18 September 2025 6 menit
Laporan Mining & Money: Mengungkap Aliran Dana untuk Membiayai Tambang Mineral Transisi Ikut Mendorong Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran HAM di Indonesia

Waingapu, 18 September 2025 — Sebuah laporan oleh Koalisi Forests & Finance, dengan dukungan dari mitra masyarakat sipil di seluruh dunia, berjudul “Mining and Money: Financial Fault Lines in the Energy Transition”, mengungkapkan bahwa antara tahun 2016 dan 2024, bank-bank besar dunia menggelontorkan $493 miliar dalam bentuk pinjaman dan penjaminan kepada perusahaan-perusahaan pertambangan mineral transisi, sementara para investor menyumbang $289 miliar dalam bentuk obligasi dan saham pada bulan Juni 2025.
Laporan ini mengaitkan bagaimana pinjaman dan penjaminan yang dilakukan oleh bank dan investor untuk pertambangan mineral transisi seperti kobalt, nikel, litium, dan tembaga juga ikut bertanggung jawab atas deforestasi, polusi, pelanggaran hak-hak Masyarakat Adat, praktik ketenagakerjaan yang tidak aman, penggunaan pembangkit listrik batu bara baru, runtuhnya bendungan hingga bocornya limbah beracun yang berakibat fatal untuk masyarakat lokal dan ekosistem.
“Meski mineral ini secara terbuka dikampanyekan berkontribusi pada transisi energi dengan menggunakan label “ramah lingkungan” dan “berkelanjutan”, pada kenyataannya cara penambangan dan pembiayaan mineral transisi masih jauh dari bersih, hijau, berkelanjutan, atau berkeadilan”, ungkap Linda Rosalina, selaku Direktur Eksekutif TuK INDONESIA yang juga menjadi bagian dari koalisi Forest & Finance.
Laporan tersebut mengidentifikasikan JPMorganChase, Bank of America, Citi, dan BNP Paribas sebagai bank-bank terbesar yang mendanai tambang mineral transisi yang merusak. Dari sisi investasi, BlackRock, Vanguard, dan Capital Group menggelontorkan miliaran dolar dalam bentuk obligasi dan saham perusahaan-perusahaan tambang raksasa seperti Glencore, Vale, dan BHP.
Terlepas dari komitmen publik terhadap keberlanjutan, skor rata-rata kebijakan lingkungan, sosial, dan tata kelola (LST) untuk pertambangan di 30 lembaga besar yang dinilai oleh Forests & Finance hanya 22%. Banyak perusahaan yang tidak memiliki kebijakan sama sekali untuk mencegah kegagalan pengelolaan limbah, perampasan tanah masyarakat adat, atau deforestasi, meskipun pertambangan dikenal sebagai sektor yang berisiko tinggi.
“Hal ini seharusnya menjadi peringatan bagi setiap pembuat kebijakan, bankir dan investor, bahwa mereka tidak dapat membangun masa depan transisi energi yang adil dengan menginjak-injak hak-hak, menggusur lahan masyarakat dan menghancurkan keanekaragaman hayati,” ujar Stephani Dowlen, aktivis hutan dari Rainforest Action Network, salah satu anggota Koalisi Forests & Finance. “Transisi yang Adil membutuhkan sektor keuangan yang tidak lagi memberi pinjaman pada perusahaan yang memiliki rekam jejak merusak lingkungan dan pelanggaran HAM hingga kekebalan hukum perusahaan”.
Perusahaan-perusahaan pertambangan mineral transisi yang beroperasi di Indonesia dan teridentifikasi mendapatkan keuntungan pendanaan sejak tahun 2016 antara lain Freeport-McMoRan dari Amerika Serikat, Amman Mineral Internasional dan Harita Grup dari Indonesia, serta Lygend Resources & Technology dan Zhejiang Huayou Cobalt dari Tiongkok. Nilai Investasi mayoritas pendanaan dipegang oleh Freeport-McMoRan dari Amerika Serikat, senilai hampir USD 22 miliar pada pertengahan tahun 2025. Zhejiang Huayou Cobalt dari Cina menerima USD 197 juta, menjadikannya penerima terbesar kedua, diikuti oleh Vale dari Brasil sebesar USD 77 juta.
Sedangkan Bank Mandiri sejauh ini menjadi penyandang dana terbesar dari 20 bank teratas yang bertanggung jawab menyediakan USD 6,4 miliar, 20% dari total kredit untuk operasional pertambangan mineral transisi di Indonesia.
20 Bank Terbesar yang Mendanai Pertambangan Mineral Transisi di Indonesia tahun 2016-2024 (jutaan USD)
Di Indonesia, operasi nikel Harita Group di Pulau Obi, bagian dari Segitiga Terumbu Karang yang sensitif secara ekologis, kini terumbu karangnya terancam dan komunitas nelayannya kehilangan mata pencaharian. Harita merupakan salah satu grup konglomerasi paling berpengaruh di Indonesia, sebagian besar operasionalnya di sektor kelapa sawit dan mineral transisi, operasi nikel Harita Group mengunakan tenaga batu bara dan limbah tambangnya (tailing) telah mengakibatkan kontaminasi sumber air yang berdampak pada masyarakat. Meskipun para eksekutif Harita telah mengetahui pencemaran terus berlangsung sejak 2012, pada 2021 Harita malah membangun kilang high-pressure acid leaching (HPAL) skala besar pertama di Indonesia. Proses yang sangat intensif secara kimia ini menghasilkan limbah beracun dalam jumlah besar yang juga membutuhkan pengelolaan yang bertanggung jawab —menambah kekhawatiran besar bagi perusahaan yang sebelumnya sudah menghadapi tuduhan pencemaran. Namun kenyataan ini malah diikuti dengan penawaran umum perdana (IPO) yang berhasil menghimpun investasi besar pada 2023, meskipun Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Trend Asia telah mengangkat keresahan ini.
Diagram kreditor operasional pertambangan Harita di Indonesia 2016–2024 (dalam Juta USD)
Pertambangan nikel yang memiliki rekam jejak pencemaran lingkungan juga beroperasi di Morowali, Sulawesi Tengah, oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Bahodopi, sebagai kawasan industri nikel terbesar di Indonesia. Keberadaan IMIP telah memicu krisis lingkungan dan kesehatan yang parah di Morowali. Pemantauan yang dilakukan oleh TuK INDONESIA dan AEER (2023) menunjukkan bahwa kualitas udara telah tercemar, dengan konsentrasi SO₂, PM2.5, dan PM10 yang melebihi standar nasional. Paparan ini meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), kanker paru-paru, penyakit kardiovaskular, dan bahkan kematian dini di kalangan pekerja dan masyarakat sekitar. Temuan dari Forests & Finance juga mengidentifikasi bahwa antara tahun 2016 dan 2024, kreditur Tsingshan Group yang ternyata CSC Financial, malah mendanai perusahaan sebesar USD 59,1 juta.
“Kenyataan bahwa Harita Group dan IMIP mampu memperoleh dukungan finansial dan politik untuk proyek berisiko tinggi, sementara mereka masih menghadapi tuduhan terkait pencemaran air, polusi udara dan pelanggaran hak asasi manusia sungguh mengkhawatirkan”, tukas Linda.
Koalisi Forests & Finance memperingatkan bahwa tanpa reformasi yang mendasar, transisi energi hanya akan mengukuhkan model eksploitatif dan berisiko tinggi untuk merusak iklim, alam, dan menghambat tujuan pembangunan. Laporan ini menyerukan kepada pemerintah, bank, dan investor untuk menyelaraskan pembiayaan dengan transisi yang adil, merata, dan berkelanjutan dengan:
- Menghormati Hak Asasi Manusia — termasuk Hak-hak Masyarakat Adat, Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), standar ketenagakerjaan, dan perlindungan terhadap para pembela hak asasi manusia.
- Melindungi alam — tidak membiayai perusahaan yang terkait dengan deforestasi, perusakan keanekaragaman hayati, pencemaran air, dan pengelolaan limbah yang tidak aman.
- Memperkuat akuntabilitas — melalui uji tuntas hak asasi manusia dan lingkungan, penelusuran rantai pasokan, transparansi, dan mekanisme pengaduan.
- Menyelaraskan dengan kerangka kerja iklim dan alam — membutuhkan rencana transisi iklim yang kredibel dan menghentikan pendanaan bahan bakar fosil.
- Menetapkan batas merah — mengecualikan klien dengan rekam jejak pelanggaran hak yang berulang atau belum terselesaikan, kerusakan lingkungan, atau gagal untuk menyelesaikan konflik.
Baca Laporan Selengkapnya:
Mining & Money Bilingual Version
Forests-and-Finance-Mining-and-Money-2025-Web
Kontak media: Annisa N Fadhilah ([email protected]/0878844466400)
Catatan untuk redaksi:
Forests & Finance merupakan sebuah koalisi yang terdiri dari sebelas organisasi kampanye, akar rumput, dan penelitian: Rainforest Action Network (RAN), TuK INDONESIA (TuK), Profundo, Amazon Watch, Repórter Brasil, BankTrack, Sahabat Alam Malaysia (SAM), Friends of the Earth US (FOE), Centre pour l’Environnement et le Développement Cameroun (CED), Milieudefensie, dan Observatório da Mineraçāo. Kami mengelola basis data dari sumber terbuka mengenai aliran keuangan ke ratusan perusahaan yang terlibat dalam produksi komoditas yang merisikokan hutan, melakukan penilaian tahunan terhadap kebijakan bank dan investor, serta mengungkap kasus-kasus deforestasi dan pelanggaran hak asasi manusia yang terkait dengan lembaga keuangan. Kami mengkoordinasikan investigasi, analisis, advokasi, dan kampanye untuk mendukung hak-hak dan kontrol masyarakat atas pengelolaan lahan dan hutan, serta berupaya meminta pertanggungjawaban sektor keuangan atas perannya dalam memfasilitasi kerusakan sosial dan lingkungan.