4 November 2025 3 menit
RT RSPO tahun 2025: TuK INDONESIA Serukan Tindakan Nyata atas Pelanggaran Komitmen RSPO
Jakarta, 4 November 2025 — Roundtable Conference of Roundtable Sustainable on Palm Oil (RT RSPO) 2025 resmi dimulai hari ini di Malaysia. Bagi publik dan masyarakat sipil, forum tahunan ini bukan lagi sekadar pertemuan rutin industri, melainkan ujian atas integritas RSPO dalam membuktikan apakah komitmen “kelapa sawit berkelanjutan” benar-benar dijalankan atau sekadar menjadi panggung legitimasi bagi pelaku industri yang terus menutup-nutupi pelanggaran serius di lapangan.
TuK INDONESIA menilai, RT RSPO tahun ini menjadi titik balik penting. Setelah dua dekade berdiri, RSPO gagal menunjukkan keberpihakan pada masyarakat dan lingkungan. “Alih-alih menjadi standar keberlanjutan yang kuat, RSPO justru berfungsi sebagai mekanisme cuci tangan bagi korporasi sawit yang melanggar hukum dan menimbulkan konflik sosial,” tegas Abdul Haris, Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA.
Momentum RT RSPO tahun ini bertepatan dengan dua keputusan penting di Indonesia terkait perkebunan kelapa sawit. Pertama, pada bulan Februari 2025 Kementerian Kehutanan menerbitkan Surat Keputusan (SK) No 36 tahun 2025 yang mengungkapkan 436 perusahaan sawit beroperasi dalam kawasan hutan. Banyak diantaranya merupakan pemasok bagi pembeli minyak sawit global dan anggota RSPO.
Kedua, Pada 25 September 2025 Mahkama Agung Indonesia telah menjatuhi hukum bersalah kepada tiga grup besar yaitu Wilmar, Musim Mas dan Permata Hijau karena kasus Korupsi. Menanggapi hal ini, RSPO telah mengeluarkan pernyataan akan mengambil tindakan sesuai mandat dan yurisdiksi. Namun, keputusan baru akan diambil setelah dokumen resmi dari pengadilan Indonesia akan diterima.
Haris menilai, sikap menunggu ini menunjukkan RSPO tidak memiliki keberanian moral maupun mekanisme akuntabilitas internal. “Alasan menunggu putusan resmi dari pengadilan Indonesia tidak dapat diterima sebagai alasan. Sikap itu, menunjukan seolah-olah RSPO tidak memiliki mekanisme internal yang dapat dilakukan terhadap anggotanya yang tertuduh melakukan pelanggaran hukum. Kami juga tidak melihat RSPO menunjukan sikap tegas terhadap keputusan pemerintah yang menyatakan ratusan perusahaan kelapa sawit telah beroperasi dalam kawasan hutan.”
Ia juga menyoroti sikap diam RSPO terhadap keputusan pemerintah Indonesia yang mengungkap operasi ratusan perusahaan sawit di kawasan hutan. “Sejak 2023, TuK INDONESIA, Greenpeace Indonesia dan Pantau Gambut telah mengecam sikap diam RSPO terhadap sejumlah anggotanya yang beroperasi dalam kawasan hutan. Tetapi hingga kini, tidak ada langkah korektif yang berarti,” tegas Haris.
Tuk INDONESIA menilai, RSPO kini berada di titik terendah kredibilitasnya. Jika lembaga ini kembali mengabaikan bukti-bukti pelanggaran hukum oleh anggotanya, maka klaim ‘sawit berkelanjutan’ akan kehilangan makna sepenuhnya dan hanya menjadi komedi hijau di tengah krisis ekologi dan sosial yang ada. Lebih lanjut, Haris menegaskan, “sanksi tegas dari RSPO terhadap perusahaan yang melakukan melanggar komitmen keberlanjutannya adalah harga yang tidak bisa ditawar. Sudah seharusnya RSPO menangguhkan atau menghentikan keanggotaan perusahaan-perusahan bersalah.”
Karena itu, TuK INDONESIA menyerukan agar negara-negara pengimpor minyak sawit tidak lagi menutup mata terhadap kegagalan sistemik RSPO dan menghentikan ketergantungan pada sertifikasi yang lemah dan tidak akuntabel. TuK juga mendorong perwakilan masyarakat sipil dalam keanggotaan RSPO untuk bersuara lantang pada RT RSPO 2025, menolak kompromi, dan menuntut tindakan nyata terhadap perusahaan yang melanggar hukum. “Suara Anggota RSPO akan membawa tekanan besar dari dalam dan paling menentukan terhadap kebijakan RSPO kedepan.”
“Jika RSPO kembali bungkam, maka dunia harus mengakui bahwa sertifikasi ini bukan alat perbaikan, melainkan perisai bagi pelaku industri untuk terus mengeksploitasi hutan dan manusia atas nama keberlanjutan,” tutup Haris.
This post is also available in: English
