9 Juli 2025 4 menit

Putusan Gugatan Desak Mandiri Ditunda di Hari-H: Di Mana Komitmen Keadilan untuk Nasabah dan Masyarakat?

SIARAN PERS

Jakarta, 9 Juli 2025 — Di tengah harapan besar akan hadirnya keadilan atas praktik pembiayaan yang merusak lingkungan dan merampas tanah masyarakat, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru menunda pembacaan putusan gugatan terhadap PT Bank Mandiri. Gugatan yang dilayangkan oleh TuK INDONESIA ini menyoroti pembiayaan Bank Mandiri kepada anak usaha Astra Agro Lestari (AAL), PT Agro Nusa Abadi (ANA), yang beroperasi tanpa Hak Guna Usaha (HGU) di Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Putusan yang semula dijadwalkan dibacakan pada 3 Juli 2025, secara mendadak ditunda hingga 17 Juli 2025, tanpa disampaikan melalui sidang terbuka. Informasi penundaan baru diterima pihak penggugat pada hari-H melalui sistem e-Court.

“Penundaan ini bukan perkara teknis semata. Ini memperpanjang keresahan nasabah Bank Mandiri yang menggugat karena tak ingin uang mereka digunakan untuk membiayai proyek yang merampas tanah dan merusak lingkungan,” ujar Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA. “Putusan yang seharusnya menjadi langkah maju dalam membangun akuntabilitas sektor keuangan, kini justru menunjukkan wajah buram ketidakpastian hukum di Indonesia,” tegasnya.

Gugatan ini mencuatkan fakta bahwa PT ANA menjalankan perkebunan sawit tanpa memiliki HGU—sebuah pelanggaran terhadap berbagai peraturan perundang-undangan Indonesia, termasuk Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkebunan. Ketidaktertiban hukum ini telah melahirkan konflik sosial berkepanjangan, intimidasi terhadap warga, serta kerusakan ekologis yang terus terjadi hingga kini.

“Konflik agraria akibat perkebunan milik Astra Group mencapai 37.620 hektare yang melibatkan 8 anak perusahaan. Padahal ketika beroperasi, hukum Indonesia mewajibkan perusahaan perkebunan memiliki Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP), sebagaimana diatur dalam UUPA 1960, UU Perkebunan, bahkan aturan perundang-undangan sektor Perbankan,” jelas Roni dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Roni juga menambahkan bahwa ketiadaan HGU PT ANA, pengawasan oleh Astra Group dan Bank Mandiri selama ini merupakan pelanggaran hukum berat. “Penundaan pembacaan putusan menandakan lemahnya profesionalisme hakim dan bukti keengganan untuk menegakkan keadilan hak atas tanah dan lingkungan,” ujar Roni.

Desakan untuk bertindak adil juga datang dari organisasi masyarakat sipil dan lingkungan lainnya. Mereka melihat momentum penundaan ini sebagai kesempatan terakhir bagi majelis hakim untuk berpihak pada keadilan ekologis dan publik. “Pengadilan tidak seharusnya menunda keputusan tanpa alasan yang tidak jelas. Nasabah perlu kepastian hukum bahwa uangnya tidak digunakan untuk mendanai proyek melanggar hukum. Keputusan hakim akan menjadi langkah penting yang mempertaruhkan keberpihakan kepada publik atau korporasi,” tegas Zaki Amali dari Trend Asia.

Sementara itu, organisasi lingkungan seperti WALHI Riau mengingatkan bahwa keputusan ini akan mencerminkan sejauh mana sistem hukum Indonesia memuliakan lingkungan hidup. “Penundaan sidang putusan kami harap menjadi momentum bagi Majelis untuk memastikan pertimbangan dan putusan yang dikeluarkannya tepat. Memuliakan lingkungan hidup dan memastikan ada perbaikan signifikan dalam sistem perbankan. Tidak lagi sembrono memberikan pendanaan kepada perusahaan-perusahaan industri ekstraktif yang menghancurkan lingkungan dan abai pada aspek perlindungan hak asasi manusia,” kata Boy Even Sembiring.

Solidaritas juga datang dari komunitas global. Organisasi internasional seperti Friends of the Earth (FoE) dan BankTrack menegaskan bahwa tanggung jawab bank terhadap pelanggaran lingkungan dan HAM tidak bisa ditawar. “Kami menyatakan solidaritas penuh terhadap masyarakat sipil Indonesia dalam upaya menuntut akuntabilitas sektor keuangan nasional. Gugatan Desak Mandiri merupakan langkah strategis yang berpihak pada komunitas terdampak yang setiap hari menghadapi krisis iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kami berharap pengadilan dapat mempertimbangkan seluruh argumentasi yang ada, serta mengambil keputusan yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan supremasi hukum di atas kepentingan korporasi,” ujar Danielle dari Friends of the Earth.

“Bank memiliki tanggung jawab yang jelas berdasarkan standar internasional untuk mencegah dan menangani dampak pembiayaan mereka terhadap hak asasi manusia. Kami berharap pengadilan dapat memanfaatkan waktu tambahan ini untuk menelaah secara menyeluruh argumen-argumen yang disampaikan oleh BankTrack dan CSO lainnya dalam dokumen amicus curiae kami, dan dapat akhirnya mengambil keputusan yang mengutamakan hak dan kesejahteraan manusia di atas kepentingan korporasi,” tambah Ola Janus dari BankTrack.

Penundaan putusan ini tidak akan menghentikan perjuangan masyarakat sipil untuk mendesak tanggung jawab perbankan dalam rantai kehancuran ekologis dan perampasan tanah. Kami menyerukan kepada publik dan media untuk terus mengawal proses ini, dan tidak terjebak dalam narasi tandingan yang melemahkan suara masyarakat.

 

Narahubung:
0878844466400

[email protected]

This post is also available in: English


Hambali Hamdan

IT & Knowledge Manager

Scroll to Top