7 Oktober 2025 5 menit

Solidaritas Merauke Kecam Kebijakan Menteri Agraria dan Menteri Kehutanan untuk Memfasilitasi Pengadaan Lahan Proyek Komersial Proyek Strategis Nasional di Provinsi Papua Selatan

Default Image

Jakarta 7 Oktober 2025. Solidaritas Merauke menyatakan protes keras atas kebijakan sewenang-wenang Menteri Kehutanan dan Menteri Agraria & Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nusron Wahid yang telah melepas hampir setengah juta hektar kawasan hutan di Provinsi Papua Selatan untuk proyek komersial atas nama PSN, tanpa mengindahkan kedaulatan dan hak masyarakat adat.

Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni menetapkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025 tertanggal 18 September 2025, tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 430 Tahun 2025 tentang Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan dalam Rangka Review Rencana Tata Ruang wilayah Provinsi Papua Selatan, yang menetapkan luas areal Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan/ Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 486.939 ha untuk mendukung Percepatan Pembangunan Kawasan Swasembada Pangan, Energi dan Air Nasional, Provinsi Papua Selatan. 

“Papua bukan tanah kosong. Setiap jengkal tanah, hutan, savana, rawa-rawa dan perairan di tanah Papua itu dikuasai dan dimiliki masyarakat adat, berdasarkan ketentuan norma adat dan tradisi, yang diwariskan para leluhur,” kata Uli Arta Siagian, aktivis WALHI dan Solidaritas Merauke, saat berunjuk rasa menolak pelepasan kawasan hutan Papua Selatan untuk proyek strategis nasional pangan, energi dan pertahanan di muka kantor ATR/Badan Pertanahan Nasional, Selasa 7 Oktober 2025.

Menurut Uli, hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya tidak bisa menggunakan pandangan formalistik negara dan dokumen kepemilikan saja. “Masyarakat adat Malind Anim, Makleuw, Khimahima, Yei, di Kabupaten Merauke, Suku Wambon Kenemopte dan Awyu, di Kabupaten Boven Digoel, yang berdiam dan memiliki wilayah adat pada kawasan hutan, tidak dilibatkan dan tidak mengetahui keputusan tersebut,” tegasnya. 

Berkali-kali, lanjut Uli, mereka menyuarakan penolakan terhadap PSN Merauke di ibukota Jakarta dan Papua. Mereka ingin agar negara bisa menghormati dan melindungi hak hidup masyarakat adat, hak hidup bebas, damai dan aman, hak atas tanah, wilayah dan sumber daya, hak atas pangan, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, hak perempuan dan anak serta hak atas pembangunan yang menjadi hak konstitusi mereka. “Namun pemerintah mengabaikan semua tuntutan dan suara masyarakat adat itu,” tegasnya.  

“Negara mengabaikan kewajibannya untuk mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat adat sebagaimana Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang sudah diubah melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2001,” katanya. 

Di dalam pasal tersebut telah diatur dengan jelas mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haknya, termasuk hak atas tanah, hak untuk membuat keputusan dan kesepakatan penyerahan dan pemanfaatan tanah.

 

ATR/BPN Hutan Milik Negara untuk Swasembada Pangan
Unjuk rasa 7 Oktober 2025 tersebut merespon pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, setelah Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) mengatakan bahwa pihaknya telah melepas 474.000 hektar lahan dari kawasan hutan untuk mendukung program swasembada pemerintah di Wanam, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan, sebagaimana diliput media nasional (29/9/2025).

Nusron menegaskan lahan yang dilepas sebelumnya berstatus kawasan hutan milik negara dan tidak ada yang bermukim, sehingga merupakan tanah milik negara yang tidak memerlukan prosedur pembebasan tanah. “Kan ini hutan, punya negara. Nggak ada (pembebasan lahan), belum ada penduduknya, nggak ada yang bermukim di situ,” ujar Nusron.

Franky Samperante, Juru Bicara Solidaritas Merauke, menentang pandangan dan kebijakan kedua pejabat negara ini menunjukkan bahwa praktik kolonialis sebagaimana doktrin ‘terra nullius’, doktrin tanah kosong yang digunakan kolonial Eropa untuk merampas, menduduki dan menguasai tanah masyarakat adat guna perluasan daerah koloni, masih mengakar. 

“Doktrin tanah kosong senafas dengan ketentuan kolonial Belanda ‘domein verklaring’ yang menyatakan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan tanah miliknya berdasarkan hukum barat, menjadi tanah milik negara,” katanya. 

Menurut Franky, tindakan merampas tanah adat dan klaim tanah milik negara tersebut merupakan perbuatan ala pemerintah kolonial yang menegasikan dan mengabaikan hak-hak rakyat, tidak adil dan bertentangan dengan konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia. 

Solidaritas Merauke juga mendiskusikan dan menganalisis percepatan proses hingga penerbitan berbagai kebijakan, yakni Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 591 Tahun 2025, Ranperda RTRW Provinsi Papua Selatan, Persetujuan Bersama Gubernur Papua Selatan dan DPRD Provinsi Papua Selatan dan Pembahasan Lintas Sektor oleh Menteri Agraria Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk Persetujuan Substansi Tata Ruang Provinsi Papua Selatan. 

“Semua itu dilakukan secara kilat, senyap dan tidak ada partisipasi bermakna yang melibatkan masyarakat adat, serta tidak mendapatkan persetujuan yang bebas oleh masyarakat adat sebagaimana Prinsip FPIC (Free Prior Informed Consent),” kata Franky.

Menurut Franky, secara mencolok kebijakan Perubahan Peruntukkan Kawasan Hutan dari Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Hutan Produksi yang dapat Dikonversi menjadi Areal Penggunaan Lain seluas 486.939 dan Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Papua Selatan, dilakukan sewenang-wenang untuk mengakomodasi kepentingan proyek perluasan modal dan lahan usaha dengan mengatasnamakan PSN Pengembangan Kawasan Pangan dan 

Energi, yakni: (1) proyek cetak sawah baru; (2) pengembangan perkebunan dan industri minyak kelapa sawit; (3) pengembangan perkebunan dan tebu dan industri bioethanol; (4) peternakan hewan; (5) industri amunisi propelan; (6) dermaga dan bandara, termasuk landasan pacu pesawat tempur; (7) sarana dan prasarana pendukung.

Solidaritas Merauke menuntut pemerintah untuk menghentikan total kebijakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan, revisi RTRW Provinsi Papua Selatan dan izin usaha untuk Proyek Strategis Nasional serta proyek-proyek atas nama kepentingan proyek strategis nasional lainnya yang jelas-jelas mengorbankan rakyat dan lingkungan hidup.

Narahubung:
Franky Samperante +62 811 1256 019
Uli Arta Siagian, +62 821-8261-9212


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top