Siaran Pers Bersama: Menjelang Pertemuan Kepala Negosiator AIIB: Indonesia diantara Kepentingan Amerika dan Kepentingan Cina

Print1Untuk Disiarkan Segera


Menjelang Pertemuan Kepala Negosiator AIIB:

Indonesia diantara Kepentingan Amerika dan Kepentingan Cina


Jakarta, 1 November 2015.
Indonesia telah bergabung sebagai anggota pendiri Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dengan tujuan mendapat dana proyek-proyek infrastruktur. AIIB merupakan inisiatif Cina dan kemudian mendapatkan respon dari 57 negara yang bersedia menjadi anggota pendirinya baik dari Asia maupun luar Asia. Indonesia kini menjadi pemegang saham ke 8 terbesar di AIIB dengan investasi sebesar US$ 672,1 atau sekitar Rp 8,74 trilyun. AIIB digagas Cina dengan orientasi pembiayaan proyek-proyek infrastruktur, dan bukan untuk tujuan pembangunan. Mengingat pengalaman kerusakan lingkungan, penggusuran maupun kekerasan serta pelanggaran HAM lainnya selama ini dengan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia, sumber pembiayaan proyek tanpa aturan perlindungan yang kuat, jelas berpotensi menimbulkan berbagai persoalan baru. Persoalan semakin bertambah dengan bergabungnya Indonesia dengan TPP (Trans Pacific Partnership) pada bulan ini, yang akan membuka ruang investasi dan perdagangan bebas seluas-luasnya.

AIIB di bulan September 2015 mengeluarkan sebuah draft Environmental and Social Framework(ESF) yang merupakan kisi-kisi perlindungan lingkungan dan sosial dari proyek-proyek AIIB. Namun ESF ini masih belum mampu menjadi kerangka perlindungan karena mengandung banyak kelemahan. Setidaknya ada tujuh kelemahan dalam ESF tersebut, yaitu:

Pertama, pendekatan bertahap (phased approach) memungkinkan persetujuan pembiayaan proyek tanpa menunggu kajian dampak lingkungan dan sosialnya selesai. Jika ternyata proyek tidak memenuhi standar AIIB, tidak disebutkan pembiayaan akan dibatalkan. Kedua, kategorisasi resiko proyek tidak memperhitungkan dampak dan resiko jangka panjang proyek. Padahal banyak dampak proyek infrastruktur terhadap lingkungan, situasi ekonomi dan sosial masyarakat baru teridentifikasi dalam jangka panjang. Ketiga, tidak ada pengaturan tentang transparansi proyek -proyek yang dibiayanya. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui dampak apa yang akan terjadi pada diri, sumber penghasilan dan lingkungannya, serta tidak punya kesempatan untuk berpendapat terhadap rencana proyek terutama sebelum disetujui oleh AIIB.

Keempat, AIIB tidak membuka ruang partisipasi pemangku kepentingan untuk hal yang terkait pengambilan keputusan. Kelima, tidak ada ketentuan untuk menyediakan informasi dan data terpisah secara gender (gender segregated information and data) terutama untuk analisis dampak dan resiko, keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang proyek, ketersediaan informasi secara sensitif gender, dan mekanisme pengaduan yang sensitif dan responsif gender. Padahal perempuan merupakan bagian yang besar (biasanya separuh lebih) dalam masyarakat terkena dampak dan perempuan mempunyai kebutuhan khusus jika terjadi penggusuran dan kehilangan mata pencarian seperti yang sering terjadi pada proyek infrastruktur. Keenam, proyek dengan emisi karbon tinggi (termasuk penggunaan batubara) tidak dikecualikan dalam pembiayaan proyek, dan jelas ini kontradiktif dengan kesepakatan konvensi perubahan iklim untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca, di mana Indonesia menjadi bagiannya.

Masifnya program pengembangan dan pembangunan infrastruktur di Indonesia, akan berimplikasi dengan pendanaan yang besar. Dana pinjaman dari AIIB dinilai pemerintah dapat mempercepat pembangunan infrastruktur di Indonesia. Namun demikian, standar lingkungan dan sosial AIIB yang masih lemah, akan semakin meningkatkan persoalan lingkungan, sosial, kekerasan dan pelanggaran HAM, termasuk pelanggaran hak-hak perempuan dan anak.

Berbagai ancaman resiko tersebut tentunya sangat bertentangan dengan Visi Nawacita Pemerintahan Jokowi JK. Upaya menghadirkan kembali negara untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara terancam oleh agresifnya rencana investasi tanpa memperkirakan dampak sosial, ekonomi, lingkungan hidup dan potensi kekerasan serta pelanggaran HAM.

Pada tanggal 3-4 November 2015 mendatang akan berlangsung Chief Negotiators Meeting (CNM) di Jakarta yang merupakan sebuah rangkaian proses pengembangan kelembagaan AIIB. Untuk itu, sebagai salah satu pemegang saham terbesar, Pemerintah Indonesia harus memastikan.

  1. Penggunaan dana AIIB tidak melanggar hak masyarakat, perempuan dan laki-laki, serta tidak merusak lingkungan, dengan menetapkan aturan perlindungan sosial, lingkungan dan gender yang kuat.

  2. Akses dan ruang partisipasi, serta keterlibatan masyarakat sipil, termasuk masyarakat potensi terkena dampak proyek infrastruktur, dalam setiap perencanaan dan pembahasan kebijakan dan proyek yang didanai oleh AIIB, diantaranya Environment dan Social Framework, termasuk gender policy.

Kami juga menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk turut memantau secara kritis perkembangan kelembagaan dan kebijakan perlindungan dari AIIB, termasuk implementasi proyek-proyeknya ke depan, terutama di Indonesia.

Hormat Kami

Solidaritas Perempuan (SP), Aksi for Gender, Social and Ecological Justice, Yayasan Pusaka, TuK Indonesia, WALHI DKI Jakarta, KNTI, IGJ, WALHI, SP Komunitas Bungoeng Jeumpa Aceh, SP Komunitas Palembang, SP Komunitas Sebay Lampung, SP Komunitas Jabotabek, SP Komunitas Sumbawa, SP Kinasih- Yogyakarta, SP Komunitas Mataram, SP Komunitas Kendari, SP Komunitas Angging Mammiri-Makassar, SP Komunitas Palu, SP Komunitas Sintuwu Raya-Poso

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi:

CP : Nisaa Yura (0813 8070 9637)

CP : Risma Umar (0812 9165 5459)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *