23 Desember 2025 4 menit

Bencana Ekologis di Sumatera, Jejak Pembiayaan yang Mengabaikan Risiko Lingkungan

Default Image

Jakarta, 22 Desember 2025 — Rangkaian bencana ekologis yang melanda berbagai wilayah di Sumatera dalam beberapa waktu terakhir kembali menyingkap persoalan struktural yang selama ini luput dari sorotan: kerusakan lingkungan yang ditopang oleh aliran pembiayaan ke sektor-sektor berisiko tinggi. Koalisi Responsibank menilai, banjir, longsor, dan degradasi ekosistem yang terjadi bukan semata akibat faktor alam, melainkan dampak langsung dari praktik bisnis ekstraktif yang terus mendapat dukungan pendanaan dari lembaga keuangan, termasuk bank-bank nasional.

Bencana ekologis ini dipandang sebagai puncak gunung es dari tata kelola sumber daya alam yang abai terhadap daya dukung lingkungan dan keselamatan masyarakat. Koalisi Responsibank menyerukan agar negara, korporasi, dan industri keuangan menjadikan situasi ini sebagai titik balik untuk melakukan pembenahan mendasar dalam sistem perizinan, pembiayaan, dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya alam.

Abdul Haris, Kepala Departemen Advokasi dan Pendidikan Publik TuK INDONESIA, menegaskan bahwa kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam terbukti membawa kerugian besar, tidak hanya bagi masyarakat sekitar, tetapi juga bagi keuangan dan perekonomian negara. “Bencana ekologis ini menunjukkan bahwa risiko lingkungan yang diabaikan pada akhirnya berubah menjadi beban sosial dan ekonomi yang harus ditanggung publik,” ujarnya.

Menurut Koalisi Responsibank, kondisi ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi negara untuk kembali pada mandat Pasal 33 UUD 1945, yang menegaskan bahwa penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Pengetatan perizinan berbasis daya dukung dan daya tampung lingkungan dinilai mendesak, termasuk kewajiban pemenuhan standar hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan dalam setiap operasi bisnis.

Di balik kerusakan ekologis tersebut, aliran pembiayaan ke perusahaan-perusahaan di Sumatera terus berlangsung dalam skala besar. Data Forests & Finance menunjukkan bahwa dalam periode 2014–2025, total pembiayaan yang terdeteksi mengalir ke sejumlah perusahaan di sektor berisiko di Sumatera mencapai US$ 42,9 miliar, yang terdiri dari pinjaman sebesar US$ 16,9 miliar dan pembiayaan penjaminan (underwriting) sebesar US$ 26,1 miliar. Aliran dana ini tetap terjadi di tengah meningkatnya risiko ekologis dan konflik sosial di wilayah operasi perusahaan.

Dalam daftar kreditur terbesar, tercatat sejumlah bank nasional dengan nilai pembiayaan signifikan. Bank Mandiri tercatat menyalurkan pembiayaan sebesar US$ 3,75 miliar, disusul Bank Rakyat Indonesia (BRI) sebesar US$ 1,65 miliar dan Bank Negara Indonesia (BNI) sebesar US$ 1,14 miliar. Selain bank nasional, sejumlah lembaga keuangan internasional dari China, Jepang, Singapura, dan Inggris juga tercatat aktif membiayai sektor-sektor tersebut.

Sementara itu, berdasarkan kelompok perusahaan, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) tercatat menerima pembiayaan terbesar dengan total US$ 23 miliar, mayoritas melalui skema penjaminan. Disusul PT Agincourt Resources sebesar US$ 9,87 miliar dan PTPN III sebesar US$ 7,54 miliar. Koalisi Responsibank menekankan bahwa data ini baru mencerminkan sebagian kecil perusahaan yang dapat ditelusuri, mengingat masih terbatasnya keterbukaan data pembiayaan dan struktur korporasi di Indonesia.

“Sulitnya mengakses data perusahaan dan pembiayaan menunjukkan lemahnya akuntabilitas. Ini justru menguatkan alasan mengapa transparansi dan kewajiban pelaporan harus diperketat,” kata Abdul Haris. Menurutnya, karena perusahaan mengelola sumber daya alam yang merupakan barang publik, maka keterbukaan risiko sosial dan lingkungan dalam laporan keuangan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban.

Tekanan terhadap ekosistem juga tercermin dari temuan lapangan. WALHI Sumatera Utara mencatat perubahan tutupan hutan seluas 10.795,31 hektare di lanskap Batang Toru yang diduga terkait aktivitas tujuh perusahaan besar. Kerusakan tersebut diperkirakan telah menghilangkan lebih dari 5,4 juta pohon, termasuk di kawasan yang berfungsi sebagai penyangga hidrologis dan koridor satwa. Pembukaan lahan dalam skala besar ini dinilai melemahkan fungsi alamiah kawasan hulu dan memperbesar risiko banjir bandang serta longsor di wilayah hilir.

Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Utara, Rianda Purba, menilai respons pemerintah pascabencana tidak boleh berhenti pada langkah administratif semata. Ia menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan yang berkontribusi pada kerusakan harus dievaluasi secara menyeluruh dan izinnya dicabut. “Keselamatan masyarakat tidak bisa dikorbankan atas nama legalitas. Negara tidak bisa melepaskan tanggung jawab ketika kerusakan ekologis dilegitimasi melalui izin resmi,” ujarnya.

Rianda juga mengingatkan bahwa ekosida yang dilegitimasi melalui izin resmi memperlihatkan bahwa negara sebagai penerbit izin tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab atas kerusakan ini. “Akan menjadi sia-sia jika pelaku ilegal diproses hukum, sementara aktivitas deforestasi yang legal justru terus dibiarkan melalui perizinan resmi,” ujarnya, seraya menekankan bahwa bencana ekologis di Batang Toru mencerminkan kegagalan dalam tata kelola lingkungan dan pembiaran sistemik terhadap kerusakan sumber daya alam.

Koalisi Responsibank juga menyoroti peran strategis industri keuangan dalam memutus siklus bencana. Dwi Rahayu Ningrum, Staf Program Sustainable Development PRAKARSA, menyatakan bahwa pasar modal dan perbankan memegang kunci transisi. “Dengan menghentikan pendanaan pada kegiatan yang destruktif dan memprioritaskan yang berkelanjutan, perbankan sejatinya sedang mengamankan masa depan portofolio mereka sendiri dari risiko ekologis yang semakin nyata. Ini bukan soal menambah beban, tapi soal menjamin keberlanjutan bisnis jangka panjang,” katanya.

Koalisi Responsibank menilai, tanpa audit perizinan yang menyeluruh, keterbukaan data pembiayaan, dan penegakan hukum yang tegas, risiko ekologis di Sumatera akan terus berulang dan berubah menjadi tragedi kemanusiaan. Bencana yang terjadi saat ini dinilai sebagai peringatan bahwa pembenahan sistem pembiayaan dan tata kelola sumber daya alam tidak lagi bisa ditunda.

Siaran Langsung dapat diakses melalui:
Konferensi Pers: Membongkar Pembiayaan di Balik Bencana Ekologis Sumatera


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top