29 September 2025 8 menit
Perjuangan Masyarakat di Balik Kebijakan Berlapis Kebun Plasma di Kalimantan Tengah

Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia menggelar lokakarya dengan tajuk “Implementasi Pembangunan Perkebunan Sawit Bagi Masyarakat dan Peningkatan Tata Kelola Koperasi di Kalimantan Tengah” yang digelar pada Kamis, 25 September 2025 di Hotel Neo Palma, Palangka Raya.
Hadir sebagai narasumber Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI melalui Wakil Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHP), Doris Monica Sari Trunip, Sekertaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) cabang Kalimantan Tengah dan mantan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah, Rawing Rambang, Kepala Pusat Studi Agraria (PSA) Institute Pertanian Bogor (IPB) University Dr. Bayu Eka Yulian dan Mewakili Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Tengah Kepala Seksi Bidang Bidang Penelaah Teknis Kebijakan, Deesy, SE. Acara ini dihadiri oleh perwakilan masyarakat, pengurus koperasi, Pemerintah Desa (Pemdes), Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Kabupaten Seruyan.
Dalam sambutan Abdul Haris mewakili TuK Indonesia mengajak semua pihak untuk menerka kembali tantangan-tantangan apa saja yang dihadapi masyarakat untuk mendapatkan hak mereka baik fasilitas pembangunan kebun masyrakat maupun skema kemitraan lainnya yang sesuai dengan regulasi yang berlaku. Kegiatan ini juga, bertujuan untuk mempertemukan para pemangku kepentingan dalam sektor kelapa sawit, yaitu pemerintah, pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, jurnalis, Organisasi Non Pemerintah (NGO) maupun warga yang selama ini menuntut haknya. Harapannya kegiatan ini dapat membawa langkah maju dalam percepatan implementasi pembangunan bagi masyarakat.
Berdasarkan Data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah luasan perkebunan kelapa sawit (per tahun 2024) mencapai 3,243,323.84 hektar yang tersebar di 14 kabupaten – kota. Laporan tersebut juga menunjukan wilayah barat Kalimantan Tengah meliputi Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat, Katingan, Gunung Mas, Seruyan, hingga Kapuas, mendominasi izin perkebunan swasta besar dengan total luas 1,120,115.06 hektar.
Luasnya perkebunan kelapa sawit ini memunculkan masalah serius terkait ketimpangan lahan. Khususnya, lahan untuk pembangunan kebun Masyarakat yang telah dijanjikan. Kebijakan 20 persen kebun plasma maupun skema kemitraan lain di Kalimantan Tengah belum sepenuhnya terealisasi. Hal ini juga ditegaskan oleh Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah yang menyatakan belum semua Perusahaan besar swasta (PBS) membangun perkebunan untuk Masyarakat.
Wakil Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Doris Monica Sari Trunip menjelaskan, Indonesia memiliki beberapa kebijakan terkait kewajiban perusahaan perkebunan sawit untuk merealisasikan 20 persen kebun plasma, di antaranya: (a) Permentan No.26/2007, (b) Permentan No.98/2013, (c) Pasal 28 UU No.39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, (d) UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan (e) PP No.26/2021 dan Permentan No.18/2021, di mana perusahaan perkebunan sawit di Kalimantan Tengah wajib menaati dan melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut. Selain itu, pemerintah juga sudah memberlakukan fase Fasilitasi Pembangunan Kebun Masayrakat (FPKM) berdasarkan Surat Edaran (SE) Dirjen Perkebunan nomor: B-347/KB.410/E/07/2023, di mana fase tersebut wajib dillakukan bagi perusahaan perkebunan sawit yang izin usahanya sebelum 28 Februari 2007, setelah 28 Februari sampai dengan 02 November 2020, hingga setelah 02 November 2020.
“Fase 1.A. bagi izin usaha sebelum 28 Februari 2007: kemitraan inti plasma tidak wajib FPKM, bagi izin usaha setelah 28 Februari 2007 sampai dengan 02 November 2020: perusahaan wajib FPKM paling kurang 20 persen dari luas IUP-B atau IUP, kebun masyarakat yang berada di luar IUP-B atau IUP, dan Kegiatan Usaha Produktif (KUP) apabila tidak tersedia lahan. Sedangkan bagi izin usaha setelah 02 November 2020: peruasahaan yang lahannya berasal dari area panggunaan lain yang berada di luar Hak Guna Usaha (HGU) dan atau dari pelepasan kawasan hutan wajib FPKM seluas 20 persen dari luas lahan tersebut. Sementara untuk Fase 1.B. bagi izin usaha sebelum 28 Februari 2007: tidak ada kemitraan inti plasma, wajib melakukan usaha produktif untuk masyarakat. bagi izin usaha setelah 28 Februari 2007 sampai dengan 02 November 2020: perusahaan yang memperoleh hak atas tanah sebelum 30 September 2013, tidak wajib FPKM tapi wajib usaha produktif untuk masyarakat. Sedangkan bagi izin usaha setelah 02 November 2020: kewajiban diintegrasikan dengan kewajiban lainnya; lahan yang berasal dari kawasan hutan yang memberikan kewajiban 20 persen lahan kepada masyarakat, maka kewajiban tersebut sudah selesai. Akan tetapi, perusahaan didorong untuk memberikan fasilitasi kepada masyarakat secara sukarela,” ujar Doris via luring.
GAPKI Cabang Kalimantan Tengah: Kelemahannya terletak di awal?
Namun, kebijakan-kebijakan tersebut di atas dinilai tidak tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat. Hal itu dianggap menjadi penyebab terjadinya gap pemahaman antara apa itu plasma dan apa itu kemitraan di lingkungan masyarakat di sekitar perkebunan sawit.
Sekertaris Eksekutif GAPKI cabang Kalimantan Tengah dan mantan Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Provinsi Kalimantan Tengah, Rawing Rambang menjelaskan, bahwasanya plasma dan kebun kemitraan itu memiliki perbedaan yang signifikan. Plasma adalah kebun sawit milik masyarakat sekitar yang dibangun dan didukung perusahaan perkebunan sawit dalam kemitraan inti plasma, sedangkan kebun kemitraan adalah pola pengelolaan kebun sawit oleh petani plasma dengan pendampingan dan dukungan perusahaan dalam skema kerja sama bisnis bagi hasil.
Dalam prosesnya, tentu saja, keduanya memiliki tantangan dan peluang yang harus dihadapi oleh masyarakat. Di bagian tantangan setidaknya ada tujuh (7) tantangan, yaitu: produktivitas rendah dan pembinaan tidak berkelanjutan, masalah legalitas lahan plasma dan konflik agraria, infrastruktur kebun tidak memadai, keterbatasan akses pembiayaan replanting, posisi tawar petani plasma lemah dan sengketa harga TBS, moratorium pembukaan lahan baru, dan isu lingkungan (deforestasi dan emisi). Sementara untuk peluang: model kemitraan inovatif dan inklusif berbasis koperasi petani, konversi kewajiban kemitraan menjadi kegiatan usaha porduktif, pendapingan teknologi dan kolaborasi multipihak, penguatan posisi tawar dan kesejahteraan petani plasma, dan potensi integrase usaha hulu-hilir kemitraan.
“Kelemahan dalam mendapatkan 20 persen kebun plasma ini ada pada pengawalan sejak awal atau sejak pelepasan. Tentu saja yang diuntungkan dari lemahnya pengawalan ini adalah perusahaan. Jadi, semestinya, perusahaan tetap punya tanggung jawab, karena kita tahu banyak praktik-praktik di luar HGU dan atau di luar pelepasan kawasan,” kata Rawing menutup penyampaian materinya.
Perkebunan Sebagai Instrumen Penjajahan Paling Tua
Kepala Pusat Strudi Agraria Institut Pertanian Bogor (IPB), Dr. Bayu Eka Yulian menjelaskan, perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut dengan fase perkebunan negara (1830-1870). Sedangkan, fase kedua adalah fase perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang Agraria). Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia Belanda khususnya di Pulau Jawa.
Dalam konteks pembangunan kebun plasma, Dr. Bayu menjelaskan beberapa faktor mengapa implementasi kebun plasma di Indonesia bermasalah seperti narasi kebijakan perkebunan plasma, di mana ditemukan kata “wajib membangun kebun plasma” dan “berkewajiban memfasilitasi pembangunan perkebunan plasma”, ketiadaan lahan di luar IUP atau HGU di APL untuk membangun kebun plasma, kebun plasma tidak terbangun atau terbangun sebagian (khususnya pembangunan plasma yang berasal dari pelepasan kawasan hutan), ketidakjelasaan manajemen pengelolaan kebun plasma, tidak clear and clean sosialisasi di awal, data Calon Petani (CP) dan Calon Lahan (CL) tidak presisi dan akurat, terjadi dualitas realitas antara kebun inti dan kebun plasma, dan kemudian law enforcement dalam tata kelola perkebunan di Indonesia.
“Itu yang saya sebut sebagai ‘asta problem kebun plasma di Indonesia’. Ketika saya melakukan penelitian, saya menemukan dua hal yang keliru dalam kebijakan-kebijakan 20 persen kebun plasma yang dibuat pemerintah. Pertama, gap logical of thinking (diwajibkan membangun atau memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (paling rendah 20 persen) tanpa adanya kejelasan tentang tata waktu, sanksi jika tidak melaksanakan dalam Permentan 26/2007, Permentan 98/2013, hanya diwajibkan melakukan usaha produktif yang juga tidak jelas detailnya seperti apa. Kemudian, seharusnya pembangunan kebun plasma itu direalisasikan tiga (3) tahun sejak HGU perusahaan perkebunan terbit,” jelas Dr. Bayu.
Perjuangan Masyarakat Dalam Distribusi Kesejahteraan Plasma yang Tidak Berjalan
Mariani, masyarakat adat Desa Bangkal, Kecamatan Seruyan Raya, beserta suami dan anaknya turut hadir dalam loka karya “Implementasi Pembangunan Perkebunan Sawit Bagi Masyarakat dan Peningkatan Tata Kelola Koperasi di Kalimantan Tengah”. Sepanjang penyampaian materi oleh para narasumber, Mariani tampak serius mendengarkan dan mencatat. Tatapannya seakan membawanya kepada memori kolektif: Bangkal berdarah pada tahun 2023 lalu. Mariani adalah korban kejahatan perkebunan sawit melalui aparat kepolisian dan sempat mengalami kriminalisasi.
Menurut Mariani, loka karya yang diselenggarakan TuK Indonesia tersebut sangat lah penting. Pasalnya, banyak masyarakat awam terhadap materi-materi yang disampaikan oleh para narasumber. Oleh karena ketidaktahuan itu, saat ini perjuangan masyarakat untuk mendapatkan 20 persen kebun plasma menjadi rentan dikriminalisasi dan dilumpuhkan oleh perkebunan sawit. “Saya berharap dengan adanya loka karya seperti ini, kami bisa mengetahui bagaimana menghadapi tantangan-tantangan itu,” ujarnya.
Selain masyarakat, tantangan kebijakan 20 persen kebun plasma juga dihadapi pemerintah di tingkat desa. Dengan nada geram, Juliandi, Kepala Desa (Kades) Biru Maju, Kecamatan Telawang, Kabupaten Kotawaringin Timur mengungkapkan, bahwa ada tiga perusahaan besar yang beroperasi di wilayahnya sejak tahun 2004 dan tahun 2005 salah satunya, PT Tapian Nadenggang (Sinar Mas Agro Resources and Technology). Namun, tidak satu pun dari perusahaan perkebunan sawit tersebut merealisasikannya.
“Jangankan masyarakat, kami di tingkat pemerintah desa juga dihadapkan dengan kebijakan-kebijakan ini. Bahkan, tidak jarang, warga menuntut kepada kami. Padahal, posisinya sama. Jadi, saya sangat berharap setelah loka karya bersama TuK Indonesia ini akan ada upaya bersama untuk membuat rekomendasi kepada pemerintah tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat terkait kebijakan 20 persen kebun plasma ini,” pungkasnya.