Lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia sangat besar dikuasai oleh korporasi. Riset ‘Kendali Taipan atas Grup Bisnis Kelapa Sawit di Indonesia’, yang dilakukan oleh TuK INDONESIA, menunjukkan bahwa daerah yang dialokasikan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat sebesar 35% dari 7,4 juta ha pada tahun 2008 menjadi 10 juta ha pada tahun 2013. Sebanyak 29 orang taipan mengendalikan 25 grup bisnis kelapa sawit di Indonesia, yang pada tahun 2013 setidaknya mengantongi izin 5,1 juta ha lahan sawit dari 10 juta ha luas tanam kelapa sawit di Indonesia[1].
Penguasaan lahan yang begitu besar terjadi karena didorong oleh dukungan bank dan investor, yang terlibat dalam bentuk pemberian pinjaman dan penjaminan (underwriting) kepada korporasi, sehingga para taipan dengan mudah mendapatkan pembiayaan untuk mengekspansi bisnisnya dengan massif dan cepat. Laporan ‘Maybank: the single largest palm oil financier, yang dibuat oleh TuK INDONESIA dan Profundo,  menunjukkan bukti keterlibatan bank dan investor didalam 85 perusahaan minyak kelapa sawit terbesar di Asia Tenggara[2]. Laporan itu menunjukkan pendana terbesar sektor kelapa sawit di Indonesia adalah bank dan investor yang berasal dari Malaysia yaitu Malayan Bank (Maybank), diikuti oleh bank dari Indonesia, Jepang, Inggris, dan negara-negara lainnya. Maybank membiayai 11% dari total pinjaman dan penjaminan (underwriting) kepada 85 perusahaan tersebut selama periode 2010-2016[3].
Sebagian bank dan investor besar telah mengadopsi kebijakan ESG (Economic, Social, Governance) untuk mencegah mereka terlibat langsung dengan klien kontroversial. Namun sebagian besar bank dan investor lainnya masih mempunyai hubungan dengan klien yang terlibat dalam konflik terkait deforestasi, pengembangan lahan gambut, kebakaran, konflik sosial dengan masyarakat, perampasan lahan, kurangnya FPIC (Free, Prior, and Informed Consent), kondisi kerja yang buruk, termasuk kerja paksa (pekerja anak).
Bank BNI adalah salah satu bank nasional terbesar di Indonesia, dan salah satu dari delapan bank yang didaulat menjadi penggerak awal dari keuangan berkelanjutan di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun disisi lain, BNI terlibat dalam pemberian pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit yang terlibat konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Dalam laporan terbaru, ‘Malapetaka’[4], pada akhir tahun 2017 BNI menyalurkan total pinjaman mencapai 190 juta USD kepada Korindo Group. Korindo group terlibat dalam penyalahgunaan pajak, perusakan lingkungan, dan memasok kayu yang tidak berkelanjutan dan kemungkinan besar ilegal untuk konstruksi beberapa lokasi penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Di Indonesia, Ekspansi Korindo ke dalam hutan-hutan pedalaman Indonesia melibatkan pembukaan hutan primer, pembakaran, perampasan lahan, dan tindakan kekerasan dan penangkapan masyarakat setempat secara sewenang-wenang, tulis laporan tersebut. Anak perusahaan Korindo Group, PT GMM, di Maluku Utara secara paksa merampas lahan masyarakat tanpa persetujuan warga, menggunakan api untuk secara ilegal membuka lahan, menanam kelapa sawit tanpa kelengkapan izin, dan mengkriminalisasi masyarakat yang menentang operasi perusahaan, termasuk penahanan sewenang-wenang dan kekerasan[5]. Pada 12 November 2018 lalu, Walhi Maluku Utara dan masyarakat yang terdampak oleh PT GMM melakukan unjuk rasa di kantor pusat Korindo di Jakarta dan di kantor pusat bank pendana utama Korindo yaitu BNI. Mereka menuntut agar Korindo berhenti merusak hutan mereka, keluar dari wilayah masyarakat, dan meminta agar BNI berhenti membiayai perusahaan.
Hari ini, di Jakarta, TuK INDONESIA meluncurkan laporan ‘Tinjauan Kritis atas Laporan Keberlanjutan BNI 2017’. Laporan ini memaparkan apakah BNI memang mengarahkan dirinya pada keuangan berkelanjutan secara bersungguh-sungguh atau sekedar komunikasi perusahaan untuk mengesankan demikian. “Pelaporan keberlanjutan bagi kami adalah satu jalan menuju akuntabilitas korporasi yang lebih baik. BNI harus berasumsi bahwa informasi yang disajikan olehnya di ruang publik akan dicermati oleh publik – antara lain kami – kelogisan datanya, dan apakah pernyataan dalam laporan tersebut konsisten dengan klaim komitmen BNI sendiri atas keberlanjutan” kata Rahmawati Retno Winarni, Direktur Ekeskutif TuK INDONESIA.
Tinjauan ini menyimpulkan antara lain, BNI melaporkan proporsi produk yang dimasukkan ke dalam kategori ‘hijau’ atau berwawasan lingkungan, namun mengasumsikannya berdasarkan sektor tertentu.  Selain praktik masing-masing projek masih perlu dilihat lebih jauh, BNI yang memasukkan pembiayaan kelapa sawit dan pembangkit listrik tenaga gas ke dalam portofolio ‘hijau’ ini sangat bisa dipersoalkan.  Perkebunan kelapa sawit, termasuk yang sudah mendapatkan sertifikat RSPO, kerap dibuktikan memiliki dampak negatif lingkungan yang besar dan tak terbalikkan; sementara yang hanya bersertifikat ISPO, atau bahkan yang sedang berusaha mendapatkan kedua sertifikat itu, tentu lebih mungkin lagi dibuktikan demikian.
“BNI adalah bank yang sudah lama mengklaim punya kepedulian kepada perbankan berkelanjutan. Karenanya, mempelajari laporan keberlanjutan BNI sangat penting untuk mengetahui keseriusan BNI atas klaimnya itu. Hasil studi ini menunjukkan bahwa ruang perbaikan bagi BNI masihlah sangat luas, sehingga kita bisa menduga bahwa bank-bank lain juga masih perlu bekerja keras agar menjadi berkelanjutan”, seperti yang diungkapkan oleh Jalal, Sustainability Expert TuK INDONESIA.
Ketidakjelasan BNI dalam memasukkan projek-projek dalam kategori berwawasan sosial dan lingkungan (‘hijau’) sangat mungkin terkait dengan belum kokohnya kebijakan dan prosedur yang terkait dengan keuangan berkelanjutan.  Beberapa kebijakan yang dilaporkan masih lebih dekat pada pemeriksaan kepatuhan, bukan keberlanjutan.  BNI juga belum melaporkan kriteria penapisan negatif (misalnya untuk sektor-sektor kontroversial seperti rokok dan pertambangan/pembangkit listrik tenaga batubara) atau kebijakan per sektor serta per isu (misalnya terkait penegakan HAM atau deforestasi nol) yang lebih ketat daripada sekadar pemenuhan regulasi.
“Bacaan kritis kami atas Pelaporan Keberlanjutan BNI masih menyisakan tanya, gerangan bagaimana BNI sendiri mengartikan pembiayaan yang berkelanjutan, dan apakah BNI telah cukup transparan memaparkan isu materialitas yang mestinya dibahas dengan baik dalam sebuah laporan keberlanjutan. Kami berharap langkah perbaikan dapat segera diambil oleh BNI. Secara nasional, otoritas yang berwenang, yaitu OJK perlu memberi perhatian yang lebih atas pemenuhan kewajiban lembaga keuangan atas penyiapan laporan keberlanjutan agar sejalan dengan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan yang wajib disampaikan oleh bank BUKU 3, BUKU 4 dan Bank Asing pada tahun 2019”, Rahmawati menjelaskan.

Laporan dapat diunduh di:Menuju Keuangan Berkelanjutan
Narahubung:
Mubarok, [email protected], 0813 1109 8787
Helena, [email protected],  0821 1453 5163
[1] http://www.tuk.or.id/kuasa-taipan-kelapa-sawit-di-indonesia/
[2] http://www.tuk.or.id/maybank-single-largest-palm-oil-financier/
[3] http://forestsandfinance.org
[4] http://www.tuk.or.id/malapetaka-korindo-perampasan-tanah-bank/
[5] http://www.tuk.or.id/siaran-pers-membongkar-pembalakan-liar-dan-pelanggaran-ham-oleh-raksasa-bisnis-kehutanan-grup-korindo-olimpiade-2020-tokyo-tersangkut-pengadaan-kayu-gelap/

[tnc-pdf-viewer-iframe file=”/wp-content/uploads/2018/11/Menuju-Keuangan-Berkelanjutan.pdf” width=”” height=”” download=”true” print=”true” fullscreen=”true” share=”true” zoom=”true” open=”true” pagenav=”true” logo=”true” find=”true” current_view=”true” rotate=”true” handtool=”true” doc_prop=”true” toggle_menu=”true” language=”en-US” page=”” default_zoom=”auto” pagemode=””]