Mengapa RUU Omnibus Law Harus Dibatalkan

Coba cek ada berapa frasa demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan dalam 1981 halaman naskah akademik dan 1028 halaman RUU Cipta Kerja? Hasilnya sungguh fantastis, nihil! Sejak awal dengan begitu saya katakan Omnibus Law ini cacat ideologis. RUU ini dibuat tidak untuk menjalankan amanat konstitusi, demokrasi ekonomi[1]. Jadi, Omnibus Law membunuh ekonomi kerakyatan sejak dalam pikiran!

Olah karenanya sia-sia membahas pasal per pasal. Isinya sudah pasti bertolak belakang dengan amanat konstitusi. Alih-alih mendorong demokratisasi ekonomi, Omnibus Law pasti akan mendorong korporatokrasi. Dan benar saja, isi Omnibus Law memberi solusi dominan bagi penciptaan lapangan kerja, investasi.

Lewat pintu manalagi investor menguasai SDA, buruh murah, pasar, dan infrastrutur selain investasi?[2] Sedangkan jebakan utang (debt-trap) sudah aman sejak jauh-jauh hari. Maka 1028 halaman Omnibus Law dipenuhi upaya bagaimana penyediaan lahan, peluang bisnis, serta pasar tenaga kerja yang fleksibel bagi kepentingan investor. Dan 7 juta pengangguran pun dijadikan alasan pembenar.

Maka kita pun perlu bertanya, investor yang mana? Sedangkan 97% lapangan kerja disediakan oleh ekonomi rakyat, yang sering disebut UMKM[3]. 87% lapangan kerja disediakan oleh Usaha Mikro, yang merupakan 98% dari pelaku usaha di Indonesia. Konsep UMKM lebih disukai untuk menjauhkan ekonomi dari kata rakyat. Mungkin dianggap berbahaya?[4].

Ekonomi rakyat menyumbang 60% produksi nasional (8200 trilyun), sekaligus 50% investasi nasional (400 trilyun). Meskipun yang tidak tercatat tentu jauh lebih besar. Maka kekuatannya untuk menciptakan lapangan kerja sudah barang tentu jauh lebih besar daripada investasi skala besar. Lalu mengapa Omnibus Law hanya menyediakan 24 pasal dalam 7 halaman dari total 1028 halaman keseluruhan?

Bahkan dalam masa krisis moneter 1997/1998 di saat segelintir oligarki usaha besar merampok APBN melalui BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan[5], ekonomi rakyat terbukti berdaya tahan tinggi dan berjasa besar. Tetap menjadi solusi lapangan kerja di saat banyak perusahaan besar kolaps dan para pekerjanya terkena PHK dan dirumahkan.

Dan kini pandemi Covid-19 diperkirakan menambah jumlah pengangguran antara 2,9 juta-10 juta orang. Mengharap investasi besar tentu saja tidak masuk akal. Di saat normal saja 1% pertumbuhan ekonomi hanya mampu menyerap 270.000 tenaga kerja baru, apalagi disaat pandemi sekarang[6]. Terbukti lagi di kala krisis perspektif Omnibus Law berbahaya dan tidak dapat diandalkan.

Pandemi membuat ekonomi Indonesia di persimpangan jalan. Tetap melanggengkan korporatokrasi yang memusatkan penguasaan 68% tanah dan 50% kekayaan hanya pada 1% elit oligarki ataukah berputar haluan, kembali ke jalan ekonomi kerakyatan? Pengalaman krisis moneter dimana ekonomi rakyat menjadi penyelamat ekonomi nasional kiranya akan berulang.

Bukan saja itu. Pandemi menjadi momentum untuk menjalankan amanat konstitusi, meningkatan kontroll dan daulat rakyat atas perekonomian. Sepertihalnya konfederasi koperasi tani di Jepang yang menguasai hulu sampai hilir pertanian di Jepang. Begitupula 500.000 pekerja Singapura yang di Fairprice cooperative menguasai 58% pangsa ritel negaranya.

Demikian halnya koperasi petani di negara-negara Skandinavia yang memaksa konglomerat bertuekuk lutut dihadapan mereka. Pun serikat-serikat rakyat yang menguasai 80% keuangan dan perbankan di Jerman, serta para pelaku ekonomi rakyat Prancis yang memiliki bank terbesar kedua di negaranya.

Seperti pula 13 juta pekerja di Amerika yang sudah memiliki saham di tempat bekerjanya. Sama halnya dengan 80.000 pekerja di Mondragon, Spanyol yang mengendalikan koperasi produksi, bank, asuransi, ritel, bahkan memiliki Universitas sendiri di kota tersebut. Dan masih banyak praktek nyata ekonomi kerakyatan berskala nasional.

Apa yang terjadi di negara-negara tersebut dan bagaimana mencapainya sudah diletakkan dasar-dasarnya sejak 75 tahun lalu oleh para pendiri bangsa kita di dalam UUD 1945[7]. Pandemi ini mestinya menjadi momentum untuk melakukan revitalisasi ekonomi kerakyatan. Melalui penguatan ekonomi rakyat[8] niscaya di balik musibah pandemi ini ada berkah bagi bangsa Indonesia ke depan.

Dan kita bisa mulai dari batalkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, sekarang!

 

Yogyakarta, 4 Mei 202

Awan Santosa, S.E, M.Sc
Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

Keterangan:

[1] Cek Pasal 33 UUD 1945 masih utuh persis sama isinya sejak 1945: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas ekkeluargaan”. Selama isinya masih utuh maka tafsirnya dapat merujuk pada bagian Penjelasan (meskipun sudah dihapus) yang berbunyi: “dalam pasal ini tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”.

[2] Sejak era kolonial, orde baru, dan pasca reformasi skema ini terus saja dilanjutkan, yang oleh Sukarno duseh disebut sebagai ciri-ciri ekonomi yang berwatak kolonial

[3] Di Barat disebut Small Medium Enterprises (SME’s), karena tidak mewakili kondisi struktur pelaku ekonomi Indonesia maka ditambah istilah baru Usaha Mikro.

[4] UMKM lebih atomis parsial, sedangkan ekonomi rakyat cenderung kolektif dan memiliki potensi pengorganisasian. Jika ada ekonomi rakyat, maka ada pertanian rakyat, perkebunan rakyat, peternakan rakyat, industri rakyat, yang biasanya beroposisi dengan oligarki perekonomian. Maka harus dipastikan ekonomi rakyat, sebagai tenaga penggerak ekonomi kerakyatan juga tetap terbunuh sejak dalam pikiran.

 

[5] Mode ini selalu berulang disaat krisis, banyak usaha besar yang memanfaatkan kesempatan, berakibat Indonesia berada dalam jebakan utang (debt-trap) yang semakin berkepanjangan.

[6] Jumlah investasi sebesar 800 trilyun baru mampu menyerap 1, 034 juta tenaga kerja baru, dan kemampuan penyerapannya cenderung menurun setiap tahun pasca revolusi industri 4.0

[7] Pasal 31 menjadi dasar bagi pembangunan manusia sebagai modalitas pertumbuhan berkualitas yang selain menciptakan lapangan kerja juga melestarikan lingkungan dan memeratakan perekonomian. Pasal 33 ayat (1) menjadi dasar bagi penguatan organisasi ekonomi rakyat dan koperasi. Pasal 33 ayat (2) dan (3) menjadi dasar bagi penguasaan negara atas kekayaan alam dan cabang produksi strategis yang terkait hajat hidup orang banyak, serta peran negara dalam perekonomian, baik melalui kebijakan maupun kelembagaan BUMN, BUMD, dan BUMDes

[8] Pada masa pandemic konomi rakyat dan koperasi  tidak saja perlu bantuan/insentif, melainkan perlu dukungan pengembangan SDM, organisasi, teknologi, TI, jaringan, infrastruktur, dan koneksitas dengan perguruan tinggi. Baca tulisan saya “Pancasila di Tengah Corona”

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *