunia dengan pola konsumsi baru yang bisa memenuhi kebutuhan semua orang dan secara bersamaan mengurangi limbah dan konsumsi yang berlebihan, yaitu saat produksi kertas tidak lagi bergantung pada serat asli dan tidak terkait dengan hilangnya keanekaragaman hayati atau hutan; dan yang memaksimalkan penggunaan bahan daur ulang, menghormati hak asasi manusia, termasuk hak atas tanah masyarakat setempat, yang bisa menyediakan lapangan kerja dan memiliki dampak sosial yang bermanfaat, yang bebas konflik dan adil. Kami menginginkan transisi yang berhasil atas bubur kertas dan kertas yang merupakan bagian dari solusi untuk perubahan iklim; dan terbuat dari serat yang sumber pasokannya bisa dipertanggungjawabkan, yang menggunakan cara-cara produksi rendah karbon, dengan energi terbarukan, dengan kualitas air yang setelah proses produksinya sebersih saat sebelum proses produksinya, yang menghasilkan limbah dan emisi nol. Kami menginginkan transparansi penuh dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan yang beragam agar berhasil mengimplementasikan visi ini.
Prioritas Untuk Transformasi Produksi, Perdagangan dan Penggunaan Kertas
Kami menyeru pihak industri kertas global, konsumen, pengecer, pemerintah, investor dan organisasi non-pemerintah untuk melakukan tindakan darurat meliputi prioritas sebagai berikut, untuk menangani seluruh siklus hidup kertas1:

  • mengurangi konsumsi kertas global dan mempromosikan akses yang adil untuk kertas;
  • memaksimalkan kandungan serat daur ulang;
  • memastikan tanggung jawab sosial;
  • memasok serat secara bertanggung jawab;
  • mengurangi emisi gas rumah kaca;
  • menjamin produksi yang bersih;
  • menjamin transparansi dan integritas.

Mengurangi Konsumsi Kertas Global dan Mempromosikan Akses yang Adil atas Kertas

  • Mendorong penggunaan kertas dengan nilai guna yang tinggi dan volume yang rendah; dan menemukan terobosan baru untuk bisa menyebarluaskan manfaat dari kertas untuk masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan2
  • Mengembangkan dan mempromosikan sistem yang kreatif dan inovatif, desain dan teknologi yang mengurangi konsumsi serat dan memaksimalkan efisiensi.
  • Proaktif bekerja dengan konsumen untuk mendidik mereka mengurangi konsumsi kertas yang tidak perlu.
  • Mengkaji berbagai alternatif untuk kertas, dengan tetap memahami dan menghindari dampak negatif dari alternatif-alternatif tersebut, termasuk emisi gas rumah kaca dari plastik, digital, dan alternatif lainnya.

Memaksimalkan Daur Ulang Kandungan Serat

  • Memaksimalkan kandungan serat daur ulang di semua kelas kertas dan produk kertas, memaksimalkan kandungan serat pasca-konsumsi, dan mengembangkan 100% produk daur ulang kertas tambahan.
  • Meminimalkan limbah dengan memaksimalkan kegunaan dan daur ulang dalam produk yang sesuai.
  • Proaktif mendukung daur ulang pembuatan kertas, termasuk sistem yang lebih baik untuk pengumpulan kertas daur ulang.
  • Meningkatkan penggunaan bahan lain yang telah diolah (misalnya, residu dari panen pertanian berkelanjutan dan bahan daur ulang dari industri) sebagai sumber serat dalam kertas.
  • Mengurangi dengan signifikan produksi kertas dari serat pohon asli.
  • Memaksimalkan efisiensi serat melalui desain produk dan menurunkan berat dasar kertas, bila memungkinkan.
  • Mengeliminir insentif yang menyokong penggunaan sumber daya alamiah dengan mendukung penggunaan kembali bahan baku yang didapat dari proses daur ulang; dan mengeliminir insentif yang menyokong pembuangan dan pembakaran limbah dengan mendukung pengelolaan limbah secara bertanggung jawab.

Memastikan Tanggung Jawab Sosial

  • Mengakui, menghormati dan melindungi hak asasi manusia, dan mematuhi dan proaktif mengembangkan kesempatan kerja yang fundamental dan standar sosial 3 serta perjanjian internasional4 yang relevan untuk perlindungan hak asasi manusia
  • Memastikan kesepakatan bebas dan didahulukan5 atas masyarakat lokal dan masyarakat di daerah dari mana bahan baku berasal dan di mana produksi berlangsung.
  • Mengakui, menghormati dan melindungi hak –hak legal dan hak-hak komunal dari masyarakat adat dan masyarakat lokal untuk mengontrol wilayah tradisional mereka dan melindungi identitas budaya mereka.
  • Mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat lokal untuk lingkungan yang sehat, dan hak untuk berpartisipasi sebagai pemangku kepentingan utama dalam perencanaan tata guna lahan.
  • Mengakui, menghormati dan melindungi pekerja, termasuk pekerja subkontrak, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang menguntungkan dan lingkungan kerja yang aman.
  • Mempromosikan kepemilikan komunal, kepemilikan pekerja dan pembangunan fasilitas manufaktur kertas dengan skala yang tepat bagi masyarakat lokal, dan keragaman usaha kecil dan menengah di sektor kertas.
  • Menghormati dan mendukung ekonomi lokal atas dasar visi sosial dan lingkungan jangka panjang yang dibangun dengan masyarakat lokal dan bisnis.

Memastikan Sumber Pasokan Serat secara Bertanggung Jawab

  • Mengakhiri penggunaan serat dari sumber-sumber, pemasok atau operasi yang tidak terlacak dan illegal
  • Mengakhiri dan menghindari penggunaan serat dari pemasok yang diasosiasikan dengan konversi atas hutan yang terancam punah dan hutan dengan nilai konservasi tinggi6, serta yang diasosiasikan dengan hilangnya ekosistem dan habitat tertentu.
  • Mengakhiri dan menghindari penggunaan serat dari pemasok yang berhubungan dengan konversi hutan alam atau ekosistem bernilai konservasi tinggi lainnya menjadi perkebunan untuk serat kertas7
  • Mengakhiri dan menghindari penggunaan serat dari pemasok yang berhubungan dengan kehilangan atau degradasi lahan gambut8 dan hutan dengan stok karbon tinggi.
  • Mengakhiri dan menghindari penggunaan serat pemasok yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia atau tenaga kerja.
  • Memasok seluruh serat kayu asli untuk diproses menjadi kertas dari pengelola hutan yang memiliki kredibilitas, yang independen, dan memiliki sertifikasi dari pihak ketiga untuk memastikan praktek restorasi dan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Forest Stewardship Council (FSC) saat ini adalah satu-satunya program sertifikasi internasional yang paling bisa memenuhi tujuan ini.
  • Menghindari kegiatan pemasokan dan promosi program sertifikasi hutan yang menyesatkan dan tidak bertanggung jawab secara lingkungan.
  • Mendukung pengembangan dan penggunaan tanaman alternatif berkelanjutan yang ditanam dan dipanen untuk diolah menjadi kertas dengan analisis yang kredibel yang menunjukkan bahwa tanaman tersebut secara lingkungan dan sosial lebih baik dibandingkan dengan sumber serat asli yang lain dan tidak menyebabkan hilangnya tanaman pangan atau ekosistem bernilai konservasi tinggi.
  • Mengeliminir penggunaan pestisida dan herbisida beracun, yang bio-akumulatif atau persisten dalam produksi serat.
  • Menolak serat dari organisme hasil rekayasa genetika.
  • Mengganti ‘jauh’ dengan ‘dekat’ atas sumber-sumber pasokan yang diproduksi secara berkelanjutan, yang seratnya didapat dari sumber lokal dan minimalkan transportasi sepanjang memungkinkan.

Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca

  • Mengurangi konsumsi energi dan sumber-sumber emisi tinggi energi secara keseluruhan.
  • Mengubah konsumsi bahan bakar fosil dan sumber emisi energi tinggi lainnya termasuk biomassa yang tidak diproduksi secara berkelanjutan ke biomassa rendah emisi yang diproduksi secara bertanggung jawab dan sumber energi terbarukan lainnya.
  • Mengurangi emisi tanah, terutama dari lahan gambut dan tanah dengan stok karbon tinggi lainnya
  • Memelihara dan meningkatkan penyimpanan karbon di hutan dan ekosistem lainnya.
  • Mempromosikan inovasi teknologi dan sistem desain produksi yang meningkatkan efisiensi energi dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
  • Menerapkan target pengurangan gas rumah kaca dan pelaporan rutin yang secara akurat mempertimbangkan emisi lansekap dan emisi gas rumah kaca biogenik atas produksi kertas, termasuk utang karbonnya.

Memastikan Produksi Bersih

  • Menggunakan teknologi terbaik untuk meminimalkan penggunaan air, energi, bahan kimia dan bahan baku lainnya.
  • Menggunakan teknologi terbaik untuk meminimalkan limbah padat, polusi termal dan emisi ke udara dan air.
  • Mengeliminir pembuangan dan limbah beracun dari pabrik.
  • Mengeliminir penggunaan klorin dan senyawa klorin untuk pemutihan.
  • Memastikan sistem produksi tidak menghambat penggunaan air yang adil, kualitas air atau produksi pangan lokal. Sistem tersebut juga tidak boleh membahayakan funngsi jasa lingkungan atau aset ekosistem.

Memastikan Transparansi dan Integritas

  • Mengembangkan kebijakan dan target yang mengikat dan berkomitmen dengan tenggat waktu untuk mencapainya.
  • Menunjukkan dan melaporkan rantai pasokan untuk kertas dan semua produk kertas dan memastikan semua pembeli memiliki akses informasi yang terpercaya atas kandungan serat, aspek keberlanjutan dan metode produksi kertas individual dan produk-produk kertas lainnya.
  • Mengeliminir greenwashing, atau praktek menyesatkan konsumen dengan klaim lingkungan palsu.
  • Memastikan sistem imbalan ekonomi dan kewajiban yang adil yang membantu mengurangi dampak dari produksi dan penggunaan bubur kertas dan kertas.
  • Menolak investasi dan partisipasi dalam transaksi bisnis (misalnya, pembiayaan dan perdagangan) yang tidak sepenuhnya konsisten dengan Visi ini.
  • Berkomitmen untuk pelaporan atas kemajuan yang komprehensif dan transparan, regular dan tersedia untuk umum


Bekerja Bersama untuk Mencapai Solusi
Kami yang bertanda tangan, secara bersama-sama mendukung Visi ini. Kami memahami bahwa untuk mencapai tujuan ini melibatkan tantangan yang signifikan dan bahwa penelitian lebih lanjut diperlukan pada beberapa masalah. Kami juga mengakui peran yang unik dan saling melengkapi yang masing-masing perusahaan, organisasi, pemerintah dan individu mainkan dalam menggerakkan industri kertas menuju keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Kami berkomitmen untuk secara kolektif:

  • mengembangkan kolaborasi / dialog antara LSM, industri dan lembaga lainnya;
  • mendorong pemerintah untuk mengembangkan langkah-langkah legislatif, fiskal dan operasional yang konsisten dengan visi ini;
  • mendorong investasi yang bertanggung jawab dalam industri;
  • mengartikulasikan dan melaksanakan pasokan yang bertanggung jawab dan pedoman pembelian;
  • memantau perkembangan semua pemangku kepentingan menuju visi ini; dan
  • kampanye untuk mengakhiri kegiatan yang merusak secara sosial dan lingkungan yang dilakukan oleh industri bubur kertas dan kertas.

Kami berjanji untuk bekerja sama dalam mendukung visi ini untuk masa depan di mana kertas benar-benar berkelanjutan dan manfaatnya dinikmati oleh semua.
Visi Kertas Global ini telah disusun dan disahkan oleh organisasi berikut dan diinformasikan melalui konsultasi dengan keanggotaan global dari Environmental Paper Network (EPN).
Untuk mendukung Visi ini atau permintaan salinannya, silakan hubungi i[email protected] atau kunjungi environmentalpaper.org.
EPN di Amerika Utara – www.environmentalpaper.org
EPN di Eropa – www.environmentalpaper.eu
EPN di Cina – www.environmentalpaper.cn
[1] Siklus hidup mencakup sistem produksi keseluruhan termasuk: sumber serat, bubur kertas, produksi, transportasi, penggunaan, beberapa daur ulang dan limbahnya.
 
[2] Garis kemiskinan kertas adalah 30kg/year, tingkat penggunaan kertas oleh Negara-negara anggota UNESCO menyatakan diperlukan untuk pendidikan dan keterlibatan demokratis dalam masyarakat.
[3] ILO Fundamental Rights Work: kebebasan berserikat, hak untuk berorganisasi dan untuk berunding bersama; penghapusan kerja paksa, penghapusan pekerja anak; dan larangan diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan (kesetaraan kesempatan dan perlakuan).
[4] Konvensi ILO 169 tentang Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1948), Konvensi PBB untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (1966), Perjanjian Internasional tentang Ekonomi, Sosial dan Budaya ( 1966), Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (1966), Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat.
[5] Lihat Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat, khususnya ‘Ruggie Report’ ke PBB mengenai Bisnis dan Hak Asasi Manusia, Pedoman Sukarela FAO tentang Pemerintahan yang bertanggung jawab, Penguasaan Lahan, Perikanan dan Kehutanan dalam Konteks Ketahanan Pangan Nasional dan Forest Peoples Programme Prinsip Guiding (http://www.forestpeoples.org/guiding-principles/free-prior-and-informed-consent-fpic)
[6] Beberapa hutan yang sangat langka, terancam atau rentan secara ekologis, atau kepentingan biologis atau budaya yang penting secara global; sehingga setiap penebangan atau penggunaan komersial si atasnya bisa merusak nilai konservasi mereka tanpa bisa diperbaiki kembali. Lihat ‘Wye River’ dokumen diskusi untuk rincian tambahan, Komponen Ekologis Hutan Langka. http://www.greenpeace.org/usa/Global/usa/report/2010/2/endangered-forests-technical-d.pdf.
[7] konversi hutan berkelanjutan harus dihindari tetapi beberapa konversi mungkin diperbolehkan ketika telah disepakati dalam HCV komprehensif, HCS dan proses penilaian FPIC dengan keterlibatan pemangku kepentingan secara transparan.
[8] Dalam rangka mencegah degradasi, penurunan dan kebakaran, pemasok harus a) menghindari perusakan lebih lanjut atau ekspansi baru atas wilayah lahan gambut; b) menerapkan praktek pengelolaan lahan gambut terbaik termasuk restorasi dan c) keluar secara bertahap dari perkebunan kayu untuk kertas yang berbasiskan drainase di lahan gambut yang mengakibatkan level emisi gas rumah kaca yang tidak dapat diterima atau penurunan tanah, di mana hal ini lama kelamaan akan menyebabkan banjir yang pada akhirnya akan menyebabkan perkebunan menjadi tidak produktif.
Sumber/tautan: http://environmentalpaper.org/vision/

Golden Agri Resources di Kapuas Hulu, Ada Perbaikan tetapi Masih Abaikan Prinsip RSPO

January 19, 2014 Andi Fachrizal, Pontianak

Meskipun sudah ada beberapa perbaikan, namun Forest Peoples Programme (FPP) dan Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia masih menemukan PT Kartika Prima Cipta (KPC) di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat (Kalbar), mengabaikan prinsip-prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Ini luka lama yang terkuak kembali di tubuh anak perusahaan sawit terbesar Indonesia, Golden Agri Resources (GAR), grup Sinar Mas ini.

Awalnya, kajian lapangan ini dengan tujuan membangun alat lebih baik untuk memastikan metode zonasi dan pengelolaan lahan yang diterapkan perusahaan,” kata Norman Jiwan, Exsecutif Director TuK Indonesia saat menggelar media breafing di Pontianak, Jumat (17/1/14).

Laporan kajian independen ini bertumpu pada dua survei dan wawancara lapangan pada Juli dan September 2013. Wawancara dengan masyarakat terkena dampak dalam konsesi KPC, staf GAR dan KPC, serta interaksi dengan perusahaan dan lembaga non pemerintah berikut konsultan-konsultan yang memberi nasehat kepada GAR.

Kinerja perusahaan di bawah payung Sinar Mas Group itu dinilai secermat mungkin, khusus standar RSPO di mana GAR adalah anggota. Begitu pula kebijakan sosial dan lingkungan GAR. Temuan lapangan ini sangat mengejutkan kita,” kata Norman.

Fakta lapangan mempelihatkan, kendati KPC mulai beroperasi 2007, sampai Oktober 2013, perusahaan itu belum menyelesaikan penilaian terhadap kawasan bernilai konservasi tinggi yang diwajibkan RSPO. Perusahaan juga mengabaikan kewajiban saat studi kepemilikan lahan atau pemetaan partisipatif hak-hak tanah adat.

Selain itu, masyarakat tidak bebas memilih kelembagaan perwakilan mereka sendiri. Kompensasi murah dibayarkan kepada anggota-anggota masyarakat untuk memperoleh penyerahan lahan selamanya melalui proses tak jelas. Artinya, memberi kesan keliru bahwa warga dapat memperoleh tanah kembali setelah 30 tahun. Tak satupun dari ratusan petani menjual tanah mereka kepada KPC punya salinan kontrak penyerahan tanah.

Beberapa komunitas menolak menyerahkan tanah tetapi terus mengalami tekanan dan bujukan dari perusahaan dengan mengabaikan persyaratan RSPO bahwa masyarakat bisa mengatakan ‘tidak.’ Juga tak ada pembicaraan dengan masyarakat untuk membantu mereka memutuskan berapa banyak lahan harus disisakan sebagai sumber penghidupan mereka. Sebaliknya, warga diiming-imingi kebun plasma sawit dan pekerjaan baru yang akan membawa keuntungan besar.

Kenyataan, kebanyakan pekerjaan dibayar dengan upah murah. Sedangkan, kebun plasma yang dikelola perusahaan, terlambat dipenuhi hanya separuh lebih dari luas yang diharapkan. Itupun disertai beban utang dan biaya operasional yang belum dijelaskan memadai.

Masyarakat Dayak yang terkena dampak langsung, di mana lahan makin sempit sementara masyarakat Melayu yang mayoritas nelayan mengeluh akibat pencemaran sungai. Tangkapan ikan menurun dan masalah bagi usaha-usaha penangkaran ikan mereka.

Meskipun tak semua anggota masyarakat menolak sawit bahkan ada yang melihat keuntungan nyata dari sana, pemaksaan pola kemitraan bermasalah hampir semua masyarakat.

Sejak 2007, ketika kali pertama konsesi diumumkan, sudah ada keberatan dan demonstrasi menolak ketidakadilan ini. Bahkan berlanjut hingga 2013. Perusahaan membayar polisi untuk membubarkan aksi massa.

Temuan-temuan itu menunjukkan kegagalan penting atas kepatuhan KPC dan GAR terhadap prinsip dan kriteria RSPO. Terhadap usulan mengeluarkan cadangan karbon tinggi (high carbon stocks) sesuai kebijakan Konservasi Hutan GAR, sangat tak populer, baik bagi masyarakat yang menolak keberadaan perusahaan, maupun bagi mereka yang sudah menggantungkan harapan pada sawit.

Kategorisasi lahan hutan yang dipaksakan sesuai kandungan karbon itu, mengabaikan sistem milik masyarakat, kepemilikan lahan dan klasifikasi lahan serta membatasi mata pencarian dan pilihan sumber penghasilan.

Langkah Maju

Menurut Norman, semua persoalan ini sudah dilaporkan kepada GAR pada Juli 2013. Namun, perusahaan dan konsultan-konsultan yang mendukung GAR lamban memperbaiki di lapangan.

Kendati demikian, katanya, perusahaan dan para konsultan mulai menggagas suatu program bagi penyelesaian konflik lahan dan mengurus keluhan-keluhan lain. Perusahaan juga sudah terbuka menyatakan tekad mewujudkan perbaikan-perbaikan. “Perusahaan sudah menunjukkan diri terbuka atas dialog dan menjalankan nasehat serta kritikan-kritikan.”

Penilaian HCV saat ini baru selesai namun belum diberikan dan diteliti bersama masyarakat. Berkaitan dengan masyarakat yang kukuh menolak penyerahan tanah-tanah mereka, perusahaan juga tidak mengambil lahan dengan paksaan.

Begitu pula dengan hal lain, perusahaan sudah menyatakan komitmen verbal berhenti membujuk masyarakat menyerahkan tanah mereka dan tak membuka hutan dan lahan gambut serta kawasan HCV.

Hermawansyah dari Lembaga Gemawan mengapresiasi hasil kajian independen FPP dan TuK Indonesia terhadap KPC. “Praktik-praktik buruk seperti itu jamak terjadi di konsesi perkebunan sawit di Kalbar,” katanya.

Dia menambahkan, hasil kajian Swandiri menemukan 31 hektar kawasan KPC masuk dalam kawasan hutan. Ini menunjukkan, perusahaan akan selalu memperluas kawasan, sebab makin luas lahan pasti ada raupan keuntungan.

Hal sama dikemukakan Ian Hilman dari WWF-Indonesia Program Kalbar. Dia menilai, hasil kajian FPP dan TuK Indonesia di Kapuas Hulu, ibarat luka lama yang tak kunjung sembuh. “Seingat saya, ada sembilan perusahaan milik Sinar Mas Group yang beroperasi di sekitar Taman Nasional Danau Sentarum. Dari sembilan perusahaan itu, tujuh di antaranya tumpang tindih dengan kawasan hutan, bahkan hutan lindung.”

Sedangkan Arief Munandar dari Swandiri menambahkan, dari total perkebunan sawit di Kalbar, 70 persen hanya menyisakan konflik. “Pro kontra di tingkat masyarakat sangat tinggi. Masyarakat yang kontra selalu dikalahkan oleh masyarakat pro sawit.”

Referensi/link:

http://www.mongabay.co.id/2014/01/19/golden-agri-resources-di-kapuas-hulu-ada-perbaikan-tetapi-masih-abaikan-prinsip-rspo/

[TRIBUNPONTIANAK] TuK Indonesia Sesalkan Pembukaan Lahan Sawit Meluas di Kapuas Hulu

Sabtu, 18 Januari 2014 06:19 WIB

PerkebunanTribun

TRIBUNPONTIANAK.CO.ID, PONTIANAK – Transformasi untuk Keadilan Indonesia, mengkritik masuknya perusahaan kelapa sawit yang merusak hutan dan lahan gambut di Kabupaten Kapuas Hulu semakin meluas.

Menurut Executive Director TuK Indonesia, Norman Jiwan, dengan perusahaan mengeluarkan kawasan hutan dan gambut di dalam konsesi merupakan cara yang masuk akal untuk mengurangi masalah di atas.

Hal itu disampaikannya dihadapan beberapa NGO seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar, WWF Kalbar, Gemawan dan wartawan, dalam acara Kajian Independen Dampak Sosial Kebijakan Konservasi Hutan Golden Agri Resources di Kabupaten Kapuas Hulu, di Sekretariat WALHI, Jl. Husni Thamrin Komplek Untan, Pontianak. Jumat (17/1/2014).

“Kapuas Hulu terkenal dengan danau-danaunya, lahan gambut yang luas dan perikanan darat yang melimpah, perusahaan kelapa sawit, mengabaikan kewajiban melakukan studi kepemilikan lahan atau pemetaan partisipatif hak-hak tanah adat. Belum lagi kompensasi murah dibayarkan kepada anggota masyarakat untuk memperoleh penyerahan lahan selamanya melalui proses yang tidak jelas,” ujarnya, kepada wartawan.

Lebih miris lagi, kata Norman, tidak ada satupun dari ratusan petani yang menjual tanah mereka kepada perusahaan sawit tertentu dan memiliki salinan kontrak penyerahan tanah mereka. Masyarakat yang terkena dampak mengalami lahan semakin sempit, bagi masyarakat nelayan mengeluh pencemaran sungai yang menyebabkan tangkapan ikan menurun.

Tapi menurut Norman, perusahaan terbuka untuk melakukan perbaikan dan telah menunjukkan keinginan baik di tingkat internasional, nasional dan lokal. Masyarakat pun mengakui adanya penghasilan tunai, pekerjaan meski upah murah, jalan, dan jasa layanan,” ucapnya. TuK merekomendasi adanya jaminan hak-hak masyarakat dan mencari pemulihan atas setiap pelanggaran. Apabila masyarakat menolak kelapa sawit, seluruh tanah-tanah desa tersebut harus dipetakan.

Sumber/tautan:

http://pontianak.tribunnews.com/2014/01/18/tuk-indonesia-sesalkan-pembukaan-lahan-sawit-meluas-di-kapuas-hulu