25 Agustus 2025 4 menit

Hijau di Label, Luka di Akar: Menyoal RSPO dan EUDR dalam Bayang Sawit

TuK INDONESIA mengadakan pelatihan untuk pelatih (training of trainer) pada 29-30 Juli 2025 di Bogor. Meski pengalaman panjang mereka menunjukkan mekanisme RSPO lamban, berbelit, dan kerap tidak memberi pemulihan nyata bagi masyarakat, TuK tetap memilih membuka diskusi dengan topik ini. Alasannya sederhana, komunitas di akar rumput perlu memahami bagaimana regulasi global bekerja, baik peluang maupun jebakannya, agar mereka bisa lebih siap memperjuangkan haknya.

Pelatihan ini dihadiri beberapa perwakilan masyarakat sipil dari Sumatera, Jawa, dan Kalimantan. Para peserta tidak hanya memahami aturan keberlanjutan minyak sawit melalui kebijakan, namun juga membagikan kisah-kisah yang tumbuh di lapangan. Mereka menelaah RSPO dan EUDR, serta menguji sejauh mana mekanisme pengaduannya benar-benar bisa diandalkan.

TuK INDONESIA membuka pelatihan ini dengan RSPO sebagai pengantar. Para peserta belajar prinsip, kriteria, dan juga sistem pengaduan organisasi sertifikasi global ini. Pada awalnya, mekanisme ini memang bisa menjadi peluang yang digunakan dalam melakukan advokasi sawit. Namun, di tengah materi itu, kritik juga mencuat. Pengalaman bertahun-tahun menunjukkan bahwa RSPO, meskipun menyandang label “berkelanjutan”, tidak jarang gagal menghentikan praktik destruktif di lahan anggota, seperti pembukaan hutan primer dan penebangan gambut bahkan ketika mereka telah bersertifikat berkelanjutan.

TuK INDONESIA telah menguji mekanisme dalam proses advokasi sawit. Sayangnya, mekanisme ini belum mampu menjawab persoalan yang hadir di lapangan. Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA menceritakan proses panjang yang telah ditempuh. “Kami sudah beberapa kali mengajukan pengaduan melalui mekanisme RSPO, misalnya soal konflik lahan atau kerusakan lingkungan, tapi seringkali berujung pada proses panjang, tanpa pemulihan nyata bagi masyarakat terdampak,” tutur Linda. Praktik seperti ini, ujar TuK, mengancam potensi RSPO berubah menjadi alat legitimasi, bukan perlindungan, melainkan greenwashing atau pencitraan hijau yang meredam kritik tapi tidak menyelesaikan masalah.

Di lapangan sendiri, sawit memunculkan dua wajah paradoksal. Di satu pihak, ia membawa manfaat baik secara infrastruktur sederhana, lapangan kerja, akses ekonomi ke desa-desa terpencil. Namun di sisi lain, ekspansi industri itu sering menelan hutan adat, mencemari sungai, merusak lingkungan, hingga memicu konflik sosial. Banyak orang adat dikriminalisasi ketika menolak pembukaan lahan baru. Dampaknya, mereka kehilangan ruang hidup, hak atas tanah, serta keamanan, terutama terhadap pembela lingkungan dan hak asasi di desa mereka.

Sementara itu, di sisi lain dunia, konsumen di kota besar atau benua jauh tidak pernah melihat lanskap konflik itu. Mereka hanya melihat produk akhir berupa sabun, sampo, margarin, biskuit, kosmetik, atau biodiesel tanpa tahu bahwa setiap produk itu membawa jejak panjang pelanggaran dan kerusakan yang digurat di balik label “sustainable vegetable oil”.

Lalu muncul regulasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang tampak seperti jawaban. Namun semakin diulas, semakin jelas bahwa regulasi ini hanyalah citra niat baik, tanpa jejak keadilan nyata. Bagi banyak pengamat dan pemangku kepentingan di Global South, EUDR justru mereplikasi pola kolonial di mana negara maju memaksakan standar tinggi di atas bangsa-bangsa yang jasanya mereka nikmati selama ini, tanpa menyertakan dukungan yang setara.

Menurut Prof. Budiman Minasny dari University of Sydney, EUDR kerap memberatkan petani kecil, terutama salam aturan traceability geolokasi dan dokumentasi penuh adalah tugas berat yang hanya bisa dipenuhi perusahaan besar.1https://www.antaranews.com/berita/4378378/eudr-dan-dampaknya-bagi-petani-indonesia Tak heran, Gapki juga memperingatkan bahwa aturan seperti ini bisa mematikan akses pasar untuk petani rakyat, sementara mereka sendiri tidak punya sumber daya untuk memenuhinya.2https://www.antaranews.com/berita/4417953/gapki-eudr-lebih-merugikan-petani-kecil-dibandingkan-pengusaha-sawit Secara lebih konseptual, EUDR disebut sebagai instrumen neo-imperialisme hijau, di mana Uni Eropa menetapkan aturan sepihak tanpa dialog substantif, mendikte cara negara lain bertani dan melindungi hutan, padahal mereka sendiri adalah pelaku deforestasi masif sebelumnya.3https://id.epiccproject.org/blog/2024/09/19/neokolonialisme-yang-tertanam-dalam-regulasi-produk-bebas-deforestasi-eudr-uni-eropa/

RSPO, dengan segala mekanismenya, terbukti belum cukup menjawab jeritan warga yang tanah dan hutannya diambil. Proses komplain seringkali panjang, melelahkan, dan tak jarang berakhir tanpa solusi nyata. Sementara itu, EUDR yang baru akan berlaku pada 2026 justru menghadirkan ancaman baru: petani kecil bisa tersingkir karena tak punya kemampuan memenuhi standar tinggi yang ditentukan dari luar negeri.

Meski begitu, api kecil harapan masih menyala. Pelatihan ini bukan hanya ruang belajar soal sertifikat atau regulasi. Lebih dari itu, ia menjadi wadah menyiapkan pelatih lokal yang kelak bisa pulang ke komunitasnya, menjadi penjaga hak-hak warga sekaligus suara advokasi dari akar rumput. Pertanyaan-pertanyaan besar pun menggema di ruangan: Apakah sertifikat benar-benar menghentikan perusakan? Atau justru hanya memperkaya pemodal, sementara petani kecil kian terpinggirkan?

Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi panggilan untuk terus melacak, bukan hanya rantai pasok, tapi juga akar penyebab dari segala perusakan ini. Sebab tanpa keadilan dan keterlibatan masyarakat, RSPO maupun EUDR tak lebih dari label hijau kosong yang menenangkan hati konsumen jauh di sana, tapi tetap menutup telinga dari jeritan masyarakat yang hidup di tengah kebun sawit.

This post is also available in: English


TuK Indonesia

Editor

Scroll to Top