Bank dan Risiko dari Perkebunan Kelapa Sawit: Cerita dari Provinsi Sulawesi Tengah

“…that if you become a teacher,
by your pupils you’ll be taught.”
Anna Leonowens dalam musikal The King and I
 
Sepanjang empat hari bergaul dengan para pengorganisasi masyarakat (community organiser) di Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah—dari tanggal 23 hingga 26 Mei 2016—kami mendapatkan banyak sekali masukan.  Tepatnya, pesta pengetahuan.  Kami datang untuk memberikan pelatihan tentang pelaporan keberlanjutan, khususnya GRI G4 Financial Services Sector Disclosure.  Namun alih-alih lebih banyak memberi, yang kami rasakan adalah bahwa yang kami terima jauh lebih banyak.  Mungkin perasaan ini adalah sebagimana yang digambarkan Anna Leonowens yang datang ke Thailand dari Inggris untuk mengajari anak-anak Sang Raja, namun mendapati dirinyalah yang banyak belajar.
 
Sebagaimana yang diminta, kami memaparkan tentang apa itu konsep keberlanjutan, keberlanjutan perusahaan, dan terutama keberlanjutan perbankan.  Lalu, kami masuk ke dalam isu transparensi dan akuntabilitas perbankan, yang memang merupakan mandat bagi keberlanjutan sektor ini—atau sektor manapun yang ingin berkelanjutan—lewat standar pelaporan keberlanjutan.  
 
Tentu tak mudah untuk menjelaskan tentang konsep-konsep itu.  Apalagi, bank yang beroperasi sebagai lembaga intermediari antara penabung dengan peminjam memang bukan industri yang banyak diketahui orang.  Maka, pelajaran tentang bagaimana bank bekerja haruslah diberikan dengan perlahan, dan banyak memberikan contoh, dan pengulangan.  Ketika sampai pada konsep bahwa hanya bank—yaitu yang menjalankan commercial atau corporate banking—yang memerhatikan kelayakan ekonomi, sosial, dan lingkungan dari bisnis kliennyalah yang akan menjadi bank yang berkelanjutan, diskusi menjadi lebih mudah, dan mulai menarik.
 
Kami menjelaskan bahwa bila klien tidak bisa mengelola risiko sosial dan lingkungan, maka operasinya akan terganggu, dan dengan demikian mereka akan kesulitan mendapatkan revenue dan pada akhirnya, mereka kesulitan—kalau bukan malahan gagal sama sekali—mengembalikan pinjaman kepada bank.  Oleh karena itu, risiko perbankan sesungguhnya merupakan cerminan risiko klien-klien korporatnya.  Bila kliennya limbung, maka limbung pula bank yang meminjamkan uangnya.  Bila kliennya berjaya, bisnisnya lancar dan tumbuh pesat, demikian pula nasib banknya.  Tentu, dalam praktik tak selangsung itu hubungannya, karena bank juga mengasuransikan pinjamannya, demi melindungi nasabah.  Namun jelas, kondisi seperti orang dan bayangan di cermin itu adalah simplifikasi yang tak berlebihan.        
 
Itu dari sisi risiko.  Dari sisi peluang, keberlanjutan bank itu akan sangat ditentukan dari kesediaannya untuk menjajaki peluang bisnis baru yang tumbuh di sekitar inisiatif pembangunan berkelanjutan.  Seperti yang banyak dituliskan oleh para pakar ekonomi perubahan iklim—dengan Sir Nicholas Stern sebagai punggawanya—mengatasi perubahan iklim dengan strategi bisnis rendah emisi telah terbukti banyak membawa peluang bagi pertumbuhan ekonomi hijau (green economy) yang jauh lebih baik dibandingkan ekonomi coklat (brown economy) yang selama ini dominan.  Efisiensi energi dan efikasi energi adalah di antara peluang-peluang ekonomi yang semakin kuat, dan bank-bank perlu masuk ke dalamnya untuk meluaskan pasar.
 
Di sisi risiko, rekan-rekan pengorganisasi masyarakat punya cerita yang bisa ditarik menjadi pelajaran buat bank yang tengah dan hendak membiayai perkebunan sawit.  Di Kabupaten Banggai, misalnya, ada beberapa perusahaan kelapa sawit yang di antaranya merupakan anak perusahaan grup-grup terkemuka.  Sayangnya, grup terkemuka sama sekali bukan jaminan bahwa operasinya punya perhatian yang memadai dalam pengelolaan sosial dan lingkungannya.
 
Sebagaimana yang diceritakan kepada kami, sebuah perusahaan misalnya berdiri di atas Hak Guna Usaha yang bertumpuk di atas tanah-tanah petani yang bersertifikat.  Petani-petani itu tentu saja melawan pendudukan tanah oleh perusahaan.  Namun, karena pendekatan yang menggunakan aparat keamanan, petani kemudian menyerah.  Mereka juga pada akhirnya menerima bujukan untuk menjadi petani plasma, di atas tanah yang selama ini mereka miliki (dan masih mereka bayar pajaknya hingga sekarang!), tanpa mereka tahu apa arti sesungguhnya dari menjadi petani plasma itu.
 
Pada praktiknya, mereka berubah dari pemilik lahan menjadi buruh tani bagi perusahaan tersebut.  Tetapi lantaran tak ada pilihan penghidupan yang lain, kehidupan sebagai buruh itu mereka lakoni dengan harapan mereka bisa benar-benar mendapatkan hasil dari kebun sawit di lahan mereka itu.  Namun, harapan itu tampaknya hampa.  Sekarang para petani sudah lewat tujuh tahun sejak kehilangan tanah dengan terpaksa.  Sawit mereka telah ’belajar’ berbuah selama beberapa tahun terakhir, namun tandan buah segar itu tak kunjung dibeli, lantaran perusahaan itu sampai sekarang belum memiliki industri pengolahnya.
 
Para petani itu tak mudah menyerah.  Mereka mungkin tak memahami bahwa perusahaan mungkin tak akan membuat industri pengolah pada kondisi harga seperti sekarang yang belum cukup menarik setelah turun sejak beberapa tahun lampau.  Yang mereka tahu, ada perusahaan sawit lainnya yang mungkin bisa menampung tandan buah segar yang mereka produksi.  Merekapun menjajalnya.  Jarak tempuh yang jauh dan melewati infrastuktur jalan yang tak cukup baik membuat risiko perjalanan lebih dari ambang waktu antara panen hingga masuk pengolahan.  Sama dengan banyak produk pertanian lain, kelapa sawit bersifat perishable, sehingga bila melampaui 12 jam setelah panen, hasil panen itu tak akan diterima.  Lantaran harus membiayai sendiri transportasi untuk menjual itu, para petani benar-benar berjudi.  Dari cerita yang kami terima, para petani kalah dalam perjudian itu, dalam jumlah besar.
 
Ada perusahaan sawit lain yang mudarat lingkungannya lebih menonjol.  Perusahaan itu mengubah bentang alam di daerah hulu sungai, sehingga sempadan sungai menjadi tererosi, dan air jernihnya berubah menjadi coklat.  Pada musim hujan yang lalu, banjir besar melanda desa-desa yang berada di bagian tengah daerah aliran sungai.  Belum pernah masyarakat di sama melihat dan merasakan banjir sebesar itu sebelum perusahaan sawit membuka hutan untuk perkebunan di hulu.  
 
Untuk mata yang terlatih, bencana yang lain, yaitu bencana kehilangan keanekaragaman hayati sudah terjadi sebelum banjir melanda.  Dan kita tahu, Sulawesi adalah pulau yang ragam hayatinya sangat unik, sehingga kehilangan keanekaragaman hayati di pulau ini sangatlah membuat miris.  Kami hanya bisa membayangkan berapa banyak kerusakan yang timbul dari sekitar 700 ribu hektare perkebunan kelapa sawit di Sulawesi Tengah saja.  Luasan lahan itu yang kami dapat dari para aktivis WALHI. Sementara, data BPS hanya menyatakan 140 ribu hektare.  Diskrepansi sebesar itu perlu diteliti lebih lanjut, namun membuka hutan di Sulawesi Tengah untuk kebun sawit tampaknya memang bukan keputusan yang bijak.
 
Cerita yang kami serap masih banyak lagi, namun gambaran di atas kami harapkan bisa memberikan wawasan tentang betapa parahnya pengelolaan perkebunan kelapa sawit di provinsi ini.  Masyarakat yang gelisah dengan kondisi itu kini mulai bergejolak, memasang spanduk protes di pagar rumah, juga kerap berkumpul untuk membahas rencana protes ke perusahaan.  Entah apa yang akan terjadi dalam waktu dekat.  Namun yang jelas tampaknya bukan kabar baik kelancaran usaha perkebunan yang diharapkan oleh bank-bank yang meminjamkan uangnya kepada kebun-kebun sawit.  Menurut data yang dilansir oleh Bank Indonesia, non performing loan (NPL) terkait kredit kelapa sawit di kabupaten-kabupaten di provinsi ini ada yang telah mencapai 13%. Padahal, ambang batas NPL yang masih bisa diterima hanyalah 5%.
 
Di hari terakhir kunjungan, kami disambut dengan sangat baik oleh kantor Otoritas Jasa Keuangan Provinsi Sulawesi Tengah.  Kami bertukar pikiran soal kondisi lapangan, dan rekan-rekan di OJK sangat memahami risiko tersebut untuk perbankan.  Sayangnya, lantaran sebagian besar transaksi kredit perbankan untuk perkebunan sawit di provinsi ini—sama dengan di provinsi-provinsi lainnya—tidak dilakukan di level provinsi, maka mereka tak bisa mengambil tindakan langsung.  Mereka ‘hanya’ bisa menyampaikan kondisi tersebut ke pusat untuk kemudian diambil keputusan tindakan apa yang sepatutnya dilakukan oleh OJK.  Yang jelas, OJK sangat sadar dengan maraknya praktik-praktik yang kami laporkan, dan sadar penuh atas risikonya terhadap bank-bank yang mereka awasi.
 
Provinsi Sulawesi Tengah bukanlah provinsi dengan kebun sawit yang sangat luas.  Jauh sekali dibandingkan Riau, Sumatera Utara, atau Kalimantan Barat.  Namun risiko yang muncul dari kebun-kebun sawit di sana sudah sedemikian nyatanya.  Ini manambah pengetahuan kami tentang risiko-risiko yang dihadapi oleh perkebunan sawit, dan pada gilirannya, bank-bank yang memberikan kredit kepada mereka.  Beberapa waktu yang lampau, Wetlands International memberikan gambaran kondisi mutakhir soal kebun-kebun sawit di atas lahan gambut di Kalimantan, yang pohonnya bertumbangan.  Kita juga tahu bahwa kebun sawit sangat berisiko dalam kebakaran hutan seperti yang terjadi pada kuartal 3 dan 4 tahun 2015.  Apa yang terjadi di Sulawesi Tengah, sekali lagi, adalah tambahan informasi yang perlu ditimbang.  Bank-bank perlu sekali menyadari kondisi ini, agar risiko bisnisnya bisa dikelola dengan benar, selain agar mereka tidak menginvestasikan uangnya di tempat-tempat yang membahayakan keberlanjutan Indonesia dan dunia.
.
Artikel ini ditulis oleh:
Jalal – Sustainable Banking Policy Advisor
Rahmawati Retno Winarni – Program Director
Transformasi untuk Keadilan Indonesia
1 reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *