Patut Diduga Turut Bertanggungjawab Dalam Kasus Kematian Marius Betera: PT Tunas Sawa Erma Harus Melakukan Pemulihan dan Pencegahan Terjadinya Pelanggaran HAM

Pada  tanggal  16  Mei  2020,  terjadi  kekerasan  dan  penganiayaan  yang  dilakukan  seorang anggota kepolisian Republik Indonesia yang berinisial Brigadir Polisi Melkianus Yowei (MY) terhadap warga sipil Orang Asli Papua (OAP) bernama Marius Betera (MB), hingga korban MB merasakan kesakitan dan meninggal dunia setelah   kejadian kekerasan. Kekerasan dan penganiayaan  yang  dilakukan  Brigadir  Polisi  MY  tersebut  terjadi  di  kantor  perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Tunas Sawa Erma (TSE) POP (Plam Oil Plantation) Blok A atau sering disebut PT TSE POP A/ Camp 19, Distrik Jair, Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua. PT.  TSE  merupakan  salah  satu  anak  perusahaan  PT  Korindo  Group.  Perusahaan  Korindo Group   memiliki   bisnis   perkebunan   kelapa   sawit   skala   besar   melalui   6   (enam)   anak perusahaan dan dua perusahaan pembalakan hasil hutan kayu, serta satu perusahaan hutan tanaman   industri,   yang   beroperasi   di   wilayah   pemerintahan   Kabupaten   Merauke   dan Kabupaten Boven Digoel, Provinsi Papua.

Peristiwa  kekerasan  dan  penganiayaan  terhadap  MB  berawal  ketika  korban  mendatangi kantor  PT  TSE  POP  A  guna  menanyakan  dan  melakukan  klarifikasi  terhadap  penggusuran kebun  pisang  milik  korban  yang  diduga  dilakukan  oleh  PT.  TSE  POP  A.  Kronologi  singkat diatas  sudah  dapat  menunujukan  adanya  2  (dua)  peristiwa  hukum  yang  terjadi,  yaitu  :  1. Melalui peristiwa hukum pengrusakan kebun pisang dan mengakibatkan MB kehilangan hak memanfaatkan   hasil   kebun   menunjukan   bukti   dugaan   Tindakan   Pidana   Pengrusakan sebagaimana   diatur   pada   pasal   406   ayat   (1)   KUHP   dan   2.   Melalui   peristiwa   Hukum penganiayaan  yang  berujung  matinya  Melianus  Batera  menunjukan  bukti  dugaan  Tindak Pidana Penganiyaan Berat sebagaimana diatur pada pasal 351 ayat (3) KUHP.

Terkait insiden tersebut, dalam rilisnya PT. Korindo Group menyatakan bahwa PT. Korindo Group akan melakukan langkah-langkah aktif dalam mengatur pemakaman korban; Bekerja sama dengan masyarakat dan pihak berwenang setempat untuk melakukan penyelidikan yang menyeluruh dan teliti untuk mencari tahu yang sebenarnya terjadi; Membentuk badan konsultatif multilateral di mana penduduk, pemerintah daerah, organisasi lokal, dan LSM akan berpartisipasi, serta bekerja sama dalam melakukan penyelidikan untuk mencegah kejadian serupa di masa depan; membuka Saluran Penanganan Keluhan untuk kasus ini.1

Berkaitan dengan insiden meninggalnya korban MB, kami menilai bahwa secara jelas PT. TSE telah mengabaikan hak asasi manusia sebagaimana ditegaskan dalam Prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia yang menyatakan bahwa “perusahaan” harus menghormati hak asasi manusia, dan semaksimal mungkin harus menghindari melakukan tindakan-tindakan yang berdampak pada hak asasi manusia seperti dialami oleh korban MB. Sebagai perusahaan, PT. TSE terikat untuk mengacu dan menjadikan instrumen-instrumen

hak  asasi  manusia  internasional  yang  telah  diratifikasi  dan  berlaku  di  Indonesia.  Termasuk instrument-instrumen dan protokol hak asasi manusia yang dibentuk Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) khususnya Konvensi ILO 169 tentang Hak Masyarakat Hukum Adat, yang secara  jelas  menyatakan  perlindungan  atas  hak-hak  masyarakat  adat  atas  wilayah  dan sumber  daya  alam  yang  ada  di  wilayahnya.  Insiden  ini  menunjukkan  juga  PT.  TSE  tidak konsisten menjalankan kebijakannya untuk perlindungan terhadap hak asasi manusia.2

Prinsip-prinsip PBB mengenai bisnis dan hak asasi manusia menyatakan bahwa tanggung jawab untuk menghormati hak asasi manusia mewajibkan perusahaan untuk “menghindari menjadi penyebab atau berkontribusi pada dampak buruk akibat operasional bisnis mereka terhadap hak asasi manusia, dan harus berupaya untuk mencegah atau mengurangi dampak- dampak buruk yang terkait dengan kegiatan, produk atau jasa yang terjadi dalam hubungan bisnis mereka, meskipun perusahaan tidak berkontribusi langsung terhadap pelanggaran yang terjadi”, yang dalam hal ini kekerasan dan penganiayaan terhadap korban dilakukan seorang anggota polisi.

Berdasarkan uraian tersebut diatas dan berpegang pada pernyataan rencana-rencana yang disiapkan PT. Korindo Group, maka kami mendesak kepada:

  1. Korindo Group segera memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk menghormati hak asasi manusia. Perusahaan harus menerapkan kebijakan hak asasi manusia dalam seluruh organisasi perusahaannya, termasuk, namun tidak terbatas pada:
    • Menjalankan sungguh-sungguh komitmen kebijakan untuk memenuhi tanggung jawab perusahaan untuk memenuhi hak asasi manusia;
    • Melakukan uji tuntas hak asasi manusia untuk mengenali, mencegah, mengurangi dan melaporkan bagaimana perusahaan menangani dampak-dampak kegiatan perusahaan terhadap hak asasi manusia-dalam hal ini di wilayah Kabupaten Merauke dan Boven Digoel, Provinsi Papua;
    • Melakukan pemulihan atas kerugian yang dialami masyarakat adat dan masyarakat setempat, serta buruh (termasuk buruh harian lepas) di wilayah
  1. Korindo Group segera membentuk forum/badan konsultatif multilateral, harus melibatkan dan bekerjasama dengan masyarakat adat setempat, ahli-ahli hukum dan hak asasi manusia, akademisi, pemimpin agama dan ahli lainnya, organisasi masyarakat adat, organisasi buruh dan organisasi masyarakat sipil, untuk berpartisipasi dan bekerjasama dalam melakukan penyelidikan secara bebas atas kasus yang terjadi guna mencegah kejadian serupa dimasa depan, termasuk dalam menyikapi keluhan atas konflik di wilayah beroperasinya PT. Korindo Group;
  2. Kapolda Papua dan Kapolres Boven Digoel untuk segera usut tuntas dugaan tindakan Tindakan Pidana Pengrusakan sebagaimana diatur pada pasal 406 ayat (1) KUHP dan dugaan Tindak Pidana Penganiayaan Berat sebagaimana diatur pada pasal 351 ayat (3) KUHP yang terjadi, termasuk memeriksa keberadaan dan aktifitas PT. Korindo Group dan anak perusahaan yang beroperasi di wilayah pemerintahan provinsi Papua;
  1. Korindo Group untuk wajib melaksanakan Konvensi ILO No. 169, masyarakat adat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari eksploitasi wilayah adat dan sumber daya alamnya, serta berhak untuk memperoleh ganti rugi apabila terjadi kerugian akibat eksploitasi atas wilayah dan sumber daya alamnya.

 

Papua/Jakarta, 30 Mei 2020

 

Hormat kami pendukung dan penandatangan surat keterangan pers:

  1. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke
  2. Yayasan Pusaka Bentala Rakyat
  3. Greenpeace Indonesia
  4. TAPOL, UK
  5. PapuaItuKita
  6. Eksekutif Nasional Walhi
  7. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Papua
  8. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua
  9. LP3BH Manokwari
  10. Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM)
  11. Lembaga Advokasi Peduli Perempuan (ElAdpper)
  12. Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP)
  13. Rainforest Action Network (RAN)
  14. Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia
  15. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua

 

Narahubung:

  1. Anselmus Amo, MSC (Direktur Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Agung Merauke) : HP. 0812 8777 8974
  2. Emanuel Gobay (Direktur LBH Papua): HP. +62 821-9950-7613
  3. Tigor G Hutapea (Yayasan Pusaka Bentala Rakyat): HP 0812 8729 6684

 

1 Lihat: https://korindonews.com/pernyataan-korindo-group/?lang=id

2 Lihat: https://www.tse.co.id/policy/

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *